• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya dukung habitat

Dalam dokumen Sintesis Penangkaran rusa timor (Halaman 28-47)

a. Produktivitas tumbuhan pakan di kawasan hutan

Penelitian produktivitas tumbuhan pakan rusa di habitat alami dilakukan untuk menentukan daya dukung habitat terhadap populasi dan untuk menentukan arah pengelolaan habitat serta sebagai pembanding apabila kondisi tersebut diaplikasikan di areal penangkaran berupa ranch. Beberapa hasil penelitian produktivitas tumbuhan sumber pakan rusa telah dilakukan di beberapa tempat, yaitu di vegetasi savana dan hutan tanaman, di hutan savana pulau kecil seperti di Pulau Ndana, NTT.

Keragaman jenis tumbuhan di Pulau Ndana merupa-kan jenis hijauan pamerupa-kan rusa timor dengan biomassa masing-masing jenis disajikan dalam Tabel 3.7 (Garsetiasih, 1996). Tabel 3.7. Biomassa tumbuhan pakan rusa timor di P. Ndana

No. Jenis tanaman Biomassa (kg/ha)

1. Indigofera glanddulosa Wendl. 45,00

2. Remirea maritima Aubl. 216,00

3. Eragrostis uniloides Retz. 321,00

4. Pollinia ful va R.Br 47,50

5. Mollugo pentaphylla L. 25,00

6. Euphorbia reniformis BL. 10,00

Total 664,50

Total biomassa tumbuhan bawah yang merupakan hijauan pakan rusa di Pulau Ndana pada musim kemarau sebanyak 664,50 kg/ha, jauh lebih kecil dibanding dengan biomassa tumbuhan bawah di Pulau Rinca, TN. Komodo yang menghasilkan biomassa hijauan pakan rusa timor sebesar 1.977 kg/ha. Hal ini disebabkan jumlah hari hujan per tahun

yang mempengaruhi pertumbuhan rumput, dimana Pulau Ndana mengalami musim hujan selama 3 bulan per tahun sedangkan Pulau Rinca memiliki musim hujan 4-5 bulan per tahun.

Daya dukung habitat rusa timor yang terdapat di pulau-pulau kecil umumnya sangat tergantung pada produksi hijauan rumput dan dedaunan pada musim kemarau dan musim hujan. Produksi kering hijauan rumput di Pulau Peucang adalah 1.258,4 kg per ha (6,99 kg per hari per ha), sedangkan produksi hijauan bukan rumput 40,10 kg per ha (0,22 kg per hari per ha). Adapun pada musim hujan produksi kering hijauan rumput 4.097,83 kg per ha (22,77 kg per hari per ha) dan hijauan bukan rumput 92,65 kg per ha (0,52 kg per hari per ha). Berdasarkan data produktivitas tersebut maka Pulau Peucang seluas 440 ha yang terdiri dari 0,75 ha padang rumput dan 439 ha hutan, mempunyai daya dukung di musim kemarau 79 individu dan pada musim hujan 189 individu (Mukhtar, 1996).

Hasil penelitian di P. Peucang, TN Ujung Kulon, memperkirakan terdapat nilai populasi rusa timor sebanyak 260,77 ± 3,36 individu, terdiri dari 45,72 ± 8,71 individu jantan dan 215,04 ± 9,74 individu betina (rasio kelamin seluruh kelompok umur sekitar 1:4,7) dan kepadatan 0,85 ± 0,01 individu/ha. Nilai ini diperkirakan masih ideal dan dalam batas daya dukung habitat sebanyal 375,68 individu/tahun (Setio et al., 2010).

Menurut hasil penelitian Garsetiasih (1996), tumbuhan bawah pada petak 6D di kawasan Baturraden didominasi kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.) dan pacing (Costus speciosus Koen. Smith) sebagai sumber pakan rusa. Jenis-jenis rumput yang ditemukan dan biasa dikonsumsi rusa yaitu aawian (Pogonatherum paniceum c.v Mon.), rumput pait (Axonopus compressus Sw.), sadagori (Sudaorientalis), babadotan (Ageratum conyzoides L.), bayondah (Isachne miliacea Roth.), rane (Sellaginella wilidenowii Desv. ex Poir.), jukut bau (Galinsoga palviflora

Cav.), jomorak (Panicum barbatum Michx.) dan goletrak (Borreria alata Aubl.), ilat (Carex baccans L.). Jenis rumput lain yang ditemukan tetapi tidak biasa dikonsumsi rusa yaitu pakis hijau (Angioptaris Sp. L.), pakis merah (Drypteris sp.), temujung (Tacca palmata Blume), kembang kuning (Eclipta alba L. Hassk), mekania (Galinsoga parviflora Cav)., Panicum montanum Roxb. Fl. dan harendong (Clidemia hirta L.D.Don).

