• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Pendorong Deforestasi Dan Degradasi Hutan Jambi 1 HPH

5. HASIL PENELITIAN

6.3 Faktor Pendorong Deforestasi Dan Degradasi Hutan Jambi 1 HPH

Pemanfaatan kawasan hutan dan kawasan hutan di Indonesia dan Jambi khususnya mulai efektif berlangsung sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, yang memberikan hak pengusahaan hutan kepada pihak swasta nasional, swasta multinasional untuk mengelola hutan selama 20-25 tahun (Hidayat 2008). Kebijakan ini menjadikan Indonesia muncul sebagai negara dengan devisa tertinggi kedua di dunia yakni 75% hasil panen kayu diekspor keluar negeri. Sehingga terjadi peningkatan yang sangat signifikan antara tahun 1968 dan tahun 1974. Di tahun 1968, devisa negara hanya 6 juta US$ dan di tahun 1974 meningkat menjadi 564 juta US$. Di tahun 1979, Indonesia menjadi negara pengekspor utama kayu dengan perolehan devisa mencapai 2,1 miliar US$ (Hidayat 2008).

Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, agenda utama pada Pelita I sampai Pelita IV adalah pembangunan ekonomi bangsa dan sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang diberdayakan dengan memanen dan mengekspor log (kayu bulat). Pulau Sumatera dan Kalimantan sebagai primadona

selebar-lebarnya bagi pemilik modal asing untuk ikut serta dalam mempercepat

pembangunan sektor ekonomi dengan diterbitkan 3 produk hukum yakni UU Nomor 1 tahun 1967 tentang imvestasi modal asing, UU Nomor 6 tahun 1967

tentang Modal Dalam Negeri, UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan dan PP Nomor 21 tahun 1970 tentang Mekanisme Perijinan HPH yang akhirnya berdampak pada kerusakan hutan tropika Indonesia.

Menyadari peranan asing sangat besar maka melalui PP Nomor 18 tahun

1975 tanggal 13 Mei 1975 dilakukan perubahan atas Pasal 9 PP Nomor 21 Tahun 1970 tentang pemegang ijin HPH dibatasi pada perusahaan negara dan

swasta nasional. Awalnya perijinan pengusahaan hutan diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dengan PP Nomor 64 Tahun 1957 namun dengan keluarnya PP Nomor 1 Tahun 1970 ini mencabut wewenang Pemerintah Daerah atas perijinan pengusahaan hutan berupa :

1. Izin Konsesi Hutan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 20 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 10.000 ha.

2. Izin persil penebangan, yaitu untuk jangka waktu selama-lamanya 5 tahun dan untuk wilayah hutan seluas-luasnya 5.000 ha.

3. Izin penebangan, yaitu untuk mengambil kayu dan hasil hutan lainnya dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu selama-lamanya 2 tahun.

Pelibatan pihak asing dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tersebar merata di seluruh nusantara. George Pasific dan Wayerhouse dari Amerika Serikat di Kalimantan Timur, Mitsubishi, Sumitomo dan Shin Asahigawa dari Jepang, dari Korea Selatan terdapat perusahaan Korindo dan Kodeko di Kalimantan Selatan dan Papua. Dari Perancis International Forest Asiatique (IFA) di Jambi dan dari Singapura kelompok Sambu (Hurst 1990 diacu dalam Hidayat 2008).

Pelibatan pihak asing yang berkolaborasi dengan pihak swasta nasional dalam eksplorasi hasil hutan kayu nasional dan khusus di provinsi Jambi menjadikan potensi hutan alam di Jambi terus menurun. Jumlah pemegang ijin HPH yang terus menurun dari angka 30 unit di tahun 1988 menjadi 2 unit di tahun 2008 atau dari luas konsesi sekitar 256.600 hektar di tahun 1988 menjadi 45.825 hektar.

