• Tidak ada hasil yang ditemukan

Malaria di suatu daerah dapat ditemukan secara autokton, impor, induksi, introduksi atau reintroduksi. Di daerah autokton, siklus hidup parasit malaria dapat berlangsung karena adanya manusia yang rentan, nyamuk sebagai vektor dan adanya parasit. Introduksi malaria timbul karena adanya kasus infeksi malaria yang didapat dari luar. Malaria reintroduksi bila kasus malaria muncul kembali di suatu daerah yang sebelumnya telah dilakukan eradikasi, sedangkan induksi malaria terjadi akibat transfusi darah atau kongenital (Astuty & Pribadi 2008).

Peningkatan kasus malaria disebabkan juga oleh masuknya penderita ke daerah yang dijumpai adanya vektor malaria (malariogenic potential) yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu receptivity dan vulnerability. Receptivity adalah adanya vektor malaria dalam jumlah besar dan terdapatnya faktor-faktor ekologis yang memudahkan penularan. Sedangkan vulnerability menunjukkan masuknya penderita atau vektor yang telah terinfeksi pada suatu daerah (Gunawan 2000).

Mardihusodo (1997) menyatakan bahwa kejadian malaria melibatkan multi- faktor penentu epidemiologis yaitu agent penyakit dan inang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yaitu 1) faktor klimatologis yang terdiri dari curah hujan, suhu udara, dan kelembaban, 2) Faktor biologis yang terdiri dari tumbuh- tumbuhan, alam dan sumber makanan, 3) Faktor fisik yang terdiri dari ketinggian, garis lintang, jumlah air dan kualitas air, dan 4) Faktor sosial ekonomi meliputi sanitasi pemukiman, pekerjaan, kemiskinan, pergerakan penduduk, dan perilaku.

Penyebaran malaria dipengaruhi oleh interaksi antara empat faktor yaitu 1) parasit malaria, 2) manusia yang rentan, 3) nyamuk sebagai vektor dan 4) faktor lingkungan (Depkes 2003).

2.4.1 Parasit malaria

Jenis parasit malaria yang ditemukan pada ada empat spesies yaitu :

Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malarie, dan P. ovale. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika atau malaria tersiana maligna, banyak ditemukan di wilayah tropis seperti Afrika dan Asia Tenggara.

Plasmodium vivax merupakan penyebab malaria tersiana ditemukan di daerah subtropis seperti Korea Selatan, China, Mediterania Timur, Turki, beberapa negara Eropa pada waktu musim panas, Amerika Selatan dan Utara. Di daerah tropik dapat ditemukan di Asia Timur (China, daerah Mekong) dan selatan (Srilanka dan India), Indonesia, Filipina serta wilayah Pasifik seperti Papua Nugini, Kepulauan Salomon dan Vanuatu. Di Indonesia tersebar di seluruh kepulauan dan pada musim kering umumnya di daerah endemi mempunyai frekwensi tertinggi di antara spesies yang lain.

Parasit Plasmodium malarie menyebabkan malaria kuartana, ditemukan di daerah tropik, seperti di Afrika bagian barat dan utara, sedangkan di Indonesia di laporkan di Papua Barat, NTT, dan Sumatera Selatan. Plasmodium ovale sebagai penyebab malaria ovale, terutama terdapat di daerah tropik Afrika Barat, Pasifik Barat, dan di Indonesia khususnya di Pulau Owi sebelah selatan Biak, Papua dan di Pulau Timor (Astuty & Pribadi 2008).

Plasmodium sebagai penyebab malaria di Indonesia dapat ditemukan sebagai spesies tunggal dalam darah atau campuran antara dua atau tiga spesies (P. falciparum, P. vivax dan P. malarie).

2.4.2 Manusia sebagai inang antara

Kerentanan manusia terhadap parasit malaria disebabkan oleh banyak faktor di antaranya ras atau suku bangsa, kurangnya suatu enzim tertentu, kekebalan (imunitas), umur, jenis kelamin dan faktor-faktor sosial ekonomi, pekerjaan, pendidikan, perumahan, dan mobilitas penduduk (Depkes 2003).

Vektor dan manusia merupakan dua komponen penting dalam penularan malaria. Nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor malaria adalah inang definitif bagi parasit malaria sedangkan manusia sebagai inang antara dibutuhkan untuk melengkapi siklus hidup parasit (fase gametosit). Keberadaan parasit malaria dalam tubuh manusia menyebabkan gangguan fisiologis dengan berbagai manifestasi klinis (penyakit malaria).

