• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT

B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya

PENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS

1. Faktor Kepribadian

Dalam perkawinan, dua pribadi yang berbeda sikap dan karakter menjadi satu. Injil Matius memberi gambaran mengenai proses dua pribadi menjadi satu: “Mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (bdk. Mat 19:6; Kej 2:24). Perkawinan merupakan proses menjadi satu, apabila suami istri memiliki pribadi yang matang dan siap memberi diri untuk mencintai pribadi yang lain, sedangkan bagi pasangan yang belum matang, perkawinan hanyalah merupakan tempat pelarian dan persembunyian. Ketika perkawinan menjadi tempat persembunyian bagi pasangan individu-individu yang lemah, yang bersama-sama melarikan diri dari partisipasi aktif, maka perkawinan merugikan pasangan itu maupun masyarakat.” Perkawinan persembunyian dari dua individu yang belum matang tidak akan langgeng. Perkawinan “saling membelakangi” dari dua orang yang disatukan oleh kesamaan paranoia dan pertahanan diri terhadap lingkungan sekitar merupakan perkawinan yang tidak kreatif (Hommes, 1992: 156-157).

Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami istri artinya antara dua orang yang pada satu pihak berbeda (sebagai pria dan wanita), tetapi dipihak lain sama (sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah). Keduanya merupakan suatu dwitunggal yang hidup bersama dan bekerja bersama. Perbedaan mereka sebagai pria dan wanita dikehendaki oleh Allah, maksudnya

supaya mereka saling membantu, saling mengisi dan saling melengkapi (Abineno, 1983: 16).

Bagus Irawan (2007: 73) menemukan sejumlah keluarga mengalami masalah relasi suami istri sebanyak 42 kasus dari 100 kasus yang diteliti sebagai penyebab relasi suami istri antara lain: ketidak-dewasaan pribadi dari salah satu atau keduanya 16,7%, ketidak-cocokan watak 4,8%, lunturnya rasa tertarik atau cinta satu sama lain 19,0%, perbedaan pandangan yang sulit disatukan 11,9%, campur tangan pihak ketiga 47,6% . Kemudian hasil riset pada tahun 2007 menunjukkan 35,29% responden mengatakan konflik dalam keluarga dipicu oleh pribadi pasangan. Karakter dan kepribadian suami istri yang kurang dewasa atau matang sering menjadi penyebab dan pemicu terjadinya konflik, pertengkaran dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Ketidakdewasaan pribadi itu dapat muncul dalam beberapa rupa sikap atau tindakan: menuntut, tidak menerima dan menghargai keunikan pribadi, melindungi “privacy”, menyimpan luka, melemparkan kesalahan pada pasangan (Agung Prihartana, 2013: 29-47).

Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio artikel 15 mengatakan bahwa “Dalam pernikahan dan keluarga terbentuk suatu kompleks hubungan antar pribadi: suami dan istri, orangtua dan anak, kakak dan adik, melalui relasi-relasi itu setiap anggota diintegrasikan ke dalam “keluarga manusia” dan “keluarga Allah” yakni Gereja.” Kemudian FC, art. 18 mengatakan:

Prinsip dan kekuatan dari relasi itu adalah cinta kasih. “Keluarga yang didasarkan pada cinta kasih serta dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pibadi-pribadi: suami dan istri, orangtua dan anak-anak, sanak saudara. Cinta kasih antara suami istri dijabarkan dari situ secara lebih luas, cinta kasih antar anggota keluarga, antara orangtua dan anak, antara kakak beradik, kaum kerabat dan anggota keluarga dihidupkan dan ditopang oleh dinamika yang tak kunjung henti yang mengantar keluarga kepada

persekutuan yang kian mendalam dan intensif, dan itu mendasari dan menjiwai rukun hidup pernikahan dan keluarga.

Maka perlu dibangun kesadaran agar setiap pasangan mampu menerima keunikan pasangannya, sebab ketidakmampuan memahami keunikan pasangan ini terus berlangsung, maka dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam kehidupan pasangan suami istri tersebut. Dengan demikian suami istri benar-benar terbuka, saling percaya, saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangan untuk saling melengkapi karena didasari oleh cinta.