Tumbuhan bawah di kawasan Baturraden sebanyak 18 jenis terdiri dari jenis rumput pait (Axonopus compressus Sw.), aawian (Pogonatherum paniceum Lam. Hack), harendong (Medinilla alpestris Jack Blume), mekania (Galinsoga parviflora Cav.), kembang kuning (Eclipta alba L. Hassk), goletrak (Borreria alata Aubl.) , rane (Sellaginella martensii Spring.), pacing (Costus speciasus J. Konig. Sm.), temujung (Tacca palmata Blume), wedusan(Ageratum conyzoides L.), pakis hieur (Lycopodium debile Roxb.), pakis merah (Cyathea sp), bayondah (Isachne miliacea Roth), ilat (Carex baccans L.), sadagori (Sudaorientalis), kaliandra (Calliandra tetragona Willd. Benth), babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan jukut bau (Galinsoga palviflora Cav.).

Hijauan pakan jenis pacing (Costus speciosus J. Konig) mempunyai produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan jenis hijauan lainnya yaitu sebesar 24,50 kg/ha/hari, produktivitas kaliandra dan rumput pait masing-masing sebesar 15,50 kg/ha/hari dan 13,50 kg/ha/hari. Produktivitas hijauan yang dikonsumsi rusa di Baturraden adalah 80,70 kg/ha/hari. Sedangkan kebutuhan pakan rusa per ekor per hari umumnya sebesar 6 kg. Nilai tersebut menunjukkan bahwa daya dukung habitat adalah 5 individu/ha pada areal yang bergelombang dan 9 individu/ha pada areal yang relatif datar. Produktivitas dan dominansi 18 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pakan rusa tertera pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Dominansi dan produktivitas tumbuhan bawah di hutan tanaman Baturraden (Garsetiasih, 2006)

No Nama daerah Nama botani INP (%) Produktivitas (kg/ha/hari)

1. Pacing Costus speciasus Smith. 42,81 30,50

2. Kaliandra Calliandra callothyrsus Benth. 50,99 20,90 3. Rumput pait Axonopus compressus. (Sw.) 31,06 13,50

4. Pakis merah* Drypteris sp. 4,61 11,80

5. Temujung* Tacca palmata BL. 14,56 8,40

6. Sadagori Sudaorientalis Sp. 4,15 6,80

7. Aawian Pogonatherum paniceum Sp. 4,60 6,10

8. Kembang kuning* Eclipta alba Hassk. 2,53 5,60 9. Mikania* Mikania micrantha Bittervine 4,20 5,20 10. Babadotan Ageratum conyzoides Linn. 2,26 5,00

11. Jomorak Panicum barbatum Lamk. 2,28 4,20

12. Bayondah Isachne miliacea Roth 2,49 3,20

13. Goletrak Borreria alata Aubl. 2,26 3,10

14. Rane Sellaginella wilidenowii Backer. 10,96 2,90 15. Jukut bau Golinsoga pulviflora Linn. 10,91 1,70

16. Rumput Ilat Carex baccans. L 9,69 1,60

17. Pakis hijau* Angioptaris Sp. 3,02 1,60

18. Harendong* Clidemia hirta Don. 7,34 1,50

Keterangan : * Tidak dimakan rusa

Berdasarkan pengamatan pada beberapa habitat rusa dan hijauan pakan di beberapa lokasi penangkaran, dari 18 jenis rumput dan hijauan tidak semua dikonsumsi rusa. Produktivitas hijauan yang dikonsumsi rusa pada petak 6 D seluas 5,9 ha di kawasan hutan Baturraden adalah 95,50 kg/ha/hari, dengan kebutuhan pakan rusa timor per individu per hari sebesar 6 kg maka daya dukung habitat adalah 11,14 individu/ha untuk habitat datar dan 6,36 individu/ha pada habitat yang bergelombang atau dapat mendukung populasi rusa timor 55,7 individu.

b. Produktivitas tumbuhan pakan di habitat buatan

Produktivitas jenis hijauan pakan di penangkaran rusa di kawasan Ranca Upas Ciwidey Kabupaten Bandung sebesar 76,40 kg/ha/hari (Tabel 3.9) dan rusa dapat berkembangbiak dengan baik. Hal ini menunjukkan daya dukung habitat rusa di penangkaran tersebut cukup baik (Garsetiasih, 2004).

