• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Need For Love And Belongingness

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Need For

Perbedaan gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebutuhan akan cinta (Dayakisni, 2006). Gender memiliki elemen yang kompleks, yaitu segala sesuatu yang menyangkut jenis kelamin, peran, tingkah laku, kecenderungan dan atribut yang lain (Baron & Byrne, 2003). Berdasarkan penjabaran di atas dan penyesuaian dengan subjek penelitian maka peneliti mengambil dua kategori faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan akan cinta yaitu jenis kelamin dan peran.

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan cinta. Menurut Dayakisni (2006) dalam bukunya dikatakan bahwa terdapat stereotype perempuan lebih romantis daripada laki-laki, namun terdapat pula hasil riset yang menunjukkan laki-laki memiliki skor lebih tinggi daripada perempuan pada skala romantisme. Selain itu dikatakan juga bahwa laki-laki dan perempuan memiliki reaksi berbeda pada pemutusan hubungan, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai bentuk perbedaannya. Hasil penelitian Hatfield dan Walster (1978) pun menunjukan bahwa laki-laki tiga kali lebih mungkin untuk bunuh diri setelah berakhirnya hubungan cinta (dalam Bringham, 1991).

Beberapa perbedaan yang antara laki-laki dan perempuan ini antara lain bahwa kebanyakan perempuan merasa bahwa mereka memberikan cinta yang diwarnai persahabatan kepada pasangan mereka lebih banyak daripada yang mereka terima. Dalam hal berkomunikasi laki- laki lebih bersedia untuk berbicara tentang pandangan politik dan kebanggaan pada kekuatan mereka, sedangkan perempuan mengungkapkan perasaannya tentang orang lain dan ketakutan- ketakutan mereka (Traupman dan Hatfield dalam Bringham, 1991). Perbedaan inipun tampak pada ekspresi cinta, perempuan dikatakan lebih mengekspresikan kelembutan, ketakutan, dan kesedihan sedangkan bagi pria pengendalian kemarahan adalah suatu orientasi emosional yang umum (Cancian&Gordon, 1988 dalam Santrock, 2002). Beberapa penjelasan di atas kemudian menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi munculnya perbedaan need for love and belongingness.

Elemen-elemen biologis, seperti hormon, dalam tubuh laki-laki dan perempuan turut berperanan mempengaruhi setiap perilaku yang muncul. Salah satu contoh konkritnya adalah ketidakstabilan emosi yang sering dialami oleh perempuan ketika masa-masa menjelang menstruasi. Ketidakstabilan ini dipengaruhi juga oleh ketidakstabilan hormon di dalam tubuhnya. Selain itu terdapat perbedaan sifat-sifat khas individu secara umum antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki dikenal lebih agresif, mandiri, tidak emosional, objektif, dll,

sedangkan perempuan yang lemah-lembut, bijaksana, religius, peka terhadap perasaan orang lain, mengungkapkan perasaan yang lembut, tergantung, memiliki kebutuhan akan rasa aman yang besar.

Jenis kelamin yang dimaksudkan disini adalah pengkategorian laki-laki dan perempuan dimana pembedaan ini muncul dari perbedaan secara biologis, yang kemudian akan berpengaruh juga terhadap perbedaan sikap, perilaku dan perlakuan di dalam kehidupan sosial. b. Peran

Peran adalah harapan bersama yang menyangkut fungsi-fungsi di tengah masyarakat. Peran menurut Boeree (2006) selalu hadir berpasangan (rohaniwan-awam) yang mana masing-masing diharapkan dapat memainkan perannya dengan baik. Agar suatu peran memiliki makna maka individu harus memiliki serangkaian fungsi-fungsi tertentu yaitu suatu manfaat/tugas di tengah-tengah masyarakat. Teori peranan (role theory) mengakui bahwa faktor-faktor sosial memiliki pengaruh pada tingkah laku individu dalam situasi yang berbeda. Sedangkan peranan (dalam Dayakisni, 2006) adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan posisi tertentu (Sarbin&Allen, 1968 ; Biddle &Thomas, 1966). Teori peranan (Role Theory) yang dikemukakan oleh Dayakisni mengatakan bahwa peranan yang berbeda akan membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Peran seseorang tidak hanya menentukan perilaku, tetapi juga beliefs (keyakinan) dan sikap (Dayakisni & Hudaniah, 2006). Implikasi dari

teori ini adalah apabila kita memiliki informasi tentang role expectations untuk suatu posisi tertentu, maka kita dapat meramalkan bagian dari perilaku yang bermakna dari orang yang melaksanakan posisi tersebut. Pada penelitian ini peran yang dimaksud adalah sebagai rohaniwan dan awam.

