• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1V KESIMPULAN

Dalam dokumen KELAINAN KONGENITAL (Halaman 27-34)

Kelainan tumbuh kembang dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan eksternal dan internal tubuh manusia, mulai dari yang sederhana (misal, cacat pada mukosa mulut seperti median romboit glositis) sampai yang komplek (misal, sumbing palatum dan sindrom Treacher Collins). Keadaan patologis ini dapat dipengaruhi oleh faktor ekstrnsik, misalnya lingkungan dan faktor instrinsik, yaitu gen. Cacat lahir daat berasal dari perubahan lingkungan selama dalam kandungan, seperti keadaan toksik, hipoksia yang menyebabkan terjadi palsi cerebral, dan cacat mental.

Sumbing bibir dan palatum merupakan kelainan kongenital yang sering kali menyebabkan menurunnya fungsi bicara, pengunyahan, dan penenlanan yang sangat berat. Sering kali terjadi peningkatan prevalensi gangguan yang berhubungan dengan malformasi kongenital seperti ketidak mampuan bicara sekunder serta menurunnya fungsi pendengaran. Berbeda dengan celah bibir, celah alatum atau palatoschisis merupakan suatu kelainan yang sering terjadi bersamaan dengan celah bibir dan alveolar atau dapat tanpa kelainan lainnya. Pada kelainan ini dapat terjadi gangguan pada proses penelanan, bicara, dan mudah terjadi infeksi saluran pernafasan akibat tidak adanya pembatas antara rongga mulut dan rongga hidung. Infeksi ini juga dapat berkembang ke telinga.

Faktor yang mempengaruhi kelainan congenital skeletal dentomaksilo facial : A. Faktor lingkungan

1. Agen-agen infektif a. Virus rubella/campak jerman

Virus rubella dapat menyebabkan malformasi pada mata, telinga, bagian dalam, jantung dan gigi

b. Syphilis

c. Herpes simplex virus 2. Radiasi

Efek teratogenik radiasi pengion telah diketahui sejak bertahun-tahun lalu dan diketahui benar bahwa mikrosefali, cacat tengkorak, celah palatum terjadi karena pengobatan wanita hamil dengan sinar X atau radium dosis tinggi. Sifat kelainannya tergantung pada dosis radiasi dan tingkat perkembangan janin pada saat diberi penyinaran.

Obat-obatan yang dikonsumsi selama masa kehamilan diketahui bersifat teratogenik. Contohnya, obat anti konvulsan (Ibuprofen dan diasepam) yang bisa mengakibatkan celah palatum, obat analgesic yang mengakibatkan celah bibir.

4. Hormon

Contohnya, hormone hidrokortison yang diekskresi secara berlebih menyebabkan celah bibir

5. Penyakit ibu

Gangguan metabolisme karbohidrat pada ibu yang menderita diabetes menyebabkan insiden lahir kematian tinggi. Janin yang terlalu besar dan malforasi konginetal.

6. Defisiensi nutrisi

Khususnya kekurangan vitamin telah terbukti bersifat terratogenik. 7. Hipoksia

B. Faktor kromosom dan genetik

Kelainan kromosom bisa merupakan kelainan jumlah atau kelainan susunan dan merupakan penyebab penting malformasi kongenital. Salah satu kelainan kromosom adalah trisomi21 atau syndrome down. Syndrome down biasanya disebabkan oleh adanya satu kopi ekstra kromsom21 atau trisomi21. Secara klinis, ciri-ciri anak penderita syndrome down antara lain kelainan kranio facial, keterbelakangan pertumbuhan, wajah mendatar dan telinga kecil. Pada 95% kasus, syndrome ini disebabkan oleh trisomi21 karena meiosis non disjunction dan pada 75% diantaranya, nondisjunction terjadi pada saat pembentukan oosit .

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis celah bibir menurut Klasifikasi Veau, dapat bervariasi, dari pit atau takik kecil pada tepi merah bibir sampai sumbing yang meluas ke dasar hidung.

Klas I : takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai bibir.

Klas II: bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak mengenai dasar hidung. Klas III: sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir ke dasar hidung.

Klas IV: setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna.

Gambaran Klinis Celah Palatum

Menurut sistem Veau, sumbing palatum dapat dibagi dalam 4 tipe klinis, yaitu : - Kelas I : Sumbing yang terbatas pada palatum lunak.

- Kelas II : Cacat pada palatum keras dan lunak yang hanya terbatas pada palatum sekunder tetapi tidak melampaui foramen insisivum.

