• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2013 sampai April 2014. Penangkapan tikus dilakukan di empat habitat yang berbeda, yaitu rumah, sawah, kebun, dan saluran air (got). Lokasi penangkapan tikus tersaji pada Gambar 6. Identifikasi jenis tikus dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi morfologi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor.

Gambar 6 Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga Ket: Kecamatan Sukamandi, Kabupaten Subang.

Kecamatan Dramaga (Cibanteng, Situ Burung, dan Daerah sekitar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) Kabupaten Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, alkohol (50, 80, 95, dan 100%), KOH 10%, canada balsam/entelan, larutan hoyer, chloroform, ikan kering, tulang ayam, ubi jalar, kertas label, dan tikus serta ektoparasit hasil tangkapan. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkap tikus, kantung plastik, sikat, sisir, nampan putih, pinset, jarum, botol koleksi, gelas obyek, gelas penutup, mikroskop compound OLYMPUS CX21, kamera Dino-eye AM4234, dan penggaris.

11 Metode

Penangkapan Tikus

Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup (live trap) tikus (Gambar 7) dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Penangkapan dilakukan di habitat rumah, sawah, kebun, dan got. Perangkap hidup tikus dipasang pada sore hari pukul 15.00-17.30 WIB kemudian diambil keesokan harinya pukul 06.00-08.00 WIB. Hewan yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik ukuran 30 cm x 40 cm, kemudian diberi label (tanggal, habitat, dan kode lokasi), selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diamati.

Gambar 7 Perangkap hidup (live trap) tikus, A. Multiple trap untuk tikus di habitat sawah, B. Multiple trap untuk tikus di habitat rumah, dan C. Single trap untuk tikus di habitat got dan rumah.

A

B

12

Identifikasi Tikus

Identifikasi terhadap tikus dilakukan dengan mengamati dan mengukur karakter kualitatif dan kuantitatif morfologi tikus. Acuan yang digunakan adalah kunci deskripsi yang dikembangkan oleh Cunningham dan Moors (1996), Priyambodo (2006), dan Suyanto (2006).

Dalam pengamatan karakter kualitatif morfologi tikus, yang perlu diperhatikan adalah warna. Warna yang diamati pada tikus adalah warna rambut. Pengamatan terhadap warna dapat dibagi dua yaitu warna dorsal dan ventral. Untuk warna dorsal juga dibagi dua yaitu warna badan dan ekor, demikian juga untuk bagian ventralnya. Bentuk hidung (moncong) tikus secara umum terbagi menjadi dua yaitu kerucut terpotong yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan kerucut yang biasanya terdapat pada tikus berukuran sedang dan kecil. Bentuk badan tikus secara umum juga terbagi dua yaitu silindris membesar ke belakang yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan silindris yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran sedang dan kecil. Tekstur rambut berkolerasi dengan ukuran tubuhnya. Tikus yang berukuran besar mempunyai tekstur rambut yang kasar dan ukuran rambut yang panjang. Tikus yang berukuran kecil mempunyai tekstur rambut yang lembut/halus dan ukuran rambut pendek. Tikus berukuran sedang berada di antaranya.

Dalam Pengamatan karakter kuantitatif morfologi tikus, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bobot tubuh (weight = W). Pengukuran bobot tubuh ini dilakukan pada saat tikus tidak aktif, yaitu dalam keadaan mati atau dibius. Bobot tubuh dinyatakan dalam satuan gram (g). Ukuran panjang kepala dan badan (head

and body = HB). Satuan pengukuran yang digunakan adalah millimeter (mm). Pengukuran ini dilakukan pada tikus dalam keadaan terlentang, dimulai dari ujung hidung (moncong) sampai pangkal ekor yang biasanya ditandai dengan adanya lubang anus. Ukuran panjang ekor (tail = T) dimulai dari pangkal ekor (lubang anus) sampai ujung ekor, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran panjang total (total length = TL) merupakan penjumlahan dari ukuran panjang kepala dan badan ditambah panjang ekor. Ukuran lebar daun telinga (ear = E) adalah ukuran dari lubang telinga sampai ujung daun telinga yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Pengukuran panjang telapak kaki belakang (hind foot = HF) dilakukan dari tumit sampai ujung kuku yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran lebar sepasang gigi pengerat rahang atas (incicors = I) adalah ukuran lebar bagian tengah dari sepasang gigi pengerat, dinyatakan dalam satuan mm. Jumlah puting susu (mammary formula = MF) ditentukan dengan menghitung jumlah putting susu di bagian dada (pektoral) dan di bagian perut (inguinal), dinyatakan dalam satuan pasang.

