• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DINAMIKA DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH SASANA

2.2 Dinamika Kepribadian Sasana

2.2.1 Mimpi

Tokoh Sasana dikisahkan mengalami tekanan sejak kecil dari orangtuanya. Semua hal yang berkaitan dengan hidupnya sudah dipilihkan oleh ayah dan ibunya. Sasana merasa bahwa kehidupannya sungguh monoton dan dia menjalani hari-harinya dengan keterpaksaan. Hal ini ditunjukkan dalam teks berikut,

Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku, tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku(Madasari, 2013: 9)

Sejak umur 3 tahun kedua orangtua Sasana sudah mengajarkan Sasana bermain piano. Piano merupakan alat musik yang menjadi suatu hal yang wajib bagi keluarga Sasana. Meski sebenarnya Sasana tidak menyukai piano dan lagu-lagu jazz kesukaan orangtuanya, ia tetap belajar dan memaikan piano tersebut. Suatu ketika, Sasana tidak sengaja mendengarkan musik dangdut dan ia mulai menyukainya. Hal itu ditunjukkan saat ia mulai hapal lagu-lagu dangdut, belajar berjoget, dan mulai bermimpi menjadi seorang biduan dangdut. Semenjak Sasana menyukai musik dangdut, ia merasa bahwa tangan-tangannya menjadi kaku dan tak mampu lagi memainkan piano. Mengetahui hal itu, ibu Sasana melarang agar Sasana tidak lagi datang ke acara-acara dangdut di kampung dan tidak

mendengarkan musik dangdut. Sasana merasa ia semakin ditekan, tetapi ia tidak berani membantah ibunya dan tidak mau menyakiti hati ibunya. Keadaan ini ditunjukkan dalam teks berikut.

Demi Ibu aku bertekad mengendalikan diri, Aku mengurung jiwa dan pikiranku, aku membangun tembok tinggi-tinggi, aku mengikat tangan dan kakiku sendiri (Madasari, 2013: 30).

Keputusan Sasana untuk menurut pada ibunya merupakan bentuk dari ego pada diri Sasana. Tetapi ego tersebut lemah dan tidak dapat menguasai jiwa Sasana. Sehingga yang terjadi nafsu-nafsu atau id Sasana justru muncul dalam lapisan kesadarannya. Sasana semakin penasaran dan tertarik dengan hal-hal berbau dangdut. Ia semakin sering berandai bahwa suatu saat nanti ia bisa bernyanyi dan berjoget dengan bebas sesuai keinginannya.

Keadaan Sasana ini dalam dinamika kepribadian Freud disebut mimpi. Sasana secara tidak sengaja menciptakan mimpi dan mulai menghidupkan mimpinya. Nafsu-nafsu Sasana akan hal-hal yang berkaitan dengan dangdut keluar dalam bentuk mimpi ketika ia sedang tertidur. Ego dalam dirinya tidak bisa lagi mengontrol nafsu-nafsunya hingga membuatnya bermimpi. Mimpi Sasana ini bahkan menandai akil baliknya sebagai seorang laki-laki. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

Dalam tidur aku tak berhenti bernyanyi. Tak lagi bisa dibedakan ini nyata atau mimpi. Darah muda.... darahnya para remaja... Goyangkanku lebih berani dan lepas. Aku membuat goyangan-goyangan baru yang sebelumnya tak pernah kulakukan. Aku terus bernyanyi dan bergoyang. Tak lelah, tak kehabisan suara dan tenaga. Sampai tiba-tiba aku merasa sekelilingku basah. Aku terbangun dan terkejut. Kasurku basah, celanaku basah (Madasari, 2013: 25-26).

Menganalisa mimpi merupakan landasan yang sangat penting dalam memahami kehidupan psikis manusia. Oleh sebab itu peneliti menyimpulkan bahwa dinamika awal yang membentuk kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa adalah mimpi. Mimpi ini berpengaruh bagi kerangka berpikir tokoh Sasana dalam memilih dan menjalani kehidupannya.

