• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demi Yamuna

Dalam dokumen Andrea Hirata - Cinta Dalam Gelas (Halaman 104-107)

SALAH satu kesulitan menjadi orang Islam, maksudnya, menjadi orang Islam dengan kadar imam yang tak dapat disebut membanggakan---sepertiku dan Detektif M. Nur---adalah ketika tarawih. Setelah berbuka puasa, kami repot bertanya sana sini, surau mana yang tarawihnya sesingkat mungkin. Dan selalu terdapat gejala umum, yaitu jika imamnya tua, pasti tarawihnya lama: 21 rakaat. Habis tarawih rasanya macam baru selesai senam kesegaran jasmani.

Jika imamnya ulama muda, selalu hanya 11 rakaat. Itulah jumlah rakaat favorit kami. Itulah bukti, betapa Allah Maha Pemurah. Setelah tarawih, dengan sentosa kami masih sempat melewatkan malam berkeliling-keliling kampung. Itulah bukti, betapa Allah penuh pengertian. Oh, indahnya bulang Ramadhan.

Malam itu kami menemukan tarawih 11 rakaat di sebuah surau nun di ujung kampung. Surau itu tak punya listrik. Tapi sial, sang ulama muda berhalangan sehingga diganti seorang imam tua. Maka angka 11 berubah menjadi 21. Jengkel benar aku. Apalagi, karena tak ada listrik, Badalnya---orang yang mengalunkan doa di antara rakaat tarawih---harus berteriak-teriak. Bising telingaku. Namun, tak dinyana, usai tarawih, seluruh kekesalanku terobati. Hatiku mendadak berbunga-bunga sebab tiba-tiba aku seperti mendapat ilham untuk membalas perbuatan Paman pada Yamuna dengan sebuah pembalasan yang memang telah kucari-cari, yang sistematis, penuh rencana yang menggetarkan, intelek, melibatkan Midah, Hasanah, dan Rustam, serta yang paling penting---karena kemauan Yamuna---setimpal. Tarawih yang melelahkan itu telah memberiku inspirasi.

Paman juga adalah seorang badal yang amat dihormati di Masjid Al-Hikmah, masjid terbesar di kampung kami. Rencanaku begini: akan kuciptakan situasi agar Paman berteriak sekeras dan selama mungkin sehingga selangkangnya mau meletus.

Operasi 1, agar Paman berteriak: aku akan bersekongkol dengan Mustahaq Davidson yang mengurusi sound system masjid untuk menyabotase alatnya sendiri, seakan-akan terjadi gangguan teknis.

Operasi 2, agar Paman berteriak selama mungkin: akan kuusahakan agar imamnya tua sehingga tarawih menjadi 21 rakaat.

Aku minta bantuan Midah, Hasanah, Rustam, juga Detektif M. Nur semuanya gembira. Lalu, kuhubungi Mustahaq Davidson. Tentu saja ia tak setuju pada rencana yang sakit saraf itu. Tapi, kuancam dia. Kubilang akan kuadukan pada istrinya kelakuannya menggoda-goda biduanita organ tunggal tempo hari. Istrinya itu kalau

marah rambutnya pandai berdiri. Mustahaq pucat pasi dan mengangguk-angguk dengan kecepatan mengagumkan. Ia menyerah tanpa syarat. Ia takluk bulat-bulat.

Operasi 2 agak rumit. Usai berbuka puasa, aku dan Detektif M. Nur ngebut naik sepeda menuju rumah Topik Makarun, seorang ustaz muda yang baru lulus dari sebuah pondok pesantren di Jawa. Ia selalu memimpin tarawih 11 rakaat.

Di pekarangan rumahnya, kami mengendap-endap mendekati sepedanya, lalu kami sangkutkan sepeda itu di dahan pohon gayam yang tinggi, lalu kami cepat-cepat kembali ke masjid.

Menjelang tarawih, ketua dewan kemakmuran masjid gelisah karena Ustaz Topik Makarun tak tampak batang hidungnya. Operasi dimulai. Rustam menyarankan pada ketua dewan agar Ustaz tua Taikong Razak menggantikan Ustaz Topik.

