BAB II LANDASAN TEORI
B. Balanced Scorecard
2. Balanced Scorecard pada Organisasi Sektor Publik
Penerapan Balanced Scorecard dalam organisasi sektor publik membutuhkan modifikasi, namun modifikasi tersebut tidak berarti harus berbeda dengan Balanced Scorecard untuk organisasi bisnis. Mahmudi (2005) menjelaskan tentang keempat perspektif dalam Balanced Scorecard untuk sektor publik sebagai berikut:
a. Perspektif Keuangan
Penyedia sumberdaya finansial pada sektor publik adalah para pembayar pajak atau pengguna layanan publik yang membayar atas jasa yang diterimanya sehingga organisasi harus berfokus pada sesuatu yang diharapkan oleh masyarakat yang membayar tersebut. Mereka mengharapkan uang yang telah dibayarkan digunakan secara efektif dan efisien.
Meskipun organisasi sektor publik tidak mengejar laba, organisasi perlu memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan atau mengurangi biaya sehingga bisa meningkatkan kemandirian fiskal yang dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan. Beberapa ukuran kinerja yang digunakan pada perspektif keuangan misalnya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pajak, penghematan anggaran dan indikator lain yang terkait keuangan organisasi.
Penilaian kinerja keuangan rumah sakit pemerintah daerah yang berstatus BLUD menurut Permendagri No. 61 Tahun 2007 didasarkan pada tingkat kemampuan BLUD dalam:
1) Memperoleh hasil usaha atau hasil kerja dari layanan yang diberikan (rentabilitas).
2) Memenuhi kewajiban jangka pendeknya (likuiditas). 3) Memenuhi seluruh kewajibannya (solvabilitas).
4) Kemampuan penerimaan dari jasa layanan untuk membiayai pengeluaran (cost recovery rate).
b. Perspektif Pelanggan
Tinjauan dari perspektif pelanggan antara sektor publik dan bisnis pada dasarnya sama yaitu mengetahui bagaimana pelanggan melihat organisasi. Pelanggan sektor publik yang utama adalah masyarakat pembayar pajak atau masyarakat pengguna layanan publik. Pada perspektif pelanggan, organisasi sektor publik difokuskan untuk memenuhi kepuasan masyarakat melalui penyediaan barang dan pelayanan publik yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Organisasi sektor publik harus mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dan membuat ukuran-ukuran kepuasan tersebut, sebab tujuan organisasi sektor publik secara makro adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kepuasan pelanggan tersebut akan memicu kesuksesan kinerja lain yaitu kinerja keuangan.
Pada organisasi pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit, pelanggan atau pasien dapat menjadi salah satu sumber pendapatan demi kelangsungan jalannya organisasi dengan membayar sejumlah uang atas pelayanan yang diterimanya. Akan tetapi, kualitas pelayanan terhadap pelanggan atau pasien harus lebih diprioritaskan karena menyangkut kelangsungan hidup pasien.
Menurut Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (dalam Riduwan, 2007: 21) terdapat lima dimensi penentu kualitas layanan yang dinamakan konsep Servqual.
Lima dimensi tersebut yaitu:
1) Tangibles atau wujud fisik, adalah penampakan fisik dari gedung, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki oleh
providers.
2) Reliability atau keandalan adalah kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat.
3) Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk mendorong customers dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.
4) Assurance atau kepastian/jaminan adalah pengetahuan dan kesopanan para pekerja dan kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada customers.
5) Emphaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang diberikan oleh providers kepada customers.
c. Perspektif Proses Bisnis Internal
Perspektif proses bisnis internal pada organisasi publik yaitu untuk membangun keunggulan organisasi melalui perbaikan proses internal organisasi secara berkelanjutan. Tujuan strategik dalam perspektif proses bisnis internal ini adalah mendukung perspektif keuangan dan perspektif pelanggan.
Beberapa tujuan atau sasaran pada perspektif proses bisnis internal misalnya peningkatan proses layanan, perbaikan siklus layanan, peningkatan kapasitas infrastruktur dan pemutakhiran
teknologi. Pengintegrasian proses layanan pelanggan secara langsung akan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan secara tidak langsung akan berdampak pada kinerja keuangan.
