• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Perikanan Cakalang 1 Aspek biolog

2.1.2 Aspek lingkungan dan daerah penyebaran

Tuna dan cakalang adalah salah satu ikan pelagis yang memiliki sifat bermigrasi dari wilayah yang temperate hingga ke wilayah tropis pada seluruh samudera, meskipun sebagian besar tuna dan cakalang melakukan pemijahan di daerah tropis (Loukos et al. 2003). Menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang adalah ikan pelagis yang bersifat oseanodromous, hidup di laut dengan ke dalaman antara 0-260 m dan termasuk dalam highly migratory spesies. Selanjutnya dinyatakan bahwa cakalang bersifat kosmopolitan pada perairan tropis dan warm-temperate dengan penyebaran 58°N - 47°S ; 180°W - 180°E

Meskipun seluruh spesies tuna memerlukan kisaran habitat yang ekstrim dari equator hingga wilayah yang temperate, namun spesies tuna dapat diklasifikasikan berdasarkan preferensi suhu, misalnya tuna tropis (skipjack,

Katsuwonus pelamis dan yellowfin, Thunnus albacares), tuna subtropis (bigeye,

Thunnus obesus dan albacore, Thunnus alalunga) dan tuna temperate (nouthern dan southern bluefin, Thunnus thynnus dan T. maccoyii). Studi penandaan (tagging) menunjukkan bahwa hampir seluruh spesies tuna memiliki kemampuan bergerak > 1000 mil laut dengan pola pergerakan yang berbeda diantara spesies (Loukos et al. 2003).

Spesies cakalang secara terus menerus ditemukan sepanjang tahun dari Timur ke Barat di seluruh samudera, dan mencakup wilayah antara 45oLU hingga sebelah Selatan 45oLS di kawasan Barat Samudera Pasifik dan antara 30oLU hingga 30oLS di kawasan Timur Samudera Pasifik. Di samudera Atlantik, cakalang telah tertangkap diantara 45oLU hingga 45oLS di kawasan baratnya dan diantara 35oLU hingga sebelah Selatan 40oLS di kawasan timurnya (Matsumoto

et al. 1984). Selanjutnya Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa pola kehidupan ikan termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan dari pengaruh faktor- faktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut yang

berpengaruh terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu lokasi perairan.

Sesuai dengan posisi geografis Indonesia yang terletak di antara samudera pasifik dan samudera hindia, maka ikan cakalang di perairan Indonesia diduga berasal dari 2 stok yang berbeda. Ikan cakalang yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) diduga sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik, sedangkan cakalang di Kawasan Barat Indonesia (KBI) berasal dari Samudera Hindia. Populasi cakalang yang dijumpai di perairan KTI sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan tersebut mengikuti arus. Namun demikian, sebagian cakalang terutama yang terdapat di berbagai daerah kepulauan KTI kemungkinan adalah stok lokal yaitu hasil pemijahan di perairan Indonesia (Simbolon 2011).

2.1.2.1 Suhu

Suhu perairan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap biota perairan. Secara langsung berpengaruh terhadap derajat metabolisme dan siklus reproduksi ikan, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Perubahan suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, proses metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastu and Hela 1970).

Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang banyak ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal. Cakalang akan berenang menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari biasanya dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih mudah beradaptasi. Distribusi vertikal cakalang di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklin. Adapun kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang cakalang dan beberapa jenis tuna

Jenis Ikan Kisaran Suhu (

o C) Lapisan Renang (m) Penyebaran Penangkapan Cakalang Bluefin Mata besar Madidihang Albacore 17 - 28 12 - 25 11 - 28 18 - 31 14 - 23 19 - 23 15 - 22 18 - 22 20 - 28 15 - 21 0 - 40 50 - 300 50 - 400 0 - 200 20 - 300 Sumber : Laevastu and Hela (1970)

Blackburn (1965) menyatakan kisaran suhu penyebaran dan penangkapan cakalang umumnya bervariasi sesuai dengan wilayah perairan. Cakalang di Samudera Pasifik bagian Timur ditemukan pada kisaran SPL 17-30oC dengan suhu optimum 20-28oC. Sedangkan menurut (Froose and Pauly 2011) cakalang menyebar pada suhu antara 15-30oC. Selanjutnya penyebaran suhu antara 15-30oC pada posisi 58°N - 47°S ; 180°W - 180°E diduga sebagai penyebaran ikan cakalang di dunia sebagaimana pada Gambar 4.

Gambar 4 Penyebaran suhu antara 15 – 30oC sebagai lokasi penyebaran cakalang di dunia.

