• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUANG LINGKUP PENELITIAN

II. Asal inang rumput dan pad

(Fenotipe 011)

A

(Fenotipe 111)

C (Fenotipe 110) E

(Fenotipe 101)

B

(Fenotipe 001)

D

(Fenotipe 110)

E

dan kecepatan konidiasi (Sweigard et al. 1992b), tetapi gen cut2 yang diperlukan untuk menginfeksi tanaman (Skamnioti & Gurr 2007). Sebanyak delapan gen diperkirakan menyandikan enzim kutinase Pyricularia dari padi (Dean et al. 2005). PWL2 merupakan salah satu gen avirulen Pyricularia 70-15 dari padi (Dean et al. 2005). Kehadiran gen PWL2 pada Pyricularia dari padi mencegah cendawan ini menginfeksi inang alternatifnya, yaitu Eragrostis curvula, dan tetap patogen terhadap padi dan barley.

Keragaman fenotipe Cut1 dan PWL2 mungkin disebabkan oleh mutasi, yaitu dengan keberadaan aktivitas semacam elemen transposon. Mutasi dan rekombinasi merupakan sumber utama bagi cendawan patogen tumbuhan dalam menghasilkan variasi genetik, seperti halnya pada kebanyakan organisme (Burdon & Silk 1997). Begitu juga penanda Erg2, hanya satu isolat yang tidak menunjukkan hasil amplifikasinya. Sampai saat ini belum diperoleh informasi penyebab mutasi dari gen erg2. Peluang penanda SCAR (Erg2) yang dikembangkan oleh Soubabere et al. (2001) adalah null. Penanda tersebut merupakan bagian dari gen sterol isomerase, yaitu enzim yang mengkatalisis isomerasi posisi ikatan rangkap Δ8 ke posisi Δ7 pada senyawa perantara (intermediate) biosintesis ergosterol. Mutan erg2 tumbuh lebih lambat dan menunjukkan percabangan miselium abnormal daripada transforman dari tipe liar yang mengandung gen erg2 fungsional. Selain itu, mutan erg2 yang tidak mengandung gen ergosterol fungsional mengalami akumulasi Δ8 (Keon et al. 1994). Isolat yang tidak menunjukkan hasil amplifikasi penanda Erg2 mungkin tidak sensitif terhadap fungisida morpholine, jenis fungisida yang menghambat biosintesis kelompok sterol pada membran (www.frac.info 2008).

Fenotipe SCAR Pyricularia pada D. ciliaris dari rumah kaca maupun Pyricularia pada padi tidak menunjukkan variasi, yaitu hanya tipe A. Hal sebaliknya ditunjukkan oleh Pyricularia dari rumput selain D. ciliaris yang tumbuh di rumah kaca. Hal ini mengindikasikan bahwa sampel alami pada rumput liar memiliki keragaman penanda SCAR yang relatif tinggi, kemudian mengalami perubahan (mikroevolusi) ketika beradaptasi dengan padi atau dengan inang yang relatif lebih homogen.Homogenisitas penanda SCAR Pyricularia pada D. ciliaris di rumah kaca disebabkan oleh infeksi konidium yang homogen, yaitu sumber

inokulumnya berupa Pyricularia yang sedang dipergunakan pada penelitian (o173 yang memiliki fenotipe A). Sedangkan homogenisitas fenotipe SCAR pada sampel Pyricularia dari padi di lapangan mungkin disebabkan oleh jumlah isolat yang dianalisis terlalu sedikit, sehingga tidak dapat menggambarkan keragaman yang sebenarnya. Populasi Pyricularia dari daerah endemik blas di Sukabumi memiliki keragaman haplotipe penanda SCAR Cut1, PWL2, dan Erg2 (Reflinur et al. 2005). Diantara semua penyebab perubahan genetik, penelitian tentang pengaruh pergantian inang pada perubahan genetik Pyricularia patogen perlu dilakukan (dijelaskan pada bab IV).

Ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi sesuai dengan hasil design primer yang dikonstruksi berdasarkan sekuen DNA gen magB dan magC dari Pyricularia dari padi. Kedua gen tersebut merupakan bagian gen penyandi subunit α protein G. Gen subunit α dari protein G mengontrol pertumbuhan, perkembangan, patogenisitas, dan diperlukan untuk perkawinan Pyricularia dari padi (Liu & Dean 1997). Hanya satu dari 41 isolat dari rumput yang tidak menunjukkan hasil amplifikasi penanda magC, sehingga magB dan magC tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keragaman Pyricularia ataupun membedakan isolat dari rumput dan padi. Menurut Borromeo et al. (1993) dan Hirata et al. (2007) bahwa Pyricularia dari rumput dan padi adalah monofiletik. Namun Couch dan Kohn (2002) menemukan spesiasi pada Pyricularia dari rumput dan padi serta serelia lainnya berdasarkan bagian dari gen actin, ß-tubulin, dan calmodulin. Penanda magB dan magC yang dianalisis pada penelitian ini mungkin tidak terlibat dalam proses spesiasi Pyricularia.

Sampel Pyricularia dari padi tidak menyebar, melainkan mengelompok bersama sampel berfenotipe SCAR A dari Pyricularia rumput, kecuali satu isolat, yaitu oir64.001.K dari padi yang mengelompok dengan fenotipe C dari Pyricularia dari rumput. Hal ini mungkin karena jumlah sampel isolat dari padi yang sedikit, sehingga frekuensi kehadiran penanda SCAR Cut1 sangat rendah. Sebaliknya, penelitian Reflinur et al. (2005) menunjukkan frekuensi penanda Cut1 yang tinggi pada Pyricularia dari padi, baik di Sukabumi, Lampung, ataupun daerah lainnya. Selain itu Reflinur et al. (2005) juga melaporkan bahwa Pyricularia dari padi tersebut memiliki frekuensi ketidakhadiran Erg2 yang relatif

besar. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, selain akibat jumlah sampel isolat dari padi yang terlalu sedikit, mungkin juga akibat keragaman populasi cendawan blas yang bersifat dinamis, seperti halnya dilaporkan oleh Prabhu et al. (2002) ataupun Kumar et al. (1999).

Secara umum fenotipe SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2) isolat pada satu bercak blas dari rumput terdiri atas dua macam fenotipe. Sebaliknya pada bercak blas dari inang padi, hanya tampak satu fenotipe SCAR. Perbedaan keragaman tersebut mungkin sebagai indikasi bahwa Pyricularia patogen rumput memiliki keragaman genetik yang lebih tinggi daripada isolat yang berasal dari padi. Variasi fenotipe SCAR dalam satu bercak dapat sebagai hasil perubahan dalam beradaptasi ketika patogen mengkolonisasi inang barunya ataupun penginfeksinya lebih dari satu sumber inokulum dengan fenotipe SCAR berbeda. Kemungkinan lainnya adalah jumlah spesies rumput yang tumbuh disekitar padi lebih banyak daripada jumlah varietas padi yang ditanam di satu area pada satu musim tanam karena berbagai spesies rumput berada sepanjang waktu di suatu area pertanaman padi. Sedangkan varietas padi yang ditanam berubah-ubah pada musim tanam. Oleh karena itu patogen pada rumput akan lebih heterogen dibandingkan dengan patogen pada padi. Heterogenisitas fenotipe pada rumput mungkin juga dapat diakibatkan oleh Pyricularia dari satu spesies rumput dapat menginfeksi lebih dari satu spesies inang seperti dilaporkan oleh Mackill dan Bonman (1986), yaitu cendawan blas dari rumput Eleusine indica mampu menginfeksi rumput Eleusine coracana dan Leptochloa chinensis. Sebaliknya, Pyricularia dari 14 spesies rumput berbeda tidak mampu menginfeksi kultivar padi diferensial Jepang. Tidak ada aliran genetik patogen blas dari rumput ke padi, tetapi terjadi aliran genetik patogen di selain padi (Kato et al. (2000). Kemungkinan aliran genetik cendawan blas ke rumput lebih tinggi daripada ke padi.