2. Faktor Internal Keluarga

Pada awal perkawinan, biasanya semua masih terasa mudah dan berjalan dengan sewajarnya. Suami dan istri masih mau saling mendahului dalam usaha membahagiakan pasangannya dan dengan iklas mau berkorban untuk pasangan. Dalam suasana seperti itu, proses penyesuaian diri antara suami dan istri dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. Relasi suami istri yang dibangun masih dekat, intim dan hangat. Namun keadaan seperti itu biasanya tidak berlangsung lama. Selang beberapa waktu kemudian sifat-sifat dan watak yang sebenarnya mulai tampak dan suasana mulai berubah (Gilarso, 2015: 41-42).

Banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai latar belakang terjadinya perubahan tersebut. Sebut saja misalnya soal usaha penyesuaian suami istri satu sama lain. Tantangan pertama yang dihadapi suami istri adalah masalah penyesuaian diri satu sama lain (Gilarso, 2015: 42). Bila dianalisis lebih saksama lagi, ternyata faktor utama yang menyebabkan renggangnya relasi suami istri adalah karena kurangnya komunikasi antara suami dan istri (Gilarso, 2015: 43).

Kurangnya perhatian terhadap pasangan karena kesibukan dalam bekerja misalnya, menjadi sebuah persoalan besar justru karena tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik. Suami atau istri tidak mengkomunikasikan apa yang dilakukannya, sehingga apa yang dilakukan itu bisa menimbulkan interpretasi keliru dari pasangannya. Situasi hidup suami istri tanpa komunikasi yang baik ini dapat menimbulkan perasaan jengkel, kecewa, frustrasi dan dapat menyulut kemarahan satu sama lain. Lebih lanjut, situasi seperti itu bisa menimbulkan perasaan curiga dan hilangnya kepercayaan terhadap pasangan. Tanpa komunikasi yang dilandasi dengan penerimaan diri satu sama lain niscaya akan muncul dampak negatif bagi relasi suami istri itu dan tentu mengancam keutuhan perkawinan mereka.

Dalam masyarakat Indonesia, perkawinan bukan saja dianggap sebagai soal suami dan istri, tetapi juga sebagai soal orangtua dan keluarga. Suami istri yang kawin langsung atau tidak langsung berhubungan dengan orangtua dan keluarga mereka (Abineno, 1983: 17).

Bagus Irawan (2007: 101) menemukan sejumlah keluarga mengalami masalah kondisi anak-anak sebanyak 23 kasus dari 100 kasus yang diteliti sebagai penyebab masalah internal keluarga antara lain: anak sakit atau cacat 7,4%, anak menikah dengan orang yang tidak disetujui orangtua 22%, tidak adanya anak 7,4%, anak jauh dari orangtua 3,7%, anak belum punya jodoh 25,9%, anak berhubungan seks sebelum nikah 33,3%. Kemudian hasil riset pada tahun 2007 menunjukkan 11,76% responden mengatakan ketegangan dalam relasi suami istri dapat dipicu oleh persoalan anak. Tidak jarang terjadi perbedaan sikap antara suami istri dalam mengasuh dan mendidik anak (Agung Prihartana, 2013: 50).

Bagus Irawan (2007: 101-102) mengutip pendapat Purwa Hadiwardoyo menyatakan bahwa “Dalam masyarakat yang statis, pendidikan anak-anak dilakukan dengan cara yang cukup mudah, melalui contoh dan latihan.” Anak- anak dilatih untuk sabar, tekun dan tabah, sopan dan hormat pada pembesar, rukun dengan sesama, mau mengalah pada yang lebih muda, rajin bekerja dsb. Pendek kata, orangtua mendidik anak-anak seperti mereka dulu dididik oleh orangtua mereka. Dalam masyarakat dinamis, pendidikan seperti itu tidak mencukupi lagi. Anak-anak membutuhkan pendidikan model baru yang mempersiapkan mereka menghadapi masyarakat baru dengan nilai-nilai baru seperti kreativitas, produktivitas dan profesionalitas.

