• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja

tahap ini kadar kolesterol mengalami peningkatan sehingga berbagai penyakit kronis timbul, seperti diabetes, kanker, penyakit jantung, sembelit, alergi dan asma, kelelahan, dan hipoglikemia. Keadaan berkepanjangan yang seperti ini akan membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit bahkan dalam kasus yang lebih berbahaya dapat mengakibatkan kematian.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stress Kerja 2.4.1 Karakteristik Pekerjaan

a. Kebisingan

Kebisingan biasa didefinisikan sebagai suara yang tidak diinginkan yang dapat memicu timbulnya stress. Kebisingan merupakan salah satu sumber stress yang terdapat di tempat kerja. Tingkat kebisingan yang tinggi diklaim sebagai penyebab stress paling tinggi dibandingkan faktor lingkungan lainnya. Berdasarkan hasil survei didapatkan urutan faktor lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah kebisingan, sanitasi lingkungan, substansi berbahaya, pencahayaan dan suhu (ILO, 2003). Kebisingan dapat memicu terjadinya peningkatan ketidakseimbangan psikologi (Rose, 1994). Pajanan kebisingan di tempat kerja juga berhubungan dengan berbagai macam efek stress, seperti aktivitas neuroendokrin, peningkatan detak jantung, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan rendahnya motivasi kerja. Berdasarkan hasil penelitian Broadbent (1971), efek dari kebisingan yang tidak dapat diduga akan lebih parah dibandingkan dengan kebisingan yang dapat diduga.

22 Berdasarkan hasil penelitian Evans dan Johnson (1999) menemukan bahwa intensitas kebisingan yang rendah tidak memiliki dampak yang besar terhadap pekerja. Akan tetapi, dalam waktu pajanan kebisingan tersebut selama tiga jam akan memperlihatkan perubahan motivasi kerja dan peningkatan hormon stress dalam tubuh. Hasil penelitian Evans dan Johnson ini juga sejalan dengan penelitian sejenis bahwa pajanan kebisingan dapat meningkatkan kadar hormon neuroendokrin stress dalam tubuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Berglund dan Lindvall (1995) dan Medical Research Council (1997) menemukan bahwa pajanan kebisingan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan beberapa penyakit lain yang berujung pada penyakit jantung koroner (Barling, Kelloway, & Frone, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ljungberg dan Neely (2007) menemukan bahwa individu yang mengalami pajanan kebisingan akan mengalami peningkatan hormon kortisol dengan tingkat stress yang bersifat subjektif (Perrewe & Ganster, 2010).

b. Pencahayaan

Sumber stress lain yang berasal dari lingkungan kerja adalah tingkat pencahayaan. Menurut Poulton (1978), tingkat pencahayaan yang terlalu rendah dan menyilaukan dapat memicu terjadinya ketegangan otot mata, kelelahan mata, sakit kepala, kerusakan penglihatan, ketegangan, dan frustasi. Tingkat pencahayaan yang kurang baik dapat membuat pekerja lebih sulit dalam menyelesaikan

23 pekerjaannya sehingga akan menghabiskan lebih banyak waktu (Rout & Rout, 2002).

Selain tingkat cahaya, kualitas cahaya yang dihasilkan juga penting. Sebagian besar individu lebih merasa bahagia ketika cahaya matahari pada siang hari yang terang. Cahaya matahari pada siang hari yang terang dapat mendorong terjadinya reaksi kimia dalam tubuh yang dapat menghasilkan perasaan senang secara psikologis. Sehingga peningkatan kualitas cahaya dapat meningkatkan kualitas lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan yang dilakukan (Schroeder, 2013).

c. Suhu

Respon individu terhadap kondisi suhu di lingkungan kerja berbeda-beda. Meskipun pada saat ini suhu di tempat kerja cenderung bisa dikendalikan tetapi suhu di lingkungan kerja tetap dapat dikategorikan menjadi terlalu panas, terlalu dingin, dsb. Stress yang diakibatkan suhu dapat menurunkan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan performa kerja. Selain itu, lingkungan kerja yang terlalu dingin juga dapat menurunkan tingkat ketangkasan dan motivasi dalam bekerja tetapi dapat meningkatkan kejadian kecelakaan. Berdasarkan hasil penelitian Ramsey menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan kualitas kerja dan meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya kecelakaan (Rose, 1994).