Paman meraih mik. Di ruang operator, Mustahaq ambil bagian. “Tes, brpp, nguing, nguikk, brrp ….”

Paman mengetuk-ngetuk mik.

“Tes, tes, 1, 2, 1, 2, halo, halo, nguik, nguikk, nguiiiiing ….”

Paman mencoba berulang kali. Mik hidup, mati, nguing nguing lagi, lalu mati lagi. Barangkali karena didorong oleh ketakutannya yang sangat pada istrinya, Mustahaq membuat gangguan teknis itu menjadi dramatis. Nguing menjadi sangat mengganggu. Jemaah resah. Paman terus mencoba. Ia sadar, tanpa mik, ia akan berada dalam kesulitan besar sebab jika berteriak, selangkangnya sakit. Mik itu sangat penting baginya. Tapi mik itu akhirnya mati.

Mustahaq keluar dari ruang operator dan menatapku dengan putus asa. Satu tatapan yang berbunyi: lihatlah Ikal, aku telah melakukan semua kemauan sakit jiwamu. Maka tolonglah, jangan kau berpanjang mulut pada istriku soal biduanita organ tunggal itu. Aku membalas tatapannya, dengan bunyi: tak ada jaminan sama sekali, Haq!

Jemaah sudah tak sabar ingin tarawih. Mik telah almarhum. Tak ada pilihan lain, dengan sungkan Paman meletakkan mik. Wajahnya pias. Horor untuknya dimulai.

Paman berdoa dengan menekan suaranya serendah mungkin. Seorang jemaah di saf perempuan, dari balik tabir, berteriak,

“Aih, tak kedengaran di sini, Pak Cik, keraslah sedikit!” itu adalah suara Midah. Paman mencoba meninggikan suaranya.

“Kurang pol, Pak Cik, masih tak kedengaran.” Itu suara Rustam.

Paman menaikkan lagi suaranya dan tampak menahan sakit. Tapi seseorang masih mengeluh:

“Macam mana kita mau sembahyang ini, kalau bunyi Pak Cik macam kumbang saja begitu.” Itu suara Hasanah. Diprovokasi begitu, jemaah lain ikut-ikutan. Paman tersinggung karena disuruh-suruh. Lalu ia marah, Digenggamnya selangkangnya kuat-kuat dan berteriak-teriaklah dia. Jemaah senang. Demikian rakaat demi rakaat, Paman yang tak sudi dikomplain berteriak sejadi-jadinya. Keringat bertimbulan di dahinya, wajahnya meringis-ringis. Hal itu berlangsung selama 21 rakaat.

.

Tanpa ambil tempo, pada kesempatan pertama esoknya, kutemui Yamuna dan kukisahkan kejadian di masjid semalam.

“Telah kubalaskan sakit hatimu, Yamuna. Jangan lagi kaurisaukan orang itu. Hidup harus berlanjut. Lupakan kesedihan.”

Ia terharu karena merasa telah mendapat keadilan. Kami kembali bahagia. Kulirik kiri-kanan, tak ada siapa-siapa, kupeluk dia. Lalu aku pamit. Di ambang pintu aku berbalik. Yamuna tersenyum, dan memberiku sebuah kiss bye.

Aku dan detektif M. Nur ke rumah Ustaz Topik dan menurunkan sepedanya dari pohon gayam. Ustaz Topik jauh lebih muda dari kami, tapi wawasannya sangat luas. Di pondok pesantren di Jawa Timur itu, ia telah diajar oleh ulama-ulama hebat lulusan dari Universitas Al-Azhar. Kami menunduk takzim waktu menerima nasihat darinya, bahwasannya menyangkutkan sepeda orang di atas pohon tanpa memberi tahu pemiliknya adalah sebuah perbuatan berdosa.

Mozaik 34

Dalam dokumen Andrea Hirata - Cinta Dalam Gelas (Halaman 104-107)