Menurut Mahmudi (2010: 145), dalam rangka meningkatkan kinerja pada perspektif proses bisnis internal, organisasi sektor publik harus mengidentifikasi dan mengukur kompetensi inti organisasi, mengidentifikasi proses utama pelayanan, mengidentifikasi teknologi utama yang perlu dimiliki dan menentukan ukuran dan target kinerja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja pada perspektif proses bisnis internal dapat ditingkatkan apabila didukung beberapa faktor antara lain: ketersediaan peralatan, sarana dan prasarana yang memadai, dan proses pelayanan yang baik.
d. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dalam organisasi sektor publik difokuskan untuk melakukan perbaikan dan menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholder-nya. Sasaran atau tujuan yang ditetapkan pada perspektif ini akan berpengaruh terhadap perspektif lainnya. Beberapa sasaran atau tujuan untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini antara lain peningkatan kemampuan pegawai dan peningkatan motivasi pegawai.
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 109), organisasi tidak hanya menekankan investasi peralatan saja tetapi organisasi juga harus berinvestasi dalam infrastruktur yaitu orang, sistem, dan prosedur jika
ingin mencapai pertumbuhan jangka panjang. Tiga kategori utama untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah kemampuan karyawan, kemampuan sistem informasi, motivasi, penguasaan wewenang, dan penjajaran. Oleh sebab itu, selain pemanfaatan sarana, prasarana, dan teknologi yang tersedia secara optimum, kemampuan dan motivasi yang dimiliki oleh karyawan juga sangat mempengaruhi kualitas pelayanan.
Keith Davis (1985 dalam Hartati, 2012) mengemukakan faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai adalah faktor kemampuan dan faktor motivasi.
1) Kemampuan
Menurut Keith Davis (1985 dalam Hartati, 2012), kemampuan pegawai dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan keterampilan. Sebagaimana dirumuskan: ability = knowledge + skill. Secara psikologis, kemampuam pegawai terdiri dari kemampuan potensi dan kemampuan reality. Artinya, pegawai yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai untuk menjalankan pekerjaan terampil dalam mengerjakanan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja (prestasi) yang diharapkan.
2) Motivasi
Teori motivasi yang dikemukakan Mc.Clelland (1961 dalam Hartati, 2012) menyebutkan bahwa pegawai mempunyai energi
potensial. Energi akan dimanfaatkan oleh pegawai karena didorong oleh motif, harapan, dan insentif. Motif adalah suatu perangsang keinginan dan daya penggerak kemauan bekerja seseorang. Setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Harapan adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku untuk tercapainya tujuan. Insentif yakni memotivasi bawahan dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi di atas prestasi standar.
3. Pengukuran Kinerja Rumah Sakit dengan Balanced Scorecard
Konsep pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard merupakan konsep pengukuran kinerja yang tidak menggunakan indikator tunggal dalam menilai suatu organisasi. Pengukuran kinerja yang hanya memandang dari aspek finansial saja sudah tidak relevan dalam pengambilan keputusan, karena indikator-indikator keuangan dianggap tidak proaktif terhadap masalah-masalah potensial seperti masalah operasional (indikator nonfinansial). Ukuran keuangan dan nonkeuangan sangat penting dan merupakan satu kesatuan yang saling mendukung serta dapat menilai kinerja organisasi secara keseluruhan.
Rumah sakit sebagai salah satu contoh organisasi publik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat sama dengan organisasi sektor publik lainnya bertujuan untuk memberikan pelayanan optimal dan memberikan kepuasan bagi pengguna jasa mereka. Balanced scorecard
dapat digunakan sebagai alat bagi manajemen untuk mengukur kinerja organisasi pelayanan kesehatan (Fourika, 2006).
Berbasis pada konsep Balanced Scorecard, indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan rumah sakit sebagai sebuah lembaga usaha tersusun atas empat perspektif yaitu: pemberdayaan dan pengembangan sumberdaya manusia; proses pelaksanaan kegiatan; kepuasan pengguna, pemberi subsidi, dan/atau pemberi donor kemanusiaan; keuangan (Trisnantoro, 2005).
a. Perspektif Pelanggan
Perspektif pelanggan merupakan cara pelanggan memandang kita (organisasi) dan bagaimana kita melihat pelanggan. Menurut Kaplan dan Norton (2000: 59) terdapat lima ukuran utama dalam perspektif ini yaitu pangsa pasar, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan, kepuasan pelanggan, dan profitabilitas pelanggan. Ukuran dalam perspektif pelanggan digunakan untuk mengukur seberapa baik organisasi memenuhi permintaan dan kebutuhan pelanggan, kemudian melakukan antisipasi mengenai apa yang diperlukan pelanggan di masa mendatang (Chow, 1998 dalam Fourika, 2006).
Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit maka pada perspektif ini, beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain: tindakan yang dilakukan agar pelanggan (pasien) puas atas pelayanan kesehatan yang telah diberikan, penyelesaian dan tanggapan yang diberikan jika ada keluhan dari
pelanggan, pemenuhan harapan pelanggan. Perspektif ini jika dilakukan dengan baik maka akan mendukung tercapainya kinerja keuangan.
1) Retensi Pelanggan (Customer Retention)
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 61) cara untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar dalam segmen pelanggan sasaran diawali dengan mempertahankan pelanggan yang ada di segmen tersebut. Menurut Handayani (2011) customer retention mengukur seberapa besar perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan-pelanggan lama. Pengukuran retensi pelanggan rumah sakit yaitu dengan membandingkan jumlah pasien lama dengan total pasien. Semakin besar tingkat retensi pelanggan maka kinerja rumah sakit semakin baik.
2) Akuisisi Pelanggan (Customer Acquisition)
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 61) akuisisi pelanggan dapat diukur dengan banyaknya jumlah pelanggan baru. Menurut Handayani (2011) akuisisi pelanggan rumah sakit dapat diukur dengan banyaknya jumlah pasien baru. Penghitungan akuisisi pelanggan yaitu jumlah pasien baru dibagi dengan jumlah total pasien pada tahun tersebut. Semakin besar tingkat akuisisi menunjukkan kinerja rumah sakit semakin baik.
3) Kepuasan Pelanggan
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 61) retensi dan akuisisi pelanggan ditentukan oleh usaha perusahaan untuk dapat memuaskan berbagai kebutuhan pelanggan. Ukuran kepuasan pelanggan memberikan umpan balik mengenai seberapa baik perusahaan melaksanakan bisnis. Pengukuran terhadap tingkat kepuasan konsumen dilakukan dengan berbagai teknik antara lain
interview, survey, dan personal view. b. Perspektif Proses Bisnis Internal
Menurut Chow (1998 dalam Fourika: 2006) perspektif ini merupakan kemampuan organisasi dalam proses pelayanan untuk memenuhi harapan pelanggan. Proses ini dapat dievaluasi melalui beberapa indikator seperti survei kepada pasien mengenai proses administrasi dan pelayanan kesehatan, teknologi yang digunaakan, sikap pegawai, komunikasi dengan pegawai, ketepatan waktu pelayanan kesehatan dan lain-lain.
1) Proses Inovasi
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 84) proses inovasi merupakan proses internal yang sangat penting. Menurut Kaplan dan Norton (2000: 85) proses inovasi terdiri dari dua komponen. Pertama, para manajer melaksanakan penelitian penelitian pasar untuk mengenali ukuran pasar, bentuk preferensi pelanggan, dan tingkat harga produk dan jasa sasaran. Kedua, proses inovasi juga mencakup
membayangkan peluang dan pasar baru bagi produk dan jasa yang dapat dipasok perusahaan. Menurut Handayani (2011) proses inovasi yang mewakili perspektif proses bisnis internal diukur dengan banyaknya produk baru yang dihasilkan.
2) Proses Operasi
Ini merupakan tahapan di mana rumah sakit berupaya untuk memberikan solusi kepada pasien dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien. Menurut Handayani (2011) terdapat beberapa komponen yang menjadi tolok ukur pada proses operasi, komponen tersebut adalah jumlah kunjungan rawat jalan dan jumlah kunjungan rawat inap. Tingkat kunjungan rawat jalan dapat dihitung dengan jumlah kunjungan pasien untuk berobat selama hari buka klinik rumah sakit. Sementara itu, indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kunjungan rawat inap adalah BOR, ALOS, TOI, BTO, GDR, dan NDR. BOR adalah persentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran mengenai tinggi rendahnya pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. ALOS adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Selain memberikan gambaran tingkat efisiensi, ALOS juga memberikan gambaran mutu pelayanan. TOI adalah rata-rata hari di mana tempat tidur tidak ditempati dari telah terisi ke saat terisi berikutnya. BTO adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai
dalam satu satuan waktu tertentu. NDR adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk setiap 1.000 penderita keluar. GDR adalah angka kematian umum untuk setiap 1.000 penderita keluar. Selain dua tolok ukur tersebut, terdapat tolok ukur lain yang dapat digunakan yaitu waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan (respon time).
c. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Aspek ini melihat kemampuan pegawai, kualitas sistem informasi, teknologi proses, efek dari penyelarasan organisasi dalam menunjang pencapaian sasaran dan tujuan (Robertson, 2002 dalam Fourika, 2006). Proses ini dapat berhasil dengan baik jika ada pegawai yang mempunyai keahlian memadai dan termotivasi serta didukung oleh adanya informasi yang akurat dan tepat waktu. Perspektif ini memuat indikator tentang sejumlah manfaat dari pengembangan baru dan bagaimana hal ini dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan organisasi di masa depan.
Perspektif ini menyatakan bahwa karyawan medik, paramedik, dan karyawan lain merupakan komponen penting rumah sakit yang harus diberdayakan. Mutu proses pelayanan kesehatan akan meningkat jika karyawan rumah sakit mempunyai komitmen dan terlatih dalam pekerjaannya (Trisnantoro, 2005). Menurut Kaplan dan Norton (2000: 111) pengukuran kinerja dari perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan menggunakan tiga indikator yaitu retensi karyawan, kepuasan karyawan dan produktivitas pekerja.
1) Kepuasan Karyawan
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 112) tujuan kepuasan karyawan menyatakan bahwa moral pekerja dan kepuasan kerja secara keseluruhan saat ini dipandang sangat penting oleh sebagian besar perusahaan. Pekerja yang puas merupakan pra-kondisi bagi meningkatnya produktivitas, daya tanggap, mutu, dan layanan pelanggan. Oleh karena itu, perusahaan yang ingin mencapai tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi perlu memiliki pelanggan yang dilayani oleh pekerja yang terpuaskan oleh perusahaan. 2) Retensi Karyawan
Tujuan retensi karyawan adalah untuk mempertahankan selama mungkin para pekerja yang diminati perusahaan (Kaplan, 2000: 113). Perusahaan membuat investasi jangka panjang dalam diri para pekerja sehingga setiap kali ada pekerja berhenti yang bukan atas keinginan perusahaan merupakan suatu kerugian modal intelektual bagi perusahaan. Para pekerja yang bekerja dalam jangka yang lama dan loyal membawa nilai perusahaan, pengetahuan tentang berbagai proses organisasional, dan diharapkan sensitivitasnya terhadap kebutuhan para pelanggan.
3) Produktivitas Karyawan
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 113) produktivitas karyawan adalah suatu ukuran hasil, dampak keseluruhan usaha peningkatan moral dan keahlian pekerja, inovasi, proses internal, dan kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah membandingkan keluaran yang dihasilkan oleh para pekerja dengan jumlah pekerja yang dikerahkan untuk menghasilkan keluaran tersebut. Ukuran produktivitas yang paling sederhana adalah pendapatan per pekerja. Semakin efektifnya pekerja dalam menjual lebih banyak produk dan jasa dengan nilai tambah yang meningkat, pendapatan per pekerja seharusnya juga meningkat.
4) Rasio Pelatihan Pegawai
Menurut Kaplan dan Norton (2000: 115) tuntutan akan pentingnya pelatihan ulang para pekerja dapat dipandang dalam dua dimensi: tingkat pelatihan ulang yang dibutuhkan dan persentase tenaga kerja yang membutuhkan pelatihan ulang. Bila pelatihan ulang rendah, latihan dan pendidikan normal sudah cukup bagi perusahaan untuk mempertahankan kapabilitas pekerja.
d. Perspektif Keuangan
Perspektif finansial pada pengukuran kinerja rumah sakit dapat diukur dengan melakukan survei terhadap para pimpinan rumah sakit mengenai kinerja keuangannya, penggunaan dana, perolehan pendapatan, pengeluaran dan kesesuaian dengan anggaran.
Menurut Trisnantoro (2005) perspektif keuangan merupakan hal penting untuk rumah sakit. Aspek keuangan yang kuat akan memungkinkan rumah sakit berbuat lebih banyak dalam melaksanakan berbagai misinya. Lebih lanjut, secara berkesinambungan rumah sakit dengan aspek keuangan mantap akan senantiasa meningkatkan mutu proses pelayanan dengan perbaikan fasilitas medik dan fisik rumah sakit serta pengembangan sumberdaya manusia.