2.2.2 Frustasi, Konflik, dan Kecemasan

2.2.2.1 Frustasi

Sasana semakin terobsesi dengan musik dangdut dan membuatnya sama sekali tidak bisa memainnkan piano. Selain itu, Sasana juga terobsesi dengan tubuh adik perempuannya yang bernama Melati. Ia menganggap segala kelembutan yang tampak dalam tubuh Melati merupakan suatu keindahan. Tangan Melati yang kecil dan halus, pipi melati yang terkadang memperlihatkan semburat-semburat merah jambu, pinggul dan pantat Melati yang nampak indah apalagi jika dipakai unttuk bergoyang. Pakaian-pakaian dan aksesoris yang dikenakan di tubuh Melati juga membuat Sasana merasa bahwa Melati memiliki hal-hal yang indah sementara ia tidak. Diam-diam Sasana mulai iri dan menginginkan tubuh layaknya seorang perempuan. Hal ini terlihat dalam kutipan tersebut.

Melati dibesarkan dengan cara yang tak berbeda denganku. Tapi sepertinya hidupnya lebih menyenangkan. Dia memiliki tubuh yang indah. Dia selalu tersenyum dan tertawa (Madasari, 2013: 16).

Sasana mulai mengalami frustasi. Freud mengatakan bahwa frustasi merupakan ketegangan psikis yang disebabkan oleh adanya dorongan-dorongan kekecewaan akibat tidak mendapatkan kepuasan. Sasana menginginkan tubuh Melati, tetapi Sasana tidak mampu memilikinya, yang ia punya adalah tubuh seorang laki-laki. Jenis frustasi yang dialami Sasana ini adalah frustasi privasi, dimana frustasi tersebut terjadi akibat tidak tersedianya objek kepuasan.

Sasana kembali mengalami frustasi ketika ia dibawa ke rumah sakit jiwa oleh ayah dan ibunya. Sasana tidak bisa mengadakan pentas dangdut seperti pentas-pentasnya ketika di Malang bersama Cak Jek. Ia merasa bahwa hidupnya semakin membosankan terlebih ia sama sekali tidak mengerti alasan kedua oranguanya memaksa Sasana tinggal di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

Setelah beberapa minggu di RSJ ia mendapatkan ide untuk membuat pentas dangdut di hadapan teman-temannya di RSJ. Ia meminta ibunya membawakan perlengkapan make-up dan pakaian-pakaian milik ibunya dan mulai mengadakan pentas seiap pagi. Namun, Sasana mengalami kekecewaan lagi hal ini disebabkan karena ia menginginkan panggung yang layak seperti ketika pentas-pentasnya di Malang. Sasana memang mendapatkan penghargaan seperti saat ia mengadakan pentas bersama Cak Jek namun ia tetap merasakan kerinduan akan suara giar yang dimainkan Cak Jek dan panggung dangdut di kampung-kampung. Keadaan yang dialami Sasana ini termasuk dalam frustasi jenis deprivasi yang terjadi ketika objek kepuasan ada, tetapi karena sesuatu hal orang tidak dapat mencapai kepuasan tersebut. Sasana memang berhasil meluapkan

hasratnya dengan mengadakan pentas dangdut di RSJ, namun ia tidak mendapatkan iringan musik dari Cak Jek dan panggung yang layak.

2.2.2.2 Konflik

Konflik merupakan frustasi yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi pada diri sendiri. Konflik timbul apabila dorongan yang satu bertentangan dengan dorongan yang lain, atau dapat juga terjadi bila id bertentangan dengan ego. Konflik dalam diri Sasana dapat dilihat melalui hal berikut.

Ketika Sasana mulai mengamen dengan Cak Jek, Sasana berambisi bahwa ia harus menjadi penyanyi dangdut yang profesional. Sasana belajar untuk bisa bernyanyi dengan suara merdu dan belajar bergoyang layaknya biduan yang seksi. Namun ia tidak menyadari bahwa dadanya yang bidang dan betisnya yang besar membuatnya tidak leluasa dalam bergoyang. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

Kuambil lagi BH dari tangan Cak Jek. Kupasang lagi di dadaku. Agak menonjol, tapi tetap saja kempes. Kututupi BH itu dengan atasan tanpa lengan warna merah. Lalu aku pakai rok mini hitam. Setengah pahaku terbuka. Agak malu juga melihat lengan dan kakiku kok rasanya terlalu besar untuk baju seperti ini (Madasari, 2013: 54).