2.4.3 Nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor

Penularan parasit malaria oleh nyamuk Anopheles betina dipengaruhi oleh : perilaku mengisap darah, umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur nya- muk maka semakin besar potensinya untuk menjadi vektor malaria, kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit, frekwensi mengisap darah, kepadatan populasi dan siklus gonotropik nyamuk (Depkes 2003).

Nyamuk Anopheles betina membutuhkan darah untuk pematangan telurnya. Sifat nyamuk Anopheles spp. mengisap darah dapat bersifat antropofilik : lebih suka mengisap darah manusia dan zoofilik : lebih suka mengisap darah hewan. Sifat nyamuk mancari darah hewan sukar ditentukan mengingat beberapa spesies juga menyukai darah manusia seperti yang di laporkan oleh Boewono & Ristiyanto (2004) bahwa A. aconitus dalam mencari mangsa bersitat heterogen, artinya tidak ada selektifitas hospes bagi spesies ini untuk mendapat mangsa sebagai sumber darah. Spesies ini sangat adaptif dan cepat mencari mangsa pengganti, apabila hospes pilihan tidak dijumpai di lingkungan hidupnya.

Untuk kepentingan pengendalian vektor, perilaku nyamuk Anopheles

mengisap darah berdasarkan tempat perlu diketahui, demikian pula dengan waktu mengisap darah pada malam hari. Perilaku nyamuk dibedakan atas eksofagik

(lebih cenderung mengisap darah di luar rumah) dan endofagik (mengisap darah di dalam rumah). Frekwensi kontak vektor yang sering terjadi menjadi satu di antara faktor yang menyebabkan penularan malaria (Hardwood & James 1979).

Nyamuk A. sundaicus di daerah pantai Pangandaran, Jawa Barat lebih cenderung kontak dengan manusia di luar rumah daripada di dalam rumah dan puncak kepadatan mengisap darah pada pukul 02.00-03.00 (Situmeang 1991). Di desa Kasimbar, Sulawesi Tengah, A. barbirostris mengisap darah lebih dominan di luar rumah, puncaknya terjadi pada jam 23.00-24.00 (Jastal et al. 2001).

2.4.4 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik yang terdiri atas suhu udara, kelembaban, curah hujan, dan kecepatan angin. Lingkungan fisik, kimiawi dan biologik perairan sebagai habitat perkembangbiakan Anopheles dan lingkungan sosial budaya masyarakat di daerah potensial penularan malaria.

Faktor lingkungan fisik berupa iklim makro dan mikro (cuaca) berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur dan distribusi vektor malaria, Curah hujan mempengaruhi tipe dan jumlah habitat perkembangbiakan, temperatur serta kelembaban nisbi, dan menyebabkan peningkatan atau penurunan kepadatan populasi nyamuk. Peningkatan suhu dan kelembaban nisbi berdampak terhadap pertumbuhan parasit malaria. Pada populasi vektor yang tinggi dan diikuti dengan percepatan pertumbuhan parasit menjadi stadium infektif akan meningkatkan risiko penularan.

Bruce-Chwat (1985) menyatakan bahwa faktor yang paling penting dalam penularan malaria adalah suhu dan kelembaban. Kondisi yang terbaik untuk pengembangan plasmodium pada Anopheles spp. dan penularan infeksi adalah temperatur antara 200C-300C. Pada suhu kurang dari 150C bagi Plasmodium vivax, P .malaria, P. ovale dan suhu kurang dari 190C bagi P. falciparum, siklus sporogoni akan tertunda. Parasit malaria dalam tubuh nyamuk akan berhenti berkembang pada temperatur di bawah 160C.

Kelembaban mempengaruhi kelangsungan hidup, kebiasaan mengisap darah, dan istirahat dari nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk akan menjadi lebih aktif dan lebih sering mengisap darah (Gunawan 2000). Nyamuk umumnya menyukai kelembaban di atas 60% (Depkes 2007c).

Hujan berperan penting dalam epidemiologi malaria karena menyediakan media bagi tahapan akuatik dari daur hidup nyamuk (Depkes 2007c). Perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa memiliki hubungan langsung dengan curah hujan. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada curah hujan dan jumlah hari hujan, sebagaimana dilaporkan oleh Santoso (2002) dalam penelitiannya di Kokap Kulonprogo bahwa fluktuasi kepadatan rata-rata

pola yang berlawanan dengan indeks curah hujan, kepadatan populasi rendah pada saat indeks curah hujan tinggi dan sebaliknya.

Curah hujan yang berlebihan akan mengubah aliran kecil air menjadi aliran yang deras sehingga banyak larva, pupa dan telur nyamuk akan terbawa arus air. Sebaliknya curah hujan yang rendah menyebabkan genangan air menetap pada suatu lokasi yang dapat menjadi habitat potensial bagi perkembangbiakan larva

Dokumen terkait