BAB IV. DAMPAK PERKEMBANGAN LEKRA DI BIDANG POLITIK
A. Bidang Politik
Dalam menggapai cita-cita bangsa dengan menjalankan revolusi yang
merupakan upaya untuk melawan imperialisme, feodalisme, dan kolonialisme
diperlukan gerakan disemua bidang. Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang
bergerak di bidang kesenian dan ilmu pengetahuan ikut meramaikan revolusi pada
masa itu. Usaha yang dilakukannya ialah memadukan kebudayaan dan gerakan
rakyat dengan menghimpun para seniman dan pekerja kebudayaan lainnya yang
revolusioner.
Pada tahun 1951, cabang Lekra tersebar di sejumlah kota besar seperti
Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bogor, Bandung, Semarang, Malang, Bukittinggi,
Palembang, Manado, dan Balikpapan. Setiap cabang Lekra menunjuk salah satu
144M. Agus Burhan, Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra, 2013, Surakarta, UNS PRESS, hlm. 76.
sebagai wakil yang duduk dalam pimpinan pusat.145 Lekra menjadi sebuah
lembaga kebudayaan yang berkembang secara pesat dengan memiliki banyak
cabang yang tersebar luas di berbagai daerah dan tergabung anggota yang tidak
sedikit.
Sebagai lembaga kebudayaan yang mengabdikan diri kepada rakyat dan
revolusi, Lekra didukung penuh oleh Partai Komunis Indonesia dan Presiden
Soekarno. Kedekatan Lekra dengan PKI membuat keduanya kerap kali terlibat
dalam berbagai kegiatan, baik politik maupun kebudayaan. Dalam tubuh Lekra,
terdapat beberapa tokoh yang tergabung dengan partai-partai politik. Seperti D. N.
Aidit dan Njoto yang merupakan petinggi dari Partai Komunis Indonesia dan
Ashar sebagai anggota Partai Murba.146
Hal yang serupa juga terasa dalam suasana kehidupan politik Sanggar Bumi
Tarung yang berjuang untuk rakyat tertindas. Awal ini berkaitan erat dengan
manifestasi politik Soekarno untuk membangkitkan revolusi yang
berkesinambungan. Pelukis-pelukis Bumi Tarung melakukan bentuk desakan
politik melalui seni lukis revolusioner. Di samping itu, mereka mempunyai prinsip
“seni untuk rakyat” untuk mempertegas kembali dan menganggap “seni lukis sebagai api kehidupan revolusi”.
Manifestasi seni lukis revolusioner bukan semata-mata mengungkapkan
tipikal kehidupan rakyat tetapi juga memberi bentuk dengan tegas siapa lawan dan
siapa kawan dalam persoalan ketertindasan rakyat. Ciri-ciri visual lukisan-lukisan
145 Tempo, Lekra dan Geger 65, Cetakan Pertama, Jakarta, Kepustakaan Gramedia, Januari 2014, hlm. 8.
itu yakni menampilkan ekspresi rakyat yang mengeras dan menyiratkan
pertentangan kelas dan konflik sosial.147
Pada awal tahun 1960, para seniman mulai melibatkan diri pada komitmen
ideologi kerakyatan revolusioner dengan berusaha memperjelas kredo seni untuk
rakyat. Pengertian rakyat ini dipersempit dengan pandangan politik, bahwa
mereka merupakan kelompok orang-orang tertindas. Ungkapan mereka tidak
hanya terbatas pada gaya realisme, tetapi juga impresionisme, ekspresionisme,
dan dekoratif. Para seniman tersebut antara lain Amrus Natalsya, Djoni Sutrisno,
Itji Tarmizi, dan Batara Lubis, terutama seniman-seniman sanggar Bumi
Tarung.148
Konteks sosial politik yang terjadi pada tahun 1950-1965 menempatkan
wacana kerakyatan sebagai isu sentral dalam perkembangan kesenian Indonesia.
Ide kerakyatan merupakan paradigma perjuangan para seniman dalam pembuatan
karyanya yang berpihak kepada rakyat.149 Rakyat yang merupakan pekerja dengan
pendidikan, keahlian, dan penghasilan rendah yang syarat dengan penderitaan
menggugah hati para seniman untuk menceritakannya dalam karya-karya mereka.