Simpulan

Ukuran penanda SCAR (Cut1, PWL2, dan Erg2), dan dua penanda lainnya berupa magB dan magC pada Pyricularia dari rumput dan padi ialah serupa. Ukuran DNA tersebut masing-masing ± 1700 pb, 900 pb, dan 1400 pb untuk penanda Cut1, PWL2, dan Erg2, serta ± 1330 pb dan 1550 bp untuk penanda magB dan magC.

Sampel Pyricularia dari empat spesies rumput, yaitu C. dactylon,Eleusine indica, D. ciliaris, dan P. repens memiliki lima fenotipe penanda SCAR. Kelima fenotipe ini menunjukkan frekuensi yang berbeda, yaitu fenotipe SCAR A sebesar 19.5%, 41.5% berfenotipe B, 31.7% berfenotipe C, 2.5% berfenotipe D, dan 4.9% berfenotipe E. Frekuensi gen penanda SCAR juga bervariasi. Sebanyak 78.1% Pyricularia dari rumput memiliki Cut1, hanya 54.8% yang memiliki PWL2 dan hampir keseluruhan (95.1%) memiliki Erg2. Isolat dari satu bercak blas rumput kebanyakan terdiri atas dua fenotipe SCAR dengan variasi utama pada Cut1 dan PWL2. Penanda magB dan magC tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keragaman Pyricularia dari rumput. Hanya satu dari 41 isolat Pyricularia dari rumput yang tidak menunjukkan hasil amplifikasi penanda magC.

BAB IV

KERAGAMAN TURUNAN HASIL INFEKSI SILANG Pyricularia

ASAL Digitaria ciliaris Abstrak

Variasi genetik dapat muncul dari proses adaptasi mikrob terhadap lingkungannya. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pergantian inang terhadap keragaman genetik Pyricularia d4 yang diperoleh dari rumput Digitaria ciliaris. Riwayat genetik d4 yang mengalami pergantian inang ditelusuri melalui lima penanda, yaitu SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), AFLP, rep-Pot2, ras fisiologi, dan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Hasil uji infeksi silang menunjukkan d4 hanya mampu berganti inang ke padi var. Kencana bali, Cisokan, dan rumput Panicum repens. Perubahan d4 ketika pada Kencana bali dan Cisokan meliputi fenotipe SCAR berupa Cut1 dan PWL2, AFLP, rep-Pot2, dan ras fisiologinya, tetapi sekuen ITSnya tidak berubah. Sebaliknya, d4 pada P. repens selain perubahan fenotipe AFLP dan rep-Pot2, juga terjadi mutasi transisi dua nukleotida ITS. Tingkat perubahan fenotipe AFLP d4 pada P. repens lebih besar dan perubahan tipe fenotipe rep-Pot2 d4 juga berbeda daripada d4 pada Kencana bali dan Cisokan. Tipe fenotipe rep-Pot2 d4 pada Kencana bali maupun Cisokan adalah sama. Namun d4 pada Kencana bali memiliki tingkat perubahan fenotipe AFLP lebih tinggi daripada di Cisokan. Perubahan ras fisiologi d4 pada Kencana bali (023) berbeda dengan ketika d4 pada Cisokan, yaitu dapat lebih tinggi (373), tetapi dapat juga tidak mengalami perubahan (000), masih seperti ras fisiologi d4 (inokulumnya). Penanda turunan d4 dari padi tidak berubah ketika diinfeksikan kembali pada varietas padi yang sama. Namun, turunan d4 dari padi Cisokan yang diinfeksikan ke Kencana bali lebih besar perubahan fenotipe AFLPnya. Inang yang rentan penyakit blas menginduksi kemunculan keragaman genetik lebih besar. Pergantian genus inang d4 menghasilkan peristiwa mikroevolusi.

Kata kunci: Pyricularia, Digitaria ciliaris, padi, Panicum repens, SCAR, AFLP, Pot2, ras fisiologi, ITS.

Pendahuluan

Penularan penyakit ke inang berbeda telah dilaporkan pada banyak cendawan patogen. Perpindahan inang merupakan salah satu strategi hidup cendawan patogen untuk mempertahankan propagulnya. Pyricularia patogen padi diduga dapat memiliki inang berupa rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi (Couch et al. 2005), tetapi tidak ada indikasi perpindahan berikutnya dari rumput ke padi kembali (Ebbole 2007). Hal serupa dinyatakan oleh Kato et al. (2000) dan Rathour et al. (2006), tidak ada aliran genetik antara cendawan blas pada padi dan non-padi, termasuk D. sanguinalis. Namun Sirithunya et al. (2008) berpendapat bahwa cendawan penyebab penyakit blas mungkin memiliki peluang migrasi antara inang yang berupa gulma dan padi.