Menurut McCormick (1976), suhu lingkungan kerja yang terlalu panas dapat menurunkan tingkat produktivitas kerja. Begitu juga

24 pada lingkungan kerja yang dingin, dimana menurut Fox (1967) dan Enander (1987), suhu lingkungan kerja yang terlalu dingin juga menurunkan produktivitas kerja. Pada beberapa pekerjaan seperti tugas yang berhubungan dengan kemampuan kognitif, suhu lingkungan yang dingin dapat meningkatkan performa kerja karena dapat menurunkan terjadinya kelelahan. Akan tetapi, semakin kompleks tingkat pekerjaan maka performa kerja akan semakin memburuk jika suhu lingkungan terlalu panas atau dingin (Barling et al., 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Pilcher et al (2002), menemukan bahwa suhu yang terlalu dingin memiliki dampak negatif terhadap proses pembelajaran dan tugas yang membutuhkan memori. Sedangkan suhu yang terlalu panas berdampak negatif terhadap tugas yang membutuhkan perhatian dan persepsi. Akan tetapi, efek ini hanya terlihat pada durasi yang singkat karena pekerja biasanya sudah teraklimatisasi jika terpajan dalam durasi waktu yang lama (Perrewe & Ganster, 2010).

d. Ventilasi

Kualitas udara yang buruk di lingkungan kerja dapat memicu terjadinya sakit kepala dan kelelahan sehingga menyebabkan pekerja sulit berkonsentrasi. Rendahnya kualitas udara ini dapat disebabkan beberapa hal, seperi tingginya konsentrasi polutan di udara, buruknya sirkulasi udara, atau kurangnya ventilasi. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas udara yaitu asap rokok, sistem pendingin

25 ruangan, ionisasi akibat peralatan elektronik, terlalu banyak orang di ruangan yang kecil, dan adanya bahan kimia (Schroeder, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Chandraseker (2011), buruknya kualitas ventilasi dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Ajala (2012) menunjukkan bahwa sistem ventilasi yang baik dapat meningkatkan produktivitas kerja serta menurunkan pajanan terhadap substansi udara yang berbahaya sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit akibat hubungan kerja, absenteisme, dan turnover pekerja (Ajala, 2012).

e. Konflik Peran

Konflik peran biasanya terjadinya pada individu ketika tingginya harapan perusahaan terhadap diri mereka. Akan tetapi, tingginya harapan tersebut mempersulit pencapaian tugas yang diberikan. Konflik peran merupakan bentuk umum stressor yang terjadi di tempat kerja. Konflik ini biasanya muncul ketika pekerja diharuskan untuk berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan diri mereka. Menurut Pomaki et al (2007) konflik peran berhubungan dengan kelelahan secara emosional, gejala depresi dan bahkan timbulnya gangguan kesehatan secara fisik. Terdapat lima bentuk konflik peran yang biasa terjadi di lingkungan kerja, yaitu:

1. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik

2. Banyak harapan untuk bertindak dengan cara yang berbeda 3. Peran ganda yang tidak sesuai dengan kemampuan

26 4. Banyaknya peran yang harus dilakukan

5. Nilai dan kepercayaan pekerja yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (Hubbard, 1998)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada manajer di Singapura menunjukkan bahwa secara signifikan konflik peran berhubungan dengan munculnya stress kerja (Quah & Campbell, 1994). Konflik peran yang terjadi di perusahaan akan berdampak pada tingginya angka absenteisme dan turnover pekerja.

f. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran terjadi ketika tidak tersedia cukup informasi mengenai perilaku yang diharapkan dari perusahaan. Informasi yang tidak jelas mengenai harapan yang harus dipenuhi membuat pekerja harus menjalankan peran yang beragam. Ketidakpahaman pekerja terhadap peran yang harus dijalankan akan menimbulkan stress di tempat kerja (Hubbard, 1998). Ketaksaan peran juga berhubungan dengan ketidakjelasan dalam memberikan tugas kepada pekerja. Sehingga hal ini dapat menimbulkan terjadinya frustasi dan sulitnya bagi pekerja untuk mencapai kepuasan dalam bekerja. Hasil survei yang dilakukan Kahn et al (1964) menunjukkan bahwa 35 persen pekerja merasa bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada mereka tidak jelas sehingga mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan (Cardwell & Flanagan, 2005).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap para manager industri manufaktur di Pakistan menemukan bahwa ketaksaan peran

