• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap ke 5 adalah penyusunan skenario berdasarkan masukan dari para Pakar Langkah pertama dari tahapan ini adalah menunjukkan kepada Pakar variabel-

17. Lomba yang berkaitan dengan PLH

5.6. Analisis Perbandingan

Berdasarkan analisis statistik terhadap kompetensi pengetahuan pada sekolah yang diteliti terdapat perbedaan yang signifikan antara kompetensi pengetahuan siswa pada masing-masing sekolah. Selanjutnya dengan menggunakan katagori Chaid (Lampiran 14) maka sekolah-sekolah tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

1. SMAN 81 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 96,08% siswa

2. SMA Labschool dan SMAN 27 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 83,03% siswa

3. SMA Islam Al Azhar 1, SMA Islam Al Azhar 4, dan SMAN 77 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 68,68% siswa

Hasil analisis statistik terhadap kompetensi sikap pada derajat kepercayaan 0.05 juga tidak menunjukkan perbedaan pada sekolah yang diteliti (Lampiran 15). Dengan demikian jenis kurikulum dan jurusan tidak mempengaruhi kompetensi sikap. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis statistik yang juga dilakukan terhadap kompetensi perilaku diperoleh tiga kelompok sekolah yaitu:

1. SMAN 27 dan SMAN 77 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 67,07 % siswa. 2. SMA Islam Al Azhar 4 dan SMAN 81 dengan ketuntasan belajar dicapai oleh

54.31 % siswa.

3. SMA Islam Al Azhar 1 dan Labschool dengan ketuntasan belajar dicapai oleh 35,00 % siswa.

Kelompok kompetensi yang berbeda pada masing-masing sekolah menunjukkan bahwa kompetensi lingkungan hidup tidak dipengaruhi oleh jenis kurikulum dan jurusan. Pengelompokan kompetensi disebabkan oleh kondisi sekolah yang erat kaitannya dengan MBS yang bervariasi pada tiap sekolah. Disamping itu kompetensi guru pada tiap sekolah dalam melaksanankan PLH juga berbeda, akibatnya pengalaman belajar siswa yang dikaitkan dengan lingkungan hidup akan berbeda pada setiap sekolah. Pengembangan Silabus Mata Pelajaran dapat berupa kegiatan intrakurikuler, eksrakurikuler maupun kecakapan hidup.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku untuk semua sekolah dan ke dua jurusan (IPA dan IPS) belum mencapai ketuntasan belajar. Pengamatan langsung di lapangan juga memperlihatkan perilaku siswa yang belum menunjukkan sikap positif terhadap lingkungan. Sebagai contoh kebiasaan siswa yang membuang sampah pada laci meja,

banyaknya sampah di halaman sekolah walaupun tempat sampah telah tersedia, mencoret dan merusak fasilitas sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan sekolah baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler pada jurusan IPA dan IPS belum cukup mampu membekali kompetensi perilaku siswa. Kondisi ini dapat disebabkan oleh terbatasnya pemberian materi pelajaran yang bermuatan lingkungan sebagai dampak dari rendahnya kompetensi guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Selain itu juga disebabkan oleh kesulitan guru untuk menemukan metode yang menarik dalam mengaitkan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Hal ini didukung oleh pendapat sebagian besar guru yang dijadikan responden mengemukakan bahwa PLH yang diintegrasikan pada materi mata pelajaran lebih menekankan kepada aspek kompetensi pengetahuan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan beberapa peneliti sebelumnya. Sholahudin (1993) mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara materi pelajaran IPA di SMA yang memiliki muatan lingkungan hidup dengan sikap siswa untuk melestarikan lingkungan. Susilo (1997) yang melakukan penelitian di SMAN 8 Jakarta dan Savitri (1998) pada SMAN 13 Jakarta juga menyimpulkan bahwa pemahaman pelestarian lingkungan siswa di kedua sekolah tersebut memperlihatkan hasil yang positif tetapi belum dapat dibuktikan secara afektif dan psikomotor. Sedangkan Soeharto (1993) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan perilaku arif terhadap lingkungan. Akan tetapi kedudukan formal dalam organisasi atau lembaga kemasyarakatan seperti ketua RT/RW, tokoh masyarakat, dan aparat desa akan menjadikan mereka untuk berperilaku arif terhadap lingkungan. Hal ini menunjukkan adanya antusiasme kelompok masyarakat ini terhadap lingkungan tanpa dibatasi oleh tingkat pendidikan. Artinya pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup baru dapat dirasakan setelah seseorang terjun di masyarakat dan menghadapi permasalahan lingkungan. Hasil observasi Depdiknas (2002) juga menunjukkan pelaksanaan program PLH di sekolah yang selama ini menitikberatkan pada pendekatan pengintegrasian konsep-konsep dasar lingkungan hidup pada pokok- pokok bahasan yang relevan belum memberikan pengaruh positif terhadap siswa.