Pengungkapan seni bertemakan penderitaan rakyat dapat berkaitan dengan
propaganda dan tendensi-tendensi pemikiran yang pada akhirnya menjadi sikap
sosial politik para seniman. Hal ini terlihat dalam ekspresi lukisan. Kesadaran
akan kaum tertindas mempunyai hubungan dengan situasi sosial. Gaya realisme
147M. Agus Burhan, op.cit., hlm. 63.
148Ibid., hlm. 95.
merupakan ungkapan berdasarkan realitas kehidupan dalam makna-makna sosial
dan nilai kemanusiaan.150
Pengaruh PKI semakin dirasakan di semua bidang kehidupan sosial-politik.
Wakil-wakil PKI menempati kedudukan dalam pemerintahan dan
lembaga-lembaga tertinggi negara. Hal tersebut berkat kelihaian D.N. Aidit dan
perlindungan Presiden Soekarno kepada PKI. Persamaan kepentingan diantara
keduanya terlihat pada sikap antiimperialisme dan antiasing. Soekarno
membutuhkan peranan PKI sebagai basis massa untuk mempopolerkan
agendanya, terutama melawan the establish forces dan kekuatan Nekolim.151
Pemilihan Umum pada tahun 1955, PKI memperoleh 16,3% suara dan
menjadi partai terbesar setelah, PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama. Sejak itu,
perkembangan PKI semakin pesar dan menjadi partai komunis terbesar ketiga di
dunia. Seokarno membutuhkan PKI untuk mencegah Angkatan Darat bersama
golongan Islam. Sebaliknya, PKI memerlukan perlindungan dari Presiden dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Pada tahun 1960, Soekarno mengeluarkan
kebijakan tentang Nasakom; penggabungan kekuatan antara nasionalis, agama,
dan komunis. Hal ini tidak disukai oleh Angkatan Darat.152
Dalam perkembangannya, Lekra menjadi dekat dengan salah satu partai
politik yaitu PKI. Secara pragmatis, keduanya saling membutuhkan demi
kepentingan masing-masing lembaga. Lekra memerlukan PKI agar terus menjaga
efektivitas pelaksanaan asasnya “politik sebagai panglima”. Kala itu, Partai
150
Ibid., hlm. 104.
151Peter Kasenda, Bung Karno Panglima Revolusi, 2014, Yogyakarta, Galang Pustaka, hlm. 251.
152Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia, 2007, Yogyakarta, 2007, hlm. 66.
Komunis Indonesia merupakan salah satu partai besar dan paling dekat dengan
Presiden Soekarno. Hal ini tentu menguntungkan bagi Lekra untuk menghadapi
seterunya. Sementara itu, PKI membutuhkan Lekra untuk menjaga hubungan
baiknya dengan massa. PKI sadar bahwa kebudayaan dan kesenian merupakan
langkah yang efektif untuk menarik perhatian rakyat.153
Prinsip Lekra yang serupa dengan PKI ialah adanya larangan selingkuh dan
poligami. Hal ini terjadi pada November 1958, Dharta dipecat dari jabatan sebagai
sekretaris umum dan anggota Lekra karena diketahui berselingkuh. Pemecatannya
diumumkan di Harian Rakyat dan Dharta sempat ditahan di pencaran Kebonwaru,
Bandung, dan dibebaskan pada tahun 1978.154
Lekra sebagai lembaga yang memiliki banyak massa membutuhkan sarana
untuk memberitakan berbagai kegiatannya, yaitu koran. Koran-koran yang
memuat lembaran Lekra tiap minggunya adalah Zaman Baru, Republik, Sunday
Courier, Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur, dan Harian Rakyat. Beberapa Koran yang pro-Lekra dan PKI ialah Pendorong, Sin PO (edisi bahasa Cina dan
bahasa Indonesia), dan Terompet Masyarakat yang menjelang tahun 1965 lebih
condong ke Lekra.155
Harian Rakyat pertama kali terbit pada tanggal 31 Januari 1951. Kantor Harian Rakyat terletak di Pintu Besar Selatan No. 93 dengan Dewan Redaksi
ialah Njoto dan reksi/penanggung jawab adalah Naibabo serta dibantu Supeno.156
Jurnalisme yang diusung oleh Harian Rakyat adalah jurnalisme konfrontasi
153Rhoma Dwi Aria Yulianti, op.cit, hlm. 64.
154
Tempo, op.cit., hlm. 22-23.