Tabel 3.9. Produktivitas rumput di habitat buatan Ranca Upas

Jenis rumput Produktivitas rumput pada pemotongan 1 (kg/ha/hari) Produktivitas rumput pada pemotongan 2 (kg/ha/hari) Lampuyang (Panicum repens L.) 17,50 28,8 Bayondah (Isachne globosa

Thunb.) 3,75 7,50

Lameta (Leersia hexandra Sw.) 10 26,30 Paparean (Carex remota L.) 10 13,80

Jumlah (Total) 41,25 76,40

Tabel 3.9 di atas terlihat bahwa produktivitas rumput pada pemotongan kedua lebih besar dibanding dengan pemotongan pertama. Hal ini karena rumput yang sering dipotong umumnya pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan rumput yang belum pernah dipotong sehingga untuk pembinaan habitat areal pengembalaan rusa dapat dilakukan pengaritan. Pemotongan pada saat musim penghujan menunjukkan pertumbuhan rumput lebih cepat. Peningkatan produksi hijauan dengan interval pemotongan 20 hari lebih besar sesuai peningkatan curah hujan (Susetyo, 1980). Berdasarkan produktivitas tersebut padang penggembalaan Ranca Upas seluas 4,5 ha dapat menampung rusa sebanyak 21-40 individu.

c. Penurunan potensi habitat

Degradasi hutan sebagai habitat rusa di alam, terjadi karena pengelolaan dan pemanfaatan hutan, penebangan liar, perambahan untuk pertanian dan konversi hutan. Populasi rusa timor di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya dan politik. Tahun 1980-1990-an, budaya memelihara burung dilakukan dengan berburu di hutan, termasuk di Taman Nasional. Tetapi pada tahun 1997, perubahan peta politik membawa perubahan sebagai akibat pengelolaan desentralisasi yang meningkatkan kerusakan habitat dan pencurian. Penurunan luas tegakan hutan berkaitan dengan illegal logging, perluasan lahan pertanian atau dampak pengelolaan hutan. Garsetiasih et.al., (1998)

melaporkan penebangan kayu di hutan bakau di P. Menipo dilakukan tiga (3) kali dalam setahun sehingga, mengakibatkan intrusi air laut ke danau air tawar karena menipisnya luasan hutan. Berkurangnya tegakan bakau akan mengganggu fungsinya sebagai penahan angin maupun hilangnya cover bagi rusa timor sebagai tempat istirahat dan bermain.

Luas lahan kritis di pulau sebaran populasi rusa timor disajikan pada Tabel 3.10. Rehabilitasi lahan yang telah dilakukan untuk penanggulangan lahan kritis sebagai bentuk perbaikan habitat di dalam kawasan hutan, baru mencapai 1,9%.

Tabel 3.10. Lahan kritis di beberapa propinsi sebagai daerah sebaran rusa timor (sampai tahun 2006)

No. Pulau Luas lahan kritis dalam dan luar kawasan (ha) Luas rehabilitasi lahan dalam kawasan selama 5 tahun (ha) 1. Jawa 3.493.549,99 21.382,20

2. Nusa Tenggara Barat 853.289,66 25.687 3. Nusa Tenggara Timur 4.391.767,10 30.075

4. Sulawesi 6.218.210,36 1.312,26

5. Maluku 2.402.935,73 27.356

6. Papua 4.575.993,81 571

Perluasan lahan kritis yang berdampak pada kehidupan rusa adalah pembukaan lahan hutan oleh manusia untuk kepentingan pertanian. Konversi lahan akan merubah komposisi jenis tumbuhan seperti yang terjadi di Pulau Moyo. Dimana pada tahun 1985 terdapat padang rumput di Tanjung Pasir tetapi pada Tahun 1996 padang rumput tersebut sudah tidak ada dan rumput-rumputan yang terdapat di atasnya digantikan oleh jenis Zizyphus muritiana Lam., Lantana camara L. dan Eupatorium pallescens DC. Sedangkan jenis rumput di padang rumput pada Tahun 1985 yang dijumpai yaitu Paspalum longifolium Roxb., Paspalum paniculatum L., Saccharum spontaneum L. dan Polinia vulva R.Br yang sangat disukai rusa sudah tidak dijumpai pada Tahun 1996 dan

digantikan oleh jenis rumput Eragrostis bahiensis Schard., Arthraxon hispidus Thunb., Chloris digitata Roxb. dan Andropogon contortus L. (Mukhtar, 1996).

