• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.3 Landasan Teori

2.3.2 Dimensi Makna

Secara universal dapat dipahami bahwa makna memegang peranan yang sangat penting dalam teori penerjemahan. Tanpa penjelasan teoritis tentang makna akan sangat sulit untuk memahami isu-isu penting dalam teori terjemahan misalnya sifat penerjemahan, keterjemahan (translatability), ketakterjemaham

(untranslatability) dan kesepadanan. Jadi, hal yang paling mendasar dalam berbagai diskusi tentang proses penerjemahan ialah memahami dimensi makna yang menurut Nida (1964:57) terdiri atas tiga yaitu makna linguistik, makna referensial, dan makna emotif.

2.3.2.1 Makna linguistik

Makna linguistik, yang oleh Nida dan Taber (1969) kemudian diperkenalkan juga dengan istilah makna gramatikal dalam The Theory and Practice of Translation, mengacu pada hubungan yang bermakna antara bagian-bagian konstituen dalam konstruksi grammatikal. Hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang bermakna antara kata, frasa dan kalimat. Dalam hal ini, makna dari frasa atau kalimat tidak ditentukan oleh kombinasi sederhana dari makna kata secara terpisah, tetapi berasal dari struktur tertentu frasa atau kalimat. Misalnya, pada frasa orang tua, rumah abu-abu, bulu yang indah, dan pohon yang tinggi

adalah komponen pertama dari setiap frase yang memberi sifat pada yang kedua. Hal ini menjelaskan mengapa kombinasi kata-kata dalam bahasa bermakna dan tidak dapat diubah secara bebas. Contoh lainnya adalah ketika analisis dilakukan terhadap hubungan kombinasi kata dalam kalimat ˮLaki-laki tua itu menatap

laki-66

laki dengan menatap, dan sebagainya, dan tidak ada kedudukan terbalik laki-laki menatap sebagai menatap laki-laki.

Sehubungan dengan salah satu dimensi makna tersebut di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa frasa dan kalimat yang dibangun dari konstruksi yang sama memiliki makna sama. Misalnya, Laki-laki tua itu menatap kami dan

beberapa laki-laki muda memukul mereka memiliki konstruksi yang sama, dan oleh karena itu, mereka berbagi makna gramatikal yang sama. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak selalu demikian karena tidak semua struktur gramatikal yang sama mengandung makna yang sama. Contoh yang sering dipakai oleh Nida adalah perbandingan antara empat buah frasa his car, his failure, his arrest dan

his goodness. Keempat frasa itu memiliki struktur yang sama, yaitu pronomina posesif (his) + nomina, tetapi hubungan antara his dan nomina yang mengikutinya cukup berbeda pada setiap frasa. Nida menginterpretasikannya sebagai he has a car, he failed, he was arrested dan he is good. Pemahaman ini mengandung pengertian bahwa keempat ungkapan tersebut sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Kemudian, Nida menjelaskan empat formula yang berbeda: “A possesses B”, “A performs B”, “A is the goal of the action B” dan “B is the quality of A”

(Nida, 1964:59). Menurut Nida, alasan bagi hubungan makna yang berbeda pada tipe ekspresi yang memiliki struktur yang sama karena mereka ditransformasi dari kalimat kernel yang berbeda, dan karenanya, harus dieksplorasi struktur dalam untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap struktur luarnya.

Dalam menganalisis makna gramatikal, Nida juga mengemukakan klasifikasi baru tentang kata yaitu: kata objek (object words), kata kejadian (event words), kata abstrak (abstract words) dan kata relasi (relational words).

67

Penggolongan kata ini dilandasi oleh teori logika simbolis Sapir dan Reichenbach (Nida, 1964:62). Kata objek adalah kata-kata yang menunjukkan entitas objektif seperti manusia, anjing, dan mesin; nomina pada umumnya berfungsi sebagai kata objektif. Kata kejadian adalah kata-kata tindakan, seperti berjalan, belajar dan bekerja; verba pada umumnya berfungsi sebagai kata tindakan. Kata abstrak adalah kata-kata yang menyiratkan konsep abstrak, seperti tinggi, cukup, dan indah; adjektiva atau adverbia sering berfungsi sebagai kata-kata abstrak. Kata relasi adalah kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan frasa atau kalimat, seperti di, jika dan meskipun; preposisi dan konjungsi sering berfungsi sebagai kata relasional.

