• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Psikomotor

Perkembangan Sosial Perkembangan Kognitif

Program ini menyerupai Gerakan Bina Keluarga Balita yang dikembangkan oleh Kementerian Peranan Wanita dan kemudian diteruskan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Orang tua dan orang-orang yang terdekat dengan kehidupan anak memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (Jalal, 2002). Selanjutnya disebutkan beberapa hal dapat diakukan orang tua untuk meningkatkan status kesehatan dan perkembangan otak anak. Hal-hal yang dapat dilakukan tersebut antara lain memberi rangsangan berupa kehangatan dan cinta kasih yang tulus; memberi pengalaman langsung dengan menggunakan inderanya (penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, penciuman); interaksi melalui sentuhan, pelukan, senyuman, nyanyian; mendengarkan dengan penuh perhatian; menanggapi ocehan anak; mengajak bercakap-cakap dengan suara yang lembut; dan memberikan rasa aman. Sentuhan tersebut sangat membantu dalam merangsang otak untuk menghasilkan hormon yang diperlukan untuk perkembangan.

Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, pendidikan dalam kerangka pembentukan kebiasaan berpikir dan bertindak pada anak harus mensinergikan aspek-aspek tumbuh kembang anak. Aspek-aspek tumbuh kembang anak yang harus dikembangkan mencakup: a) perkembangan keimanan dan ketaqwaan, b) perkembangan budi pekerti, c) perkembangan sosial-emosional, d) perkembangan displin, e) perkembangan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, f) perkembangan daya pikir, g) perkembangan seni dan kreativitas, dan h) perkembangan fisik (Jalal 2002).

Sebagai orang tua, kita dapat memiliki pengaruh yang luar biasa pada kreativitas anak. Bagi anak-anak, melakukan suatu kegiatan selalu merupakan hal penting, hasil akhir adalah hanya sedikit mendapat perhatiannya. Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua untuk mendorong berkembangnya kreativitas anak, antara lain adalah (Anonim 1999):

a. Jangan menginterpretasikan pekerjaan atau perbuatan anak sebagai representasi dari semua tindakannya. Kesalahan dalam suatu tindakan bukan berarti menggambarkan kekurangmampuannya dalam melakukan

tindakan itu. Menyalahkan suatu tindakan anak akan menghambat kreativitasnya.

b. Hindari mengevaluasi pekerjaan anak secara salah!

c. Biarkan anak sebebas mungkin untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kreativitasnya. Misalnya, jangan melarang anak untuk mencoba menggunakan peralatan dapur (tetapi tidak merusak). Anak prasekolah, misalnya, harus didorong untuk belajar dan mengikuti aturan yang memberikan mereka akses yang bebas terhadap penggunaan peralatan tersebut.

d. Pastikan bahwa Anda tidak berlebih-lebihan menerapkan aturan sampai ke keadaan yang menyebabkan gangguan pada anak dalam berkreasi.

e. Berikan mereka pengertian bahwa ‘berbuat salah’ merupakan cara lain untuk belajar. Menghentikan tindakan anak yang salah secara kaku berakibat kepada penghambatan perkembangan kreativitasnya.

Ada beberapa faktor penting dalam keluarga yang turut menentukan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu faktor pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga, dan gaya pengasuhan orang tua.

Pendidikan Orang Tua. Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu perlu dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan agar ibu mengerti dalam pengasuhan anak dan bersikap positif dalam membimbing tumbuh-kembang anak secara baik sesuai dengan tahap perkembangan anak (Darmaji, Patmonodewo, Atmodiwirjo, Hadis, dan Lestari 1984). Pendidikan ibu disamping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan.

Selanjutnya Darmadji et al. (1984) menyatakan bahwa dalam mengasuh anak, ibu yang berpendidikan tinggi bersifat lebih terbuka terhadap hal-hal yang baru karena lebih sering mengikuti artikel-artikel, pemberitaan-pemberitaan melalui surat kabar, majalah maupun televisi mengenai anak sehingga lebih mengerti perkembangan diri anak. Hal ini berbeda dengan ibu yang berpendidikan rendah dengan pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai

kebutuhan dan perkembangan anak sehingga kurang menunjukkan pengertian, dan cenderung mendominir anak mereka (Widjaja 1986).