Menurut Herry (2015), jenis rasio keuangan yang sering digunakan untuk menilai kondisi keuangan dan kinerja perusahaan, antara lain:
1) Rasio likuiditas, merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang segera jatuh tempo. Menurut Hartati (2012) rasio likuiditas yang sering digunakan adalah current ratio. Current ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang segera jatuh tempo dengan menggunakan total aset lancar yang tersedia. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menghitung current ratio:
Current ratio =
Menurut Syaaf (2000 dalam Hartati, 2012) ukuran baku current ratio perumahsakitan adalah sebesar 1,75 – 2,75.
2) Rasio struktur modal atau rasio solvabilitas atau rasio leverage, merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya. Salah satu rasio yang dipakai dalam mengukur solvabilitas rumah sakit adalah rasio modal sendiri terhadap total aset. Rasio ini menjelaskan besarnya pembiayaan kekayaan total rumah sakit yang dibiayai dari modal sendiri. Menurut Syaaf (2000 dalam Hartati, 2012) ukuran baku rasio modal sendiri dengan total aset perumahsakitan sebesar 0,4 – 0,5.
Rasio modal sendiri dengan total aset =
3) Rasio aktivitas, merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi atas pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki perusahaan atau untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Rasio ini digunakan oleh rumah sakit untuk menganalisis hubungan antara pendapatan usaha/operasional dengan investasi dalam berbagai bentuk aktiva, antara lain periode perputaran piutang dan perputaran total aset. a) Periode perputaran piutang usaha (collection period)
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur berapa kali dana yang tertanam dalam piutang usaha akan berputar dalam satu periode atau berapa lama (dalam hari) rata-rata penagihan piutang usaha. Menurut Syaaf (2000 dalam Hartati, 2012)
ukuran baku periode perputaran piutang perumahsakitan adalah sebesar 50 – 70 hari.
Collection period =
b) Perputaran total aset (total asset turnover) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur keefektifan total aset yang dimiliki perusahaan dalam menghasilkan penjualan. Menurut Syaaf (2000 dalam Hartati, 2012) ukuran baku perputaran aset perumahsakitan sebesar 0,9 – 1,1.
Total asset turnover =
4) Rasio return on investment, mengukur tingkat kembalian investasi yang telah dilakukan perusahaan baik dengan menggunakan total aktiva yang dimiliki perusahaan maupun menggunakan dana yang berasal dari pemilik. Rasio ROI yang dipakai untuk mengukur kinerja keuangan rumah sakit adalah return on asset (ROA) dan
return on equity (ROE). Return on asset merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan. Menurut Syaaf (2000 dalam Hartati, 2012) ukuran baku return on asset perumahsakitan sebesar 0,025 – 0,15.
Return on equity merupakan rasio yang memperlihatkan sejauh mana perusahaan mengelola modal sendiri secara efektif. Rumus penghitungan ROE yaitu:
5) Cost Recovery Rate (CRR), merupakan nilai yang menunjukkan seberapa besar kemampuan rumah sakit menutup biayanya (tidak termasuk gaji dan tunjangan PNS) dari total pendapatan rumah sakit (tidak termasuk subsidi pemerintah). Menurut Hartati (2012) nilai ideal CRR adalah > 1 atau > 100%.
CRR =
Fourika (2006) mengungkapkan keuntungan penggunaan pendekatan Balanced Scorecardpada organisasi pelayanan kesehatan adalah:
a. Memberikan kekuatan bagi pemimpin organisasi untuk mempertimbangkan dan memperhatikan semua ukuran operasional penting ke dalam satu kemasan (terintegrasi).
b. Membantu menciptakan penggabungan yang penting bagi pelayanan kesehatan agar dapat dikelola seperti bagian lain pada proses bisnis. c. Secara signifikan dapat meningkatkan kemungkinan pencapaian
kinerja yang diinginkan.
Keuntungan lain dari penggunaan pendekatan Balanced Scorecard bahwa pendekatan ini bersifat komprehensif (menyeluruh) dan koheren, tidak
hanya mengukur aspek keuangan saja tetapi juga menilai aspek nonkeuangan.