- Kelas III : Sumbing pada palatum sekunder dapat komplet atau tidak komplet. Sumbing palatum komplet meliputi palatum lunak dan keras sampai foramen insisivum. Sedangkan sumbing yang tidak komplet meliputi palatum lunak dan palatum keras, tetapi tidak meluas sampai foramen insisivum. Sumbing unilateral yang komplet dan meluas dari uvula sampai foramen insisivum di garis tengah dan proc. Alveolaris unilateral yang juga termasuk kelas III.

- Kelas IV : Sumbing bilateral komplet meliputi palatum lunak dan keras serta proc. Alveolaris pada kedua sisi premaksila, meninggalkan daerah itu bebas dan sering kali bergerak.

- Biasanya anak dengan cleft lip and palate akan dirawat oleh tim dokter khusus yang mencakup dokter gigi spesialis bedah mulut, dokter spesialis bedah plastik, ahli terapi bicara, audiologist (ahli pendengaran), dokter spesialis anak, dokter gigi spesialis gigi anak, dokter gigi spesialis orthodonsi, psikolog, dan ahli genetik. Perawatan dapat dilakukan sejak bayi lahir. Waktu yang tepat untuk melakukan operasi sangat bervariasi, tergantung dari keadaan kasus itu sendiri. Tapi biasanya operasi untuk menutup celah di bibir sudah dapat dilakukan pada saat bayi berusia tiga bulan dan memiliki berat badan yang cukup. Sedangkan operasi untuk menutup celah pada langit-langit rongga mulut dapat dilakukan pada usia kira-kira enam bulan. Kedua operasi tersebut dilakukan dengan bius total.

- Saat anak bertambah dewasa, operasi-operasi lain mungkin diperlukan untuk memperbaiki penampilan dari bibir dan hidung serta fungsi dari langit-langit rongga mulut. Jika ada celah pada gusi, biasanya dapat dilakukan bone graft (implant tulang). Untuk memperbaiki kesulitan dalam berbicara, anak dapat menjalani terapi bicara dengan ahli terapi bicara. Dokter gigi spesialis anak dan orthodontis dapat memberikan perawatan yang berkaitan dengan perawatan gigi-geligi anak dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar tidak timbul kelainan-kelainan lain pada rongga mulut.

3.2.1 Patogenesis Kelainan Kongenital Skeletal Patogeneis celah bibir bibir dan palatum

Pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Bila terdapat gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan wajah serta mulut embrio, akan timbul kelainan bawaan (congenital). Kelainan bawaan adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Salah satunya adalah celah bibir dan langit-langit. Sumbing bibir merupakan kegagalan bersatunya jaringan selama perkembangan. Gangguan pola normal pertumbuhan muka dalam bentuk defisiensi prosesus muka merupakan penyebab kesalahan perkembangan bibir. Karena tidak menyatunya sebagian atau seluruh proc. maksila dengan proc nasalis medialis pada satu atau kedua sisi. Sebagian besar ahli embriologi percaya bahwa defisiensi jaringan terjadi pada semua deformitas sumbing sehingga stuktur anatomi normal tidak terbentuk. Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga sumbing bibir dapat terjadi terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjadi bersama-sama dan bervariasi dallam derajat keparahannya bergantung pada luas sumbing yang dapat bervariasi mulai dari lingir alveolar (alveolar ridge) sampaii ke bagian akhir dari palatum lunak.

Sumbing bibir umumnya terjadi pada minggu ke 6 hingga 7 itu, sesuai dengan waktu perkembangan bibir normal dengan terjadiinya kegaggalan penetrasi dari sel mesodermal pada groove epitel di antara proc. nasalis medialis dan lateralis.

Kelainan Kongenital Skeletal adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun

metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Salah satunya adalah celah bibir dan langit-langit.

Kelainan wajah ini terjadi karena ada gangguan pada organogenesis antara minggu keempat sampai minggu kedelapan masa embrio. Gangguan pertumbuhan ini tidak saja menyulitkan penderita, tetapi juga menimbulkan kesulitan pada orangtua, terutama ibu. Tidak saja dalam hal pemberian makan, tetapi juga efek psikologis karena mempunyai anak yang “tidak sempurna”.

Beberapa teori yang menggambarkan terjadinya celah bibir : 1. Teori Fusi

Disebut juga teori kalsik. Pada akhir minggu keenam dan awal minggu ketujuh masa

kehamilan, processus maxillaries berkembang kea rah depan menuju garis median, mendekati processus nasomedialis dan kemudian bersatu. Bila terjadi kegagalan fusi antara processus maxillaries dengan processus nasomedialis maka celah bibir akan terjadi.

1. Teori Penyusupan Mesodermal

Disebut juga teori hambatan perkembangan. Mesoderm mengadakan penyusunan

menyebrangi celah sehingga bibir atas berkembang normal. Bila terjadi kegagalan migrasi mesodermal menyebrangi celah bibir akan terbentuk.

