ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.3 Analisis Unsur Batin Puisi “Seonggok Jagung”
Struktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair
dengan perasaan dan suasana jiwanya. Ada empat struktur batin puisi, yakni tema,
perasaan, nada, dan amanat. Keempat unsur itu menyatu dalam ujud penyampaian
bahasa penyair (Waluyo, 1987:106).
4.3.1 Tema (sense)
Puisi “Seonggok Jagung”, bila ditelaah secara umum, temanya mengenai
pendidikan. Puisi tersebut berbicara mengenai kegagalan dalam pendidikan dan
kurangnya lapangan pekerjaan. Jika dilihat pada bait pertama,
Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan
Pembaca tentunya mudah menafsirkan bahwa puisi tersebut berbicara
tentang pendidikan. Bait tersebut menjelaskan bahwa ada seorang pemuda yang
tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini didukung pula
pada tiap bait, dari bait kedua hingga bait ketujuh. Pada tiap bait puisi tersebut
terdapat penggunaan kata-kata yang mengambarkan pendidikan. Kata-kata
tersebut antara lain; kurang sekolahan, tammat S.L.A, buku, pendidikan, dan
Apabila mengikuti pengelompokan tema oleh Waluyo (1991:106-107),
puisi ini bertemakan kritik terhadap dunia pendidikan. W. S. Rendra menciptakan
puisi “Seonggok Jagung” tersebut pada tahun 1975. Jika menilik kenyataan sejarah, pada tahun 1974 terjadi peristiwa malari (malapetaka 15 Januari). Saat itu
timbul kritik yang keras terhadap industrialisasi dan penanaman modal asing.
Rendra termasuk penyair yang mengkhawatirkan bahwa dengan adanya
industrialisasi akan mengakibatkan rakyat jelata semakin miskin. Ia bersikap
terlalu pesimistis terhadap industrialisasi dan penanaman modal asing, sehingga
kritik yang dikemukakan begitu keras (Waluyo, 1987:32). Oleh karena itu, dapat
ditafsirkan bahwa secara tidak lagsung penyair mau mengungkapkan
ketidakpuasannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Sampai saat ini,
masalah pendidikan belum teratasi walaupun zaman telah berganti.
4.3.2 Perasaan (feeling)
Bila kita mencermati perasaan penyair dalam puisi “Seonggok Jagung”,
akan terlihat bahwa penyair sangat prihatin dengan kondisi pendidikan bangsa
kita. Keprihatinan penyair tidak disampaikan secara sabar, tetapi penyair
menyampaikan dengan perasaan geram. Perasaan geram itu ditunjukkan penyair
karena penyair merasa ketidakadilan sudah begitu merajalela, khususnya
ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Penyair menunjukkan perasaannya
tersebut terhadap dunia pendidikan melalui puisi yang diciptakannya dan
Rendra tidak memberikan jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengatasi
masalah pendidikan.
Perasaan penyair yang menunjukkan rasa geramnya terhadap masalah
pendidikan, dapat dilihat dari penggunaan kata-kata yang terdapat pada bait
kelima dan bait kedelapan:
Bait ke lima
Seonggok jagung di kamar
dan seorang seorang pemuda tammat S.L.A. Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Bait ke delapan
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota.
Penggunaan kata-kata tersebut oleh penyair, menggambarkan kurang ada
relevansi pendidikan dengan pekerjaan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat
bukan hanya membutuhkan orang yang pandai, tetapi manusia yang peduli dengan
keaadaan masyarakat. Penyair merasa ada yang kurang dalam dunia pendidikan
sehingga memperlihatkan bahwa penyair tidak suka dengan ketidakadilan dalam
dunia pendidikan.
4.3.3 Nada dan Suasana
Seorang penyair dalam menulis puisi mempunyai sikap tertentu terhadap
bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1987:125).
Nada yang terdapat dalam puisi “Seonggok Jagung” adalah nada bercerita sambil
menyindir. Contoh nada bercerita sambil menyindir yang digunakan penyair
dapat dilihat pada bait pertama, kedua, dan bait kedelapan.
Bait pertama:
Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan
Bait kedua:
Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang ia melihat petani;
ia melihat panen; dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan pergi ke pasar ... Dan ia juga melihat
suatu pagi hari di dekat sumur gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur tungku-tungku menyala. Di dalam udara murni tercium bau kuwe jagung.
Bait kedelapan:
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota
kikuk pulang ke daerahnya ? ...
Bait pertama dan kedua, penyair menceritakan seorang pemuda yang gagal
melanjutkan pendidikannnya, dan pemuda tersebut memiliki seonggok jagung di
kamarnya. Pada pagi hari sebelum menggarap jagung, pemuda tersebut melihat
ladang, para wanita dengan gendongan pergi ke pasar, dan gadis-gadis bercanda di
dekat sumur sambil menumbuk jagung. Pada bait kedelapan, secara tidak
langsung penyair menyindir pemerintah yang tidak menyediakan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat. Penyair menilai pemerintah kurang memperhatikan
kebutuhan masyarakat, sehingga mengakibatkan pengangguran bagi yang
berpendidikan dan yang tidak mampu melanjutkan pendidikan.
Suasana yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah ketidakadilan dalam
dunia pendidikan. Penyair berharap pembaca dapat mendukung ketidakpuasannya
terhadap dunia pendidikan yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Oleh
karena itu, kita sebagai bangsa yang tetap bercita-cita mencapai masyarakat adil
dan makmur, maka ketidakadilan dalam dunia pendidikan harus diberantas.
4.3.4 Amanat (intention)
Setelah kita memahami tema, perasaan, nada dan suasana penyair yang
terdapat dalam puisi “Seonggok Jagung” maka, amanat yang terkandung dalam
puisi tersebut dapat diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan W. S.
Rendra dalam puisi tersebut: (1) ketidakadilan terhadap dunia pendidikan adalah
musuh terbesar yang harus diberantaskan, (2) pemerintah diharapkan,
pengangguran, (3) pemimpim harus memiliki ketulasan hati dalam melayani
masyarakat, (4) isi puisi ini juga secara tidak langsung mengingatkan pada pelajar
yang mampu, agar mereka tidak menyia-nyiakan pendidikan mereka, karena tidak
semua orang bisa bersekolah seperti mereka, dan (5) penyair menyampaikan
pesan kepada pembaca, jangan hanya diam dan pasrah dengan keadaan. Ilmu
yang dimiliki harus disesuaikan dengan keterampilan sehingga, kita dapat
berkarya demi masa depan.