Faktor internal keluarga yang dimaksudkan adalah lebih menyangkut relasi personal yang dibangun dalam kehidupan keluarga; relasi yang dibangun antara suami istri dan anak-anak. Dengan kata lain, bagian ini hendak menyoroti hubungan atau relasi “ke dalam” yang dibangun di dalam keluarga. Usaha untuk membangun relasi “ke dalam” yang kokoh akan sangat membantu suami istri dalam menjalani hidup perkawinannya.

3. Faktor Budaya

Dalam kehidupan masyarakat Jawa menghendaki keselarasan dan keserasian dengan pola pikir hidup saling menghormati. Dengan hidup saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di dalam masyarakat luas. Keadaan rukun dimana semua pihak berada dalam kedamaian, suka bekerjasama, saling asah, asih dan asuh baik dalam hubungan keluarga, kehidupan sosial, rukun tetangga dan rukun satu kampung.

Kerukunan dilandasi dengan adanya saling percaya antar pribadi. Adanya keterbukaan terhadap siapa saja, adanya rasa tanggung-jawab dan merasa adanya saling ketergantungan atau rasa kebersamaan (Bratawijaya, 1997: 81).

Hal ini menggambarkan pola dasar kehidupan masyarakat Jawa dalam menciptakan keharmonisan dengan saling menghormati. Demikian juga pasangan suami istri saling menghormati, sehingga menciptakan kerukunan dalam membangun rumah tangga dengan saling bekerjasama, saling asah, asih dan asuh, yang dilandasi saling percaya, keterbukaan, dan tanggungjawab, sehingga dapat menangkal gangguan yang datang baik dari dalam maupun dari luar untuk mewujudkan perkawinan yang langgeng.

Prinsip kerukunan hidup adalah mencegah terjadinya konflik karena bila terjadi konflik bagi masyarakat Jawa akan berkesan secara mendalam dan selalu diingat atau sukar untuk melupakan. Komunikasi akan terputus dan untuk memulihkan kerukunan diperlukan pihak ketiga biasanya orang yang lebih tua dan banyak pengalamannya (Bratawijaya, 1997: 81). Dampak negatif dari masyarakat Jawa bila terjadi konflik akan menyimpan dan selalu mengingat, hal ini bisa terjadi dalam hidup perkawinan, ketika terjadi konflik, mereka akan memendam dan menutup diri sehingga tidak terjadi dialog. Hal ini dapat mengganggu dalam hidup perkawinan.

Usaha menjaga kerukunan yaitu adanya kebiasaan dalam mengatasi persoalan selalu dengan musyawarah untuk mufakat. Dalam musyawarah setiap individu bebas mengeluarkan pendapatnya membantu memecahkan persoalan/ masalah (Bratawijaya, 1997: 81). Dampak positif dari masyarakat Jawa dalam mengatasi masalah dengan musyawarah untuk mufakat, sehingga persoalan/

masalah dapat diselesaikan dengan baik karena dengan pertimbangan matang. Hal ini juga dialami pasangan suami istri ketika menghadapi persoalan, mereka membicarakan dan memutuskan yang terbaik bagi kehidupan bersama, sehingga tercipta kerukunan dalam keluarga, yang membuat perkawinan menjadi langgeng.

4. Faktor Kesehatan

Kej 2:24 menggambarkan kesatuan pria dan wanita “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Kesatuan pasangan suami istri dalam melaksanakan pengudusan hidup perkawinan dengan tiga cara yakni: pemberian diri, kesediaan melayani dan mencintai apa adanya (Agung Prihartana, 2013: 57).

Pemberian suami atau istri kepada pasangannya itu tidak hanya sekedar sebuah hadiah atau ciuman atau pesta ketika ulang tahun kelahiran atau perkawinan saja, tetapi lebih dari itu pemberian yang berarti tetapi seringkali berat adalah kesetiaan di waktu malang, duka dan sakit. Karena pada saat itulah cinta sejati yang berarti mengasihi dan memberikan diri sedang diuji kesejatian dan keasliannya (Agung Prihartana, 2013: 59).