Hal itu tidak sebaliknya berarti bahwa semua kata objek, kata peristiwa, kata abstrak dan kata relasional adalah termasuk nomina, verba, adjektiva atau adverbia, dan preposisi atau konjungsi. Alasannya adalah, menurut Nida, empat jenis kata diklasifikasikan menurut maknanya, yaitu, konsep kata-kata, yang adalah sesuatu yang terdapat pada struktur dalam, bukan bentuk grammatikal yang berada pada struktur permukaan. Oleh karena itu, jenis kata tertentu dapat memiliki beberapa bentuk yang beragam. Misalnya, beauty, beautiful, beautifully

dan beautify termasuk jenis kata abstrak, tetapi masing-masing termasuk nomina, adjektiva, adverbia, dan verba dalam tataran fungsi gramatikal.

Berlandaskan pada fakta tersebut di atas, untuk menghilangkan kesan ambigu pada struktur permukaan, hal yang perlu dilakukan adalah merestrukturisasi atau menyusun kembali struktur dalam yang oleh banyak ahli

bahasa disebut “kernel” yaitu elemen struktur dasar bahasa yang membangun

68

Nida dan Taber (1974:39) dengan tegas menyatakan bahwa penerjemah harus memahami fakta bahwa bahasa-bahasa memiliki kesepahaman pada tataran kernel dibandingkan dengan struktur permukaan yang sifatnya sangat kompleks. Maksudnya adalah, jika penerjemah mampu menyederhanakan struktur gramatikal ke tingkat kernel, maka struktur tersebut akan dapat ditransfer dengan lebih mudah dalam tingkat distorsi yang minimum.

Ekspresi Kernel dalam bahasa Inggris seperti yang dipaparkan oleh Nida dan Taber (1974:40) yang dari padanya struktur gramatikal yang lebih rumit dapat dibangun terdiri dari jenis ilustrasi berikut:

1. John ran quickly

2. John hit Bill

3. John gave Bill a ball 4. John is in the house 5. John is sick

6. John is a boy 7. John is my father

2.3.2.2 Makna referensial

Dimensi makna yang kedua adalah makna referensial yang menurut Nida (1964:70) pada umumnya dianggap sebagai makna kamus. Selanjutnya, makna referensial juga didefinisikan sebagai makna dari kata sebagai simbol yang mengacu pada objek, peristiwa, abstrak, dan relasi (Nida & Taber, 1982:56). Selain itu, makna referensial dapat juga disejajarkan dengan makna konseptual yang menyandang konten logis, kognitif atau denotatif yang merupakan makna

69

dasar pertama dari tujuh macam makna yang dikemukakan oleh Leech, (1974:19) yaitu makna konseptual, makna konotatif, makna sosial, makna afektif, makna refleksif, makna kolokatif, dan makna tematik. Sejalan dengan konsep yang ditawarkan Nida dan Taber (1982), Frawley (1992) juga menegaskan bahwa makna referensial mengacu pada objek yang sebenarnya, dikenal dengan

referense atau informasi yang membuat kalimat menjadi bermakna bagi seseorang

yang mungkin menyadari atau tidak menyadari fakta referensial yang sebenarnya, atau dikenal dengan sense.

Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa makna refernsial ataupun konseptual dari kata yang sama dapat berbeda pada konteks yang berbeda pula. Berikut adalah contoh yang dikemukakan oleh Nida & Taber (1974:57):

1. It is a fox 2. He is a fox 3. She will fox him

Pada kalimat yang pertama, kehadiran it mengidentifikasikan fox sebagai seekor binatang. Pada kalimat yang kedua, kehadiran he berhubungan dengan pemahaman bahwa fox mengacu pada seseorang karena he pada konstruksi ini adalah pengganti anaforis bagi manusia laki-laki; dan satu-satunya kesan terhadap

fox yang ditujukan pada seseorang sebagai “orang licik.” Pada kalimat yang ketiga, fox adalah sebuah verba, yang terlihat dari posisinya yang terletak di antara kata bantu will dan objek pronomina him; makna verbal dari fox adalah “menipu dengan cara yang cerdik.”

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam kaitan dengan makna referensial adalah permasalahan yang menyangkut makna figuratif. Selain

70

memiliki makna sentral dan makna “literal” yang cukup dekat dengan makna

sentral karena berbagi komponen penting, sebuah kata dapat juga memiliki makna tambahan yang sangat berbeda dalam setiap aspek penting dengan makna sentral. Makna jenis ini tidak dihubungkan dengan komponen penting dengan makna sentral dan karenanya dikenal dengan makna figuratif. Untuk itu, menurut Nida & Taber (1974:87) sangat penting untuk mempertimbangkan bahwa makna dari sebuah kata dapat diperluas ke berbagai arah seperti contoh berikut:

(It is a) fox (He is a) fox

1. animal 1. human being

2. canine 2. clevery deceptive

3. genus: Vulpes

Jika makna kata fox dibandingkan dalam dua kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak berbagi komponen yang sama. Meskipun keduanya disatukan dengan komponen makhluk hidup, masih terlalu luas karena hanya terdapat sedikit signifikansi.

Satu-satunya penjelasan mengenai gambaran tersebut di atas adalah bahwa keduanya dimediasi melalui komponen yang diperkenalkan oleh Nida & Taber (ibid:87) dengan sebutan supplementary (tambahan) dan bersifat murni konvensional yaitu komponen yang mengklaim bahwa serigala secara khusus dikenal sebagai penipu yang cerdas. Ditegaskan pula dalam hal ini bahwa komponen tambahan berada pada ranah psikologis. Mengingat komponen ini bersifat arbitrer dan konvensional, pemahamannya sangat bergantung pada faktor budaya dan bahasa setempat. Salah satu contoh spesifik yang dikemukakan oleh Nida & Taber (1974:88) diambil dari salah satu ayat Alkitab, yatu Kisah Para Rasul 2:17 pour out my Spirit upon all flesh.” Dalam hal ini flesh tidak diartikan menurut makna utamanya sebagai objek yang memiliki masa; menurut makna

71

figuratifnya flesh mengacu pada objek yang benar-benar berbeda, yaitu orang atau umat manusia.

Nida & Taber (1974:107) mengungkapkan bahwa proses penerjemahan makna figuratif dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: (a) pengalihan dari figuratif ke nonfiguratif, misalnya, “possess the gate” menjadi “possess the city”; “my flesh” menjadi “my race”; “taste death” menjadi “die”; (b) pengalihan dari ekspresi figuratif menjadi ekspresi figuratif yang lain, misalnya, “praise the Lord with the tongue” menjadi “praise the Lord with the lips”; (c) pengalihan dari nonfiguratif menjadi figuratif, misalnya, “to trust” menjadi “to lean on.”

2.3.2.3 Makna emotif

Makna emotif atau dikenal pula dengan makna konotatif berkaitan dengan asosiasi atau “reaksi emosional terhadap kata” dalam tindakan komunikasi (Nida

& Taber, 1974:91). Dimensi makna ini melibatkan nilai-nilai emotif seperti tabu (positif dan negatif), vulgar, cabul, gaul, bertele-tele, dan sebagainya. Meskipun analisis makna emotif tidak semudah makna referensial, Nida mengusulkan bahwa satu-satunya cara di mana makna emotif dapat dianalisis adalah dalam konteks, baik budaya maupun linguistik (Nida, 1964:71).