Pengambilan Sampel Ektoparasit

Tikus yang berada di dalam kantung plastik dimatikan dengan menggunakan chloroform. Tikus yang sudah mati disikat rambut-rambut tubuhnya di atas nampan putih, lalu diperiksa telinga, hidung, dan pangkal ekornya. Ektoparasit yang terjatuh di nampan diambil dengan pinset, sedangkan ektoparasit yang menempel di telinga, hidung, dan pangkal ekor diambil dengan jarum atau pinset. Ektoparasit kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi alkohol 70% dan diberi label (kode lokasi dan nomor inang).

13 Pembuatan Preparat Ektoparasit

Pembuatan preparat slide ektoparasit yang berdinding tubuh lunak seperti kutu mengacu pada Krantz (1978). Ektoparasit dipanaskan di dalam alkohol 95% selama 3 menit, kemudian bagian abdomen ditusuk. Spesimen dipanaskan di dalam KOH 10% hingga transparan, dan isi tubuh dibuang. Spesimen kemudian dicuci dengan akuades sebanyak 2 kali, direndam di dalam alkohol berturut-turut yaitu dimulai dari konsentrasi 50, 80, 95% dan selanjutnya alkohol absolut (100%) masing-masing selama 10 menit. Tahap selanjutnya mounting dengan media canada balsam atau entelan. Ektoparasit diletakkan secara hati-hati di atas gelas obyek yang sudah diberi media. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga bagian ventral menghadap ke bawah, tungkai terentang. Dengan jarum halus, ektoparasit tersebut ditekan secara perlahan-lahan sampai ke dasar kaca objek dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian preparat dikeringkan di atas elemen pengering selama 4-7 hari.

Pembuatan preparat slide untuk ektoparasit yang berdinding tubuh keras seperti pinjal, mengacuh pada Bahmanyar dan Cavanaugh (1976). Spesimen direndam di dalam larutan KOH 10% selama 24 jam. Selanjutnya spesimen dipindahkan ke dalam akuades selama 5 menit, kemudian ke dalam asam asetat selama 30 menit. Pinjal yang telah terlihat transparan diambil dan diletakkan di atas kaca objek. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga terlihat bagian lateral, tungkai mengarah ke bawah dan kepala ke sebelah kiri. Spesimen kemudian ditetesi canada balsam secukupnya dan ditutup kaca penutup. Preparat kemudian dikeringkan di atas elemen pengering selama 10-14 hari.

Identifikasi Ektoparasit

Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop kompoun OLYMPUS CX21 dengan kamera Dino-eye AM4234 yang dihubungkan langsung dengan komputer. Identifikasi mengacu pada kunci identifikasi yang disusun oleh Ewing (1935), Jordan (1957), Baker dan Wharton (1960), Pratt et al. (1966), Voss (1966), Boror

et al. (1996), dan Montasser (2006).

Perhitungan dan Pengamatan Terhadap Ektoprasit dan Tikus Perhitungan dan pengamatan dilakukan untuk mengetahui:

1 Jumlah individu setiap spesies tikus yang tertangkap di setiap habitat penangkapan.

2 Jumlah tikus yang diinfestasi ektoparasit.

3 Jumlah setiap spesies ektoparasit yang mengenfestasi setiap individu tikus. 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada setiap spesies tikus

berdasarkan jenis kelamin tikus.