Sehubungan dengan need for love and belongingness maka akan ada perbedaan kebutuhan ini pada rohaniwan dan awam. Konsili Vatikan II merumuskan bahwa ketika seseorang memilih peran sebagai rohaniwan maka mereka harus mencari dan mencintai di atas segalanya Allah yang telah lebih dahulu mencintai kita (bdk 1Yo 4:10), dan dalam segala situasi mereka mengembangkan kehidupan yang tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah (bdk Kol 3:3). Berdasarkan hal-hal tersebut maka akan mengalir desakan cinta kasih kepada sesama demi penyelamatan dunia dan pembangunan Gereja, cinta kasih ini juga yang akan menjiwai dan mengarahkan pengamalan nasehat-nasehat Injil. Para rohaniwan ini mendalami tugas tersebut dengan tinggal dan bekerja bersama Yesus, serta bekerja seperti Yesus, dimana nantinya akan memunculkan cinta bakti dan cinta yang bijaksana dimana selanjutnya terwujud pada cinta agape.

Cinta agape adalah model cinta yang luhur dan Ilahi. Cinta supaya dicintai adalah cinta manusiawi. Cinta supaya mencintai adalah cinta Ilahi cinta gaya Yesus Kristus, dan cinta gaya Yesus Kristus adalah cinta inkarnatoris – harus turun menyentuh dan menerangi cinta manusiawi manusia dan mengangkatnya ke taraf Ilahi, diluhurkan dan dikuduskan (Kraeng, 2000)

Cinta agape ini tidak berarti menghapus cinta manusiawi manusia, cinta ini justru meresapi dan memberi daya hidup serta orientasi kepada cinta manusiawi sehingga manusia menjadi mampu mewujudkan diri secara utuh melalui suatu proses menuju tujuan tertentu. Cinta agape merupakan cinta murni yang tidak mementingkan diri sendiri atau tidak mencari keuntungan diri sendiri (1 Kor 13:5). Dalam perjalanan hidupnya diharapkan para rohaniwan dapat mendalami dan menghayati cinta agape ini.

Pada kaum awam cinta yang tumbuh tidak terbatasi secara lebih ketat pada arah tertentu seperti layaknya pada rohaniwan. Kaum awam, terutama pada masa perkembangan dewasa awal, memasuki tugas– tugas perkembangan antara lain berumah tangga. Memasuki awal masa dewasa muda mereka mulai memasuki tahapan untuk hidup lebih mandiri, kemudian dilanjutkan dengan mencari pasangan hidup dan akhirnya berkeluarga. Mereka berpendapat bahwa lebih baik mencintai dan kehilangan daripada tidak pernah mencintai sama sekali (Santrock, 2002). Mereka memiliki kebebasan yang lebih luas untuk mencintai siapapun dan dalam bentuk apapun. Seperti dikemukakan Santrock (2002) dalam bukunya bahwa kesendirian merupakan salah satu hal dihindari dan hanya ingin dirasakan sedikit orang.

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa akan ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness antara rohaniwan dengan awam. Peran yang dimaksud disini adalah posisi

seorang individu dimana di dalamnya terdapat harapan bersama yang menyangkut fungsi-fungsinya di tengah masyarakat.

Need for love and belongingness adalah kebutuhan yang memiliki eksistensi besar dan menetap dalam kurun waktu relatif lebih lama pada individu, yang memiliki kategori akan cinta, kasih sayang dan penerimaan dimana di dalamnya meliputi keadaan dimengerti secara mendalam, diterima dengan sepenuh hati, saling percaya, cinta yang memberi, cinta yang menerima, serta tidak akan ada rasa takut.

Beberapa karakteristik di atas akan menjadi aspek yang digunakan oleh peneliti untuk mengukur skala need for love and belongingness pada penelitian ini, antara lain :

1). keadaan dimengerti secara mendalam 2). diterima dengan sepenuh hati

3). saling percaya 4). cinta yang memberi 5). cinta yang menerima 6). tidak ada rasa takut.

Dokumen terkait