Pada minggu kedua kehamilan, membran brankhial memrlukan jaringan mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi ke arah muka. Bila mesodermal tidak ada maka dalam pertumbuhan embrio membran brankhial akan pecah sehingga akan terbentuk celah bibir.

D. Gabungan Teori Fusi dan Penyusupan Mesodermal

Patten, 1971, pertama kali menggabungkan kemungkinan terjadinya celah bibir, yaitu adanya fusi processus maxillaris dan penggabungan kedua processus nasomedialis yang kelak akan membentuk bibir bagian tengah.

3.2.2 Macam-macam Kelainan Kongenital Skeletal

Sumbing

Sumbing bibir dan palatum merupakan kelainan congenital yang sering kali menyebabkan menurunnya fungsi bicara, pngunyahan, dan penelanan yang sangat berat. Sering kali terjadi peningkatan prevalensi gangguan yang berhubungan dengan malformasi congenital seperti ketidakmampuan bicara sekunder serta menurunnya fungsi pendengaran.

Sumbing bibir dan palatum ditemukan pada hampir 50% kasus. Sumbing bibir saja

merupakan 25% kasus, dapat terjadi pada 1 diantara 700-1000 kelahiran dengan predileksi ras yang bervariasi. Sumbing palatum saja lebih sedikit disbanding sumbing bibir, insidennya anatara 1 daiantara 1500-3000 kelahiran. Sumbing bibir dengan atau tanpa sumbing palatum lebih sering pada pria dan sumbing palatum saja lebih sering pada wanita.

Umumnya sumbing bibir dan palatum dibagi dalam empat kelompok besar

Sumbing bibir

Sumbing palatum

Sumbing bibir dan palatum unilateral

Sumbing bibir dan palatum bilateral Sumbing bibir dan mulut lainnya adalah:

Pit pada bibir

Cekungan linear pada bibir

Sumbing palatum submukosa

Bifid uvula dan lidah

Sumbing muka yang meluas melalui hidung, bibir, dan rongga mulut

Deformitas sumbing dapat sangat bervariasi dari alur dalam kulit dan mukosa sampai meluas membelah tulang dan otot. Kombinasi sumbing bibir dan palatum merupakan deformitas sumbing yang paling sering terlihat .

1. Berdasarkan organ yang terlibat a. Celah di bibir (labioskizis) b. Celah di gusi (gnatoskizis) c. Celah di langit (palatoskizis)

d. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ mis = terjadi di bibir dan langit-langit (labiopalatoskizis)

2. Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk

Tingkat kelainan bibr sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :

a. Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.

b. Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.

c. Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.

Defek tabung saraf

Terjadi pada awal kehamilan, yaitu pada saat terbentuknya bakal otak dan korda spinalis. Dalam keadaan normal, struktur tersebut melipat membentuk tabung pada hari ke 29 setelah pembuahan. Jika tabung tidak menutup secara sempurna, maka akan terjadi defek tabung saraf.

Bayi yang memiliki kelainan ini banyak yang meninggal di dalam kandungan atau meninggal segera setelah lahir.

2 macam defek tabung saraf yang paling sering ditemukan:

- Spina bifida, terjadi jika kolumna spinalis tidak menutup secara sempurna di sekeliling korda spinalis.

- Anensefalus, terjadi jika beberapa bagian otak tidak terbentuk. - Cerebral palsy

Biasanya baru diketahui beberapa minggu atau beberapa bulan setelah bayi lahir, tergantung kepada beratnya kelainan.

- Sindroma Down

Merupakan sekumpulan kelainan yang terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dengan kelebihan kromosom nomor 21 pada sel-selnya.

Mereka mengalami keterbelakangan mental dan memiliki wajah dan gambaran fisik lainnya yang khas; kelainan ini sering disertai dengan kelainan jantung.

3.2.3 Pemeriksaan Kelainan Kongenital Skeletal 1. Tes darah

Jenis pemeriksaan ini dianjurkan dokter setelah Anda dinyatakan positif hamil. Contoh darah akan diambil untuk diperiksa apakah terinfeksi virus tertentu atau resus antibodi. Contoh darah calon ibu juga digunakan untuk pemeriksaan hCG. Dunia kedokteran menemukan, kadar hCG yang tinggi pada darah ibu hamil berarti ia memiliki risiko yang tinggi memiliki bayi dengan sindroma Down.