5 Spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Perhitungan Prevalensi Ektoparasit

Prevalensi atau frekuensi kejadian adalah besarnya persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit dari tikus sampel yang diperiksa. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

14

Prevalensi = × 100%

Analisis Data

Analisis keanekaragaman ektoparasit dihitung dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver (Magnussen & Boyle 1995). Analisis kesamaan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antar tikus dilakukan dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus menggunakan uji-t (α = 0.05).

฀ ∑ ฀ ฀

Keterangan :

Hᵢ : Indeks keanekaragaman

S : Jumlah total jenis ektoparasit sampel

Pᵢ : Jumlah individu per jenis ektoparasit per ekor spesies tikus dibagi jumlah total individu jenis ektoparasit per ekor spesies tikus sampel.

Jumlah tikus yang terserang Jumlah tikus yang diperiksa

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit

Selama penelitian, telah ditangkap sebanyak 87 ekor tikus dari 4 habitat yang berbeda (rumah, sawah, kebun, dan got). Spesies tikus yang tertangkap diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Persentase infestasi ektoparasit dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit pada empat habitat penangkapan

Jenis tikus Jenis kelamin

Jumlah tikus tertangkap (ekor) Persentase terinfestasi ektoparasit (%) R S K G R S K G R. rattus diardii Jantan 10 0 0 0 90.0 0 0 0 Betina 15 1 0 0 86.7 100 0 0 R. argentiventer Jantan 0 5 0 0 0 80 0 0 Betina 0 15 0 0 0 86.7 0 0 R. tiomanicus Jantan 0 5 11 0 0 60.0 54.5 0 Betina 0 3 11 0 0 66.7 27.3 0 R. norvegicus Jantan 0 0 0 2 0 0 0 100 Betina 0 0 0 9 0 0 0 77.8

Ket.R: Rumah, S: Sawah, K: Kebun, G: Got.

R. rattus diardii yang tertangkap sebanyak 26 ekor terdiri dari 10 jantan dan 16 betina. Bobot R. rattus diardii berkisar antara 76.41 sampai 151.65 g. Tikus jantan relatif lebih banyak terinfestasi ektoparasit (90.0%) dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Tingkat persentase infestasi ektoparasit pada R. rattus diardii lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketiga spesies tikus lainnya. Turner

et al. (2012) melaporkan bahwa pada habitat rumah di Jawa Tengah jumlah persentase R. rattus diardii terinfestasi ektoparasit sebanyak 96.2% dengan tingkat infestasi pinjal sebanyak 63.3%. Kadarsan el at. (1986) melaporkan pola kandungan parasit pada tikus yaitu, perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit yang cara penularannya melalui kontak.

R. argentiventer yang tertangkap sebanyak 20 ekor (5 jantan dan 15 betina). Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih rendah (80.0%) jika dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Bobot R. argentiventer berkisar antara 52.29 sampai 184.48 g. Persentase infestasi ektoparasit pada R. argentiventer pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan Paramasvaran et al. (2009). Paramasvaran et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat persentase infestasi tungau sebesar 22.6% dan caplak sebesar 6.45%. Persentase

16

infestasi ektoparasit pada R. argentiventer jantan maupun betina tidak terlalu berbeda, hal ini dapat terjadi karena kedua jenis kelamin tikus ini memiliki daya jelajah yang hampir sama yaitu, sarang sebagai tempat berlindung dan sawah sebagai tempat untuk mencari sumber makanan.

R. tiomanicus terperangkap di dua habitat yang berbeda yaitu di habitat sawah dan kebun. Di sawah ditangkap sebanyak 8 ekor (5 jantan dan 3 betina) dengan pola infestasi berturut-turut yaitu 60.0% dan 66.7%. R. tiomanicus yang tertangkap di habitat kebun sebanyak 22 ekor (11 jantan dan 11 betina) dengan pola infestasi berurut-turut yaitu 54.5% dan 27.3% lebih rendah dibandingkan dengan tikus pohon yang tertangkap di habitat sawah. Bobot R. tiomanicus

berkisar antara 72.9 sampai 202.28 g. R. tiomanicus jantan pada habitat kebun memiliki persentase infestasi ektoparasit yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit dengan cara penularan melalui kontak. Kadarsan el at. (1986) melaporkan bahwa perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Mobilitas tikus memegang peranan cukup penting dan menentukan pola infestasi parasit. R. tiomanicus diketahui mempunyai habitat yang lebih luas daripada tikus lainnya.