d. Pengelolaan habitat

Hilangnya areal penggembalaan rusa di Taman Nasional (TN) Baluran adalah akibat invasi tanaman Acacia nilotica (leguminosae). Tanaman ini merubah padang rumput terbuka menjadi hutan-semak berduri yang lebat, sehingga rumput sulit tumbuh dan satwa sulit masuk ke lokasi tersebut. Di samping itu, terdapat tanaman gulma lain yang juga menginvasi padang rumput alami seperti Lantana camara L., Chromolaena odorata L., Mimosa pudica L., Imperata cylindrica L.P. Beauv, Sesbania sebans Jacq W. Wight dan tanaman pemanjat seperti Mikania micrantha Bittervine.

Pengelolaan habitat yang berkaitan dengan konser-vasi kawasan adalah mengembalikan kawasan pada fungsi dan ekosistem semula melalui kegiatan restorasi. Kegiatan restorasi dilakukan dengan pengayaan habitat melalui zonasi kawasan untuk menentukan arah peruntukan kawasan. Zonasi kawasan berdasarkan peruntukannya dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan daerah penyangga. Pembagian kawasan di daerah kawasan konservasi lain dapat dilakukan dengan pembagian ke dalam blok pemanfaatan, perlindungan dan peruntukan lain. Daerah penyangga yang merupakan koridor kawasan konservasi dapat dibagi dalam tiga zona yaitu jalur hijau yang ditujukan sebagai koridor bagi satwaliar untuk beraktivitas maupun mencari pakan dan kawasan integrasi dan budidaya yang merupakan areal pemukiman, pertanian, perkebunan dan peternakan. Restorasi di dalam kawasan konservasi maupun kawasan hijau di daerah penyangga dilakukan dengan penanaman tanaman asli dan tanaman yang dimanfaatkan oleh satwaliar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan maupun tempat hidup.

Pengelolaan habitat ditujukan untuk meningkatkan daya dukung habitat dalam meningkatkan populasi. Daya dukung habitat rusa didekati melalui produktivitas hijauan, sekalipun sudah menunjukkan nilai yang optimal dari berbagai faktor yang mempengaruhinya seperti tanah, iklim dan organisme lainnya. Pengelolaan habitat rusa dengan cara peningkatan produktivitas hijauan pakan berupa rumput dan hijauan lainnya dilakukan dengan pengayaan jenis tanaman pakan rusa maupun pemberantasan tanaman invasiv yang mengganggu pertumbuhan jenis asli. Di samping itu, penyediaan sumber-sumber air di habitat rusa juga diperlukan sebagai sumber minum air dan pengairan bagi pertumbuhan rumput. Pendekatan daya dukung hijauan dari aspek organisme lain adalah kompetisi yang terjadi antara rusa dengan satwa lain dalam mengkonsumsi pakan. Hal ini terjadi di padang rumput TB. Pulau Moyo dimana rusa dan satwaliar lain memanfaatkan jenis vegetasi yang sama sebagai tanaman pakan. Buah malaka (Phyllanthus emblica L.) yang matang merupakan makanan rusa timor maupun kera ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles), dimana kera ekor panjang akan mengambil buahnya di atas pohon sedangkan rusa timor makan dari buah yang berjatuhan. Buah malaka berbuah pada saat musim kemarau panjang dan memiliki kandungan air paling tinggi diantara pakan rusa lainnya, yaitu 12%, kadar proteinnya 6,69%, dan serat kasarnya 27,68%. Selain itu jenis tanaman pakan yang lain yaitu buah bidara (Schleicera oleosa Lour.) berkompetisi dengan tupai (Callisciurus notatus Boddarert) dan kakatua (Cacatua sulphurea Gmelin). Nilai gizi buah bidara mengandung kadar air 11%, protein 6,58% dan serat kasar 36,30% sehingga jenis tanaman yang menghasilkan buah-buahan di musim kemarau sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air (Mukhtar, 1996).

