• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II.LANDASAN TEORI

B. Resiliensi

3. Aspek-aspek Resiliensi

Seorang tokoh, Grotberg (1995) kemudian mengemukakan tiga hal

yang membentuk resiliensi, yaitu :

a. I Have atau Aspek Dukungan Sosial

I Have adalah bagian dari aspek resiliensi merujuk pada

dukungan sosial yang diterima individu dari lingkungan disekitarnya.

Dukungan yang diperoleh remaja melalui lingkungan sosialnya dapat

membantu mereka untuk membentuk rasa nyaman dan aman yang

merupakan dasar untuk mengembangkan resiliensi pada remaja.

sumbangan pada pembentukan resiliensi pada remaja. Sumbangan

tersebut antara lain :

1) Hubungan yang dilandasi rasa percaya

Remaja mendapatkan penerimaan yang baik dan kasih

sayang dari orangtua, anggota keluarga, guru, dan teman mereka.

Selain itu, remaja juga memperoleh dukungan emosional dari

orangtua, pengasuh utama maupun orang dewasa lain.

2) Struktur dan peraturan

Orangtua membuat peraturan dan rutinitas yang jelas untuk

membantu remaja melakukan kegiatan di rumah. Kelompok teman

sebaya juga membuat suatu peraturan dan rutinitas yang dilakukan

bersama-sama. Peraturan dan rutinitas tersebut dibuat dengan

harapan remaja dapat mengikuti keinginan orang lain dan remaja

dapat diandalkan dalam melakukannya. Ketika remaja dapat

mematuhi peraturan dan rutinitas yang telah dibuat, mereka

memperoleh perlindungan dan tidak akan disakiti oleh orang lain.

3) Model peran

Orangtua, saudara yang lebih tua, orang dewasa lain dan

teman-teman menunjukan pada remaja perilaku yang dapat

diterima oleh keluarga dan orang lain. Mereka akan meminta

remaja untuk meniru apa yang mereka lakukan. Mereka juga

4) Dorongan untuk mandiri

Orangtua dan orang dewasa lain akan mendorong remaja

untuk mandiri dengan cara melakukan suatu pekerjaan sendiri dan

mencari bantuan yang diperlukan. Remaja dibantu untuk

menumbuhkan inisiatif dan membentuk pribadi yang independen.

5) Adanya akses untuk layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan

kesejahteraan.

Layanan-layanan umum akan membantu remaja untuk

memenuhi kebutuhan yang terkadang tidak dapat dipenuhi oleh

keluarga.

b. I Am atau Aspek Kepribadian Positif

I Am adalah aspek dari resiliensi yang menggambarkan

kepribadian positif dalam diri individu. I Am terdiri dari perasaan,

sikap dan keyakinan yang ada dalam diri individu (Grotberg, 1995).

Hal-hal yang menjadi sumber dari aspek ini dan memberi sumbangan

pada pembentukan resiliensi adalah:

1) Merasa disayangi dan temperamen diri menarik

Remaja menyadari bahwa orang lain itu menyayangi dan

mencintai dirinya. Oleh karena itu, remaja menjadi lebih peka pada

2) Mencintai, berempati, dan peduli pada orang lain

Remaja mencintai orang lain dan dapat mengekspresikan

rasa cintanya dengan berbagai cara. Mereka memiliki kepedulian

terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan dapat

mengekspresikannya melalui kata-kata atau tindakan nyata.

3) Bangga pada diri sendiri

Remaja memiliki rasa bangga terhadap dirinya sendiri dan

apa yang dapat dilakukannya. Mereka tidak akan membiarkan

orang lain meremehkan apa yang telah mereka lakukan. Dengan

demikian, remaja memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang

baik untuk menghadapi segala persoalan dalam hidupnya.

4) Bertanggung jawab dan otonom

Remaja mampu melakukan apa yang menjadi kehendaknya

dan siap menerima segala risiko yang akan terjadi.

5) Percaya diri, optimis, dan penuh harapan

Remaja percaya bahwa dirinya masih memiliki harapan dan

masih ada tempat atau lembaga-lembaga yang dapat dipercaya.