2.2.2.3 Kecemasan

Sasana mengalami tindak kekerasan ketika duduk dibangku SMA. Hingga kemudian muncul dalam pikiran Sasana bahwa dia mulai membenci laki-laki dan membenci dirinya yang memiliki takdir sebagai laki-laki hal ini ditambahkan dengan id Sasana yang merasa kurang mendapat perhatian sosok ayah sejak ia lahir.

Aku benci perkelahian, aku tak mau ada darah. Aku benci dunia laki-laki.” (Madasari, 2013: 39)

Ayah Sasana berprofesi sebagai pengacara. Sempat berusaha menyelamatkan Sasana namun tidak berhasil karena salah satu penganiaya Sasana merupakan anak seorang pejabat yang sangat berpengaruh bagi sekolah tempat Sasana menimba ilmu. Kegagalan Ayah Sasana dalam memenangkan kasusnya juga berpengaruh bagi alam bawah sadarnya. Hal ini menyebabkan kekecewaan berupa ingatan Sasana tentang ayah sebagai seorang laki-laki, tidak dapat melindunginya.

Kondisi yang dialami Sasana ini dalam kajian dinamika kepribadian disebut kecemasan. Kecemasan timbul karena adanya kegagalan, sehingga kecemasan menimbulkan ketegangan dan daya pendorong bagi manusia untuk berbuat, menghindari objek, mengekang dorongan-dorongan, atau mengikuti suara hatinya. Sasana merasa gagal dalam pertahanan diri, ia juga kecewa karena sang ayah gagal dalam melindunginya. Hal ini mengakibatkan Sasana membenci dunia laki-laki, hal-hal yang berbau kekerasan, pun ia membenci dirinya sendiri yang ditakdirkan terlahr sebagai laki-laki. Selain itu ia juga mulai menjauh dari dunia laki-laki dan cenderung berandai menjadi seorang perempuan.

2.2.3 Neurosis

Ayah dan Ibu Sasana sama-sama menyukai piano dan bisa memainkan alat musik dengan tuts-tuts berwarna hitam dan putih tersebut. Sejak Sasana masih dalam kandungan, ia sudah biasa mendengar alunan-alunan piano. Bahkan ketika Sasana lahir, suara yang ia dengar pertama kali bukanlah suara ayah atau ibunya

melainkan suara piano yang mengalunkan alunan-alunan musik milik Mozart atau Choplin. Sejak kecil, Sasana sudah dibuat jenuh dengan piano. Tetapi orangtua Sasana tetap memaksanya untuk piawai dalam memainkan alat musik tersebut. Masa kanak-kanak Sasana dihabiskan dengan mendengar dan mempelajari piano ditambah dengan kesibukan orangtuanya yang kurang memiliki waktu berbincang dengannya. Keadaan Sasana yang merasa kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya membentuk trauma dalam pikirannya dan membuat dirinya kurang memiliki energi fisik dan mengalami hambatan emosi. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

Saat itu aku sudah menyesal kenapa aku harus dilahirkan. Dunia bukan untukku. Dunia tak membutuhkanku. Aku seperti berada di tempat yang salah. Dan selalu salah. (Madasari, 2013: 14)

Pada usia 12 tahun Sasana mengenal musik dangdut dan ia mulai menyukainya. Tetapi kesukaannya terhadap musik dangdut ditentang oleh ayah dan ibunya. Sasana kembali mengalami tekanan-tekanan yang membuat rasa trauma bertambah. Keadaan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Malam itu ibu marah besar. Tak pernah aku melihatnya marah seperti ini. Dalam ingatanku, inilah kali pertama ia memarahiku. Sepanjang jalan di dalam mobil ibu hanya diam. Tapi begitu sampai di rumah, ia langsung menarik tanganku membawaku ke ruang tengah, menyuruhku duduk, lalu ia bicara lama dengan suara tinggi (Madasari, 2013: 20).