155Rangkaian Peristiwa Pemberontakan komunis di Indonesia, Jakarta, Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan,1988, hlm. 45.
dengan bahasa yang meledak, tembak langsung, jambak, sikat, dan pukul di
tempat. Garis politik redaksi Harian Rakyat yang keras tidak jarang membuatnya
mendapatkan protes dari surat kabar lain, salah satunya ialah Harian Merdeka
milik BM Diah. Polemik yang terjadi diantara keduanya yakni memperdebatkan
soal politik dalam negeri, partai tunggal, watak-watak pendukung Soekarnoisme,
politik agraria, dan Manipol-Usdek.
Kedua koran di atas memiliki prinsip yang saling bertolak belakang. Harian
Merdeka yang merupakan Badan Pendukung soekarnoisme dan menentang PKI,
sedangkan Harian Rakyat yang berkoalisi dengan Harian Bintang Timur milik
Amuanto menuntut pembubaran BPS. Konflik yang terjadi pada tanggal 2-9 Juni
1964 ini berhenti dengan keputusan Jaksa Agung karena dapat membahayakan
persatuan para masyarakat yang revolusioner dan mengganggu keamanan
politik.157
Harian Rakyat tidak hanya memberitakan isu-isu politik, tetapi juga
menampung berita kebudayaan seperti seni musik, patung, lukis, film, seni
pertunjukan ketoprak, tari, wudruk, karikatur, dan lainnya. Misalnya, dalam
pemberitaan Harian Rakyat terdapat karikatur yang menceritakan peristiwa politik
sehari-hari dengan gaya bahasa yang lucu, cerdas, inspiratif, unik, dan menusuk
langsung ke sasaran.158 Menggunakan bahasa yang tidak berbelit-belit,
membuatnya mudah dipahami oleh semua kalangan.
Harian Rakyatmulai berkembang dengan mengeluarkan rubrikasi (kepala
karangan) yang lain seperti HR Muda, HR Sport, dan Film. HR Muda yang
157Ibid., hlm. 78.
dipegang oleh Kak Embun dengan tujuan memberi dorongan langsung bagi
pertumbuhan bakat dan kemauan anak-anak. Begitu pula dengan HR Sport dan
Film yang dipegang oleh Soejono dan Joebar Ajoeb bertujuan untuk memberi
sumbangan kepada usaha pembinaan olehraga dan film nasioanal karena
kemajuan olahraga dan film nasional juga kemajuan bagi kebudayaan.159
Harian Rakyat memiliki prinsip, yaitu tidak akan mencetak lembaran yang
bertentangan dengan semangat revolusi. Koran yang dikendalikan baik oleh
orang-orang Lekra maupun PKI ini berpihak kepada sosialisme, demokrasi
terpimpin, anti imperialisme, dan feodalisme. Hal ini terlihat dari pemberitaannya
dalam konflik Kashmir di India. Pemberitaan yang dimuat justru membela
Pakistan dan menyudutkan India yang memiliki hubungan dengan Inggris sebagai
negara imperialis.160
Kedekatan Lekra dengan PKI menjadinya lembaga kebudayaan yang cukup
diperhitungkan baik oleh para lembaga kebudayaan lainnya maupun dengan
partai-partai politik. Dalam usaha mengimbangi perkembangan Lekra yang begitu
pesat, lahirlah Manifes Kebudayaan dengan aliran humanisme universal. Aliran
humanisme universal merupakanpemikiran yang berfokuspada solusi umum atas
masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.Manifes
dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1963 dengan ditandatangani 20 seniman
yaitu 16 penulis, 3 pelukis, dan seorang komponis.161
Pada tahun 1960an, para budayawan, penulis, intelektual, dan seniman
dengan paham lain memainkan peranan penting dalam menciptakan pondasi
159Ibid., hlm. 79.
160Ibid., hlm. 78-79
wacana anti komunis. Para intelektual pro-Barat yang berideologi liberal dan
humanisme universal berusaha melawan kaum paham dan komunis di Indonesia.
Perdebatan pada masa ini menjadi manifestasi perang dingin di bidang
kebudayaan antara ideologi kiri (Lekra) dan para pendukung ideologi Manikebu.