101

Selain unsur kepemilikan perusahaan, masalah ketimpangan pendapatan ikut mempengaruhi sehingga terjadi penyerobotan lahan dan pungutan-pungutan kompensasi lainnya oleh masyarakat. Menurut Syahza (2004), masuknya HPH memberikan kesempatan kerja semakin besar, namun tidak untuk masyarakat lokal. Sebagian besar mata pencaharian penduduk sekitar areal kegiatan HPH adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Jenis tanaman pangan yang diusahakan, antara lain ubi-ubian, jagung, kacang dan sayuran. Sedangkan jenis tanaman perkebunan yang banyak diusahakan adalah karet, kelapa sawit, dan

kelapa. Luas areal pertanian masyarakat pada umumnya kecil dari 0,5 Ha. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat lokal, yaitu Rp 632.253,00 per KK per bulan. Sementara, tingkat pendapatan masyarakat

pendatang relatif tinggi, sehingga ketimpangan pendapatan cukup tinggi dengan Gini Rasio sebesar 0,443404. Kegiatan HPH menyebabkan berkurangnya pemilikan lahan bagi masyarakat lokal, sering terjadi konflik antara masyarakat pendatang maupun dengan pihak perusahaan HPH. Konflik timbul karena masalah perebutan lahan dan kegiatan illegal loging.

Masalah penurunan potensi kayu di hutan lebih dipengaruhi oleh teknik penebangan yang diterapkan. Praktek penebangan hutan di Indonesia selama ini masih disebut dengan conventional logging (CL). Meski telah diperkenalkan teknis penebangan yang beresiko rendah pada lingkungan. Elias (2009) menjelaskan bahwa bila dibandingkan persentase kerusakan tegakan tinggal oleh conventional logging (CL) dan RIL, RIL mampu menurunkan resiko kerusakan ketika eksploitasi hasil hutan itu terjadi. Di tingkat semai kerusakan disebabkan oleh penerapan CL mencapai 33,47% sedangkan RIL mencapai 17,65% dengan rasio -44,27%, sedangkan pada tingkat sapling kerusakan dengan CL mencapai 34,93% dan RIL mencapai 19,59% dengan rasio -43,92%. Kerusakan pada tingkat tiang dan pohon dengan sistem CL mencapai 40,42% dan RIL mencapai 19.08% atau rasio mencapai -52,79%. Selain itu, bila dilihat keterbukaan wilayah akibat penebangan dengan sistem CL mencapai 11,1% sedangkan RIL mencapai 7,65% dan keterbukaan areal akibat penyaradan dengan CL mencapai 8,73% sedangkan

Artinya dengan menerapkan RIL, kerusakan hutan akibat penyaradan dapat direduksi mencapai 40%.

Namun RIL tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hambatan adopsi sistem RIL di Indonesia dapat diklasifikasikan atas dua faktor, yakni faktor eksternal yaitu 1) efektivitas pelaksanaan regulasi dan monitoring operasional di hutan yang tidak pernah dilakukan dengan baik dan masih banyak ketidakpastian batasan yuridiksi desentralisasi di Indonesia, 2) masalah tenure yang tidak pasti, 3) kurangnya penegakan aturan sehingga seakan-akan membiarkan perusahaan pemegang hak konsesi untuk memanipulasi pelaksanaan pengelolaan hutan yang terkesan lestari, 4) masih terdapat ijin pemanenan hutan tanpa persyaratan silvikultur yang berarti atau kontrol aturan, 5) penegasan hak masyarakat lokal untuk lahan hutan dan konversi ke non-hutan atau menjual hak mereka ke pelaku bisnis lainnya, 6) aktivitas pemanenan illegal dan tidak disahkan dengan aturan.

Faktor internal yang mempengaruhi yakni 1) kesalahan persepsi, 2) ketidakpahaman, 3) petunjuk teknis RIL yang tidak jelas, 4) defisiensi

kemampuan teknis, 5) ketidakmampuan menggunakan alat (Klassen 2010). Berdasarkan hasil penelitian Pinard dan Cropper (2000) menyatakan bahwa cadangan karbon hutan diptero akan mengalami penurunan setelah 7 tahun tebangan yakni dari 213 ton C/Ha menjadi 97 ton C/Ha. Untuk itu, untuk menurunkan laju hilangnya cadangan karbon, ketika tebangan mencapai 20-50% dari AAC maka perlu ditanam lagi tanaman pioneer yang mampu meningkatkan serapan karbon tegakan 15-26% di 40-60 tahun mendatang. Tresnawan dan Rosalina (2002), menyebutkan bahwa hutan alam Jambi mengandung simpanan karbon mencapai 348 ton/ha dan bila ditebang dengan CL akan menurunkan simpanan karbon menjadi 189,26 – 221.39 ton/ha.