Hasil penelitian ini menunjukkan ketuntasan belajar untuk kompetensi pengetahuan dan sikap telah dicapai lebih dari 80% siswa . Hal ini dapat disebabkan karena adanya perubahan dalam penyelenggaraan PLH di sekolah ke arah yang lebih baik. Pengintegrasian materi PLH ke dalam mata pelajaran telah memberikan

dampak yang berarti terhadap kompetensi pengetahuan dan sikap namun belum memberikan dampak terhadap perilaku siswa. Kepedulian warga sekolah termasuk siswa terhadap kebersihan, penghematan penggunaan sumberdaya, penghijauan, dan ketertiban masih sangat kurang. Dengan demikian sekolah sebagai agen perubahan perilaku peduli lingkungan dinilai masih kurang berhasil dalam menjalankan misinya. Depdiknas (2003) mengemukakan pula bahwa hasil pelatihan terhadap tenaga kependidikan diakui telah dapat meningkatkan pengetahuan tentang lingkungan hidup, tetapi pada implementasinya masih belum dapat berpengaruh terhadap kompetensi sikap dan perilaku siswa.

Pencapaian kompetensi perilaku yang lebih tinggi pada sekolah yang masih menggunakan Kurikulum 1994 dibandingkan dengan KBK walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dapat disebabkan oleh pengaruh Kurikulum 1994 yang berorientasi pada kompetensi pengetahuan. Pada Kurikulum 1994 penyajian kompetensi perilaku siswa dalam buku Raport tidak ditampilkan secara terpisah tetapi terintegrasi dengan nilai pengetahuan. Berbeda dengan kurikulum KBK yang penyajiannya terpisah atara kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku. Menurut beberapa stakeholder pendidikan ada indikasi kekhawatiran siswa pada sekolah yang melaksanakan Kurikulum 1994 yaitu jika tidak melakukan perilaku yang positif akan mengurangi nilai pengetahuan, hal sebaliknya pada kurikulum KBK ada indikasi persepsi siswa bahwa nilai kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Disamping itu persepsi bahwa nilai kompetensi pengetahuan lebih diperhitungkan dalam kenaikan kelas dibandingkan dengan nilai sikap dan perilaku. Faktor inilah yang turut mempengaruhi lebih tingginya keberhasilan KBK dalam pencapaian kompetensi perilaku.

Pencapaian kompetensi perilaku pada SMAN 77 dan 27 memperlihatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan SMA lainnya. Kondisi ini dapat disebabkan karena perhatian sekolah-sekolah tersebut yang tinggi terhadap lingkungan. Sebagai contoh di halaman SMAN 77 tersedia tempat sampah organik dan anorganik juga slogan-slogan tentang lingkungan hidup. Hasil pengamatan juga memperlihatkan perhatian yang besar dari SMAN 27 terhadap lingkungan dengan menggiatkan program 7 K yang ditunjukkan dengan kebersihan dan penghijauan yang digalakkan pada sekolah tersebut.

SMA Islam Al Azhar 4 dan SMAN 81 memiliki pencapaian ketuntasan belajar untuk kompetensi perilaku yang lebih tinggi dibandingkan dengan SMA

Islam Al Azhar 1 dan Labschool. Keadaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang menekankan pada aspek perilaku untuk dijadikan pengalaman belajar siswa pada sekolah-sekolah tersebut. Pada SMAN 81 diselenggarakan kegiatan lingkungan hidup yang langsung ke masyarakat dan wajib diikuti siswa yaitu Trip Observation. Terpilihnya SMAN 81 Jakarta menjadi Sekolah Sehat ikut mempengaruhi pencapaian kompetensi psikomotorik. Kepedulian Kepala Sekolah SMAN 81 yang tinggi terhadap pendidikan lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan banyaknya poster dan slogan tentang lingkungan hidup yang terdapat pada koridor kelas. Adanya penghijauan di halaman dan koridor sekolah, juga diadakannya kegiatan tentang pemanfaatan kebun sekolah dan

green house untuk kegiatan belajar mengajar menunjukkan tingginya kepedulian

sekolah tersebut terhadap lingkungan hidup.