Anggota serealia dan gulma padi berupa rumput dapat menjadi inang Pyricularia patogen padi (Ou, 1985). Pyricularia yang patogen ke rumput tidak semuanya patogen ke padi (Mackill & Bonman 1986, Singh & Singh 1988, DBPT 1992) ataupun ke Graminae lain (Tredway et al. 2005). Isolat dari rumput Echinochloa colona, Leersia hexandra dan Rottboellia exaltata dapat menghasilkan gejala penyakit blas pada padi yang rentan, begitu juga sebaliknya (Mackill & Bonman 1986). Di Filipina, subpopulasi cendawan blas yang menginfeksi padi di sawah, berbeda secara genetik dengan subpopulasi yang menginfeksi gulma yang tumbuh berdekatan (Borromeo et al. 1993). Studi molekuler tersebut tidak melibatkan spesimen cendawan penyebab blas dari rumput Indonesia, khususnya rumput D. ciliaris yang tumbuh di sekitar tanaman padi yang sedang terserang penyakit blas dari Jawa Barat. Pergantian inang mungkin dapat menyebabkan keragaman Pyricularia, dan akan menghasilkan populasi yang memiliki keragaman genetik.

Hal yang menarik tentang satu isolat Pyricularia patogen padi yang diinfeksikan ke padi yang sesuai, menghasilkan dua isolat turunan yang memiliki kariotipe berbeda dari isolat asalnya, meskipun patotipe (ras fisiologi) dan pola fragmen penanda MGR tetap. Isolat awal sebelum diinfeksikan ke padi mengalami subkultur berulang-ulang (Talbot et al. 1993). Fenotipe dan genotipe Pyricularia asal padi bersifat stabil setelah mengalami 10 kali subkultur secara serial, namun beberapa isolat telah kehilangan potongan DNA sebesar 8 kb karena subkultur secara serial ini. Fragmen yang hilang tersebut adalah telomer helikase. Selain itu, satu isolat yang berasal dari basal konidium dari serial subkultur ke-8 memperlihatkan polimorfisme pada pola fragmen DNA hasil AFLP. Fragmen DNA polimorf tersebut adalah elemen transposon LTR berukuran 38 pb yang banyak tersebar dalam genom Pyricularia asal padi. Sebaliknya, isolat yang diinfeksikan 10 kali secara serial ke spesies inang yang sama juga memiliki fenotipe dan genotipe stabil (Park et al. 2010).

Jenis rumput Echinochloa crusgalli, Leersia hexandra, Panicum repens, dan Panicum maximum yang tumbuh disekitar tanaman padi dilaporkan merupakan inang Pyricularia di Indonesia (DBPT Deptan 1992). Pada tahun 2005, bercak seperti penyakit blas ditemukan pada Digitaria ciliaris, Digitaria

sp., dan Ottochloa nodosa pada ladang percobaan padi yang berlokasi di Jasinga Bogor. Pada waktu ditemukan bercak blas pada rumput, padi percobaan sedang terserang penyakit blas secara alami. Bercak seperti penyakit blas juga ditemukan pada rumput Cynodon dactylon dan Panicum repens pada pematang sawah di Sukabumi. Sawah di Sukabumi ini dilaporkan sebagai daerah endemik penyakit blas (Bustaman & Mahrup 2004, Sobrizal et al. 2010).

Berbagai penanda molekuler telah dikembangkan untuk menganalisis struktur genetik dan dinamika populasi Pyricularia patogen padi, salah satu diantaranya sequence characterized amplified region marker (SCAR). SCAR dihasilkan melalui proses PCR, sehingga hasilnya lebih reproducible daripada metode DNA fingerprinting. Sebanyak 22 primer SCAR dapat digunakan untuk memonitor rekombinasi dan migrasi pada populasi Pyricularia asal padi (Soubabere et al. 2001). Sebanyak tiga primer dari penanda SCAR, yaitu Cut1, PWL2, dan Erg2 mampu menghasilkan keragaman haplotipe Pyricularia dari padi yang diperoleh dari beberapa daerah endemik blas (Reflinur et al. 2005).