Dengan dukungan sayap kanan, seperti partai-partai politik anti komunis, militer,
dan intitusi-institusi kebudayaan menggunakan paham manikebu untuk
menyingkirkan komunis berserta aktivitas kebudayaannya. Dalam konteks inilah,
para pendukung humanisme universal mendirikan Manifes Kebudayaan.162
Pada tahun 1960an, salah satu pengurus Manifes Kebudayaan Goenawan
Mohamad mengatakan bahwa tujuan dibentuknya Manifes Kebudayaan ialah
sebuah ikhtiar untuk memperoleh ruang yang lebih longgar bagi ekspresi kesenian
yang mandiri dan independen dari desakan politik serta berbagai tata cara
revolusioner. Hal ini berkaitan dengan kebijakan Presiden Soekarno terhadap
Slogan Manipol Usdek, Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang
menjadi rambu bagi proses penciptaan karya seni. Para seniman pula ikut serta
dalam menjalankan kebijakan tersebut sehingga suasana berkesenian pada masa
itu tidak begitu baik untuk seniman yang enggan berpolitik.163
Lekra menolak paham humanisme universal yang dianggap abstrak dan
tidak memihak pada rakyat, buruh, dan tani.Lekra berpendapat bahwa manikebu
adalah kelompok yang dapat melemahkan dan terus-menerus merongrong
162Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi
Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, 2013, Tangerang Selatan, CV Marjin Kiri, hlm. 7-8.
revolusi.164 Hal ini tentu berbahaya bagi semangat dan jalannya revolusi.
Pemahaman yang berbeda pada keduanya, dimana Lekra berpegang teguh dengan
prinsip “seni untuk rakyat” dan paham “realisme sosialis”, sedangkan Manikebu dengan “seni untuk seni” dan “humanisme universal”.
Lembaga Kebudayaan Rakyat menolak pemisahan seni dari masyarakat.
Bagi Lekra, seni harus berpihak, bertendensi, dan menerima metode Realisme
Sosialis dengan pegangan politik sebagai panglima serta mengabdi kepada rakyat
pekerja.165 Prinsip inilah yang ditolak oleh Manikebu. Bagi Manikebu, politik
tidak boleh menjadi panglima yang menguasai segala bidang kehidupan.
Manikebu membela nilai-nilai kemanusiaan universal yang diinjak-injak oleh
kaum totaliter. Para pendiri Manikebu berpendapat bahwa prinsip dan sikap
kebudayaan yang baik saat itu adalah non-commitment dari pengaruh politik
maupun militer.166 Seni yang tidak memihak, bersifat universal, kosmopolitan,
dan tanpa kelas.
Realisme sosialis dan humanisme universal sebenarnya merupakan dua segi
tuntunan dari suatu subyek yang sama, yaitu manusia. Kedua lembaga
kebudayaan ini sama-sama menerima revolusi Indonesia, Manipol sebagai haluan,
dan Pancasila sebagai dasar negara. Cara pandang yang berbeda-beda membuat
keduanya merasa lebih revolusioner, Manipolis, dan Pancasilais dengan
berpegang pada paham serta prinsip masing-masing. Realisme sosialis
164D.S. Moeljanto, Prahara Budaya: Kilas-Balik Lekra/PKI DKK (Kumpulan Dokumen
Pergolakan Sejarah), 1995, Bandung, Mizan, hlm. 39.
165
Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965, 2000, Jakarta, Wacana Sosialis, hlm. 30.
166Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (G30S/PKI dan Apa Peran Bung
menampilkan aspirasi-aspirasi sosial secara realistik, sementara humanisme
universal menampilkan sisi kemanusiaan yang menyeruh tanpa batas.167
Manifes Kebudayaan mendapat dukungan dari berbagai organisasi
kebudayaan lain seperti Lesbumi, Ikatan Sarjana Pancasila, Lembaga Kebudayaan
Kristen Indonesia, Badan Pembina Teater Nasional Indonesia Sumatra Selatan,
dan Teater Muslimin Wilayah Palembang. Menurut Arif Budiman seorang
anggota Manifes mengatakan terus bertambahnya pendukung Manifes membuat
Lekra dan Presiden Soekarno gerah. Oleh karena itu, mulailah terjadi intimidasi
terhadap para pendukung Manifes.168 Selain itu juga, beberapa media cetak ikut
mendukung Manifes Kebudayaan seperti Harian Republik, Majalah Sastera,
Semesta, Duta Masyarakat, Glora, Pos Minggu, Mingguan Surakarta, Majalah
Basis, Waspada Teruna, dan Indonesia Baru.169
Peristiwa sastra yang tidak kalah penting terjadi diantara Lekra dengan
Manifes Kebudayaan ialah persoalan novel Hamka yang berjudul Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Novel ini dianggap plagiat dari karya pengarang Arab,
yaitu Manfaluthi. Pramoedya Ananta Toer dari Lekra lewat majalah Lentera mulai
bersitegang dengan Jassin pimpinan majalah Sastra yang membela Hamka.170
Dalam majalah Lentera dimuat tulisan Abdullah S.P atau Said Patmadji berjudul
“Aku Mendakwa Hamka, Plagiat!” ini semakin membuat persoalan ini kian
panas.171
167Alexander Supartono, op.cit., hlm. 21.
