• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam

II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Sintesis Prioritas

4.4. Arahan Kebijakan Pengendalian Lingkungan di KPB Batam

Penilaian keberlanjutan berdasarkan hasil analisis MDS dengan menggunakan Rap-KAPERBA menunjukkan bahwa KPB Batam termasuk kategori buruk, sehingga upaya pengendalian lingkungan di KPB Batam perlu dilakukan. Upaya pengendalian lingkungan dilakukan dengan merumuskan alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam. Rumusan alternatif kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam disusun dengan memperhatikan Faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam, Aktor yang berperan dalam mengendalikan permasalahan lingkungan di KPB Batam, Tujuan pengendalian lingkungan di KPB Batam, serta Alternatif

124 kebijakan untuk mengendalikan permasalahan kebijakan lingkungan di KPB Batam.

Pengendalian Lingkungan di KPB Batam

Daya Tarik Investasi (0,483) Perlindungan Ekosistem (0,276) Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (0,141) Konflik Masyarakat dan KPB (0,101) Pemerintah (0,376) Legislatif (0,085) Pemerintah Daerah (0,276) Pelaku Usaha (0,161) Masyarakat (0,105) Perlindungan Ekosistem KPB Batam (0,536) Peningkatan Daya Tarik Investasi KPB Batam (0,301) Pertumbuhan Ekonomi Wilayah secara Berkelanjutan (0,163) FOKUS FAKTOR AKTOR TUJUAN

Gambar 18. Hirarki kebijakan pengendalian lingkungan KPB Batam

Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah: daya tarik investasi (0,483), perlindungan ekosistem (0,276), pertumbuhan ekonomi wilayah (0,141), serta konflik antara masyarakat dan KPB (0,101). Urutan prioritas tersebut menunjukkan bahwa dalam mengendalikan permasalahan lingkungan, faktor daya tarik investasi memiliki peranan penting dalam menerapkan strategi skenario 3 (Gambar 19).

Gambar 19. Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam

125 Faktor daya tarik investasi di KPB Batam berkaitan erat dengan banyaknya kegiatan ekonomi internasional yang telah lama berjalan di kawasan tersebut. Dalam hal ini pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup telah menjadi salah satu kepedulian utama dalam praktek perdagangan internasional. Salah satu konvensi internasional yaitu The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal (Konvensi Basel) membatasi perdagangan internasional limbah bahan berbahaya Beracun (B3) yang dianggap membahayakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, pertimbangan pengendalian lingkungan di KPB Batam akan lebih efektif apabila didorong oleh pertimbangan daya tarik investasi. Pengendalian lingkungan yang baik di KPB Batam menjadi daya tarik tersendiri bagi investor untuk menanamkan investasinya seiring dengan makin menguatnya pertimbangan lingkungan dalam sistem perdagangan internasional.

Peningkatan status keberlanjutan KPB Batam terkait dengan upaya-upaya perlindungan ekosistem kawasan tersebut. Peningkatan kebutuhan lahan di KPB Batam telah mengubah sebagian ekosistem hutan (lindung) menjadi areal perumahan, perkantoran, dan kawasan industri akibat meningkatnya kebutuhan lahan. Perubahan tutupan lahan hutan ini meningkatkan laju erosi dan aliran permukaan, sehingga tata hidrologis kawasan terganggu. Selain itu, banyaknya industri dan perumahan telah meningkatkan volume limbah yang menyebabkan terjadinya pencemaran air, udara, laut akibat limbah domestik dan industri. Limbah industri sebagian menghasilkan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang dapat mengancam kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, ekosistem yang terlindungi dengan baik selain memberikan manfaat jasa lingkungan yang optimal bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya, juga meningkatkan fungsi pengendalian lingkungan di kawasan tersebut.