Suami istri memahami dan menghayati perkawinan sebagai sebuah pelayanan, untuk berusaha semaksimal mungkin membangun suasana yang membahagiakan dalam rumah tangga mereka. (Prihartana, 2013: 66). Kesetiaan menjadi kunci untuk bertahan dalam ikatan perkawinan, karena adanya kesediaan untuk saling menerima diri apa adanya (Agung Prihartana, 2013: 70).

Banyak pasangan suami istri yang gagal menjalankan kehidupan rumah tangganya karena salah satu pasangan yang seharusnya saling melengkapi dan

bahu membahu menjalani hidup, tidak bisa berbuat banyak. Sebaliknya pasangan hidupnya menjadi sangat bergantung dan membutuhkan perhatian total. Kegiatan rumah tangga menjadi tanggungjawab satu orang, baik urusan domestik atau publik, terlebih jika sudah mempunyai anak (Tjia, 2014: 10).

5. Faktor Fisik

Pernikahan dipahami sebagai persekutuan seluruh hidup, maka suami istri bertanggungjawab untuk membina dan mengembangkan hidup bersama. Dalam mengembangkan hidup bersama pasangan suami istri menghidupi janji perkawinan yang diikrarkan untuk setia dalam untung dan malang. Hal ini mengandung konsekuensi untuk setia pada pasangan dalam situasi kondisi apapun.

Dalam kenyataan ditemukan kesulitan bagi pasangan untuk mewujudkan janji perkawinan untuk setia dalam untung dan malang, contohnya ketika salah satu dari pasangan muda mengalami kecelakaan, sehingga menjadi cacat dan kondisi fisiknya tidak lagi menarik, yang dulunya cantik, ganteng, dan gagah, sekarang berubah. Hal ini menjadi tantangan sekaligus kesulitan bagi pasangan suami istri dalam menghayati janji pernikahan karena tergoda untuk berpaling dan mencari pasangan lain yang lebih menarik. Selain itu karena pasangan kurang mampu merawat dan mengurus diri untuk tetap tampil menarik di depan pasangannya. Hal ini menjadi salah satu penyebab kehadiran orang ketiga dalam kehidupan perkawinan yang dapat menghancurkan kesatuan dalam kehidupan rumah tangga.

Hasil riset yang dilakukan Prihartana pada tahun 2007 menunjukkan 11,78% responden mengatakan kehadiran orang ketiga dapat menjadi pemicu

konflik dalam keluarga. Kehadiran orang ketiga misalnya pria idaman lain (PIL) atau wanita idaman lain (WIL), teman tapi mesra (TTM), mertua atau saudara kandung yang tinggal serumah dengan pasangan suami istri (Prihartana, 2013: 49).

C.FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT MEM-

PENGARUHI DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG INDISSOLUBILITAS

1. Faktor Iman/ Agama

Fenomena banyak agama dengan iman kepercayaan yang berbeda-beda adalah fenomena yang umum dalam masyarakat kita. Dalam konteks masyarakat yang majemuk itu, kita hidup dan berinteraksi satu dengan yang lain. Oleh karena interaksi tersebut, maka perkawinan campur (matrimonia mixta) tidak dapat dihindari. Perkawinan campur (matrimonia mixta) terdiri atas perkawinan campur beda agama (disparitas cultus) adalah perkawinan yang terjadi antara seorang yang baptis Katolik atau yang diterima dalam Gereja Katolik dengan seorang yang tak dibaptis sedangkan perkawinan campur beda gereja (mixta religio) adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh orang baptis Katolik atau yang diterima dalam Gereja Katolik dengan orang baptis tidak Katolik (Rubiyatmoko, 2012: 131).

Alasan utama dari larangan perkawinan campur beda Gereja dan beda agama adalah keyakinan bahwa bentuk kesatuan suami istri (perkawinan) memiliki bahaya dan kesulitan yang sangat serius, khususnya terkait dengan pelaksanaan dan penghayatan iman pihak Katolik dan pembaptisan serta pendidikan anak-anak secara Katolik (Rubiyatmoko, 2012: 132).