27 berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan stress kerja. Sehingga semakin tinggi ketaksaan peran yang dirasakan maka akan semakin tinggi juga tingkat stress kerja yang dialami. Hal ini kemudian berdampak pada menurunnya potensi kerja mereka sebesar 80 % akibat stress kerja yang dialami (Ram, Khoso, Shah, Chandio, & Shaikih, 2011).

g. Konflik Interpersonal

Setiap pekerjaan pasti mengharuskan pekerjanya untuk berinteraksi dengan orang lain, misalnya dengan rekan kerja, klien, atau kontraktor. Dalam beberapa pekerjaan, interaksi sosial merupakan sumber kepuasan kerja. Akan tetapi, di sisi lainnya, interaksi sosial berpotensi menimbulkan konflik yang dapat mengakibatkan stress. Dalam tingkat yang lebih bahkan konflik interpersonal tadi dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan fisik. Penyebab munculnya konflik interpersonal seringkali disebabkan kompetisi antar pekerja. Di beberapa perusahaan, pekerja diwajibkan mencapai beberapa target untuk bisa mendapatkan penghargaan, promosi jabatan atau reward.

Konflik interpersonal memang masih jarang dibahas akan tetapi dampaknya terhadap stress kerja sangat nyata terutama dalam jangka waktu yang lama. Bentuk konflik interpersonal dapat terjadi dalam bentuk aktif maupun pasif. Konflik interpersonal secara aktif dapat terjadi ketika seseorang berargumen dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada orang lain. Sedangkan konflik interpersonal pasif dapat terjadi misalnya ketika seseorang lupa mengundang rekannya untuk

28 menghadiri sebuah pertemuan yang dianggap penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik interpersonal merupakan salah satu variabel penting yang dapat berdampak kompleks bagi pekerja yang mengalaminya (Jex & Britt, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa pada pekerja baik laki-laki maupun perempuan konflik interpersonal berpengaruh terhadap stress secara psikologis (Tsuno et al., 2009). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan pada perusahaan manufaktur skala kecil dan sedang di Jepang menunjukkan bahwa tingginya konflik interpersonal dapat berpengaruh terhadap peningkatan gejala depresi (Ikeda et al., 2009). h. Ketidakpastian Pekerjaan

Ketidakpastian pekerjaan berkaitan dengan ancaman kehilangan pekerjaan di masa mendatang. Ketidakpastian pekerjaan merupakan salah satu sumber stress yang dapat mengakibatkan menurunnya performa kerja dan menyebabkan pekerja mencoba mencari pekerjaan di tempat lain (Stellman, 1998). Ketidakpastian pekerjaan ini dapat direspon berbeda oleh setiap pekerja. Di satu sisi, pekerja akan semakin meningkatkan performanya agar mereka dapat tetap bekerja. Akan tetapi, di sisi lainnya secara tidak langsung dapat menimbulkan kondisi stress atau ketidakpuasan dalam diri pekerja yang dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja. Dari hasil penelitian Abramis (1994) didapatkan bahwa ketidakpastian pekerjaan tidak berhubungan dengan performa kerja seseorang. Akan tetapi, ketidakpastian tersebut

29 sangat berhubungan dengan ketidakpuasan kerja, kecemasan dan depresi (Heery & Salmon, 1998).