Mereka pun memiliki kepercayaan pada Tuhan dengan moral dan

kebaikan.

c. I Can atau Kompetensi Sosial

I Can merupakan aspek dari resiliensi berkaitan dengan hal-hal

keterampilan sosial dan interpersonal atau kompetensi sosial

(Grotberg, 1995). Individu mempelajari keterampilan ini melalui

interaksinya dengan orang lain. Selain itu, keterampilan ini juga

diperoleh melalui siapapun yang mengajar mereka, contohnya

orangtua, guru, teman, dll. Keterampilan yang dimaksud terdiri dari :

1) Komunikasi

Remaja mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan

mereka pada orang lain. Selain itu, mereka juga mampu

mendengarkan perkataan orang lain dan memahami apa yang orang

lain rasakan.

2) Pemecahan masalah

Remaja dapat melihat permasalahan yang terjadi dari

berbagai sudut pandang sehingga mereka dapat menentukan cara

mengatasinya.

3) Mengolah perasaan dan impuls-impuls

Remaja mampu mengenali perasaan dan emosi dalam

dirinya. Dengan demikian, mereka dapat berperilaku tanpa

menyakiti perasaannya sendiri dan orang lain.

4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain

Remaja memiliki pengetahuan terhadap temperamennya

5) Menjalin hubungan dengan saling percaya

Remaja dapat menemukan orang lain (orangtua, guru,

teman atau orang dewasa lain) untuk meminta bantuan, berbagi

perasaan dan perhatian.

Perkembangan resiliensi merupakan salah satu dari proses

perkembangan manusia yang sehat. Proses tersebut terjadi antara

kepribadian dan lingkungan individu. Oleh karena itu, untuk

mengembangkan resiliensi pada remaja dibutuhkan interaksi dari ketiga

aspek tersebut. Akan tetapi, agar interaksi yang terjadi antar ketiganya

berhasil, diperlukan lingkungan sosial remaja yang berkualitas.

Apabila antara aspek-aspek yang berasal atribut internal dan

eksternal seimbang, maka resiliensi dapat tercapai. Sebagai contoh, remaja

yang mendapatkan kehangatan dan dukungan dari guru mendukung remaja

untuk mengembangkan perilaku positif dengan teman dan orang dewasa

lainnya. Selain itu, orangtua juga didukung untuk lebih terlibat dalam

kehidupan anak-anak mereka. Dalam suatu keadaan, dapat ditemukan

remaja yang tidak memperoleh dukungan dari orang dewasa di luar

keluarga mereka. Remaja tersebut mungkin saja masih mampu

mengembangkan resiliensi, khususnya apabila orangtua, saudaranya atau

teman-temannya memberikan dukungan. Pada remaja lainnya, mungkin

mereka tidak memiliki kesehatan yang baik dan gaya berpikir yang kurang

jelas. Pada dasarnya mereka masih mampu mengembangkan resiliensi

kepribadian yang positif, dan pengasuhan dari orang tua maupun guru

(Mandleco dan Peery, 2000).

Bonnie Benard (1991) mengemukakan bahwa individu yang

resilien memiliki empat sifat umum berikut, yaitu :

a. Social Competence

Social competence (kompetensi sosial) adalah kemampuan

individu untuk merespon dan membangun hubungan yang positif

dengan orang lain (dalam Desmita, 2009). Aspek ini mencakup

kualitas kepekaan, fleksibilitas, empati, dan kepedulian. Selain itu,

kemampuan berkomunikasi, rasa humor, dan perilaku prososial

lainnya. Werner dan Smith (1982) serta Demos (1989)

mengemukakan bahwa, anak-anak resilien terbukti lebih peka

(mereka mampu memberikan respon yang lebih positif pada orang

lain), lebih aktif, lebih fleksibel dan adaptif bahkan ketika masih

mereka bayi. Sebagai hasil dari resiliensi, sejak kanak-kanak hingga

dewasa, mereka mampu menciptakan hubungan yang lebih positif

dengan orang lain, termasuk di dalamnya adalah menjalin hubungan

pertemanan yang baik dengan teman sebayanya (Bernad dan Ladd,

1989; Werner dan Smith, 1982 dalam Bonnie Benard, 1991).