Trauma yang dialami Sasana berlanjut ketika ia SMA. Ia menjadi korban kekerasan dari genk kakak tingkatnya. Kondisi Ayah Sasana yang tidak mampu membela Sasana membuat dia trauma dengan kekerasan. Selain itu ia juga mulai membenci dunia laki-laki. Trauma akan kekerasan ini juga membuat Sasana mengalami rasa cemas yang kronis.

Berdasarkan pembacaan teks diatas, dapat diketahui bahwa Sasana mengalami trauma pada masa kanak-kanak, kurang memiliki energi fisik, dan mengalami rasa cemas yang kronis. Kondisi Sasana ini merupakan hal-hal yang memicu timbulnya neurosis pada sistem saraf Sasana. Dali Gulo (1982 : 179), berpendapat bahwa neurosis adalah suatu kelainan mental, hanya memberi pengaruh pada sebagaian kepribadian, lebih ringan dari psikosis, dan seringkali ditandai dengan : rasa trauma, keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energi fisik, dst. Neurosis yang dialami Sasana mengakibatkan id-nya muncul pada lapisan kesadaran. Hal ini membuat Sasana menutup diri dari lingkungannya.

Sasana melanjutkan kehidupannya dengan menjadi penyanyi dangdut di Malang. Bersama Cak Jek, temannya ia mulai mendapatkan alat untuk memenuhi hasratnya. Tapi sayang sekali, Sasana kembali mengalami kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki (anggota tentara) ketika ia ditahan kasus demonstrasi Marsini. Sasana dipukuli dan dipaksa melayani nafsu bejat para oknum tentara di ruang tahanan. Ia ingin memberontak tetapi tidak memiliki daya. Keadaan ini menambah trauma Sasana akan laki-laki dan mengalami hambatan emosi. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut.

Setiap hari mereka melakukan hal sama. Membawaku keluar dari sel, menanyaiku sekali-dua kali, lalu sisanya mereka gunakan tubuhku untuk melayani mereka. Aku sudah kehilangan harapan (Madasari, 2013: 100). Neurosis yang diderita Sasana berlanjut hingga ia dewasa. Faktor utamanya adalah kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa Sasana. Neurosis pada

orang dewasa merupakan kelanjutan neurosis di masa kanak-kanak yang mungkin hanya terekspresikan dalam bentuk yang tersembunyi dan paling awal dalam perkembangan (Freud, 2006: 411-412). Sasana mengalami konflik dan kecemasan kronis. Ia tidak mampu menerima hal-hal yang berada di luar pikirannya. Pun ia merasa bahwa lingkungan dan orang-orang sekitar Sasana tidak dapat menerima keadaannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut

Aku memasuki kampus dengan ragu. Sudah lama sekali aku tak pernah memasuki tempat umum dengan diriku seperti ini. Apakah orang-orang itu memperhatikanku? Apa mereka melihat ada yang aneh denganku? Apakah aku tampak seperti pakaian yang hanya menutupi tubuh, tanpa terlihat serasi dan menyatu dengan tubuh yang ditutupinya? (Madasari. 2013: 109)

Terlalu sering menengok ke belakang membuatku ak menyadari ada orang di depanku. Aku tertangkap. Mereka menggotong tubuhku. Aku meronta. Aku berteriak meminta tolong sekeras-kerasnya (Madasari. 2013: 110).

Neurosis yang diderita Sasana menghantarkannya ke ruang rawat Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Orangtuanya beranggapan bahwa Sasana mengalami gangguan mental dan harus menjalani perawatan dan Sasana lagi-lagi tidak dapat memberontak. Id-nya mengalami represi dari superego yang dibuat oleh orangtua dan masyarakat sekitarnya. Sekalipun Sasana merasa tidak gila, ia tetap dipaksa menjalani hari-hari barunya di kamar berteralis dengan pendampingan medis.

2.2.4 Sublimasi

Sublimasi merupakan salah satu cara mengatasi frustasi. Sublimasi ini berupa pemindahan atau penyaluran pemuasan nafsu dai suatu objek ke objek yang lain dan ditujukan ke arah perkembangan kebudayaan atau ke arah positif. Setelah terbebas dari Rumah Sakit Jiwa, Sasana kembali ke Malang dan menjalani hari-harinya dengan mengamen tanpa Cak Jek. Hingga suatu hari ia bertemu

dengan sekumpulan mahasiswa yang mengajaknya berangkat ke Jakarta untuk menjalankan aksi demo menuntut turunnya Presiden yang telah menjabat selama 32 tahun.