168
Tempo, op.cit., hlm. 103.
169Rangkaian Peristiwa Pemberontakan komunis di Indonesia, op.cit., hlm. 50.
170 Tempo, op.cit., hlm. 109.
Hebohnya peristiwa tunduhan plagiat atas buku Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk Hamka ini menimbulkan polemik berkepanjangan. Orang-orang PKI
dengan paham realisme sosialis menjuluki pengikut Manifes Kebudayaan dengan
Menikebuis. Aksi saling serang diantara kedua lembaga kebudayaan ini semakin
meramaikan dunia perpolitikan. Hebohnya perseteruan diantara Lekra dan
Manikebu berujung dengan dilarangnya Manikebu pada tanggal 8 Mei 1964.172
Pergerakan Lekra bersama PKI semakin membuat cemas bagi mereka yang
tidak sepaham. Hal ini ditambah dengan D.N. Aidit yang dianugrahi Bintang
Mahaputra kelas III oleh Bung Karno atas contoh kepahlawanan dan tauladan
dalam political leader pada tanggal 13 September 1965. Melihat hal ini, para
pegawai perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh pemerintah mendirikan
perserikatan dengan tujuan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.
Perserikatan ini bernama Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (Soksi),
yang di dalamnya para perwira Angkatan Darat banyak pula aktif bergabung.173
Sebagai organisasi politik non partai, Soksi memiliki ormas-ormas bawahan
seperti P3I, Konkarbu, Gerwasi, Gertasi, Kartasi, Perkapen, Lekri, Pelmasi,
Pelpasi, dan PBKA. Tujuan didirikannya berbagai ormas ini ialah untuk
mengimbangi pergerakan Lekra dan PKI. Namun, hal ini mendapat sambutan dari
PKI dengan dibentuknya PanitiaRetooling Aparatur Negara (Paran). Retooling
atau pembersihan ini bernuansa politik untuk menyingkirkan birokrat yang tidak
sejalan dengan kebijakan pemerintah republik. Paran sendiri dipimpin langsung
172Rangkaian Peristiwa Pemberontakan komunis di Indonesia, op.cit., hlm. 50.
oleh Soekarno. Pada perkembangan selanjutnya, PKI menuntut untuk
membubarkan Soksi yang dianggap sebagai ancaman.174
Pada tanggal 30 Juli 1959, Lekra terlibat dalam pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung yang kebanyakan tokoh-tokoh kiri diikutsertakan, antara
lain D.N Aidit, Njoto, Siau Giok Tjan, Sujono Atmo dan diimbangi orang-orang
Murba seperti Adam malik, Iwa Kusumasumantri, Moh. Padang, Ny. Rasuna
Said, dan lainnya. Selain itu juga dibentuk Depernas yang meliputi wakil-wakil
berbagai organisasi, salah satunya Lekra.175
Pertarungan politik yang masuk ke dalam ranah kebudayaan membuat
permasalahan kian kompleks. Masalah-masalah yang terjadi seperti sikap
kebudayaan dan kesenian terhadap kondisi politik nasional pada saat itu.
Dominasi Lekra dalam perjalanan kebudayaan Indonesia setelah merdeka
mendapatkan perlawanan politik dari militer, khususnya Angkatan Darat melalui
kelompok Manifes Kebudayaan.176 Politik AD yang berusaha membendung
dominasi PKI dalam politik nasional dengan mendukung gerakan Manifes
Kebudayaan. Gerakan politik PKI mendapatkan dukungan penuh dengan aksi-aksi
kebudayaan Lekra.