Pertumbuhan ekonomi wilayah akan berjalan secara berkelanjutan apabila mampu berjalan sinergis dengan pengendalian lingkungan. Hal ini dikarenakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan terganggu atau berhenti apabila daya dukung dan daya tampung lingkungan terdegradasi. Dengan ditetapkannya Batam sebagai KPB, Octaveria (2003) memprediksi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut akan mencapai 8% dengan kontribusi pajak terhadap pemerintah pusat mencapai 1

126 trilyun rupiah, pendapatan per kapita penduduk rata-rata di atas Rp.15 juta/tahun, pertumbuhan investasi di atas 10%. Oleh karena itu, untuk menyangga pertumbuhan ekonomi wilayah berjalan secara berkesinambungan maka upaya pengendalian lingkungan di KPB Batam secara konsisten harus dilakukan.

Faktor konflik antara masyarakat dengan pengelola KPB Batam dapat mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam. Apabila terjadi konflik, maka upaya pengendalian lingkungan tidak akan efektif berjalan. Isu tentang tidak diperbolehkannya di dalam KPB ada aktifitas penduduk atau steril dari penduduk bisa menjadi konflik antara masyarakat dan pengelola KPB Batam. Konsep FTZ Batam berpenduduk dan menyeluruh menjadi ciri khas FTZ di Batam sama dengan FTZ di Langkawi (Malaysia) dan Subic Bay (Filipina) sebagai FTZ berpenduduk. Wilayah KPB Batam dianggap sebagai FTZ khas yang berpenduduk. Pembangunan Batam selain dibangun oleh aktifitas industri pengolahan yang sudah berjalan sejak tahun 1971, juga dipengaruhi oleh keberadaan masyarakat. Masyarakat berperan dalam mendukung berbagai kemudahan dalam proses produksi di kawasan bonded zone, seperti ketersediaan tenaga kerja, menyuplai berbagai jasa dan produk yang dibutuhkan industri, serta menciptakan suasana kehidupan kota yang layak.

Kehadiran masyarakat di KPB Batam sebelum FTZ ditetapkan oleh pemerintah menjadi polemik tersendiri dalam pengembangan FTZ Batam. Sampai tahun 2003 jumlah tenaga kerja yang mampu diserap di Batam adalah 175.000 orang di sektor formal (Octaveria, 2003). Memasuki pertengahan tahun 2003 masyarakat yang mendiami Pulau Batam kembali diusik karena keberadaaanya dalam kawasan industri yang secara de jure adalah bonded area, sehingga oleh sebagian pihak keberadaannya dianggap ilegal dan dianggap semestinya tidak terjadi. Selama ini dalam prakteknya investor yang berada dalam 18 kawasan industri telah bekerjasama dengan masyarakat setempat, baik dari kalangan buruh, pedagang, maupun pengusaha UKM (Usaha Kecil Menengah). Konflik keberadaan penduduk dengan KPB terkait dengan Konvensi Kyoto, dimana KPB berpenduduk dianggap melanggar konvensi tersebut. Kekhawatiran ini tidak beralasan karena tidak ada satu pasal pun dalam konvensi tersebut yang menyatakan bahwa suatu FTZ harus steril dari penduduk di dalamnya. Walaupun

127 wacana di dalam pemberian status FTZ di Indonesia seharusnya tidak boleh berpenduduk, tetapi kondisi Batam yang telah lama berpenghuni sebelum ditunjuk sebagai KPB merupakan ciri khas bagi daerah Batam.

Gambar 20. Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam

Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah sebagai berikut: pemerintah (0,376), pemerintah daerah (0,276), pelaku usaha (0,161), masyarakat (0,105), dan legislatif (0,085) (Gambar 20). Pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya telah menunjuk Kota Batam sebagai KPB yang merupakan kawasan ekonomi khusus. Sebagai kawasan nasional ekonomi khusus maka kebijakan pengaturan pembangunan wilayah kawasan, termasuk pengendalian lingkungannya dipengaruhi oleh pemerintah yang mengeluarkan kebijakan. Namun demikian, kekhasan Batam sebagai KPB berpenduduk dan berpemerintah kota (Pemkot Batam) menjadikan posisi Pemerintah Kota memiliki kewenangan pengendalian lingkungan yang cukup kuat di wilayah KPB Batam. Pemerintah Kota Batam setidaknya mengeluarkan dua Perda Kota Batam yang terkait langsung dengan pengendalian lingkungan di Batam, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam tertanggal 26 Juni 2001, dan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.