Di satu sisi, dalam menggambarkan makna emotif berdasarkan konteks budaya dapat dilakukan dengan menganalisis respons perilaku penutur asing terhadap penggunaan kata tertentu jika sedang mempelajari bahasa asing atau dapat pula dengan menilai sikap emosional terhadap kata-kata dalam bahasa ibu. Di lain sisi, dalam menggambarkan makna emotif dalam konteks linguistik maka yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisis kemunculan kembali kata yang

72

kemungkinan dapat didiagnosis nilai emotifnya yang dalam hal ini dikenal dengan makna kolokatif. Sebagai contoh, kata cantik dan tampan memiliki konsep makna yang sama, yaitu „enak dilihat‟, tetapi ketika disandingkan dengan kata wanita

maka makna kolokatif atau asosiatifnya akan muncul, yakni wanita cantik

menyiratkan „perempuan cantik‟, sedangkan wanita tampan memiliki asosiasi

„wanita terhormat. ‟

Nida (1974:94) menegaskan bahwa belum ada metode yang baku untuk mengukur nilai konotatif dari sebuah kata. Metode yang dianggap paling masuk akal adalah yang diterapkan oleh Osgood, Suci dan Tannenbaum yang menggunakan matriks dengan skala 1 sampai 10 yang ditandai dengan mengontraskan pasangan adjektiva good-bad, beautiful-ugly, strong-weak, light

-dark, high-low, warm-cold dan seterusnya. Hasilnya cukup akurat karena reaksi responden terhadap kata, seperti patriotism, love, blood, communism, revolution,

dan sebagainya. menunjukkan tingkat kesepahaman yang cukup tinggi antara satu responden dengan responden yang lain. Berikut adalah contoh pemanfaatan matriks penilaian makna emotif terhadap kata mother dan woman yang diperoleh berdasarkan survey yang dilakukan terhadap respon 60 orang Inggris Amerika terhadap kedua kata tersebut. Hasil survey menunjukkan bahwa responden lebih memilih kata mother dibandingkan woman.

73

mother woman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.3. Matriks Makna Emotif Terhadap Kata Woman dan Mother

(Sumber: Nida dan Taber, 1974)

Lebih jauh diungkapkan bahwa perbedaan respon konotatif terhadap kata

mother dan woman juga menjadi salah satu masalah dalam penerjemahan kedua kata tersebut dari istilah Yunani gunai (secara harfiah woman) pada Yohanes 2:4

yaitu pada kalimat: Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba”. Versi King James dan beberapa versi lainnya

mempertahankan terjemahan harfiah woman. Tetapi versi New English Bible (NEB) lebih memilih mempergunakan kata mother. Hal ini terjadi karena dalam bahasa Inggris mother secara konotatif lebih sopan dibandingkan woman.

Metode lain yang ditawarkan oleh Nida (ibid:96) adalah dengan menilai aspek konotatif kata berdasarkan pada nilai (value) dan tingkatan (level) seperti gambaran di bawah ini:

1. Values: good (G), neutral (N), bad (B)

2. Level of language: technical (T), formal (F), informal (I)

Selain itu, mengenai aspek konotatif kata, Nida dan Taber (1974:24-26) menyatakan juga bahwa ada tiga fungsi yang seyogyanya dipenuhi oleh sebuah produk terjemahan, yaitu fungsi informatif, fungsi ekspresif, dan fungsi imperatif.

good attractiv strong bad ugly weak dark low cold light high warm

74

Dalam hal ini, hasil terjemahan tidak hanya harus memberikan informasi yang orang dapat mengerti, tetapi juga dengan sedemikian rupa harus menyajikan pesan bahwa pembaca dapat merasakan relevansinya (elemen ekspresif dalam komunikasi) dan kemudian dapat merespon dalam tindakan (fungsi imperatif). Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka beberapa adjektiva yang dipilih sebagai kriteria untuk menentukan makna emotif produk terjemahan adalah: baik

– buruk, tepat – tidak tepat, masuk akal – tidak masuk akal, mudah dipahami –

sulit dipahami, jelas – tidak jelas, dan lazim – tidak lazim.

Dokumen terkait