Ketidakpastian pekerjaan juga dapat berhubungan dengan kemungkinan perubahan pekerjaan dan kemungkinan keterampilan yang tidak berguna di masa mendatang. Kekhawatiran mengenai ketidakpastian pekerjaan bisa terjadi ketika adanya situasi penggabungan perusahannya bekerja. Kekhawatiran yang terjadinya ini dapat meningkatkan risiko terjadinya stress pada individu tersebut. Stress yang berkepanjangan tersebut dapat berdampak dengan munculnya gangguan secara psikologis dan fisik. Selain itu, kekhawatiran ini juga dapat memicu terjadinya kelelahan dalam bekerja (Robbins, 2009).

i. Kurangnya Kontrol

Stress terjadi ketika adanya permintaan dari lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu dipenuhi maka individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri. Kurangnya kontrol terhadap diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya stress. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu mengatur dirinya sendiri (Cardwell & Flanagan, 2005).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Marmot et al (1997) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kemampuan kontrol kerja lebih sedikit memiliki risiko empat kali lebih besar terkena serangan jantung dibandingkan dengan pekerja yang memiliki kontrol lebih besar

30 terhadap pekerjaannya. Hasil penelitian tersebut kemudian merekomendasikan agar para manajer lebih memberikan kebebasan bagi para staf untuk melakukan kontrol terhadap pekerjaan mereka (O'Rourke & Collins, 2009).

j. Kurangnya Kesempatan Kerja

Perekonomian dunia saat ini perlahan berusaha bangkit setelah terjadinya krisis ekonomi. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat tidak dibarengi oleh peningkatan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran yang terjadi di hampir seluruh dunia. Sehingga hal ini dapat membuat pertumbuhan ekonomi yang sedang terjadi kembali mengalami kegoyahan (Forbes, 2012).

Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia dapat menjadi suatu masalah besar bagi individu. Meskipun demikian, penelitian yang membahas mengenai dampak kurangnya lapangan pekerjaan terhadap kesehatan mental individu sangat jarang dibahas. Peneliti cenderung membahas mengenai pengaruh kurangnya lapangan pekerjaan terhadap peningkatan angka pengangguran. Padahal kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia dapat memicu terjadinya stress. Hal ini dikarenakan munculnya kekhawatiran dalam diri individu terhadap kemungkinan kehilangan pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan kembali (Bizymoms, 2013). Selain itu, ketidakpastian pekerjaan di masa depan akibat sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia juga dapat memicu terjadinya frustasi (Swain, 2008).

31 Kekhawatiran yang terjadi terus menerus ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi individu yang merasakannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pekerja dewasa menunjukkan bahwa perasaan khawatir akibat kurangnya lapangan pekerjaan dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, ketidakstabilan emosi, dan kecemasan (Burgard, Kalousova, & Seefeldt, 2012). Meskipun seorang pekerja telah berusaha mengantisipasi kemungkinan sulitnya mendapatkan pekerjaan lagi maka hal tersebut tetap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan perasaan gelisah (L. B. Singh, 2006).

k. Jumlah Beban Kerja

Beban kerja baik mental maupun fisik berpotensi menjadi sumber stress di tempat kerja. Bekerja di bawah tekanan waktu untuk mencapai target merupakan sumber stress yang seringkali terdapat di tempat kerja. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tingkat stress akan meningkat seiring dengan semakin dekatnya target yang ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian pada pekerja di Jepang menunjukkan bahwa jumlah beban kerja secara signifikan berkaitan dengan munculnya sejumlah gejala stress, seperti mudah marah, kelelahan, gelisah, dan gejala depresi (Nishitani, Sakakibara, & Akiyama, 2013). Selain itu, dalam penelitian lainnya yang dilakukan de Jonge et al (2000) menemukan bahwa tingginya beban kerja secara signifikan berhubungan dengan timbulnya ketidakpuasan dalam

32 bekerja, gangguan emosional, tingkat depresi yang tinggi, dan munculnya sejumlah gejala psikosomatis.

Beban kerja yang tinggi memang dapat menimbulkan kondisi stress bagi pekerja. Akan tetapi, beban kerja yang terlalu sedikit juga dapat menimbulkan stress bagi pekerja. Hal ini dikarenakan pekerjaan yang diberikan terlalu monoton, membosankan, dan terlalu jauh dibawah kemampuan pekerja itu sendiri. Sehingga pekerja merasa tertekan dengan kondisi pekerjaan yang demikian (Koradecka, 2010). l. Variasi Beban Kerja