Pelaku usaha dan masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kewajiban dan hak dalam peningkatan status keberlanjutan KPB Batam. Jumlah

128 kedua kelompok ini yang dominan akan mempengaruhi aktifitas pengendalian lingkungan di KPB Batam. Kesadaran akan kepedulian lingkungan yang tinggi dari pelaku usaha dan masyarakat berdampak pada sistem pengendalian lingkungan yang kuat di KPB Batam. Legislatif merupakan kelompok aktor yang berperan dalam peningkatan status keberlanjutan KPB Batam, khususnya dalam pengawasan pelaksanaan perda terkait pengendalian lingkungan. Selain itu, kelompok legislatif dapat memainkan peranan penting dalam merumuskan kebijakan pengendalian lingkungan yang lebih baik.

Urutan prioritas tujuan dalam pengendalian lingkungan di KPB Batam adalah: perlindungan ekosistem KPB Batam (0,536), peningkatan daya tarik investasi di KPB Batam (0,301), dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (0,163) sebagaimana disajikan pada Gambar 21. Pengendalian lingkungan di KPB Batam diprioritaskan untuk : (a) melindungi ekosistem wilayah KPB Batam; (b) mendukung peningkatan daya tarik investasi di KPB Batam; dan (c) menyangga pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Ketiga prioritas tujuan peningkatan status keberlanjutan KPB Batam tersebut dirumuskan dalam kerangka pembangunan KPB Batam yang berkelanjutan. Dalam hal ini pengendalian lingkungan yang baik akan menciptakan perlindungan ekosistem yang mantap, menjamin keberlanjutan investasi, dan menyangga ekonomi wilayah.

Gambar 21. Urutan prioritas tujuan yang mempengaruhi pengendalian lingkungan di KPB Batam

129

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hasil analisis keberlanjutan wilayah Batam menunjukkan bahwa status tingkat keberlanjutan KPB Batam termasuk kategori buruk. Untuk meningkatkan status tingkat keberlanjutan KPB Batam ke tingkat yang lebih baik, diperlukan intervensi atau perlakuan terhadap atribut-atribut yang paling berpengaruh pada setiap dimensi, terutama dimensi lingkungan (atribut: ketersediaan sumberdaya air, keanekaragaman hayati, kejadian erosi tanah, dan upaya perlindungan lingkungan dari pencemaran) dan dimensi sosial (atribut: tingkat pendidikan relatif, kesehatan masyarakat, konflik penggunaan lahan, dan tingkat pertumbuhan penduduk).

2. Implementasi kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam belum berjalan efektif karena beberapa kendala yaitu:

a. Belum keluarnya keputusan walikota sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup.

b. Belum memadainya pengawasan terhadap jalannya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup.

c. Belum berjalannya dengan baik penegakan hukum dalam pengendalian lingkungan

d. Kurangnya sosialisasi kesadaran lingkungan dan sosialisasi Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup terutama terhadap masyarakat dan dunia usaha.

e. Keterbatasan jumlah sumberdaya manusia, terutama yang berkaitan dengan pengawasan pengendalian pencemaran lingkungan.

3. Pemahaman dan interaksi antar pemangku kepentingan (stakeholders)terhadap pentingnya pengendalian lingkungan adalah cukup baik, sehingga proses

130 perumusan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam dapat dilakukan dengan cukup baik.

4. Arahan kebijakan pengendalian lingkungan untuk meningkatkan status keberlanjutan KPB Batam adalah sebagai berikut :

a. Melakukan pengamanan dan perlindungan kawasan lindung di KPB Batam;

b. Melakukan perlindungan daerah resapan air di KPB Batam yang menjadi sumber air bagi masyarakat di KPB Batam;

c. Melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan reboisasi hutan yang kritis; d. Melakukan pemantauan dan pengendalian pencemaran, serta penegakan

hukum terhadap pelaku pencemaran;

e. Melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat;

f. Melakukan peningkatan kerjasama produksi antara industri kecil, menengah, dan besar dalam meningkatkan nilai kompetitif industri di KPB Batam;

g. Meningkatkan kemitraan bisnis antara investor asing dengan investor dalam negeri;

h. Meningkatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat;

i. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan; j. Menyelesaikan konflik agraria dan tata ruang di KPB Batam;

k. Menerapkan kebijakan keluarga berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di KPB Batam;