Selain SCAR, amplified fragment length polymorphism (AFLP) merupakan metode yang sesuai untuk mempelajari genetika populasi dan pemuliaan tanaman, tidak digunakan untuk analisis filogenetik pada tingkat di atas spesies (Robinson & Harris 1999). AFLP juga memiliki potensi sebagai sumber informasi filogenetik sistematika molekuler pada takson yang berkerabat sangat dekat (infra spesies), sangat baik untuk mempelajari hubungan filogenetik ketika sekuen internal transcribed spacer dan intergenic spacer (ITS) rDNA nukleus bersifat terkonservasi (Koopman 2005). AFLP pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis filogenetik Pyricularia dari rumput yang diinfeksikan ke inang pengganti.

Daerah ITS rDNA pada nukleus merupakan unit berulang yang terlibat paling cepat berubah dan dapat bervariasi diantara spesies dalam genus atau diantara populasi (White et al. 1990). Perbedaan satu nukleotida pada daerah ITS2 diantara spesies Aspergillusterreus, Aspergillus niger (Hinrikson et al. 2005), dan perbedaan beberapa nukleotida pada ITS1 spesies khamir (Chen et al. 2001, Korabecná et al. 2003) telah dilaporkan.

Pola fragmen DNA hasil amplifikasi bagian elemen repetitive Pot2 (rep- Pot2) dapat digunakan untuk menganalisis keragaman Pyricularia asal padi (Filippi et al. 2002). Analisis populasi Pyricularia asal padi melalui teknik rep- Pot2 pada kondisi waktu ekstensi PCR yang panjang (10 menit), menunjukkan hubungan yang dekat dengan pengelompokan isolat berdasarkan RFLP MGR586. Selain itu rep-Pot2 merupakan penanda yang efisien untuk memonitor dinamika populasi patogen blas. Pada populasi skala besar, rep-Pot2 mendukung untuk mengetahui pengaruh genotipe inang pada evolusi patogen (George et al. 1998). MGR586 telah banyak digunakan sebagai probe pada analisis populasi Pyricularia asal padi (Hamer et al. 1989, Levy et al. 1991, Borromeo et al. 1993).

Teknik molekuler banyak dimanfaatkan para peneliti untuk mengetahui perubahan dalam skala sangat kecil. Mikroevolusi ras pada cendawan patogen dihipotesiskan terjadi dalam model yang bertahap, yaitu klon mengalami mutasi tingkat virulen yang berakumulasi secara beturut-turut, sehingga menghasilkan ras yang mampu menanggulangi beberapa gen resisten pada tanaman inang, atau beberapa kultivar resisten (Jimenez-Gasco et al. 2004). Contoh mikroevolusi ditemukan pada empat genotipe 29 isolat Candida dubliniensis melalui sekuen ITS gen rRNA secara in vitro dan in vivo (Gee et al. 2002). Contoh lainnya, keberadaan variasi minor yang berupa elemen repetitive pada beberapa isolat dari populasi C. albicans yang dideteksi pada fingerprint melalui Southern blot (Lockhart et al. 1995). Selain itu, fingerprint DNA yang dikombinasikan dengan sekuen DNA repetitive dapat menunjukkan pola bertahap yang sederhana dari mikroevolusi ras Fusariumoxysporum f. sp. ciceris.

Pyricularia penyebab blas padi memiliki keragaman ras fisiologi tinggi. Jumlah ras fisiologi meningkat di beberapa negara (Ou 1980). Banyak varietas baru yang resisten terhadap penyakit blas hanya bertahan selama beberapa tahun saja, menjadi rentan terhadap strain Pyricularia dengan virulen baru. Sejumlah ras berada di lapangan sebagai hasil perubahan terus menerus dalam patogenisitas dan jumlah konidium yang sangat banyak (Ou 1980, Namai 2011). Sebaliknya frekuensi ras fisiologi cendawan blas pada padi relatif stabil di Korea dan Filipina. Resistensi padi secara kuantitatif terhadap penyakit blas bukan akibat ketidakstabilan cendawan patogen yang ekstrim (Bonman et al. 1987).