6.3.2 HTI

Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun bukan kayu. Tujuan pembangunan HTI adalah (1) meningkatkan produktivitas hutan produksi,

103

dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan

(pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment); (2) mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis,

pulp & paper, meubel dan lain-lain) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor (Direktorat Pengembangan Hutan Tanaman Kemenhut 2009).

Kebijakan pembangunan HTI dimulai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990. HTI dibangun pada hutan produksi yang tidak produktif lagi. Dijelaskan dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi yang tidak produktif adalah (1) pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha, (2) pohon induk < 10 batang/ha, dan (3) permudaan alamnya kurang, yaitu semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang < 240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha. Ditegaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 1999 bahwa ijin HTI tidak dapat diberikan pada suatu wilayah konsesi yang telah terdapat ijin HPH sehingga HTI maupun HPH merupakan dua bentuk badan usaha yang berbeda dan tidak tumpang tindih satu sama lainnya. Namun selanjutnya diterbitkan PP Nomor 34 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa (a) usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar di hutan produksi (Pasal 30 ayat 3), (b) terhadap HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan ini dan HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

sebelum ditetapkannya PP. Hal ini tetap berlaku sampai haknya/izinnya berakhir (Bab X Pasal 99 huruf a).

Pertentangan dengan kepemilikan dua bentuk usaha dalam satu ijin konsesi seperti dijelaskan oleh PP Nomor 34 Tahun 2002 di atas akhirnya dicabut dengan terbitnya PP Nomor 6 Tahun 2007, namun untuk HPH yang dibangun untuk keperluan pemberdayaan transmigrasi dan pola swasta murni diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.04/Menhut-II/2009 tentang Penyelesaian HPHTI Sementara yang diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.4/Menhut-II/2009 Tentang Penyelesaian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri Sementara.

HPHTI sementara yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, akan dialihkan menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dengan definisi yakni Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) adalah izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri (Kemenhut 2009).

Konversi hutan alam menjadi HTI mengakibatkan simpanan karbon di hutan menurun. Bila hutan alam terdapat 348 ton/ha dan HTI yang dibangun adalah Eucaliptus urograndis dengan daur 5 tahun sebesar 157 ton/ha maka penurunan cadangan karbon mencapai 191 ton/ha. Konversi ini tentunya berdampak negatif pada simpanan namun berdampak positif bagi serapan. Bila hutan alam adalah hutan klimaks maka nilai serapan menjadi nol. Penanaman HTI meningkatkan serapan mencapai 157 dikalikan masa molekul CO2 atau 44/12 atau sama dengan

575,67 ton/ha.

Pemanenan HTI tidak serta merta mengakibatkan seluruh simpanan karbon hilang. Namun, simpanan karbon dialihkan dalam bentuk lain dan bukan karbon yang tersimpan di hutan. Bila biomasa yang termanfaatkan adalah ½ dari biomasa tegakan di hutan, maka rotasi berikutnya simpanan karbon yang ada akan mencapai 157 ton/ha + (157 x 1/2 ) atau sama dengan 235 ton/ha. Bila ijin usaha HTI adalah 20 tahun maka simpanan karbon yang telah dibangun adalah sebanyak 1.727 ton/ha. Pertumbuhan biomasa HTI disajikan pada Gambar berikut.

105

Gambar 28. Pertumbuhan Biomasa HTI

Gambar di atas menunjukan bahwa selama ijin HTI, pembangunan hutan tanaman ini telah meningkatkan simpanan biomasa baik yang terdapat di hutan maupun yang telah dikelola untuk kepentingan pemenuhan bahan baku industri. Bahwa pertumbuhan hutan tanaman akan terus meningkat dan nilai serapannya pun lebih baik. Untuk mengoptimalkan nilai simpanan dan serapan karbon pada HTI, perlu teknik manajemen lahan dan pengaturan waktu tanam yang tepat sehingga tidak hanya berfungsi untuk simpanan karbon namun dapat memperkecil dampak ikutan yang dihasilkan dari pembukaan lahan untuk replanting HTI.

Pembukaan lahan merupakan langkah penting dalam menduga besarnya sumbangan kehilangan simpanan karbon dan sumbangan CO2. Salah satu teknik

yang baik adalah dengan cara mekanis dan menghindari sistem bakar. Penyiapan lahan dengan sistem bakar dapat meningkatkan sumbangan CO2 di atmosfer serta

mampu memusnahkan biota tanah serta habitat makhluk lainnya. Teknik mekanis, lebih ramah dengan sumbangan CO2 yang minim.