Perhatian SMA Islam Al Azhar 4 terhadap pendidikan lingkungan ditunjukkan dengan adanya alokasi waktu kecakapan hidup untuk mata pelajaran seperti Kimia, Geografi, dan Sosiologi yang mengadakan praktek langsung ke lapangan seperti ke lokasi TPA Bantar Gebang, serta adanya Desa Binaan siswa di Muara Gembong, Bekasi. Selain itu pada SMA Islam Al Azhar 4 juga didokumentasikan hasil-hasil karya siswa yang berkaitan dengan lingkungan hidup untuk dijadikan bahan pameran pendidikan. Hal tersebut dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berperilaku positif terhadap lingkungan.

Pada SMA Islam Al Azhar 1 kepedulian Kepala Sekolah terhadap pendidikan lingkungan hidup ditunjukkan dengan adanya aktivitas sebagian siswa untuk berpartisipasi pada kegiatan lingkungan hidup seperti mengikutsertakan siswa pada lomba-lomba yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Di samping itu juga ada upaya pemilahan dalam menempatkan sampah organik dan anorganik di ruang guru. Akan tetapi usaha tersebut masih belum dapat mempengaruhi perilaku seluruh siswa. Kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk melatih kecakapan hidup siswa seperti kebun sekolah, green house, ekstra kurikuler yang berkaitan dengan pendidikan lingkungan hidup, penambahan waktu belajar untuk kecakapan hidup, juga poster tentang lingkungan hidup dapat menyebabkan rendahnya kompetensi psikomotorik. Rendahnya sangsi terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan seperti kebersihan memberikan dampak pada rendahnya pencapaian kompetensi perilaku. SMA Labschool juga melibatkan siswa untuk berperan aktif

dalam kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup akan tetapi pencapaian kompetensi perilaku masih belum memuaskan.

Kompetensi perilaku yang belum mencapai standar ketuntasan bukan disebabkan oleh pengetahuan dan sikap yang kurang, karena dari data yang ada kompetensi pengetahuan dan sikap telah mencapai Standar Kelulusan Batas Minimal (SKBM) 75. Rendahnya perilaku siswa bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan siswa maupun sikap siswa. Analisis kuesioner memperlihatkan rata- rata siswa mengalami keengganan dalam berperilaku positif terhadap lingkungan. Keengganan ini dapat disebabkan karena siswa belum atau tidak dilatih untuk membiasakan diri sekolah untuk berperilaku positif terhadap lingkungan walaupun sebenarnya sudah mengetahuinya. Faktor lain yang menyebabkan siswa kurang berperilaku positif terhadap lingkungan adalah terdapatnya kebiasaan masyarakat yang umumnya kurang memperhatikan lingkungan hidup seperti membuang sampah sembarangan, merokok di tempat umum, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas melalui PLH siswa perlu dibekali pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang lingkungan hidup sehingga siswa menjadi mengetahui dan mengerti, serta dapat melakukan dan mau melakukan sesuatu untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Kompetensi perilaku yang positif siswa terhadap sumberdaya alam selanjutnya akan melahirkan perilaku yang disebut partisipatif untuk melestarikan lingkungan. Selanjutnya partisipatif akan merangsang siswa sebagai bagian dari masyarakat menjadi lebih aktif dan kreatif melaksanakan pembangunan yang terarah dan berencana. Masyarakat tidak akan mau berpartisipasi di dalam program pembangunan kecuali mereka memperoleh manfaat dari sesuatu yang dilakukan. Sholahudin (2001) juga mengemukakan manusia dalam kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan karena itu upaya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan mutlak dilakukan sehingga tidak terjadi kerusakan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menumbuhkembangkan sikap positif pada lingkungan melalui pendidikan formal. Melalui pendidikan seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang merupakan pangkal dari sikap, sedangkan sikap mengarahkan pada tindakan seseorang. Karena itu mata pelajaran IPA (Biologi, Fisika, dan Kimia) yang mengandung materi yang sarat dengan pengetahuan lingkungan hidup perlu lebih diberdayakan untuk menumbuhkembangkan sikap positif terhadap lingkungan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teori yang dikemukakan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) tentang proses konversi organisasi pembelajaran masih belum terlaksana dalam pembelajaran lingkungan hidup di SMA. Pengetahuan formal tentang lingkungan yang diperoleh siswa masih terbatas dari silabus kurikulum yang kurang dikembangkan, demikian pula halnya dalam mewujudkan pengetahuan formal menjadi tacit. Hal ini yang menyebabkan pengetahuan tentang lingkungan unrtuk siswa SMA tidak berkembang, karena kompetensi pengetahuan yang diberikan di sekolah dimungkinkan baru pada tahapan tahu (know), kompetensi sikap belum mencapai menghargai dan bertanggungjawab, sedangkan kompetensi perilaku baru mencapai praktik terpimpin.. Menurut Bloom (1983) ada 6 tingkatan kompetensi pengetahuan dan 4 tingkatan kompetensi sikap yaitu:

1. Tahu (know) yaitu pengetahuan sebagai informasi yang telah diperoleh sebelumnya.

2. Memahami (comprehension) yaitu pengetahuan yang dapat menginterpretasikan informasi yang diperoleh.

3. Aplikasi (aplication) yaitu pengetahuan yang dapat diaplikasikan pada situasi yang lain.

4. Analisis (analysis) yaitu kemampuan seseorang untuk menjabarkan suatu informasi dan menemukan hubungan antara komponen satu dan lainnya. 5. Sintesis yaitu kemampuan seseorang untuk merangkum komponen-

komponen pengetahuan yang dimiliki dalam suatu hubungan yang logis. 6. Evaluasi (evaluation) yaitu kemampuan untuk ,melakukan penilaian

terhadap obyek tertentu.

Kompetensi sikap mempunyai tingkatan yaitu sebagai berikut :

1. Menerima (receiving) yaitu kemuan seseorang untuk mau menerima timulus.

2. Menanggapi (responding) yaitu dapat memberi tanggapan terhadap pertanyaan.

3. Menghargai (valuing) yaitu dapat memberikan penilaian terhadapa stimulus

Kompetensi perilaku dapat diamati langsung maupun tidak langsung yang terdiri atas 3 tingkatan yaitu

1. Praktik terpimpin (guided response) yaitu tindakan yang masih tergantung pada tuntunan.

2. Praktik secara mekanisme yaitu tindakan yang secara otomatis dilakukan tanpa seruhan orang lain.

3. Adopsi (adoption) yaitu tindakan yang otomatis dilakukan dan berkualitas. Berdasarkan pendapat Hasan dkk (2006) maka PLH dalam konversi organisasi pembelajaran dapat diimplementasikan sebagai berikut :

1. Sosialisasi (dari tacit ke tacit) : PLH yang diberikan dengan metode praktik dimana siswa melakukan praktik langsung. Metode ini dapat memicu siswa untuk menciptakan praktik yang lainnya yang telah dikembangkan.

2. Eksternalisasi (dari tacit ke explicit) : PLH yang diberikan dengan metode praktik kemudian dilanjutkan dengan pembuatan laporan, menganalisis data, menginterpretasikan hasil pengamatan, membuat kesimpulan, mempresentasikan dan mendiskusikan.

3. Kombinasi (dari explicit ke explicit) : Proses pembelajaran yang dilanjutkan dimana hasil pengamatan yang telah dibuat dimasukkan dalam majalah ilmiah. 4. Internalisasi (dari eksplisit ke tacit) ketika siswa mampu menjadi ahli dalam

pengetahuan yang telah diperoleh.

Jika hasil penelitian tentang kompetensi siswa dikaitkan dengan teori organisasi pembelajaran menurut Choo (1998) yang mengatakan bahwa organisasi pembelajaran merupakan kegiatan sense making, knowledge creating, decision

making, maka dapat dikatakan pengetahuan tacit yang kurang dilatih. Hal tersebut

menyebabkan sense making yaitu mengerti dan memahami situasi lingkungan menjadi tidak terbiasa demikian halnya dengan yang diaktualisasikan dalam perilaku, siklus pengetahuan disajikan seperti pada gambar 5.3. Menurut Wright (2005) proses pengetahuan bagi individu dan organisasi meliputi upaya untuk memecahkan masalah. yang sederhana dan kompleks. Sedangkan Dubravka dan Kecmanovik (2004) berpendapat bahwa sense making dapat berlangsung dari tingkat indvidu, gabungan individu, organisasi, dan budaya masyarakat.

Penerapan teori organisasi pembelajaran lingkungan hidup di SMA memerlukan desain model agar teori dua dimensi kreasi pengetahuan dari Nonaka

dan Takeuchi (1991) yang mengemukakan pembelajaran seperti suatu proses spiral dari tingkat organisasi hingga antar organisasi.

Stream of experience