Sublimasi terlibat dalam mengubah impuls id. Energi insting diganti menjadi perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat. Sasana membutuhkan wadah untuk aktualisasi diri. Ia ingin hidupnya berguna dan menebus penyesalannya ketika gagal dalam demo kasus Marsini. Sasana pun menyetujui ajakan mahasiswa yang ditemuinya. Ia juga berharap dapat kembali ke rumahnya dan berharap ayah ibunya memahami keadaannya yang oleh masyarakat disebut transgender. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut.

Aku mengangguk. Apalagi yang perlu kupikirkan? Ini kesempatanku untuk berbuat sesuatu. Ini jalanku untuk juga bisa ikut melampiaskan kemarahanku (Madasari, 2013: 241).

Aku naik ke tempat yang biasa dipakai orang untuk pidato. Aku menyanyi, aku bergoyang. Itulah suaraku, itulah teriakanku. Air mataku berdesakan saat gemuruh tepuk tangan terdengar. Aku merasa begitu berarti. Harga diriku membulat dan mengeras. Inilah wujud pelampiasan dendamku pada orang-orang yang telah merobek harga diriku (Madasari, 2013: 243). 2.2.5 Displacement

Setelah lulus SMA, Sasana memutuskan untuk kuliah di luar kota yaitu di Malang. Sasana pada akhirnya merasa akan bebas karena keluar dari rumah. Hingga terjadilah pertemuan antara Sasana dan Cak Jek di warung Cak Man. Cak Jek tahu bahwa Sasana memiliki suara merdu, mengajak Sasana mengamen di warung Cak Man yang disambut ragu-ragu oleh Sasana namun dengan penuh sukacita karena akhirnya Sasana bisa menyelenggarakan pentas dangdut meski hanya di warung Cak Man.

Keputusan Sasana untuk mempercayai Cak Jek serta menerima tawaran Cak Jek merupakan pelampiasan akanid Sasana yang terus mendesak batinnya. Id tersebut berupa ingatan-ingatannya semasa kecil ketika Sasana ingin kedua orangtuanya memahami dan menuruti keinginan Sasana, namun hal tersebut tidak diperolehnya. Pertemuannya dengan Cak Jek membuat Sasana merasa bahwa ia menemukan sosok yang dapat memahami keadaan dan keinginannya. Peneliti juga melihat ada kecenderungan Sasana merasa bahwa Cak Jek adalah sosok laki-laki yang mampu melindungi dirinya tidak seperti ayahnya.

Keadaan Sasana diatas merupakan displacement. Displacement adalah suatu dinamika yang mempengaruhi ego dalam hal pemenuhan id atau pemenuhan hasrat. Ketika objek yang dibutuhkan untuk memuaskan id tidak ada, orang kemungkinan besar akan menggantinya dengan objek yang lain. Contohnya, ketika anak-anak tidak senang kepada orang tua mereka, mereka tidak beranimengekspresikan ketidaksenangannya karena takut akan hukuman yang diberikan. Jadi mereka melampiaskannya kepada orang lain, misalnya kepada adiknya atau saudara kandung yang lain. Sasana tidak memperoleh perhatian, kepercayaan, dan dukungan dari sang ayah, ketika tokoh Cak Jek hadir dalam hidupnya dan secara langsung mendukung hasrat id-nya ia mendapatkan pemenuhan hasrat yang selama ini ia harapkan datang dari ayahnya. Sasana mengganti objek pemuasan hasrat dari ayah menjadi Cak Jek.