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pergantian inang terhadap keragaman genetik Pyricularia d4 asal rumput Digitaria ciliaris. Riwayat genetik isolat cendawan yang mengalami pergantian inang akan ditelusuri melalui lima penanda, yaitu SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), AFLP, rep-Pot2, ras fisiologi, dan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA. Pada penelitian ini diharapkan mendapatkan pengetahuan pengaruh pergantian genus inang Pyricularia. Informasi yang diperoleh akan memperkaya pengetahuan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan struktur genetik Pyricularia, dan juga dapat digunakan sebagai rekomendasi managemen penyakit blas di Indonesia.

Bahan dan Metode

Tempat. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Cendawan dan Biorin di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB.

Kultur Cendawan. Semua isolat yang dianalisis merupakan hasil isolasi konidium tunggal dari penelitian sebelumnya (Bab 3), terdiri atas: (i) Pyricularia d2, d4, d10, d15, dan d19 yang diperoleh dari satu bercak blas pada daun rumput D. ciliaris. Rumput tersebut tumbuh di sekitar percobaan tanaman padi yang terserang penyakit blas secara alami pada ladang di Jasinga, Bogor pada tahun 2005, (ii) Isolat ok3, ok6, dan ok10 diperoleh dari satu bercak pada daun padi var. Kencana bali, diambil dari lokasi dan waktu yang sama dengan bercak blas pada rumput D. ciliaris (Jasinga, Bogor), (iii) isolat kontrol berupa Pyricularia ras 173 (o173) yang diperoleh dari padi var. Ciherang yang tumbuh di Lampung, koleksi Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Bogor.

Tanaman Uji Infeksi Silang. Jenis tanaman yang akan digunakan untuk uji pergantian inang meliputi tiga benih padi diferensial Indonesia, yaitu var. Kencana Bali, Cisokan, dan IR64 yang berturut-turut bersifat rentan, moderat, dan resisten terhadap penyakit blas ras 173 yang diinokulasi melalui injeksi (Kurnianingsih 2008), rumput-rumput sehat yang berupa Panicum repens dan Cynodon dactylon (diperoleh dari daerah endemik blas, sawah di Sukabumi), Digitaria sp. dan Otthochloa nodosa dari ladang Jasinga Bogor (lokasi pengambilan bercak blas pada rumput D. ciliaris yang isolatnya dipakai pada penelitian ini).

Metode yang digunakan untuk mendapatkan isolat hasil infeksi silang Pyricularia d4 (turunan hasil pergantian inang Pyricularia d4) meliputi pembuatan inokulum, mempersiapkan tanaman inang uji, inokulasi terhadap serangkaian tanaman inang uji, dan dilanjutkan isolasi konidium tunggal hasil infeksi silang, isolasi DNA genom, dan karakterisasi turunan d4 dari hasil pergantian inang.

Produksi Inokulum. Potongan miselium Pyricularia d4 diinokulasikan pada medium oatmeal (30 g oatmeal L-1, 20 g agar-agar L-1, 5 g sukrosa L-1, modifikasi Tsurushima et al. 2005), dan diinkubasi selama 7-8 hari pada suhu ruang, kemudian miselium aerial dihilangkan secara aseptik menggunakan bantuan kaca objek dan akuades steril. Setelah itu, kultur ditutup plastik transparan dan diberi lubang untuk aerasi serta disinari n-UV terus menerus selama kurang lebih enam hari untuk menginduksi pembentukan konidium. Selanjutnya, sebanyak 1-3 mL air steril yang mengandung 0.025% (v/v) Tween 20 disiramkan pada permukaan koloni cendawan. Permukaan koloni cendawan diusap-usap menggunakan bantuan kaca objek steril untuk melepaskan konidium dari konidiofor. Konidium dari jenis isolat yang sama dipanen dan dikumpulkan hingga diperoleh suspensi 104 - 105 konidium mL-1 (Chao & Ellingboe 1997).