2. Alfa Fetoprotein (AFP)

Tes ini hanya pada ibu hamil dengan cara mengambil contoh darah untuk diperiksa. Tes dilaksanakan pada minggu ke-16 hingga 18 kehamilan. Kadar Maternal-serum

alfa-fetoprotein (MSAFP) yang tinggi menunjukkan adanya cacat pada batang saraf seperti spina bifida (perubahan bentuk atau terbelahnya ujung batang saraf) atau anencephali (tidak terdapatnya semua atau sebagian batang otak). Kecuali itu, kadar MSAFP yang tinggi berisiko terhadap kelahiran prematur atau memiliki bayi dengan berat lahir rendah. 3. Sampel Chorion Villus (CVS)

Tes ini jarang dilakukan oleh para dokter karena dikhawatirkan berisiko menyebabkan abortus spontan. Tes ini dilakukan untuk memeriksa kemungkinan kerusakan pada

kromosom. Serta untuk mendiagnosa penyakit keturunan. Tes CVS ini mampu mendeteksi adanya kelainan pada janin seperti Tay-Sachs, anemia sel sikel, fibrosis berkista, thalasemia, dan sindroma Down.

4. Ultrasonografi (USG)

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan struktural pada janin, seperti; bibir sumbing atau anggota tubuh yang tidak berkembang. Sayangnya USG tidak bisa mendeteksi kecacatan yang disebabkan oleh faktor genetik. Biasanya USG dilakukan pada minggu ke-12

kehamilan. Pada pemeriksaan lebih lanjut USG digunakan untuk melihat posisi plasenta dan jumlah cairan amnion, sehingga bisa diketahui lebih jauh cacat yang diderita janin.

Kelainan jantung, paru-paru, otak, kepala, tulang belakang, ginjal dan kandung kemih, sistem pencernaan, adalah hal-hal yang bisa diketahui lewat USG.

5. Amiosentesis

Pemeriksaan ini biasanya dianjurkan bila calon ibu berusia di atas 35 tahun. Karena hamil di usia ini memiliki risiko cukup tinggi. Terutama untuk menentukan apakah janin menderita sindroma Down atau tidak. Amniosentesis dilakukan dengan cara mengambil cairan amnion melalui dinding perut ibu. Cairan amnion yang mengandung sel-sel janin, bahan-bahan kimia, dan mikroorganisme, mampu memberikan informasi tentang susunan genetik, kondisi janin, serta tingkat kematangannya. Tes ini dilakukan pada minggu ke-16 dan 18 kehamilan. Sel-sel dari cairan amnion ini kemudian dibiakkan di laboratorium. Umumnya memerlukan waktu sekitar 24 sampai 35 hari untuk mengetahui dengan jelas dan tuntas hasil biakan tersebut. 6. Sampel darah janin atau cordosentesis

Sampel darah janin yang diambil dari tali pusar. Langkah ini diambil jika cacat yang disebabkan kromosom telah terdeteksi oleh pemeriksaan USG. Biasanya dilakukan setelah kehamilan memasuki usia 20 minggu. Tes ini bisa mendeteksi kelainan kromosom, kelainan metabolis, kelainan gen tunggal, infeksi seperti toksoplasmosis atau rubela, juga kelainan pada darah (rhesus), serta problem plasenta semisal kekurangan oksigen.

7. Fetoskopi

Meski keuntungan tes ini bisa menemukan kemungkinan mengobati atau memperbaiki kelainan yang terdapat pada janin. Namun tes ini jarang digunakan karena risiko tindakan

fetoskopi cukup tinggi. Sekitar 3 persen sampai 5 persen kemungkinan kehilangan janin. Dilakukan dengan menggunakan alat mirip teleskop kecil, lengkap dengan lampu dan lensa-lensa.

Dimasukkan melalui irisan kecil pada perut dan rahim ke dalam kantung amnion. Alat-alat ini mampu memotret janin. Tentu saja sebelumnya perut si ibu hamil diolesi antiseptik dan diberi anestesi lokal.

8. Biopsi kulit janin

Pemeriksaan ini jarang dilakukan di Indonesia. Biopsi kulit janin (FSB) dilakukan untuk mendeteksi kecacatan serius pada genetika kulit yang berasal dari keluarga, seperti epidermolysis bullosa lethalis (EBL). Kondisi ini menunjukkan lapisan kulit yang tidak merekat dengan pas satu sama lainnya sehingga menyebabkan panas yang sangat parah. Biasanya tes ini dilakukan setelah melewati usia kehamilan 15-22 minggu.

3.2.4 Maloklusi dan klasifikasi maloklusi

Maloklusi didefinisikan sebagai ketidakteraturan gigi-gigi di luar ambang normal.

Maloklusi dapat meliputi ketidakteraturan lokal dari gigi-gigi atau malrelasi rahang pada tiap ketiga bidang ruang sagital, vertikal, atau transversal.

(Huoston, 1989)

Dalam dokumen KELAINAN KONGENITAL (Halaman 27-34)

Dokumen terkait