Oedipus complex dialami oleh semua orang. Seorang anak perempuan akan lebih mencintai dan menginginkan perhatian dari ayahnya, sedangkan seorang anak laki-laki cenderung mencari perhatian dan pemusatan cinta kepada ibunya. Sasana, sebagai anak laki-laki mengalami hal serupa. Ia berusaha untuk menuruti semua aturan yang dibuat ibunya dan cenderung menginginkan perhatian dari sang ibu. Keputusan Sasana untuk mengikat diri dan menahan hasratnya semata-mata untuk menenangkan hati ibunya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Demi Ibu aku bertekad mengendalikan diri, Aku mengurung jiwa dan pikiranku, aku membangun tembok tinggi-tinggi, aku mengikat tangan dan kakiku sendiri (Madasari, 2013: 30)

Seiring perkembangannya, anak laki-laki melihat bahwa anak perempuan tidak memiliki penis, tidak seperti dirinya yang memilikinya. Begitupun di pihak lain anak perempuan melihat bahwa anak laki-laki memiliki penis, sedangkan dirinya tidak. Hal ini menyebabkan anak perempuan mengalami penis envy(kecemburuan akan penis), sedangkan anak laki-laki mengalami castration anxiety (cemas dikebiri). Anak perempuan merasa iri melihat anak laki-laki memiliki penis. Ia kemudian menyalahkan ibunya sebagai penyebab ketidak lengkapan dirinya ini, lalu mulai menyukai ayahnya—karena memiliki penis. Pada anak laki-laki, kesadaran memiliki penis dan bahwa anak perempuan tidak memilikinya justru membuatnya menjadi cemas. Ia menyangka bahwa penis anak perempuan telah dikebiri dan mulai merasa takut bahwa ada kemungkinan penisnya juga akan dikebiri. Karena rasa sukanya pada ibunya dan

permusuhannya dengan ayahnya, ia mulai takut bahwa ayahnya akan mengebiri dia.

Sasana memiliki ketakutan kepada sang ayah. Seringkali ia terpaksa menuruti keinginan ayahnya. Misalnya, ketika masa SMA, Sasana dipaksa masuk ke sekolah khusus laki-laki oleh ayahnya, dan ia menurut. Ketakutan-ketakutan Sasana kepada sang ayah merupakan bentuk castration anxiety (cemas dikebiri). Kemudian ketika tokoh Sasana kembali ke rumah dan ingin menunjukkan identitasnya sebagai Sasa, lagi-lagi ia takut akan kemarahan sang ayah yang akan ia terima. Terlebih di dalam cerita, disampaikan bahwa sang ayah tidak bisa menerima kondisi Sasana yang bertansformasi sebagai Sasa. Hal ini dibuktikan dalam kutipan-kutipan berikut.

Aku tak bisa membantah ketika setelah lulus SMP dimasukkan ke SMA khusus laki-laki. Sebuah SMA yang dikelola yayasan katolik (Madasari, 2013: 30).

Ayah malu sekali malam itu. Meski tetangga-tetangga masih belum percaya aku anaknya, tapi ayah merasa semua orang kini menertawakannya. Setelah aku pergi, ibu memaksa ingin menemuiku. Ayah melarang. Katanya, aku bukan anaknya. Ibu berkeras. Hingga akhirnya ayah berkata, “Terserah kalau kau mau menemui dia. Tapi jangan pernah membawa dia ke rumah ini (Madasari, 2013: 283).

Hubungan Sasana dengan ibunya juga terlihat ketika Sasana terpuruk di rumah sakit jiwa. Ia meminta dibawakan alat-alat dandan dan baju milik ibunya untuk mengadakan pentas di RSJ. Figur sang Ibu yang dirindukan oleh Sasa semakin dekat dengannya dan membuat Sasa cukup tenang dan bahagia. Frekuensi Sasa dalam hal teringat akan pengalaman traumatiknya berangsur-angsur berkurang.

2.3 Rangkuman

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti uraikan dalam bab 2 ini, dapat disimpulkan bahwa tokoh Sasana memiliki dorongan id yang kuat yaitu ingin berlaku seperti perempuan dan menjadi penyanyi dangdut terkenal namunid dan ego-nya (usaha-usaha mewujudkan id) terhalang oleh superego berupa aturan dari orangtuanya dan norma-norma yang ada di masyarakat.

Id dan ego dalam diri Sasana mengalami tekanan-tekanan dalam usaha pemenuhan hasratnya, sehingga Sasana mengalami beberapa dinamika kepribadian. Dinamika-dinamika tersebut adalah; mimpi, frustasi, konflik, kecemasan, neurosis, sublimasi, displacement, dan oedipus complex.

Dokumen terkait