• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dayasaing Komoditi Kedelai

2. DAYASAING KEDELAI

2.5. Dayasaing Komoditi Kedelai

Visi pembangunan pertanian nasional pada periode 2004 – 2009 adalah terwujudnya sistem pertanian yang berdayasaing, berkeadilan, dan berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian. Dalam era perdagangan yang semakin liberal dan mengglobal, peningkatan dayasaing harus dilakukan dengan strategi dan kebijakan yang tepat. Dalam mewujudkan visi tersebut, berbagai kebijakan pemerintah diperlukan baik yang bersifat makro maupun mikro, dalam bentuk peraturan perundangan maupun program (Suryana, 2005).

Bentuk visi daya saing tersebut yang bercirikan antara lain berorientasi pasar, meningkatnya pangsa pasar, khususnya pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital driven), pemanfaatan teknologi (innovation driven) serta kreativitas sumberdaya manusia terdidik (skill driven) dan bukan lagi mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor driven).

Berkaitan dengan hal diatas pada komoditi kedelai, fakta menunjukkan bahwa kedelai merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang cukup berat dalam menghadapi era liberalisasi perdagangan. Namun dikarenakan kedelai termasuk salah satu komoditi strategis yang diperlukan penduduk Indonesia dalam memenuhi protein pangan yang murah, maka perlu dilakukan upaya- upaya peningkatan produksi dan menekan ketergantungan akan kedelai impor.

Penelitian Rusastra (1990) menunjukkan bahwa pengembangan kedelai di Indonesia yang memiliki kelayakan ekonomi hanya di luar Jawa, yaitu di wilayah Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Produksi kedelai di Jawa tidak memiliki keunggulan komparatif untuk tujuan substitusi

impor (IS) atau untuk perdagangan daerah (IR) apalagi untuk tujuan ekspor (CP). Usahatani kedelai di luar Jawa memiliki keunggulan komparatif marginal untuk tujuan perdagangan antar daerah (IR) atau subsitusi impor (IS), tetapi tidak memiliki keunggulan untuk tujuan ekspor (EP) kecuali di Sulawesi. Kelayakan produksi kedelai di luar Jawa, kecuali Sulawesi, masih rentan terhadap penurunan produktivitas, sehingga memiliki stalilitas kelayakan yang relatif rendah. Penurunan produktivitas dengan kisaran 3,2 – 8,1 persen akan menyebabkan usahatani kedelai tidak lagi memiliki keunggulan komparatif.

Untuk melihat dayasaing komoditas kedelai setelah penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada 1998, Siregar dan Sumaryanto (2003) melakukan analisis yang hasilnya memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak lagi memihak kepada petani. Kebijaksanaan pemerintah telah berubah dari kebijakan protektif menjadi tidak protektif terhadap output kedelai. Pada masa lalu, kebijakan pemerintah yang protektif terhadap output produksi dilaksanakan berupa kebijaksanaan harga dan penetapan jumlah impor kedelai yang dilakukan oleh BULOG.

Siregar dan Sumaryanto (2003) meneliti dayasaing usahatani kedelai dari segi keunggulan kompetitif, komparatif dan finansial. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran dayasaing (keunggulan) potensial dan dalam artian dayasaing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu negara bersifat dinamis. Suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mepertahankan dan bersaing dengan negara lain melalui perumusan kebijakan antisipatif dengan mempertimbangkan perubahan ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi.

Untuk kelayakan finansial dilihat dari manfaat suatu aktivitas ekonomi dari sudut lembaga dan dan individu yang terlibat dalam aktivitivas tersebut. Analisis ekonomi menilai suatu aktivitas ekonomi atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menerima manfaat tersebut

(Siregar dan Sumaryanto, 2003). Konsep yang sesuai untuk untuk melihat kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif sebagai pengukur dayasaing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Menurut Siregar dan Sumaryanto (2003), usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompetitif. Dilihat dari segi finansial, komoditi kedelai memiliki keunggulan kompetitif. Dalam keunggulan finansial tersebut terdapat tiga faktor penting yang menentukan dayasaing komoditi kedelai, yaitu harga internasional, nilai tukar mata uang dan produktivitas kedelai.

Berdasarkan hasil estimasi Siregar dan Sumaryanto (2003) memperlihatkan bahwa harga kedelai internasional mempengaruhi dayasaing kedelai lokal karena hambatan non-tarif untuk komoditas kedelai sudah tidak ada (dikenakannya tarif masuk kedelai impor 10 %). Sedangkan titik impas harga internasional (CIF) adalah US $ 244/ton kedelai. Komoditas kedelai lokal akan memiliki dayasaing jika harga internasional tersebut paling sedikit naik 6,5 persen (titik impas) di atas CIF yang berlaku, ceteris paribus.

Faktor lain yang ikut menentukan dayasaing finansial komoditi kedelai adalah nilai tukar dolar terhadap rupiah. Estimasi yang dilakukan Siregar dan Sumaryanto (2003) memperlihatkan bahwa komoditas kedelai akan mempunyai dayasaing finansial jika nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 % (Rp 8.500/US $), ceteris paribus.

Keunggulan finansial dayasaing kedelai dapat pula ditingkatkan jika produktivitas dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas berasal dari hasil bagi antara biaya total dengan harga komoditi. Dengan rumus ini Siregar dan Sumaryanto (2003) memperlihatkan bahwa titik impas produktivitas kedelai sekitar 1,5 ton per hektar. Ini berarti bahwa jika faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus), maka produktivitas kedelai harus dapat ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen agar kedelai dapat memiliki dayasaing finansial. Sebenarnya kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit untuk dicapai melalui perbaikan teknologi, misalnya dengan penggunaan benih bermutu dan pupuk

berimbang. Peningkatan dayasaing kedelai dalam jangka relatif panjang dapat dilakukan melalui pengembangan varietas yang selama ini relatif mengalami stagnasi.

Mengingat kemampuan produksi dalam negeri yang masih rendah, sementara permintaan terhadap kedelai akan meningkat sekitar 2,92 persen per tahun, maka impor kedelai akan meningkat dari 1,04 juta ton pada tahun 2000 menjadi 1,35 juta pada tahun 2004. Karena itu, maka upaya peningkatan produksi kedelai di dalam negeri akan semakin penting. Upaya ini merupakan tantangan yang tidak mudah dikarenakan kebijakan untuk melindungi petani di dalam negeri semakin tidak sesuai dengan dayasaing internasional dan tuntutan perdagangan bebas. Meskipun demikian, pemerintah masih dapat menganjurkan kepada petani untuk bertanam kedelai untuk meningkatkan produksi dalam negeri asalkan dapat memberikan keuntungan yang tinggi. (Sudaryanto, 1996).

Di sisi pertanaman kedelai terhadap tanaman pesaingnya, maka tanaman kedelai harus dapat memberikan keuntungan bersih paling sedikit sama dengan keuntungan bersih tanaman pesaing, seperti jagung. Menurut Siregar (2000), terdapat dua kemungkinan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan dayasaing kedelai tersebut. Kemungkinan pertama adalah dengan peningkatan hasil per satuan luas dengan asumsi bahwa harga input dan output tidak berubah. Kemungkinan kedua adalah peningkatan harga kedelai dengan asumsi bahwa tingkat hasil dan harga-harga input tidak berubah. Pada saat ini kemungkinan kedua ini sulit dilaksanakan karena penerapan harga dasar sulit diterapkan. Meskipun demikian, analisis dayasaing kedelai yang kedua tersebut masih digunakan untuk meramalkan kemungkinan perluasan atau pengurangan pertanaman kedelai, apabila harga-harga dapat diramalkan sebelumnya.