5. Arahan kebijakan pengendalian lingkungan di KPB Batam diprioritaskan untuk: (a) melindungi ekosistem wilayah KPB Batam; (b) mendukung peningkatan daya tarik investasi di KPB Batam; dan (c) menyangga pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Ketiga prioritas tujuan peningkatan status keberlanjutan KPB Batam tersebut dirumuskan dalam kerangka pembangunan KPB Batam yang berkelanjutan

131 5.2. Saran

Berkaitan dengan kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa saran yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut :

1. Untuk peningkatan status keberlanjutan KPB Batam diperlukan prioritas pembangunan terhadap atribut-atribut sensitif dari ketiga dimensi keberlanjutan (lingkungan, ekonomi dan sosial).

2. Terkait dengan posisi Batam sebagai KPB yang bertaraf internasional, maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan khusus tentang pengendalian lingkungan KPB Batam yang secara eksplisit mengintegrasikan lingkungan ke dalam kebijakan pengembangan KPB Batam. Untuk mengoptimalkan koordinasi pengendalian lingkungan hidup di KPB Batam, diperlukan langkah-langkah yang berkaitan dengan upaya untuk : (a) memperkuat komitmen di antara para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengendalian lingkungan, (b) melibatkan stakeholders dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengendalian lingkungan, serta (c) melibatkan stakeholders dalam pengawasan dan koordinasi pengendalian lingkungan.

3. Pelaksanaan kebijakan yang bersifat Command and Control perlu ditegakkan dengan:

a. Melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang mengatur pengendalian lingkungan KPB Batam.

b. Melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pengendalian lingkungan di Batam

c. Mewajibkan semua kegiatan ekonomi di setiap unit perusahaan untuk membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) tentang pengendalian lingkungan di lingkungan/unit usaha masing-masing dan melaporkan hasilnya secara konsisten dan transparan kepada instansi yang berwenang memantau kualitas lingkungan di Batam.

133

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, I. 2001. Menghalalkan disinsentif demi pertumbuhan ekonomi. Jurnal Usahawan. 5: 52-55.

Abidin, S.Z. 2002. Kebijakan publik. Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. Alavi, J. and H. Thompson. 1988. Toward a theory of foreign trade zone. The

International Trade Journal III (2) : 203-216.

Alder, J., T.J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner, and B. Ferris. 2004. How Good is Good?: A rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the north atlantic sea around us. Methodology Review.

Amborowati, A. 2006. Sistem pendukung keputusan pemilihan karyawan berprestasi berdasarkan kinerja: studi kasus pada STMIK AMIKOM Yogyakarta. Laporan Penelitian STMIK AMIKOM Yogyakarta. Yogyakarta

Antweiler, W., B.R.Copeland and M.S. Taylor. 2001. Is free trade good for environment? The American Economic Review. 91 (4) : 878-908.

Apak, S. 2003. International trade, pollution, and environmental quality in Balkan countries. Journal of Environmental Protection and Ecology. 4 (4) : 900-905.

Atkisson A. 1996. Developing indicators of sustainable community: lessons from sustainable Seattle. Environment Impact Assessment Review. 16: 337– 350.

Azis, I.J. 2008. Dunia tidak siap dengan perdagangan bebas. 2008]

Badan Pengendalian Dampak lingkungan (Bapedalda) kota Batam. 2006. Pemantauan lingkungan hidup kota Batam. Bapedalda Kota Batam. Batam.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan [Bapedalda] kota Batam. 2007. Status lingkungan hidup kota Batam tahun 2007. Bapedalda Kota Batam. Batam. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam. 2004. Laporan perekonomian Batam.

BPS Kota Batam. Batam.

Batam, 2008. Indikator ekonomi Batam Accesed at : 9-5-2008.