Variasi beban kerja berkaitan dengan beragam jenis pekerjaan yang diberikan kepada pekerja dengan tuntutan kemampuan yang berbeda-beda. Variasi beban kerja yang beragam dapat menimbulkan stress bagi pekerja ketika mereka merasa tidak mampu melaksanakan tugas tersebut. Ketidakmampuan pekerja dalam menyelesaikan tugas tersebut dapat mempengaruhi penilaian diri seseorang terhadap dirinya (Rose, 1994). Berdasarkan hasil survei Caplan et al (1975) pada 23 negara menemukan bahwa tingginya kompleksitas pekerjaan akan semakin meningkatkan gejala depresi pada pekerja (Koradecka, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap petugas pemadam kebakaran menunjukkan bahwa variasi beban kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap munculnya gejala stress berupa insomnia (Afrianti, Widyahening, Amri, & Kusumawardhani, 2011). Dalam penelitian lain yang dilakukan terhadap pekerja manufaktur di Jepang menunjukkan hal yang sama bahwa variasi beban

33 kerja yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan gejala depresi baik pada pekerja laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian ini kemudian menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap iklim tempat kerja untuk meningkatkan nilai kesehatan para pekerja (Ikeda et al., 2009).

m.Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Lain

Tanggung jawab merupakan sumber stress yang berasal dari peranan dalam organisasi. Tanggung jawab dalam pekerjaan terbagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab terhadap benda dan tanggung jawab terhadap orang lain. Menurut Wardwell et al (1964) memegang tanggung jawab terhadap orang lain secara signifikan dapat memicu terjadi penyakit jantung koroner dibandingkan memegang tanggung jawab terhadap benda. Peningkatan tanggung jawab terhadap orang lain berarti bahwa seorang pekerja lebih sering menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan pekerja lain, menghadiri pertemuan, bekeja sendiri dan sebagai konsekuensinya berdasarkan penelitian French & Caplan (1970) akan menyebabkan seorang pekerja berada dalam tekanan.

Berdasarkan hasil penelitian Pincherle (1972) menemukan bahwa sekitar 2000 manager di Inggris mendatangi pusat kesehatan untuk melakukan medical check up. Dari hasil pemeriksaan kesehatan yang mereka lakukan didapatkan hasil bahwa stress secara fisik yang mereka alami disebabkan oleh faktor umur dan tingkat tanggung jawab dalam pekerjaan. Semakin tua dan tinggi tanggung jawab mereka maka

34 akan semakin besar kemungkinan munculnya gejala penyakit jantung koroner (Cooper, 2013).

Hasil penelitian Sulsky & Smith (2005) menunjukkan bahwa seorang pekerja yang memiliki tanggung jawab dalam mengatur orang lain akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi. Memiliki tanggung jawab terhadap orang lain juga dapat menyebabkan munculnya rasa cemas. Hal ini dapat terjadi pada berbagai profesi yang tidak terbatas hanya pada seorang manajer tetapi juga guru, petugas kesehatan, pelaksana hukum (Gatchel & Schultz, 2012).

n. Kemampuan yang Tidak Digunakan

Kemampuan pekerja yang tidak digunakan dapat menimbulkan stress bagi pekerja tersebut. Kondisi seperti ini seringkali terjadi ketika pekerja memiliki kemampuan yang banyak untuk melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kemampuan tersebut tidak dapat digunakan karena sudah menggunakan alat bantu atau adanya pekerja lain yang melakukan tugas tersebut. Kondisi pekerjaan yang demikian dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi pekerja sehingga berdampak pada timbulnya stress (Ross & Altmaier, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap pekerja di Jepang didapatkan hasil bahwa kemampuan pekerja yang tidak digunakan dengan baik dapat meningkatkan risiko stress kerja yang berdampak pada peningkatan kadar tekanan darah (Konno & Munakata, 2014). Dalam penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kemampuan

35 yang tidak digunakan dengan baik berhubungan secara signifikan terhadap kejadian stress kerja pada level manager dan pekerja buruh (Jamal & Ahmed, 2009).