Rehabilitasi habitat yang telah dilakukan secara intensif di TN Baluran dilakukan bersama masyarakat dengan cara penebangan kayu Acacia nilotica (L.) Willd. dan memanfaatkannya sebagai kayu bakar atau arang (Sawitri dan

Takandjandji, 2007). Cara yang terbaik untuk mengatasi penyebaran A. nilotica adalah kerjasama dengan masyarakat untuk menebang secara manual dan memanfaatkan kayunya. Kewajiban yang diberikan kepada masyarakat tersebut adalah membersihkan padang savana dari pohon maupun anakan A. Nilotica. Hasil dari kerjasama tersebut dapat dilihat yaitu kembalinya ekosistem padang savana yang didominasi oleh rumput-rumputan (Gambar 3.3).

Gambar 3.3. Savana Bekol TN. Baluran setelah tiga tahun penebangan Acacia nilotica

Kegiatan pembinaan habitat savana di TN. Baluran sangat lambat karena tergantung pada peraturan, kondisi habitat, aktivitas satwa, cuaca, perencanaan, dan kemampuan dalam pelaksanaan penebangan pohon. Kemampuan setiap orang untuk menebang pohon Acacia nilotica (L.) Willd sekitar

3

3 m per hari. Masyarakat lebih banyak beristirahat karena cuaca yang sangat panas. Sedang pada waktu musim penghujan, kayu bakar yang telah ditebang tidak dapat dikeluarkan dari lokasi penebangan karena kondisi jalan yang tidak dapat dilalui truk pengangkut. Untuk mengantisipasi keadaan ini, dapat dipadukan dengan cara penebangan kayu

Acacia nilotica secara mekanis dan non mekanis yaitu menggunakan mesin pemotong kayu untuk menebang pohon serta kapak untuk memotong-motong kayu, sehingga pekerjaan menjadi lebih cepat dan efisien. Pembinaan habitat dapat juga diterapkan dengan penebangan sistem rotasi, yang dilakukan secara bergantian berdasarkan prioritas pengelolaan habitat padang savana untuk keamanan satwa. 3.3. Populasi

a. Kepadatan populasi

Populasi rusa di Ranca Upas seluas 4,5 ha sejumlah 12 individu terdiri dari 7 individu jantan dan 5 individu betina. Rusa timor yang termasuk satwaliar, diburu secara illegal untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan sumber protein bagi masyarakat lokal. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan konservasi dan perbaikan habitat telah meningkatkan populasi rusa timor di beberapa tempat.

Perkembangan populasi rusa timor pada penangkaran cukup signifikan di beberapa Kabupaten di Propinsi NTT dimana di Kabupaten Alor sebanyak 329 individu, Kupang 40 individu, Timor Tengah Selatan 23 individu, Sumba Barat 30 individu, Ende 8 individu, serta kemungkinan masih banyak di beberapa kabupaten lainnya. Menurut Garsetiasih et al. (1997), populasi rusa timor di alam pada Tahun 1990-an relatif masih banyak, seperti di TN. Komodo khususnya pulau Rinca mencapai 11.282 individu, dan di Pulau Menipo dengan luas 581 ha sebanyak 632 individu (Sutrisno,1993). Populasi rusa di TN. Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara sekitar 60-80 individu per km (Bismark et al., 1997).

Mengingat potensi rusa sangat luar biasa untuk dikembangkan sebagai hewan untuk substitusi pemenuhan gizi masyarakat, maka sudah saatnya pemeliharaan rusa bukan semata-mata menjadi tanggung jawab instansi pemerintah saja, tetapi masyarakat perlu dilibatkan dalam pemeliharaan, guna mendukung percepatan dan laju perkembangbiakan rusa. Pemeliharaan rusa dengan sistem

kelompok, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok penangkar rusa sekaligus mendorong percepatan pengembangan penangkaran rusa.

Tingginya perburuan secara modern menyebabkan jumlah populasi rusa di alam menurun. Menurut catatan Semiadi (2002), populasi rusa di TN. Wasur Irian Jaya mengalami penurunan akibat perburuan dengan senjata api, dari jumlah 8.000 individu namun hingga saat ini tidak diketahui jumlahnya. Jatah buru rusa di TB. Pulau Moyo Tahun 1996 sebanyak 1018-1785 individu (Mukhtar, 1997).