Pengetahuan tentang kesehatan dan perkembangan anak yang minimal, sekedar pengetahuan dan kebiasaan mengasuh yang di perolehnya dari orang tua dan tetangga yang mungkin memiliki taraf pendidikan dan pengalaman yang juga kurang merupakan unsur yang menghambat ibu dalam melaksanakan pengasuhan anak semaksimal mungkin (Tjokrowinoto et al. 1984).

Pendidikan ibu sangat erat kaitannya dengan kesehatan anak, baik itu diukur dari status gizinya ataupun dari kematian anak. Pudjiadi (1997) mengatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang usia yang tepat untuk memulai penyapihan dapat menghindari dari penyimpangan pertumbuhan. Pada keluarga dengan pendapatan rendah penyapihan terlalu dini akan menyebabkan kerugian karena makanan yang diberikan kurang bergizi dan kurangnya pengetahuan tentang makanan anak.

Selain pendidikan ibu yang berperan dalam pola pengasuhan anak dalam rumah tangga, pendidikan ayah juga mempengaruh perkembangan anak dalam pengasuhan yang diberikan, contohnya dalam pemberian makanan kepada anak. Pada beberapa kultur di Indonesia banyak ditemui bahwa makanan yang disajikan untuk ayah lebih baik dari yang lainnya seperti ibu dan anak karena ayah adalah yang mencari nafkah. Tetapi jika ayah mengerti pentingnya gizi untuk anak terutama pada masa pertumbuhan maka hal-hal tersebut akan dapat dihindari. Hal ini hanya dapat berjalan jika ayah memiliki pendidikan yang memadai.

Pengetahuan Gizi Ibu. Sebagaimana dikatakan oleh Moehdji (1986) bahwa sebagian besar kejadian gizi buruk pada anak dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana cara mengolah bahan makanan, cara mengatur menu dan mengatur makanan anak. Tetapi pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga, belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan (Sanjur 1982).

Menurut Sajogyo, Suhardjo, dan Khumaidi (1994), secara tidak langsung pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi status gizi anak, karena dengan pengetahuannya para ibu dapat mengasuh dan memenuhi kebutuhan zat gizi anak balitanya, sehingga keadaan gizinya terjamin.

Besar Keluarga. Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit.

Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Suhardjo (1989), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.

Pendapatan Keluarga. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktifitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Keadaan ekonomi keluarga berperan dalam perkembangan anak dan menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Dengan adanya perekonomian yang cukup dalam keluarga, lingkungan materi yang dihadapi anak akan lebih luas serta memiliki kesempatan untuk mengembangkan macam-macam kecakapan. Keadaan sosial ekonomi keluarga yang serba kurang akan menyebabkan kondisi yang kurang

baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Disamping itu, jika pendapatan keluarga sudah memadai, maka pengasuhan anak dapat dikonsentrasikan sepenuhnya. Jika pendapatan keluarga tidak memadai maka diupayakan agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan cara ibu membantu mencari nafkah dengan bekerja.

Menurut Sajogyo, Suhardjo dan Khumaidi. (1994) pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek di sini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan ekonomi akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Namun demikian hal yang seperti itu tidak selamanya benar, sebab pada hakekatnya terpenuhinya makanan pada keluarga sangat tergantung pada berbagai faktor lain yang turut menentukan.

Apabila memang pendapatan dapat mempengaruhi kualitas gizi, tentunya ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa jika pendapatan dari keluarga yang berupa penghasilan pokok baik berupa gaji kerja, maupun hasil investasi lain (tambak, perahu, usaha penyewaan peralatan, dan lain-lain), serta penghasilan tambahan yang berupa kerja sambilan, makelaran dan lain-lain sebagian besar dialokasikan untuk dibelanjakan membeli makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarganya. Adanya hubungan antara pendapatan dan status gizi telah banyak dikemukakan para ahli (Sajogyo, Suhardjo dan Khumaidi. 1994, Suhardjo 1989a).