Perkawinan orang-orang Kristen bukan saja persekutuan hidup, tetapi juga persekutuan kepercayaan. Perkawinan sebagai persekutuan kepercayaan maksudnya ialah bahwa suami dan istri dalam hidup mereka mempunyai atau paling sedikit harus cukup banyak mempunyai persesuaian paham tentang soal- soal prinsipiil, seperti: makna hidup ini, maksud dan tujuan perkawinan, tugas suami istri, tanggung-jawab orangtua, pendidikan anak dan lain-lain (Abineno, 1983: 15).

Kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan agama dan perbedaan Gereja adalah faktor yang secara mendalam mempengaruhi keberlangsungan hidup perkawinan bagi pasangan. Hasil riset keluarga yang pernah dilakukan oleh Komisi keluarga KWI di beberapa paroki di tiga keuskupan: Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Bandung dan Keuskupan Bogor memperlihatkan bahwa pasangan suami istri yang berbeda agama mempunyai masalah atau kesulitan dalam melaksanakan kewajiban agamanya (Agung Prihartana, 2013: 51).

Bagus Irawan (2007: 153) menemukan sejumlah keluarga mengalami masalah relasi dengan Tuhan sebanyak 4 kasus dari 100 kasus yang diteliti sebagai penyebab masalah iman/ agama antara lain: perbedaan agama 75%, sikap memusuhi agama 25% (Berdasarkan pandangan Kitab Suci misalnya Ef 5:31-32; Hos 2:4-10, suami istri Katolik dipanggil untuk menghayati perkawinan mereka sebagai lambang dari “Perkawinan Rohani” antara Kristus dan Gereja. Berdasarkan Sakramen Perkawinan yang menghadirkan Kristus sendiri, suami istri Katolik diharapkan menghayati perkawinan mereka sebagai sebuah “tabernakel”, tempat Kristus hadir dalam keluarga mereka.

boleh dikatakan jarang. Dalam konteks kawin campur itu, dibutuhkan kematangan dan kedewasaan pasangan untuk menyikapi kenyataan keputusan mereka untuk hidup dalam perkawinan campur. Tanpa sikap kedewasaan dan kematangan suami istri kawin campur berada dalam bahaya yang mengancam keutuhan perkawinan mereka.

2. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan dengan menyediakan produk dan jasa. Hal itu dilaksanakan berdasarkan prinsip bahwa Allah menciptakan segala sesuatu untuk kesejahteraan semua orang. Tetapi sistem perekonomian kita dewasa ini belum mendukung tercapainya kesejahteraan pada semua orang.

Pedoman Pastoral Keluarga artikel 40 mengajak keluarga-keluarga untuk: pertama, merencanakan dan mengelola ekonomi rumah tangganya dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua anggotanya; kedua mengembangkan pendidikan yang menekankan sikap hemat, sederhana dan ugahari, dengan kebiasaan menabung, menghindari sikap aji mumpung, sehingga biaya-biaya tidak terduga dapat tertangani; ketiga menjauhi sikap minimalis dengan membangun semangat kerajinan dan kerja keras; keempat membangun sikap solider dan semangat berbagi; kelima mengembangkan sikap jujur dan terbuka dalam hal keuangan rumah tangga.

Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan dasar manusia yang sangat penting. Manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan serta kesehatan, pendidikan dan fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk hidup dan berkembang. Maka Suami

istri dalam hidup berumahtangga harus hidup dengan hemat pada tahun-tahun pertama perkawinan dan mengatur ekonomi keluarga dengan meniadakan pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu yang biasa mereka buat sebelum kawin (Abineno, 1983: 18).

Dimensi hidup dalam bidang ekonomi ini sering terabaikan dan kurang diperhatikan secara serius oleh pasangan-pasangan yang hendak menikah. Padahal bidang ini rentan terhadap persoalan dan bisa menjadi ancaman terhadap keutuhan perkawinan. Kalau ekonomi rumah tangga morat marit, kebahagiaan rumah tangga sungguh-sungguh dapat terancam (Gilarso, 2015: 135). Salah satu contoh pentingnya bidang ini adalah soal pengaturan keuangan.