Perkembangan politik Indonesia awal tahun 1965, perubahan terjadi dalam
dunia pergerakan nasional. Hampir semua organisasi massa pada saat itu memiliki
kepentingan dan kedekatan politik dengan salah satu partai. Mereka mendekatkan
diri pada partai-partai besar yang berjalan di atas kebijakan paham Naskom, tetapi
174Idem.
175Soegiarso Soerojo, op.cit., hlm. 134.
ada juga ormas yang memilih berada di golongan netral.177 Tiga kekuatan politik
besar pada masa itu, antara Soekarno, Militer, dan PKI ikut berubah setelah front
nasional nasakom berhasil terbentuk dengan meninggalkan militer sendirian.
Kesendirian ini mendorong militer untuk bergabung dengan kelompok seniman
dan budayawan yang tidak mempunyai afiliasi atau kedekatan dengan kekuatan
politik dominan.178
Dalam lingkaran politik, setiap individu maupun kelompok memiliki
ataupun dekat lembaga kecil dibawah naungannya. Hal ini pula terjadi pada
Presiden Soekarno dan PNI memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional, PKI yang
dekat dengan Lekra, dan Militer memiliki kelompok Manikebu. Pada tahun
1960-an, tiga kekuatan politik dominan saling tarik menarik antara Soekarno, AD, dan
PKI. Dengan terbentuknya Front Nasional, lewat Nasakom (Nasionalis, Agama,
dan Komunis), Soekarno berhasil menyatukan kekuatan partai-partai politik.179
Soekarno sebagai presiden mampu membentuk jaringan sistem
kelembagaan imaginer, memiliki gagasan-gagasan hebat, dan sebagai ideolog
mampu merumuskan good society yang ingin dicapai serta cara
mewujudkannya.180 Soekarno terlibat sangat intens dalam berbagai konflik dan
koalisi dengan kekuatan politik. Kedekatannya dengan Partai komunis Indonesia
tidak kalah sengitnya.
Pada posisi yang berusaha meredam dua kekuatan politik antara Partai
Komunis Indonesia dan Angkatan Darat, Soekarno sebagai presiden yang dikenal
177Hikmah Diniah, op.cit., hlm. 162.
178
Alexander Suparnoto, op.cit., hlm. 96.
179Alexander Supartono, op.cit., hlm. 87-88.
180Peter Kasenda, Soekarno Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri Dan Revolusi
garang terhadap negara kolonial akhirnya diam tidak berdaya. Pada malam 30
September 1965, sekelompok tentara yang sebagian besar anggota pasukan
pengawal presiden Cakrabirawa pimpinan Kolonel Untung melancarkan operasi
militer untuk menculik tujuh pemimpin senior Angkatan Darat. Para Jenderal
yang menjadi target penculikan tersebut antara lain Nasution, Ahmad Yani,
Suprapto, Soetoyo, Haryono, Panjaitan, dan S. Parman.181
Pada pagi 1 Oktober 1965, Jendral Soeharto membuat pernyataan bahwa
PKI di bawah pimpinan D.N. Aidit berada di belakang operasi Untung. Dengan
tuduhan ini, Soeharto segera mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Keesokan
harinya, Soeharto memimpin AD melancarkan kampanye kekerasan yang
dilakukan PKI dan para pengikutnya.182 Hal ini ditambah dengan ditetapkannya
Tap. MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis
Indonesia. Ketetapan ini menjadikan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh
wilayah NKRI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan dan
mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.183
Sikap kontra revolusi yang dilancarkan oleh Soeharto pada Oktober 1965
merupakan penindasan massal terhadap organisasi-organisasi kiri dan revolusi
sosial. Teror, penangkapan, dan pembunuhan dalam skala besar merupakan tahap
pertama untuk mengakhiri politik mobilisasi terbuka. Terjadi pemusnahan secara
fisik dan penghancuran psikologi gerakan tersebut hingga ke akar-akarnya.
Kekerasan ini juga ditujukan pada kelas bawah. Pabrik-pabrik dengan reputasi
militan tinggi hampir seluruh buruhnya dibabat habis. Kekerasan dilakukan
181Wijaya Herlambang, op.cit., hlm. 1-2.
182Ibid., hlm. 2.
dengan membabat habis para aktivis, meneror jutaan simpatisan PKI, termasuk
Lekra, dan sayap kiri PNI, dan semua organisasi massa yang berafiiasi atau
mereka yang merupakan pro-Soekarno.184