Batam, 2009. Indikator ekonomi Batam. Http : //www.batam.go.id//. Accessed at 15-3-2009.

134 Buckinghann, D.E, S. Tangerman and P. Farmese. 2001. Through the looking

glass: an examination of governance issues in the WTO trough the mirror of WTO institution and jurisprudence affecting trade in livestock products. IATRC Symposium on Trade in Livestock. January 19-20, 2001. Auckland. New Zealand.

Budiharsono, S. 2007. Manual penentuan status dan faktor pengungkit PEL. Direktorat Perekonomian Daerah BAPPENAS, Jakarta. 50 hal.

Butler, A. 1992. Environmental protection and free trade zone : are they mutually exclusive ? Federal Reserve Bank of St.Louis Review. 74: 3-16.

Carpentier, C.L. 2009. Trade and environment in North America. Institute for research on public policy (IRPP). Montreal.

[CEC] Commision for Environmental Cooperation of North America. 2002. Free trade and environment: the pictures becomes clearer. Commision for Environmental Cooperation of North America. Montreal.

Cole, M.A., and P.G.Frediksson. 2005. Institutionalized pollution havens?. Working Paper of Department of Economic University of Birmingham, Birmingham.

Cole, M.A., R.J.R.Elliott, and P.G..Frediksson. 2006. Endogenous pollution havens : Does FDI influence environmental regulations ? Scandinavian Journal of Economics. 108(1) : 157-178.

Copeland, R., and M.S. Taylor. 2004. Trade, growth, and the environment. Journal of Economic Literature. 42(1) : 7-71.

Cornell, D.W. dan G.J., Miller. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran, Yanti K. (Penerjemah). Terjemahan dari Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. Jakarta.

Cubbage, F.W., J.O. Laughlinn, and C.S. Bullock. 1993. Forest resource policy. John Wiley & Sons. New York.

Darmono. 2006. Lingkungan hidup dan pencemaran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2008. Strategi Pelaksanaan Tugas DJBC pada Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jakarta.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 2002. Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : KEP-03/BC/2002 tanggal 15 Januari 2002 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : KEP-63/BC/1997 tanggal 25 Juli 1997 tentang Tata Cara Pendirian dan Tatalaksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Berikat.

Dubois, O. 1998. Capacity to manage role changes in forestry. International Institute for Environment and Development (IIED). London.

135 Dunn, W. N. 1999. Pengantar analisis kebijakan publik. Edisi kedua. Terjemahan.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Frankel, J.A., and A.K. Rose. 2002. Is trade good or bad for the environment. Working Paper of Kennedy School of Governance, Harvard University. Cambridge, USA.

Gallagher, K.P. 2004. Mexico, NAFTA, and beyond. Http:

Gallagher, K.P. and H. Blanco. 2003. Sustainability assessment. Http://www.americapolicy.org/.Accessed at 15-3-2009.

Gang, F. 1999. Reform and opening in China : “sequencing” or “parallel partial changing”. National Economic Research Institute, China Reform Foundation. Beijing.

Gilpin, R dan J. M. Gilpin. 2000. Tantangan Kapitalisme Global, Terjemahan: The Challenge on Global Capitalism. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hardjasoemantri, K. 2002. Hukum tata lingkungan, Edisi Ketujuh, Universitas

Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Huang S. L., J. H. Wong and T. Ch. Chen. 1998. A framework of indicator system for measuring Taipei’s urban sustainability. Landscape and Urban Planning. 42: 15–27.

[IDEP] Indonesian Development of Education for Permaculture. 2002. Transgenik: apakah itu?. IDEP (Indonesian Development of Education for Permaculture). Ubud, Bali.

[IIED] International Institute for Environment and Development. 2005.The four Rs. International Institute for Environment and Development (IIED). London.

Katz, D. 2000. The Euro-Mediterannean Free Trade Zone and The Environment, Issues and Evidence : Lessons from other trade agreement. David Katz, (Editor) : Environmental impacts of Euro-Mediterannean Free Trade Zone. Friend of the Earth Middle East. Amman.