Bagus Irawan (2007: 51) menemukan sejumlah keluarga mengalami masalah berhubungan dengan ekonomi sebanyak 6 kasus dari 100 kasus yang diteliti sebagai penyebab masalah ekonomi antara lain: hutang 14,3%, pengangguran 14,3%, kemalasan 28,8%, pemborosan 14,3%, pemerasan, penipuan 14,3%, kebodohan 14,3%. Kemudian Agung Prihartana (2013: 47-48) menunjukkan 29,41% responden mengatakan faktor ekonomi dapat menjadi pemicu konflik dalam keluarga, diantaranya hanya salah satu (suami atau istri) yang bekerja, sehingga penghasilan kecil, sedangkan pengeluaran cukup besar; suami istri sama-sama tidak bekerja atau menganggur dan hanya tergantung pada pemberian dari orangtua; suami atau istri merasa masih mempunyai “kewajiban” membantu saudara kandung yang membutuhkan dan masih ada beberapa penyebab lainnya.

Bagus Irawan (2007: 51-52) mengutip pendapat Margery D. Rosen mengatakan bahwa “Masalah keuangan menjadi sumber utama pertengkaran

banyak pasangan suami istri.” Hal ini disebabkan ketika salah satu atau kedua pasangan merasa cemas akan uang. Masing-masing memiliki persepsi yang berbeda terhadap makna uang. Bagi orang tertentu, uang berarti keamanan, tanpa uang orang itu kalut dan bingung. Namun bagi yang lain, uang bisa berarti harga diri dan sebuah kebanggaan. Sering terjadi, bila masalah keuangan, pasangan bukannya berusaha saling memahami dan bekerjasama mencari solusi, namun justru menyatakan bahwa pernikahan mereka telah berakhir.

3. Faktor Sosial (relasi dengan orang lain)

Bagus Irawan (2007: 131) menemukan sejumlah keluarga mengalami masalah relasi dengan umat dan masyarakat sebanyak 9 kasus dari 100 kasus yang diteliti sebagai penyebab masalah sosial antara lain: bentrok dengan tetangga 11,1%, dikucilkan oleh lingkungan 44,4%, rasa malu dalam setiap kontak dengan umat dan masyarakat 44,4%. Kemudian Agung Prihartana (2013: 49) menunjukkan bahwa 11,78% responden mengatakan kehadiran orang ketiga dapat menjadi pemicu konflik dalam keluarga. Kehadiran orang ketiga misalnya pria idaman lain (PIL) atau wanita idaman lain (WIL), teman tapi mesra (TTM), mertua atau saudara kandung yang tinggal serumah dengan pasangan suami istri.

Bagus Irawan (2007: 131-132) mengutip pendapat R. M. Mac Iver dan Charles H. Page, yang mendefinisikan masyarakat sebagai “an union of families”, gabungan atau kumpulan dari keluarga-keluarga. Hal ini mengatakan masyarakat berasal dari hubungan antar individu. Jadi dapat dikatakan keluarga inti dari masyarakat. Setiap keluarga dapat menganggap dirinya sebagai “pusat” dari masyarakat. Sebagai pusat dan sekaligus anggota masyarakat, keluarga

mempunyai relasi dengan masyarakat di luarnya. Setiap individu dalam suatu keluarga membawa citra keluarga di dalam masyarakat. Hubungan yang baik antar keluarga menghasilkan hubungan masyarakat yang baik pula. Setiap anggota keluarga merupakan wakil dari keluarganya dalam kehidupan sosial. Hal ini dapat kita lihat misalnya pada masyarakat Jawa, anggota-anggotanya berhak mewakili keluarga keluar seperti perkawinan dan kelahiran.

Demikian beberapa faktor pendukung maupun faktor penghambat mempengaruhi dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas.

Dokumen terkait