o. Tuntutan Mental

Tuntutan mental merupakan sumber stress yang signifikan terutama pada pekerjaan yang menuntut interaksi secara langsung dengan klien perusahaan khususnya pada sektor jasa. Pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan orang lain memiliki banyak sumber emosi yang bersifat negatif, seperti kesedihan, mudah marah, tidak sabar, dll. Secara umum, standar yang diterapkan perusahaan pasti menuntut pekerjanya untuk selalu bersikap ramah terhadap klien yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan seorang pekerja. Di satu sisi, pekerja harus bersiap menghadapi emosi negatif yang berasal dari klien yang dihadapi. Tetapi di sisi lainnya mereka harus tetap bersikap ramah meskipun keadaan emosional pekerja tidak dalam kondisi baik. Menurut Zapf (2002), pekerjaan yang menuntut kondisi emosional yang baik sangat berhubungan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja secara mental (Koradecka, 2010).

p. Shift Kerja

Shift kerja yang bertentangan dengan pola tidur akan berisiko menimbulkan gangguan kesehatan baik secara psikologis, fisik, dan perilaku. Gangguan yang dapat dialami pekerja shift berupa gangguan pernapasan, detak jantung, tekanan darah, eksresi urin, mitosis sel,

36 produksi hormon, dan gangguan irama sirkadian. Shift kerja terutama pada malam hari akan menyebabkan perubahan kerja dimana para pekerja diharuskan lebih aktif pada waktu malam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Selain itu, penyesuaian diri terhadap shift bukan suatu hal yang mudah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan tetapi juga berkaitan dengan proses sirkadian di dalam tubuh serta aktivitas sosial lainnya.

Pekerjaan shift terutama saat malam hari akan memberikan tekanan yang besar bagi tubuh. Tubuh akan merasa lebih lelah sehingga risiko terjadinya kecelakaan akan meningkat. Jam kerja yang terlalu lama sebaiknya juga dihindari. Urutan shift kerja yang baik yaitu shift pagi- siang – malam dan setiap shift tersebut diselesaikan tubuh akan membutuhkan waktu sekitar 11 jam untuk beristirahat. Kurangnya istirahat akan memberikan efek negatif dari stress dengan munculnya gangguan kesehatan (Authority, 2006).

Hasil penelitian Dirken (1966) menemukan bahwa meskipun pekerja shift merasakan kelelahan dan malaise lebih tinggi tetapi tidak ditemukan adanya perbedaan gejala berarti dibandingkan dengan pekerja non-shift. Hasil survei literatur yang dilakukan Rutenfranz et al (1977) juga menemukan hal yang serupa yaitu pekerjaan shift tidak memiliki dampak yang signifikan terhdapa penyakit jantung dan saraf (Ivancevich & Ganster, 2014).

37 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada perawat shift malam menunjukkan bahwa stress kerja yang dialami oleh perawat shift malam mempengaruhi kinerja mereka menjadi kurang baik. Menurunnya kinerja ini disebabkan adanya tekanan emosional yang mereka hadapi (Klau, 2010). Hubungan antara stress kerja dan shift kerja juga signifikan pada pekerja bagian produksi di PT Newmont Nusa Tenggara (Firmana, Firmana, & Hariyono, 2011). Selain itu, pada penelitian terhadap operator SPBU di Magelang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat stress kerja yang dirasakan pekerja pada setiap shiftnya dimana pekerja pada shift malam memiliki tingkat stress kerja paling tinggi (Nuryati, 2007).

2.4.2 Karakteristik Individu a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan stress di tempat kerja. Menurut ILO (2001), perempuan lebih berisiko mengalami stress yang dapat berdampak pada timbulnya penyakit akibat stress serta tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan rentan mengalami stress kerja, yaitu:

1. Perempuan memiliki peran dominan dalam merawat keluarga sehingga total beban kerja perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

2. Tingkatan untuk mengontrol pekerjaan cenderung rendah karena sebagian besar perempuan menempati jabatan di bawah laki-laki.

38 3. Semakin banyaknya perempuan yang menduduki jabatan penting 4. Semakin banyaknya perempuan yang bekerja pada tingkat stress

kerja tinggi

5. Terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi dari posisi yang lebih senior

Selain itu, respon perempuan dan laki-laki dalam menghadapi stress juga cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Wichert (2002) menemukan bahwa laki-laki cenderung untuk mengatasi stress

Dokumen terkait