Memang tidak selamanya bahwa seluruh pendapatan keluarga hanya untuk memenuhi kebutuhan pangannya saja. Ada sebagian dari mereka yang mempergunakan pendapatannya untuk menaikkan tabungan dan investasi mereka (Suhardjo 1989a). Kalau pendapatan tiap bulan dari keluarga sangat mencukupi, memang untuk menabung dan investasi sangat baik sebagai bekal dan persediaan apabila ada keperluan yang mendadak dan untuk hari depan, tetapi jika pendapatan mereka sangat pas-pasan terutama pada keluarga miskin akan sangat berbahaya untuk kesehatan para anggota keluarganya terutama gizi anak-anaknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan

anak ditentukan oleh keadaan ekonomi keluarga disamping pendidikan ibu. Keluarga yang keadaan ekonominya baik, dapat menyediakan makanan yang bermutu hingga pertumbuhan dapat berjalan dengan baik.

Lingkungan Sekolah dan Pendidikan Anak Usia Dini

Selain keluarga (orang tua, saudara kandung) dan pengasuh lain, pihak yang dapat berperan dalam pengasuhan anak prasekolah adalah sekolah (Taman Bermain dan Taman Kanak-kanak). Sekolah dapat berperan sebagai bagian dari sistem pengasuhan, mengoordinasikan sumber daya masyarakat, dan mengembangkan jaringan keluarga untuk mendukung program pengasuhan anak (Anonim 2003).

Pendidikan bagi anak usia dini atau anak usia 0 sampai dengan 6 tahun, sejak lama telah menjadi perhatian para orang tua, para ahli pendidikan, masyarakat dan pemerintah. Plato mengemukakan bahwa waktu yang paling tepat untuk mendidik anak adalah sebelum usia 6 tahun (Jamaris 2003). Menurut Jalal (2003a), cukup banyak alasan mengapa pendidikan sejak dini berperan besar dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembentukan manusia seutuhnya. Mulai dari rendahnya rata-rata Nilai Ebtanas Murni (NEM) SD-SLTP, tingginya angka mengulang pada kelas SD awal sampai dengan rendahnya peringkat Human Development Index (HDI). Penelitian neurologi dan kajian pendidikan anak dini usia juga cukup memberikan bukti betapa pentingnya stimulasi sejak dini dalam mengoptimalkan seluruh potensi anak.

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangannya, kebutuhan belajar anak pun makin meningkat. Memasukkan anak ke sebuah lembaga pendidikan (dalam hal ini ‘sekolah’) adalah salah satu upaya pemenuhan kebutuhan itu. “Sekolah’ untuk anak usia prasekolah pada umumnya terbagi menjadi Taman Bermain (usia 3-4 tahun) dan Taman Kanak-kanak (4-6 tahun). Sesuai dengan sebutannya, kedua lembaga ini bukanlah sekolah seperti layaknya tempat belajar bagi anak-anak yang berusia lebih tua. Taman Bermain (TB) dan Taman Kanak- kanak (TK) adalah tempat bermain dan belajar menyesuaikan diri dengan beberapa hal sebelum anak masuk sekolah kelak.

Di TB dan TK inilah untuk pertama kali anak belajar berpisah dari lingkungan sehari-harinya di rumah untuk beberapa saat, dan belajar bergaul

dengan lebih banyak orang. Selain itu dia mendapat ‘pengganti’ orang tua yaitu guru. Di sinilah anak memperoleh pengalaman lain: belajar tunduk pada otoritas selai orang tuanya.

Pendidikan anak usia dini di Indonesia, khususnya taman kanak-kanak telah diselenggarakan sejak lama, yaitu sejak awal kemerdekaan Indonesia. Di sekolah ini anak usia 4 – 5/6 tahun mendapat tempat untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam berbagai bentuk kegiatan belajar dalam bermain. Bentuk kegiatan ini diwujudkan dalam berbagai ekspresi diri secara kreatif (Jamaris 2003).