Populasi rusa timor saat ini lebih banyak di luar habitat aslinya seperti Papua, dan Kepulauan Maluku. Populasi rusa di Pulau Moyo dilindungi oleh masyarakat lokal, sedangkan di TN. Wasur populasinya hampir mencapai 8.000 individu. Sebaliknya populasi rusa di Pulau Jawa menurun di beberapa kawasan konservasi, termasuk TN. Baluran yang pada akhir Tahun 1990-an memiliki populasi terbanyak (Semiadi, 2006).

Peran hutan produksi sebagai habitat ditunjukkan dari potensi satwaliar didalamnya, seperti populasi rusa sambar (Rusaunicolor) sebanyak 16,6 individu per km² (Bismark dan Gintings, 1997). Populasi rusa di kawasan hutan produksi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Sumatera

2

Barat (Andalas Merapi Timber), sebanyak 11 individu per km , demikian pula di Jambi (Kawasan Asialog) (Bismark dan Heriyanto, 2007).

Kepadatan populasi rusa yang tinggi berada dalam kawasan konservasi seperti Pulau Menipo di Nusa Tenggara Timur, seluas 581 hektar pada tahun 1987 mencapai 964 individu (Takandjandji, 1987) dan pada tahun 1988 mengalami penurunan 729 individu serta tahun 1993 632 individu (Sutrisno, 1993). Penurunan populasi rusa di habitatnya umumnya disebabkan perburuan liar, kekurangan pakan pada musim kemarau, dan kerusakan habitat berupa penebangan pohon yang merupakan komponen habitat rusa.

Hasil inventarisasi rusa timor oleh tim pengamat secara bersamaan di seluruh habitat pada Tahun 1996, tercatat 2.500-3.000 individu (Hedger, 2008). Selanjutnya pada Tahun 1998-1999, populasi yang ada, menurun hingga 1.000 individu termasuk populasi rusa yang ada di TN. Alas Purwo dan populasi di Bali hanya tersisa di TN. Bali Barat. Adanya pembinaan habitat dan populasi seperti di TN. Baluran, sensus rusa timor terakhir menunjukkan bahwa populasi rusa timor di kawasan ini berkisar 13.000-20.000 individu dewasa. Kepadatan populasi rusa di beberapa kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11. Populasi rusa timor (Rusa timorensis) pada kawasan konservasi di Indonesia

No. Penyebaran Daerah Habitat Kerapatan populasi (individu/ha)

Nara sumber

1. P. Menipo Savana dan

mangrove 1 Sutrisno, 1993

2. TN Komodo, P.

Rinca Savana 0,6 Garsetiasih, 1997

3. TN Rawa Aopa

Watumohai Rawa, savana dan mangrove 0,6-0,8 Bismark al., 1997 et

4. P. Moyo Savana 0,2-0,4 Mukhtar,

1997 5. TN Ujung Kulon Savana,

mangrove, pantai dan dataran tinggi

0,6-0,7 Mukhtar, 1997

Populasi rusa di hutan wisata diwakili oleh TWA. Pangandaran dan TWA. Pulau Menipo. Populasi rusa timor di TWA. Pangandaran Tahun 1993 adalah 120 individu tersebut diindikasikan mengalami kekurangan pakan dan terjadi perubahan jenis pakan sebagai dampak pengunjung. Rusa yang ada mulai berkeliaran ke hotel-hotel untuk mencari pakan dengan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah, karena kebiasaan rusa di TWA. mendapatkan makanan dari pengunjung maupun sisa-sisa makanan yang ditemukan rusa di tempat sampah. Populasi rusa timor di TWA. Pulau Menipo cukup padat, pada pulau seluas 571,8 hektar terdapat

populasi dengan 632 individu atau kepadatan populasi 1,1 individu per hektar (Sutrisno, 1993). Perubahan persepsi masyarakat lokal yang kemudian menjaga kelestarian populasi rusa timor di taman wisata ini adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang terbangun dari nilai eknomi wisata bagi masyarakat dan pendidikan konservasi.