Hubungan yang terbentuk melalui keberhasilan seorang

remaja melakukan hubungan positif dengan orang lain akan

mengembangkan rasa percaya remaja pada orang lain (Desmita,

pula pada dirinya sendiri. Remaja percaya bahwa mereka memiliki

kemampuan, tindakan dan masa depan yang baik. Melalui

hubungan-hubungan yang positif ini pula, membantu remaja untuk terhindar

dari perilaku-perilaku yang berisiko dan remaja mampu

mengembangkan perilaku yang positif (Desmita, 2009). Remaja yang

memiliki relasi atau keterikatan yang positif dengan orang lain,

mampu menghindari perilaku yang berisiko dibandingkan dengan

remaja yang tidak memiliki relasi atau keterikatan yang positif

(Desmita, 2009).

b. Problem-Solving Skill

Problem-Solving Skill (keterampilan memecahkan masalah)

merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk membuat suatu

perencanaan yang mempermudah pengendalian diri individu dan

memanfaatkan akal sehat untuk mencari bantuan dari orang lain

(dalam Desmita, 2009). Individu semakin mampu untuk berpikir

lebih abstrak, reflektif, dan fleksibel. Selain itu, individu diharapkan

mampu untuk berusaha mencari solusi atau alternatif pemecahan

masalah baik masalah yang berkaitan dengan kognitif maupun sosial.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Halverson dan Waldrup (1974

dalam Benard, 1991), anak-anak yang ada di pra-sekolah, yang dapat

dalam situasi yang kacau sekalipun terbukti akan menjadi anak yang

aktif dan kompeten pada saat duduk di bangku sekolah lanjutan.

Lingkungan disekitar remaja memiliki andil besar untuk

membantu remaja menjadi pribadi yang kuat. Remaja membutuhkan

lingkungan yang menunjang dirinya dalam mengembangkan

kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Lingkungan

memberikan tanggung jawab dan kesempatan pada remaja untuk

berpartisipasi aktif salah satunya dengan memberi kesempatan remaja

untuk memecahkan masalah. Menurut Burn dan Lofquist (1996,

dalam Desmita, 2009) seseorang yang diberi kesempatan untuk

berpartisipasi dalam membuat keputusan dan menentukan strategi

yang berpengaruh pada kehidupannya dapat merasa memiliki dan

menyadari keputusan dan strategi tersebut yang bermanfaat, efektif,

logis sehingga mereka berusaha untuk melaksanakannya.

c. Autonomy

Pada dasarnya, autonomy (otonomi) adalah kesadaran

individu tentang identitas dirinya dan kemampuan individu untuk

bertindak secara independen (Benard, 1991). Selain itu, individu juga

dapat menggunakan sebagian kendali dalam lingkungannya dan

interaksinya dengan orang lain. Para peneliti mengidentifikasi aspek

ini sebagai sebuah kemampuan individu untuk melepaskan diri dari

Remaja yang sadar akan identitasnya sendiri mampu

mendefinisikan dirinya dan membentuk self-image mereka (Desmita,

2009). Melalui kemampuan otonomi, remaja belajar untuk mandiri

dengan cara melakukan suatu pekerjaan sendiri dan mencari bantuan

yang diperlukan. Remaja juga dibantu untuk menumbuhkan inisiatif

dan membentuk pribadi yang independen. Remaja yang memiliki

kesadaaran akan dirinya sebagai sosok yang mandiri juga akan

membentuk kekuatan dalam dirinya. Kekuatan tersebut nantinya akan

menentukan bagaimana remaja harus bertindak ketika menghadapi

masalah.

d. Sense of Purpose and Future

Sense of purpose and future (kesadaran akan tujuan dan masa

depan) adalah kesadaran individu akan tujuan, aspirasi pendidikan,

ketekunan, pengharapan dan masa depan yang cemerlang (dalam,

Desmita, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Brook dkk

(1989 dalam Benard, 1991) tentang risiko dan faktor pelindungpada

remaja yang menggunakan narkoba dan mengkonsumsi alkohol,

ditemukan bahwa orientasi pada prestasi yang tinggi menjadi faktor

pelindung yang dapat mengimbangi efek dari konsumsi alkohol yang

dilakukan teman sebaya. Werner dan Smith (1982 dalam Benard,

berasal dari lingkungan internal dan eksternal merupakan komponen

yang efektif dalam mengatasi tekanan dalam kehidupan.

Harapan yang tinggi dan realistis adalah salah satu hal penting

yang harus dimiliki remaja karena dengan demikian mereka memiliki

motivasi yang tinggi. Menurut Hoy dan Miskel (2001, dalam

Desmita, 2009) harapan membuat seseorang percaya bahwa dengan

bekerja keras mereka akan mencapai prestasi yang tinggi. Ketika

remaja mampu mengembangkan resiliensi dalam kehidupannya,

mereka memiliki prediksi yang positif terhadap masa depan mereka

(Henderson Milstein, 2003 dalam Desmita, 2007). Remaja mampu

mengembangkan diri sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan

mengukir prestasi baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam

masyarakat.

Dokumen terkait