Uji Infeksi melalui Injeksi. Untuk mendapatkan turunan modifikasi Pyricularia d4 yang mengalami pergantian inang, dilakukan dua kali uji infeksi. Tahap ke-1, sebanyak 1 mL suspensi konidium (104-105 konidium mL-1) Pyricularia d4 disuntikkan menggunakan syringe ke bagian pelepah daun keempat atau kelima tanaman uji. Metode infeksi pada penelitian ini merupakan modifikasi infeksi Punch (Ono et al. 2001). Tanaman uji terdiri atas tiga varietas padi dan empat spesies rumput berumur 16 hari setelah tanam. Tanaman uji yang akan diinokulasi ditanam pada pot berisi campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Tanah yang digunakan telah disterilkan terlebih dahulu. Sebagai kontrol negatif, tanaman uji diinokulasi akuades dengan metode yang sama. Semua tanaman yang telah diinokulasi diinkubasi pada kondisi gelap dan sangat lembap selama 2x24 jam. Ruang yang digunakan untuk menginkubasi tanaman tersebut adalah ruang kecil dengan air mengalir terus menerus untuk membasahi karung goni sebagai alas pot berisi tanaman dan membasahi dinding

ruangan. Dinding ruangan berupa plastik berwarna hitam. Selanjutnya, tanaman dipindahkan ke ruang terang pada suhu 25 °C-30 °C dan kelembapan 70-80% (Silue et al. 1992). Pengamatan kemampuan infeksi terhadap inang berupa kemunculan bercak, dilakukan setiap hari yang dimulai pada hari ke-4 sampai ke- 9 setelah inokulasi. Kemampuan infeksi silang ditentukan secara kualitatif (Tanabe et al. 2006) melalui modifikasi kriteria infeksi. Infeksi dinyatakan positif bila inokulasi menghasilkan bercak blas pada daun dan bercak tersebut bersporulasi ketika dilembapkan semalam dalam cawan petri steril, bercak dicuci dahulu pada air mengalir sebelum dilembapkan. Sebaliknya, infeksi dinyatakan negatif bila infeksi melalui injeksi tidak menghasilkan bercak pada daun.

Konidium tunggal dari bercak yang dilembapkan diisolasi ulang. Isolat yang diperoleh dari hasil infeksi tahap ke-1 ini diberi kode d~inang1. Nama inang1 hanya berupa inisial saja. Inang1 ialah tanaman hasil infeksi ke-1 yang bercaknya sebagai sumber konidium tunggal dari isolat tersebut. Tahap kedua, hanya isolat d~inang1 yang berasal dari padi saja yang digunakan sebagai sumber inokulum uji infeksi, dan hanya diinfeksikan ke padi saja. Bercak hasil uji infeksi ke-2 ini digunakan sebagai sumber isolat konidium tunggal dengan metode yang sama seperti sebelumnya. Isolat yang diperoleh diberi kode d~inang1~inang2. Setiap isolat yang diinfeksikan silang diulang tiga kali.

Metode inokulasi yang sama juga dilakukan pada o173 ke semua tanaman uji, seperti memperlakukan Pyricularia d4. Perwakilan isolat yang diperoleh dari infeksi tahap ke-1 dan ke-2, serta inokulumnya (isolat awal), yaitu Pyricularia d4 dari rumput D. ciliaris digunakan sebagai sumber DNA.

Isolasi dan Pemeliharaan Kultur Cendawan. Untuk memperoleh isolat konidium tunggal hasil pergantian inang (hasil infeksi silang) dari Pyricularia d4 maka satu bercak blas yang dihasilkan dari infeksi silang dicuci menggunakan air mengalir dan dilembapkan semalam, kemudian sejumlah konidium tunggal diisolasi menggunakan bantuan mikroskop (modifikasi Bonman et al. 1986). Konidium tunggal dikecambahkan pada medium agar-agar (Bacto) air 4% (w/v) yang mengandung antibiotik kloramfenikol (250 mg L-1). Isolat hasil perkecambahan ditumbuhkan pada medium cawan Potato Dextrose Agar (PDA, Difco) dan disimpan pada agar-agar miring PDA.

Dokumen terkait