R. norvegicus yang tertangkap sebanyak 11 ekor (2 jantan dan 9 betina). Bobot R. norvegicus berkisar antara 68.2 sampai 185.45 g. Semua jenis tikus got yang tertangkap masih tergolong pradewasa. Hal ini ditandai dari ukuran, bobot, dan morfologi tikus yang belum berkembang sempurna seperti rambut-rambut pada tubuh tikus masih jarang dan pendek, dan pada tikus betina belum muncul puting susu. Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan tikus betina (77.8%). Persentase infestasi ektoparasit pada R. norvegicus cukup tinggi, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wen-Ge et al. (2009) bahwa tingkat persentase infestasi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebanyak 71% dengan persentase infestasi spesies P. spinulosa mencapai 97.26%.

Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus

Prevalensi infestasi ektoparasit ditentukan pada empat spesies tikus dari empat habitat penangkapan. Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit (Gambar 8).

Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit. Pada tikus jantan, prevalensi infestasi ektoparasit pada R. norvegicus

paling tinggi (100%) dan terendah dijumpai pada R. tiomanicus (56.3%). Pada tikus betina, prevalensi infestasi tertinggi dijumpai pada R. rattus diardii (87.5%) dan terendah pada R. tiomanicus (35.7%).

Tingkat prevalensi infestasi ektoparasit pada tikus jantan lebih tinggi diduga karena daya jelajah tikus jantan lebih luas dibandingkan dengan tikus betina, sehingga peluangnya lebih besar terinfestasi ektoparasit. Menurut Hadi et al. (1982), tikus yang mempunyai pergerakan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dalam upaya mencari makan, tempat berlindung dan bersarang

17 cenderung banyak terinfestasi beragam parasit. Tikus ini dapat terinfestasi secara alami, yaitu ektoprasit yang menempel pada tumbuhan, tanah, dan tanah berair

Gambar 8

Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tio-manicus, dan R. norvegicus

(sawah dan rawa-rawa), maupun terinfestasi parasit karena mempertahankan kehidupannya (survival), seperti persentuhan dan perkelahian.

Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus

Lima spesies ektoparasit yang ditemukan menginfestasi empat spesies tikus selama penelitian tergolong ke dalam tiga ordo. Kelima spesies ektoparasit tersebut adalah Hoplopleura pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae),

Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera, Anoplura: Polyplacidae), Xenopsylla

cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan

L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae) (Tabel 2). Ada hubungan antara jenis kelamin tikus dengan tingkat populasi spesies ektoparasit pada tubuh tikus. Hal ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009) bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok ektoparasit (kutu, pinjal, tungau, dan caplak) yang ditemukan pada tubuh tikus di empat habitat yang berbeda yaitu perkotaan, hutan, sawah, dan pesisir pantai.

Jumlah individu ektoparasit yang ditemukan sebanyak 2 548. H. pacifica

pada tikus jantan dan betina ditemukan sebanyak 1 001 dan 382 (1383 individu).

P. spinulosa ditemukan sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina). Kadarsan et al. (1986) melaporkan ada tiga kelompok ektoparasit pada tubuh tikus yang terdiri dari Anoplura, Siphonaptera, dan Mesostigmata. Paramasvaran et al. (2009) melaporkan setidaknya ada 10 spesies ektoparasit yang bias ditemukan pada tubuh tikus yang meliputi; H. pacifica, P.