Menurut Erikson dalam Tim Redaksi Ayahbunda (TRA), ada beberapa prinsip pendidikan dari lembaga pendidikan yang perlu dipahami oleh guru, orang tua, dan penyelenggara pendidikan (TRA 2000).

a. Setiap individu anak adalah unik

Tidak ada satu orang yang sama. Seseorang akan berkembang dengan baik apabila keunikan atau keberadaannya dihargai oleh orang-orang disekitarnya. Dalam hal belajar, misalnya, minat belajar anak belum tentu sama. Oleh karena itu, program belajar di TB atau TK harus mempertimbangkan adanya perbedaan minat antara anak yang satu dengan yang lainnya.

b. Perkembangan membawa perubahan

Pada dasarnya, perkembangan juga berarti perubahan. Demikian juga yang terjadi pada anak, kemampuan dan karakternya berubah. Seorang anak pemalas tidak harus selamanya jadi pemalas. Oleh karena itu, pemberian label negatif kepada anak sangat tidak dibenarkan. Tugas guru maupun orang tua adalah memberi pengaruh yang positif bagi perkembangan anak, dan memberinya peluang untuk berubah.

c. Perkembangan berjalan secara bertahap

Irama perkembangan masing-masing anak berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Usia bukanlah patokan kaku dalam perkembangan, ia hanya dianggap sebagai acuan dasar. Oleh karena itu, membanding-bandingkan kemampuan anak dengan anak yang lain yang berusia sama, tidak akan membawa manfaat baik bagi anak.

d. Anak sedang dalam masa ‘genting’

Pada dasanya usia prasekolah adalah masa genting dalam kehidupan seorang anak. Karena sesungguhnya, masa inilah masa ‘keemasan’ baginya dalam belajar, masa yang peka untuk menyerap segala informasi yang ada disekitarnya.

e. Semua aspek perkembangan saling berhubungan

Manusia adalah makhluk psikotik; perkembangan fisik, intelektual, dan sosio- emosionalnya saling mempengaruhi. Terganggunya perkembangan satu aspek akan berdampak pada aspek lainnya. Anak yang kekurangan gizi, misalnya, tidak hanya akan terganggu pertumbuhan fisiknya tetapi juga perkembangan intelektualnya.

f. Bakat dan lingkungan saling mempengaruhi perkembangan anak

Masing-masing anak dilahirkan dengan bakat dan minat yang berbeda. Namun bukan berati lingkungan tidak dapat mempengaruhi potensi yang sudah ada ini.

g. Perilaku anak tergantung pada motivasi dari dalam dan luar dirinya

Motivasi dari dalam diri adalah dorongan yang timbul atas kesadaran anak sendiri untuk melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan. Umumnya, anak-anak akan melakukan hal positif apabila sadar bahwa tindakannya tersebut akan menguntungkan baginya. Oleh karena itu, untuk memicu munculnya motivasi dari dalam diri anak, pendidik hendaknya memberi lebih banyak pengertian tentang keuntungan yang akan diperoleh anak apabila ia berlaku positif.

h. Perkembangan inteligensia bergantung pada pola pengasuhan

Perkembangan intelektual anak tidak semata-mata dipengaruhi oleh satu faktor, tetapi oleh beberapa faktor, antara lain genetik, kecukupan gizi, dan pola pengasuhan. Orang tua sebagai pendidik utama diharapkan dapat mengantarkan anak kepada optimalisasi perkembangan potensinya.

i. Perkembangan pribadi anak tergantung pada hubungan antar priibadi, kesempatan mengekspresikan diri, dan bimbingan pada setiap tahap perkembangan

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa modal terpenting bagi seorang anak untuk perkembangan sosialnya adalah, pertama, rasa nyaman yang

diperoleh dari hubungannya dengan orang tua. Kedua, kualitas hubungan yang baik (termasuk kebebasan mengekspresikan diri dengan saudara kandung, teman, dan guru).