Selanjutnya Gunarso (1985) menyatakan bahwa suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 28-29oC. Adapun kisaran suhu perairan yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna pada berbagai perairan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kisaran suhu perairan optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna menurut wilayah perairan

No. Wilayah Perairan optimum (Suhu o

C) Keterangan 1 2 3 4 5 6

Pasifik Timur Laut Pasifik Tenggara Pasifik Barat Laut New Zeland

Papua New Guinea Indonesia 20-26a) 20-28a) 20-28a) 17-23a) 28-30a) 28-29b)

Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna Cakalang dan Tuna

Cakalang

a)

Sumber Blackburn (1965)

b)

2.1.2.2 Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai (Nontji 1993). Salinitas di lapisan atas (permukaan) relatif homogen seperti halnya suhu, selanjutnya terdapat lapisan pegat di bawahnya dengan degradasi densitas yang besar yang dapat menghambat percampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah.

Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan di mana unsur garam akan mengendap dan terkonsentrasi. Perairan yang mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi. Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang masuk ke laut, penguapan dan sirkulasi massa air.

Perbedaan salinitas yang besar umumnya terjadi di perairan pantai, sedangkan perubahan di laut lepas pantai relatif kecil. Perbedaan variabilitas antara perairan pantai (inshore) dengan lepas pantai (offshore) terjadi karena pengaruh pasokan air tawar dari muara-muara sungai (runoff) yang cukup besar di daerah pantai, terutama pada waktu turun hujan (Simbolon 2011). Perubahan salinitas ini erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di sekelilingnya.

Cakalang jarang ditemukan di perairan dengan salinitas rendah. Sebagai contoh, perairan utara Jawa yang salinitasnya relatif rendah tidak cocok untuk habitat cakalang. Menurut Gunarso (1985) menyatakan bahwa cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo, dan jarang ditemukan

pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah dari nilai kisaran tersebut.

2.1.2.3 Klorofil-a

Klorofil-a lebih identik dengan fitoplankton, karena merupakan pigmen fotosintesis pada fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a merupakan salah satu parameter lingkungan yang dapat digunakan untuk menjelaskan keberadaan gerombolan ikan disuatu perairan. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a menunjukkan tingkat kesuburan suatu perairan sekaligus kelimpahan dan densitas ikan di daerah tersebut, sehingga peramalan dan penentuan daerah penangkapan

ikan dapat dideteksi dengan melihat kandungan atau konsentrasi klorofil-a di suatu lingkungan perairan (Brisht 2005 diacu dalam Masrikat 2009).

Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasikan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik (bahan berenergi rendah) dengan bantuan sinar matahari (Parsons et al. 1984 dan Lalli and Parsons 1997). Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis.

Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai

faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari di kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric and Parslow 1989). Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air, mendapatkan informasi massa air bahwa konsentrasi klorofil-a maksimum terdapat pada kedalaman dibagian atas lapisan termoklin. Adapun pada lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Jumlah kandungan klorofil-a dinyatakan sebagai jumlah kandungan zat hijau yang terdapat di dalam perairan tersebut dan dinyatakan dalam ml/l. Semakin tinggi nilai yang didapatkan, menunjukkan semakin tinggi kandungan klorofi-a yang terkandung di dalamnya.

Faktor lain yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah peristiwa upwelling karena terjadi suplay nutrien dari lapisan dasar perairan yang salah satu penyebabnya adalah sistem angin muson dan daerah asal di mana massa air diperoleh (Nontji 1993). Selanjutnya dinyatakan bahwa sebaran klorofil-a di perairan Indonesia Bagian Timur tertinggi dijumpai pada muson Tenggara, sedangkan kandungan klorofil-a terendah dijumpai pada Muson Barat Laut. Rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,16 - 0,19 mg/m3 selama musim angin Barat dan 0,21 mg/m3 selama musim angin Timur.

Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain), kandungan klorofil-a ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer

yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan) pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan yang secara langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish species).

Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomas yang kontinu dari tingkat trofik yang ada. Di laut ada lima tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), fitoplankton (P), zooplankton I (Z1),

zooplankton II (Z2) dan tingkatan terakhir ikan. Setiap tingkatan trofik berbeda

energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan ikan. Pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar antara 10-20 % pada lima tingkat trofik tersebut (Parsons

et al. 1984).

Nilai rata-rata kandungan klorofil-a fitoplankton di Laut Flores bulan Mei-Juni 2005 dapat dilihat pada Tabel 3 (Hadikusumah et al. 2005). Dari tabel tersebut terlihat bahwa kandungan klorofil-a berhubungan dengan kedalaman perairan. Pada kedalaman 0-25 m ditemukan kandungan klorofil-a yang lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman antara 50-100 m.

Tabel 3 Nilai rata-rata klorofil-a di laut Flores (Mei-Juni 2005)

Keterangan Klorofil Fitoplankton (mg/m3) Kedalaman (m) 0 25 50 75 100 Rata-rata Minimum Maksimum Standar deviasi 0,15 0,06 0,28 0,06 0,16 0,11 0,34 0,08 0,13 0,09 0,19 0,03 0,14 0,11 0,19 0,02 0,11 0,09 0,14 0,03 Sumber : Hadikusumah et al. (2005)

Dokumen terkait