90 87.5 80 86.7 56.3 35.7 100 77.8 0 20 40 60 80 100 120

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina R. rattus diardii R. argentiventer R. tiomanicus R. norvegicus

P re va lensi (% )

18

spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, L. echidninus, Ornithonyssus bacoti Hirst (Acariformes: Macronyssidae), Ascoschoengastia indica Hirst, Leptotrombidium

Tabel 2 Jumlah individu masing-masing spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus

Jenis tikus Jenis kelamin

Jumlah individu spesies ektoparasit

H. pacifica P. spinulosa X. cheopis L. nuttalli L. echidninus Sub Total R. rattus diardii Jantan 922 143 4 3 67 1 139 Betina 224 490 5 17 142 878 R. argentiventer Jantan 16 5 0 39 13 73 Betina 140 32 0 54 41 267 R. tiomanicus Jantan 45 6 5 15 11 82 Betina 8 0 2 7 11 28 R. norvegicus Jantan 18 1 0 4 0 23 Betina 10 8 0 35 5 58 Total Jantan 1 001 155 9 61 91 1 317 Betina 382 530 7 113 199 1 231

deliense Nagayo, dan Walchiella oudemansi Womersley (Acariformes: Trombiculidae) serta Amblyomma sp. Neumann (Acarina: Ixodidae).

Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Habitat Tikus Intensitas infestasi masing-masing spesies ektoparasit (H. pacifica, P. spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, dan L. echidninus) pada tubuh tikus berdasarkan habitat penangkapan (rumah, sawah, kebun, dan got) tertera pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada perbedaan infestasi spesies ektoparasit pada habitat rumah, sawah, dan kebun jika dibandingkan dengan pola infestasi berdasarkan spesies tikus.

Habitat Rumah

Sebanyak 25 tikus yang tertangkap di habitat rumah hanya terdiri dari tikus rumah (R. rattus diardii). Tikus betina (15 ekor) yang tertangkap di habitat rumah lebih banyak dibandingkan dengan tikus jantan (10 ekor). H. pacifica pada tikus betina memiliki infestasi yang jauh lebih tinggi (86.7%) jika dibandingkan dengan spesies-spesies ektoparasit lainnya. Infestasi ektoparasit terendah terjadi pada

L. nuttalli yaitu 13.3%. Hal ini terjadi karena seluruh aktivitas dari anggota Anoplura berada pada tubuh tikus.

Empat spesies ektoparasit pada tikus rumah (P. spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, dan L. echidninus) memiliki pola infestasi yang lebih tinggi pada tikus jantan dengan persentase berturut-turut 60%, 40%, 30%, dan 80% jika dibandingkan pada persentase infestasi pada tikus betina masing-masing 46.7%, 20%, 13%, dan 73.3%. Hal ini terjadi karena mobilitas tikus jantan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tikus betina.

19 Pada habitat sawah, tikus yang tertangkap terdiri dari 3 jenis tikus yaitu R. argentiventer (5 ekor jantan dan 15 ekor betina), R. tiomanicus (5 ekor jantan dan Tabel 3 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit

berdasarkan habitat tempat penangkapan dan jenis kelamin tikus (%) Habitat Jenis

kelamin

Jumlah tikus

Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit (%) H. Pacifica P. spinulosa X. cheopis L. nuttalli L. echidninus Rumah Jantan 10 6 (60) 6 (60) 4 (40) 3 (30) 8 (80) Betina 15 13 (86.7) 7 (46.7) 3 (20) 2 (13.3) 11 (73.3) Sawah Jantan 10 7 (70) 5 (50) 0 (0) 5 (50) 5 (50) Betina 19 12 (63.2) 8 (42.1) 0 (0) 7 (36.8) 7 (36.8) Kebun Jantan 11 0 (0) 0 (0) 2 (18.2) 3 (27.3) 5 (45.5) Betina 11 0 (0) 0 (0) 1 (9.1) 0 (0) 3 (27.3) Got Jantan 2 2 (100) 1 (50) 0 (0) 2 (100) 0 (0) Betina 9 2 (22.2) 3 (33.3) 0 (0) 4 (44.4) 1 (11.1) Total Jantan 33 15 (45.5) 12 (36.4) 6 (18.2) 13 (39.4) 18 (54.5) Betina 54 27 (50) 18 (33.3) 4 (7.4) 13 (24.1) 22 (40.7)

(angka di dalam kurung): persentase infestasi spesies ektoparasit dinyatakan dalam satuan %

3 betina), dan R. rattus diardii (1 ekor betina) (Tabel 1). Penangkapan berbagai jenis tikus di habitat sawah dapat terjadi karena saat penelitian tanaman padi memasuki fase generatif, sehingga habitat sawah menyediakan sumber pakan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan habitat tikus lainnya.