Senada dengan Erikson, Bredekam, Knuth, Kunesh, dan Shulman (1992) mengajukan prinsip teoritis perkembangan dan belajar anak, termasuk anak prasekolah. Pada dasarnya, dalam menjalankan program pendidikan pada anak, hal yang penting diperhatikan adalah keberadaan anak itu sendiri (Tabel 3).

Di Indonesia, prinsip Erikson ini menjadi bekal bagi para guru di TB dan TK. Pada kenyataannya, prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi berkembangnya sistem pendidikan yang menganut prinsip bermain sambil belajar, bukan belajar sambil bermain. Dengan tetap memperhatikan kebutuhan informasi pada anak, para guru seyogyanya mengingat bahwa kegiatan utama anak usia 3-6 tahun adalah bermain. Kegiatan belajar diberikan melalui permainan.

Tabel 3. Prinsip Teoritis Perkembangan dan Belajar Anak

Prinsip Praktek

Anak belajar paling baik ketika kebutuhan fisik mereka terpenuhi dan mereka merasa aman secara psikologis

• Anak dianjurkan untuk mendengar guru pada waktu yang tidak terlalu lama.

• Suasana lingkungan harus mendukung rasa aman

bagi anak. Anak membentuk pengetahua

n

• Pengetahuan dibangun sebagai hasil dari interaksi dinamis antara anak dan lingkungan fisik dan sosial. • Anak perlu didorong untuk mengembangkan

kreativitasnya. Anak belakar melalui interaksi

sosial dengan anak atau orang dewasa lain

• Guru mendorong hubungan antara anak dengan orang yang lebih tua dan dengan teman sebayanya.

• Peran guru adalah sebagai pendukung, pengarah, fasilitator bagi perkembangan dan pembelajaran anak.

Minat anak untuk belajar • Guru perlu mengidentifikasi apa yang membuat anak

tertarik, kemudian membiarkan anak melakukannya. • Kegiatan yang didasarkan pada minat anak memberikan

motivasi untuk belajar. Perkembangan manusia dan

perkembangan belajar dicirikan oleh variasi antar individu

• Masing-masing individu memiliki pola masing-masing dan saat untuk berkembang, demikian juga halnya dengan gaya belajarnya.

Sumber: Bredekamp et al. (1992)

Secara umum, jenjang pendidikan anak prasekolah di Indonesia terbagi dua, yaitu TB untuk anak yang berusia 3-4 tahun dan TK untuk anak yang berusia 4-6 tahun yang dibagi menjadi dua, yaitu TK kecil (untuk anak yang berusia 4-5 tahun) dan TK besar (untuk anak yang berusia 5-6 tahun). Pada prinsipnya, tidak

ada perbedaan antara jenjang ‘pendidikan’ pada TB dan TK, karena keduanya didasarkan pada asas bermain sambil belajar. Hanya saja materi ‘pelajaran’ dan lama ‘belajar’ sedikit berbeda sesuai dengan tahap perkembangan anak.

Pada umumnya, pada TB anak-anak hanya masuk ‘sekolah’ sebanyak 2 kali seminggu, sementara anak TK masuk setiap hari kecuali hari minggu. Lama belajar setiap hari adalah 3 jam. Pada TK, anak-anak diharapkan sudah mandiri sehingga tidak perlu lagi ditunggui oleh orang tua. Sementara itu, kehadiran orang tua/pengasuh sangat diharapkan pada TB, karena anak masih sangat memerlukan bantuan orang lain untuk merawatnya.

Di TB, materi ‘pelajaran’ diberikan secara informal, tanpa pengarahan ketat. Anak-anak bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan minatnya. Guru hanya berperan sebagai pengawas dan pembimbing. TK memerlukan arahan guru. Pada jam menggambar, misalnya, diharapkan semua anak melakukan kegiatan menggambar. Pada TK sudah diajarkan mengenal aturan, displin, tanggung jawab, dan kemandirian. Displin mulai ditanamkan pada TK kecil, dan makin dikembangkan pada TK besar.