Jumlah populasi rusa di TB. Pulau Ndana diperkirakan sebanyak 537 individu, terdiri dari 123 individu anak rusa dan 414 individu dewasa (Garsetiasih, 1996). Jumlah tersebut terdapat 155 individu rusa jantan dan 259 individu betina, sehingga nisbah kelamin atau sex ratio rusa betina dengan jantan 1,67:1 , dengan kepadatan populasi 0,34 individu per hektar. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan hasil inventarisasi BKSDA VII tahun 1990 sebanyak 1.621 individu.

Penurunan populasi rusa timor dan rusa sambar saat ini lebih banyak merupakan dampak langsung tidak langsung dari pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Tekanan terhadap satwaliar berupa pengambilan jenis dan perambahan habitat serta konversi lahan hutan menjadi areal pertanian, pemukiman dan perburuan liar yang tidak terkendali untuk dijual sebagai tambahan pendapatan maupun dikonsumsi sendiri dalam rangka pemenuhan protein hewani.

Perburuan liar sering dilakukan oleh masyarakat secara berkelompok dengan menggunakan kuda dan memakai tombak ataupun dengan membakar sekeliling savana sehingga rusa timor terkepung dan kemudian ditombak (Garsetiasih et al., 1998). Gangguan terhadap habitat rusa timor dan rusa sambar selain perambahan dan konversi lahan adalah rendahnya kualitas komponen pendukung habitat kehidupan satwa. Komponen habitat diantaranya adalah ketersediaan pakan terutama di musim kemarau seperti di Pulau Menipo dan Ndana yang mempunyai musim hujan 3-4 bulan per tahun, sisanya merupakan musim kemarau yang mengakibatkan rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, sehingga mengakibatkan kematian populasi rusa.

Kebutuhan hidup pokok rusa untuk pertumbuhan optimal berupa protein, kalsium dan fosfor masing-masing 13-16%, 0,45% dan 0,35% dari bahan kering, minimal kandungan proteinnya 6-7% (Lubis, 1985). Sedangkan nilai kandungan protein, kalsium dan fosfor hijauan pakan di Pulau Menipo masing-masing adalah 3,3%, 0,69% dan 0,12%, dengan demikian kandungan gizi yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan (Garsetiasih, 1990).

Populasi rusa di Pulau Rumberpon yang didalamnya terdapat Taman Buru dengan luas 420,66 ha terdapat populasi rusa sekitar 662 individu (Faten, 2002). Populasi rusa timor di Papua mengadakan migrasi musiman, dimana pada musim hujan banyak terdapat di daerah antara Papua Barat dan perbatasan New Guinea sedangkan pada musim kemarau beberapa diantaranya bergerak ke Papua New Guinea (Semiadi, 2006). Populasi rusa timor di Pulau Rumberpon, Papua tersebar tidak merata di seluruh kawasan. Tetapi terkonsentrasi pada padang rumput dan hutan di sekitarnya. Besarnya populasi rusa di kawasan ini berkisar antara 218 individu-662 individu. Struktur populasi berdasarkan jenis kelamin terdapat perbandingan antara rusa jantan dan betina 1:3 dengan selang populasi rusa jantan 55-166 individu dan betina 164-497 individu. Struktur umur rusa terdiri dari fase umur dewasa (53%), muda (41%) dan anak (6%). Hal ini menunjukkan angka natalitas rusa rendah sebagai akibat oleh perburuan anak rusa oleh masyarakat atau akibat nilai gizi hijauan pakan yang rendah (Faten, 2002).

b. Pengelolaan populasi

Status konservasi rusa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 menyatakan bahwa semua spesies dan sub spesies rusa yang memiliki sebaran alami di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi. Sementara itu, status konservasi berdasarkan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2008) jenis rusa timor (R. timorensis), rusa sambar (R. unicolor) dan muncak (Muntiacus muntjak dan M. atherodes) masuk dalam

kelompok kurang beresiko dengan kategori least concern (LC). Sebaliknya, jenis rusa bawean (A. kuhlii) yang merupakan satwa endemik Pulau Bawean, status konser-vasinya masuk dalam kelompok yang terancam dengan kategori endangered (EN). Selanjutnya, berdasarkan konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), hanya jenis rusa sambar yang masuk dalam daftar Appendix I, sedang tiga jenis rusa lainnya yang terdapat di Indonesia, tidak masuk

Dalam dokumen Sintesis Penangkaran rusa timor (Halaman 28-47)

Dokumen terkait