Kavanagh, P and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft excel software for rapfish: a technique for the rapid appraisal of fisheries status. Fisheries Centre Research Reports Volume 12 Number 2. The Fisheries Centre, University of British Columbia, Canada. 75p.

Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 2008 a. Peraturan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tanjung Pinang.

136 Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 2008 b. Peraturan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor: Kpts/6/DK/IX/2008 tentang Penetapan Personel Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tanjung Pinang.

Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuahan Bebas Batam. 2008 c. Peraturan Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor: Kpts/07/Dk/IX/2008 tentang Pembentukan Tim Konsultasi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Tanjung Pinang.

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan. 1999. Kajian hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia menuju pengembangan desentralisasi dan peningkatan peranserta masyarakat, Cetakan pertama, Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Liang, F.H. 2006. Does foreign investment harm the host country’s environment? evidence from China. Working Paper of Haas School of Bussiness, UC, Berkeley. California.

Linde-Rahr, L. 2005. Environmental policy and location of foreign investment in China. China Center for Economic Research at Peking University.Peking. Makmun. 2004. Pengaruh ketersediaan tenaga kerja dan pembentukan nilai

tambah terhadap investasi di sektor industri : Studi kasus di Kota Batam. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 8 (1): 19-31.

Manik, K.E.S. 2007. Pengelolaan lingkungan hidup. Edisi Revisi. Penerbit Djambatan, Jakarta.

McMahon S. K. 2002. The development of quality of life indicators – a case study from the City of Bristol, UK. Ecological Indicators. 2: 177–185.

Menteri Keuangan RI. 1997a. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 tentang Kawasan Berikat.

Menteri Keuangan RI. 1997b. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 547/KMK.05/1997 tanggal 3 November 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat.

Menteri Keuangan RI. 1998. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 292/KMK.01/1998 tanggal 20 Mei 1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 292/KMK.01/1998 tanggal 3 November 1997.

Modjo, M.I. http://mimodjo.

blogspot.com/2003_09_01_archive.html Accesed at [19 November 2008] Mongelluzo, B. 2003. Riding the benefits of FTZs. The Journal of Commerce.

137 Muhadjir, N. 2000. Metodologi penelitian kualitatif. Edisi IV. Penerbit Rake

Sarasin. Yogyakarta

Muhsin, A. 2007. Perdagangan internasional. Accessed at: http://asepmuhsin.wordpress.com/ 2007/08/ 19 Perdagangan-dan-kerjasama-internasional/ [19 November 2008]

Muliono, H. 2001. Merajut Batam masa depan: menyongsong free trade zone. Penerbit PT Pustaka LPES Indonesia. Jakarta.

Notodarmodjo, S. 2005. Pencemaran tanah dan air tanah. Penerbit ITB, Bandung. Octaveria, D. 2003. Tinjauan suatu model ftx di Indonesia: free trade zone khas

Batam, berpenduduk dan berpemerintah kota. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Pemerintah Kota Batam. 2001. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 5 Tahun 2001 tentang Kebersihan Kota Batam.

Pemerintah Kota Batam. 2003. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.

Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.

Pemerintah Republik Indonesia. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Pemerintah Republik Indonesia. 2008a. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Pemerintah Republik Indonesia. 2008b. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Pitcher, T.J. 1999. Rapfish, a rapid appraisal technique for fisheries, and its application to the code of conduct for responsible fisheries. FAO Fisheries Circular No. FIRM/C: No. 947. 47p.

138 Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, 1999. Lingkungan dan pembangunan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Rachman, A. 2000. Masyarakat kecil dalam era global. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.

Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan sumberdaya alam dan otonomi daerah : perspektif kebijakan dan valuasi ekonomi. Penerbit Alqa Print. Jatinangor, Sumedang.

Saaty, T.L. 2001. Decision making for leaders. Fourth Edition, University of Pittsburgh, RWS Publication, Pittsburgh.

Samuelson, R. 2007. Goodbye to Global Free Trade. Newsweek Magazine: Edition 31 December-7 January 2008. New York.

Sarkar, S. 2009. A study of the environmental issues-associated with Dominican Republic Central American Free trade zone (DR-CAFTA). International Bussiness and Economic Research Journal. 8 (1) : 113-118.