Persentase terinfestasi ektoparasit pada tubuh tikus di habitat sawah memperlihatkan bahwa tikus jantan jauh lebih rentan terinfestasi ektoparasit dibandingkan tikus betina. H. pacifica (70%) adalah ektoparasit yang dominan ditemukan pada tikus jantan diikuti oleh P. spinilosa, L. nuttalli, dan L. echidninus yang memiliki persentase infestasi yang sama (50%). Pada tikus betina

H. pacifica (63.2%) juga memperlihatkan nilai infestasi yang tinggi diikuti oleh P. spinulosa (42.1%), L. nuttalli (36.8%), dan L. echidninus (36.8%). Di habitat sawah tidak ditemukan X. cheopis baik pada tikus jantan maupun tikus betina. Menurut Hartini (1985), Fenomena ini kemungkinan terjadi karena prevalensi ektoparasit kelompok ini diduga erat berhubungan dengan habitat yang harus sesuai untuk kelangsungan hidupnya.

Habitat Kebun

Sebanyak 22 ekor tikus (11 jantan dan 11 betina) yang tertangkap di habitat kebun semuanya adalah R. tiomanicus. Baik H. pacifica dan P. spinulosa tidak ditemukan pada R. tiomanicus di habitat ini dan berbeda dari ketiga habitat

20

lainnya. Hal ini bisa terjadi karena anggota Anoplura merupakan ektoparasit yang umumnya diketahui melakukan aktivitas hidup pada tubuh inang yang dekat dengan aktivitas manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramasvaran et al. (2009). Dari total 51 tikus yang diperiksa, 45.1% terinfestasi oleh tungau dan 35.3% oleh caplak, akan tetapi tidak ditemukan anggota Anoplura pada tikus di habitat hutan.

Penangkapan 22 ekor R. tiomanicus dilakukan di dua tempat yaitu habitat yang jauh dan dekat dengan permukiman warga. Sebanyak 13 ekor ditangkap di habitat jauh dari permukiman dan 9 ekor di dekat permukiman warga. Dari 13 ekor tikus yang diperiksa dari habitat jauh dari permukiman tidak ditemukan ektoparasit. Hal ini berbeda pada R. tiomanicus yang tertangkap dekat dengan permukiman dan yang tertangkap pada habitat sawah (Tabel 1). Survei ektoparasit pada tikus di hutan yang dilakukan oleh Chulan et al. (2005) menunjukkan bahwa beberapa spesies hewan pengerat yang diperiksa ditemukan spesies ektoparasit yang berbeda dari tungau, caplak, kutu, dan pinjal, tetapi tidak ditemukan ektoparasit dari Anoplura dan Siphonaptera.

Habitat Got (Saluran Air)

Hasil tangkapan tikus got (R. norvegicus) sebanyak 11 ekor tikus (2 jantan dan 9 betina). Hasil pemeriksaan kedua tikus jantan memperlihatkan bahwa ditemukan tiga spesies ektoparasit ditubuhnya yang terdiri dari H. pacifica, P. spinulosa, dan L. nuttalli dengan persentase terinfestasi berturut-turut 100%, 50%, dan 100%. Pada tikus betina, dari hasil pemeriksaan 9 ekor tikus didapatkan

empat spesies ektoparasit yaitu H. pacifica, P. spunulosa, L. nuttalli, dan

L. echidninus dengan masing-masing persentase terinfestasi berturut-turut 22.2%, 33.3%, 44.4%, dan 11.1%.

Ektoparasit dari spesies X. cheopis tidak ditemukan sama sekali pada R. norvegicus baik pada tikus jantan maupun tikus betina. Hal ini kemungkinan terjadi karena tikus yang diperiksa (jantan maupun betina) masih berumur pra dewasa. Mobilitas tikus relatif belum maksimal dan rambut rambut pada tubuhnya belum memenuhi standar untuk tempat hidup ektoparasit ini. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa X. cheopis merupakan ektoparasit yang sifatnya kosmopolitan dan tidak terlalu terikat pada jenis-jenis tikus inang tertentu. Prevalensi X. cheopis

pada tikus dewasa lebih tinggi dari pada tikus muda. Demikian juga pada tikus dewasa betina (31.7%) lebih tinggi dari pada tikus jantan (Hartini 1985).