Bentuk pembelajaran dan pengajaran pada anak prasekolah harus didasarkan pada prinsip-prinsip pendidikan bagi anak secara umum, dan anak prasekolah secara khusus. Model tersebut harus memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dilakukan anak dan guru. Tabel 4 memuat hal-hal yang perlu dilakukan anak dan guru berkaitan dengan proses pembelajaran anak prasekolah.

Belajar dan perkembangan yang bersifat individual, tidak mungkin untuk menetapkan harapan yang seragam. Namun, itu adalah mungkin mengidentifikasi paramater untuk mengarahkan keputusan tentang kesesuaian harapan kurikulum (Bredekamp et al. 1992). Kerangka berikut berguna untuk menentukan kandungan kurikulum bagi penyelenggaran pendidikan bagi anak prasekolah. Kerangka ini merefleksikan siklus belajar manusia (pergeseran dari kesadaran, eksplorasi, penyelidikan, dan penggunaan).

Kesadaran (awareness) adalah pengenalan luas terhadap parameter belajar: kejadian, objek, orang, atau konsep. Eksplorasi (exploration) adalah proses pemahaman komponen atau atribut dari kejadian, objek, orang, atau konsep melalui apa pun yang tersedia. Penyelidikan (inquiry) adalah proses

pengembangan pemahaman melalui kejadian, objek, orang, dan konsep. Pada keadaan ini, anak mulai menggeneralisasikan konsep personalnya dan menyesuaikannya dengan cara berpikir dewasa. Sedangkan penggunaan

(utilization) adalah taraf fungsional dari belajar, yang padanya anak dapat menerapkan pemahamannya tentang kejadian, objek, orang, atau konsep.

Tabel 4. Model Pembelajaran dan Pengajaran

Apa yang Dilakukan Anak Apa yang Dilakukan Guru

Kesadaran Pengalaman Mendapatkan minat Merasakan

Mengikuti

• Menciptakan suasana yang tepat

• Menyediakan kesempatan dengan

mengenalkan objek dan kejadian baru

• Mengundang minat dengan mengajukan

masalah atau petanyaan

• Merespon minat anak atau membagi

pengalaman

• Menunjukkan minat dan gairah

Penjelajahan Mengamati

Mengumpulkan informasi Menemukan

Mewakili

Membentuk pemahaman sendiri Menerapkan aturan sendiri Menciptakan pengertian

personal

• Memfasilitasi

• Mendukung

• Memperluas permainan

• Menggambarkan kegiatan anak

• Menanyakan pertanyaan terbuka, misalnya

“Apa lagi yang dapat kamu lakukan?”

• Menghargai pemikiran anak

Penyelidikan Menguji/Memeriksa Menginvestigasi Memfokuskan Mengajukan penjelasan Membandingkan pemikiran sendiri dengan pemikiran orang lain

Menggeneralisasikan Menghubungkan

Menyesuaikan dengan sistem aturan konvensional

• Membantu anak memperbaiki pemahaman

• Mengarahkan anak, memfokuskan perhatian

• Menanyakan pertanyaan yang terfokus,

misalnya “Apa yang terjadi jika?”

• Menyediakan informasi jika diperlukan

• Membantu anak membuat pengaitan

(connections)

• Memberikan waktu untuk penyelidikan

berkelanjutan

Penggunaan

Menggunakan pembelajaran pada berbagai cara, belajar menjadi fungsional

Menerapkan ke sistuasi baru

• Membantu anak untuk berlaku pada situasi

baru

• Menyediakan situasi yang bermanfaat untuk

belajar

Sumber: NAEYC and NAECS/SDE “Guidelines for Appropriate Curriculum Content and Assessment for Programs Serving Children Ages 3 through 8” (1990) dalam Bredekamp

Lingkungan Peer Group

Memasuki usia 3 tahun, seorang anak akan semakin mandiri dan mulai mendekatkan diri pada teman-teman sebayanya. Pada tahap ini ia mulai menyadari apa yang ia rasakan, apa yang mampu dan belum dapat ia lakukan. Kesadaran ini didukung oleh kemampuannya yang pesat dalam perkembangan

Dokumen terkait