0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 B io m a sa ( T o n / H a ) Tahun

Pertumbuhan Biomasa HTI

Penebangan

Dekomposisi/loss

6.3.3 Kebun

Perkebunan di Jambi mengalami masalah yang sama dengan tambang. Hanya terdapat 32% dari 179 ijin usaha perkebunan (IUP) yang telah diterbitkan oleh Bupati/Gubernur Jambi yang memiliki HGU. Hal ini tentu saja disebabkan oleh interaksi oleh pengusaha dengan pemberi IUP.

Pembukaan hutan alam atau hutan bekas tebangan untuk pembangunan kebun dapat mengakibatkan kehilangan simpanan karbon lahan yang sangat besar. Yulianti (2009) menyebutkan bahwa 0.7-16.43 ton/ha biomasa yang tersimpan di kebun sawit. Akumulasi karbon biomassa terbesar terdapat pada batang kecuali pada tanaman kelapa sawit muda karbon biomasa terakumulasi pada pelepah. Suatu angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan simpanan karbon di hutan alam Jambi yang mencapai 348 ton/ha dan hutan bekas tebangan yang mencapai 196 ton/ha.

Perubahan tutupan hutan menjadi kebun atau hutan tanaman, tidak dapat dilihat sebagai sifat perusak cadangan karbon hutan alam. Bila kebun dan hutan tanaman dibangun di lahan semak belukar atau lahan alang-alang dengan simpanan karbon masing-masing 15 dan 2 t/ha akan meningkatkan simpanan karbon tanah dan tanaman (emisi karbon netto negatif). Pada tanah gambut, emisi karbon terjadi karena dekomposisi gambut, kebakaran gambut (jika ada), dan emisi karbon dari tanaman. Rehabilitasi gambut terlantar yang ditumbuhi semak

belukar (dengan simpanan karbon 15 t/ha, dan kedalaman drainase rata-rata 40 cm) menjadi lahan perkebunan, dibandingkan dengan konversi hutan gambut

(dengan simpanan karbon 200 t/ha dan kedalaman drainase 0 meter), berpotensi menurunkan emisi sebesar 862 tCO2-e/ha/25 tahun (34 tCO2-e/ha/tahun),

karena besarnya penurunan kehilangan karbon dari biomasa dan tanah gambut. Belukar gambut yang dibiarkan tetap sebagai belukar gambut mengemisi sekitar 22 tCO2-e/ha/tahun. Bila belukar gambut dikonversi menjadi sawah, perkebunan

karet atau perkebunan sawit, tingkat emisi berturut-turut menjadi 11 tCO2-e/ha/tahun,7 tCO2-e/ha/tahun, dan 30 tCO2-e/ha/tahun. Berarti bahwa

rehabilitasi belukar gambut menjadi sawah atau perkebunan karet mengurangi emisi berturut-turut 11 tCO2-e/ha/tahun dan 15 tCO2-e/ha/tahun, sedangkan

107

emisi 8 tCO2-e/ha/tahun, dibandingkan bila belukar gambut diterlantarkan.

Dengan demikian, ekstensifikasi perkebunan perlu diprioritaskan melalui rehabilitasi belukar atau padang alang-alang di tanah mineral atau belukar gambut karena selain penambatan CO2 netto juga berpotensi memperbaiki kehidupan

masyarakat (Agus et al 2009). Konversi hutan gambut bekas tebangan dan sekunder mengakibatkan penurunan cadangan karbon vegetasi masing-masing sebesar 103,53 ton/ha/tahun dan 61,02 ton/ha/tahun (Rochmayanto 2009).

Pola deforestasi yang disebabkan oleh perkebunan, dapat diketahui oleh

siklus. Sekitar 46% kebun sawit dikuasai oleh rakyat. Dengan siklus hidup 30 tahun dan waktu persiapan berbuah 5 tahun maka pada tahun ke-30 akan

terjadi perbaruan tanaman. Bila perusahaan tersebut tidak taat hukum dan cenderung untuk meningkatkan pendapatan dengan sedikit korbanan waktu dan biaya maka dalam kurun waktu 25 tahun, perusahaan kebun sawit akan mencari lahan baru untuk dibuka menjadi kebun. Bila hal ini dibiarkan maka perambahan lahan hutan untuk kebun akan makin tinggi.

Dokumen terkait