Paramasvaran et al. (2009) mengungkapkan bahwa tidak ditemukannya pinjal pada tikus sampel mungkin karena tingkat infestasi rendah atau lingkungan tidak cocok untuk kelangsungan hidup pinjal. Temuan hewan pengerat perkotaan terutama R. rattus diardii dan R. norvegicus yang terinfestasi dengan pinjal jarang dilaporkan dalam literatur. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa X. cheopis

jarang ditemukan di daerah ladang pada ketinggian lebih dari 1 000 meter di atas permukaan laut.

Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Spesies Tikus Intensitas infestasi spesies ektoparasit L. echidninus pada tikus jantan memiliki pola infestasi yang lebih tinggi yaitu 54.5% dibandingkan dengan intensitas infestasi spesies ektoparasit lainnya (Tabel 4). Spesies X. cheopis

21 memiliki intensitas infestasi yang jauh lebih rendah baik pada tikus jantan maupun tikus betina dibandingkan keempat spesies ektoparasit lainnya.

Rendahnya intensitas infestasi X. cheopis diduga karena lingkungan habitat penangkapan tikus kurang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Selain faktor habitat tempat penangkapan tikus dan lingkungan yang kurang mendukung, juga diduga karena siklus hidup dan perilaku X. cheopis yang berbeda dengan ektoparasit lainnya. Pada fase telur, larva, dan pupa X. cheopis hidup bebas di luar tubuh inang dan setelah memasuki fase dewasa pinjal ini aktif mencari inang. Noble dan Noble (1989) menduga bahwa sebagian besar pinjal jantan mati Tabel 4 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit

berdasarkan spesies dan jenis kelamin tikus (%) Jenis

tikusᵇ Jenis kelamin

Jumlah tikus

Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit (%) H. pacifica P. spinulosa X. cheopis L. nuttalli L. echidninus Rr Jantan 10 6 (60) 6 (60) 4 (40) 3 (30) 8 (80) Betina 16 14 (87.5) 8 (50) 3 (18.8) 2 (12.5) 10 (62.5) Ra Jantan 5 4 (80) 3 (60) 0 (0) 3 (60) 3 (60) Betina 15 10 (66.7) 7 (46.7) 0 (0) 6 (40) 6 (40) Rt Jantan 16 3 (18.8) 2 (12.5) 2 (12.5) 5 (31.3) 7 (43.8) Betina 14 1 (7.1) 0 (0) 1 (7.1) 1 (7.1) 4 (28.6) Rn Jantan 2 2 (100) 1 (50) 0 (0) 2 (100) 0 (0) Betina 9 2 (22.2) 3 (33.3) 0 (0) 4 (44.4) 1 (11.1) Total Jantan 33 15 (45.5) 12 (36.4) 6 (18.2) 13 (39.4) 18 (54.5) Betina 54 27 (50) 18 (33.3) 4 (7.4) 13 (24.1) 22 (40.7)

ª (angka di dalam kurung): persentase infestasi spesies ektoparasit dinyatakan dalam satuan %.

ᵇ Rr: R. rattus diardii, Ra: R. argentiventer, Rt: R. tiomanicus, Rn: R. norvegicus

segera setelah kopulasi. Perubahan musiman terhadap cuaca mempengaruhi jumlah telur yang diletakkan dan stadium larva. Kelembaban bagi larva merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kelangsungan hidupnya. Masing-masing kelompok ektoparasit menunjukkan pola infestasi yang

Dokumen terkait