• Tidak ada hasil yang ditemukan

FANTASI DALAM STARDUST

Dalam dokumen ANALISIS FANTASI DAN EKAPISME DALAM NOVE (Halaman 31-84)

Seperti yang telah diuraikan dalam bab pendahuluan, dunia fantasi hampir selalu memiliki peran yang sama bagi tokohnya, yaitu sebagai tempat pendewasaan diri. Hal ini terutama pada literatur yang memiliki alur perjalanan ke dalamnya. Tokoh yang pada awal cerita tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk hidup dalam masyarakatnya, lalu masuk (baik secara sengaja maupun tidak) ke dalam dunia fantasi. Melalui serangkaian petualangan yang dihadapi di dalam dunia fantasi itu, sang tokoh pun mengalami perkembangan kepribadian. Kemudian kepribadiannya yang telah berkembang itu pada akhirnya membuat sang tokoh lebih diterima di dunia tempat ia berasal sehingga ia dapat hidup lebih baik di dunia tempat asalnya tersebut. Dalam Stardust, hal ini pun terjadi. Tetapi dalam novel ini (seperti telah disinggung dalam bab pendahuluan) sang tokoh utamanya, Tristran Thorn, walaupun

kepribadiannya telah berkembang menjadi seorang hero sehingga lebih diterima oleh masyarakat dari mana ia berasal, pada akhirnya lebih memilih untuk tinggal dalam dunia fantasi sehingga tindakan Tristran dapat dianggap sebagai eskapisme. Anggapan ini kemudian menjadi dasar analisis dalam bab ini bahwa pilihan Tristran untuk hidup di dunia fantasi sebenarnya jauh lebih dalam daripada sekadar melarikan diri.

Bab ini akan menganalisis peran dunia fantasi bagi Tristran Thorn dan juga makna di balik pilihan Tristran untuk tinggal di dunia fantasi. Untuk melihat hal ini, penulis akan menganalisis dua unsur penting dalam novel, yaitu latar dan penokohan. Dalam latar tempat dan waktu, penulis akan melihat peran dunia fantasi bagi diri Tristran Thorn dan sebagai dasar untuk membantu dalam menganalisis perkembangan tokoh yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Hal ini dilakukan untuk memahami alasan Tristran Thorn yang lebih memilih untuk tinggal di dunia fantasi daripada di dunia realitas Wall, tempat ia dibesarkan. Dengan begitu, pada akhirnya makna di balik pilihannya itu dapat disimpulkan.

2. 1 Naratologi

Stardust dikisahkan dengan memakai sudut pandang limited omniscient, yaitu sudut pandang seorang narator yang memiliki pengetahuan terbatas. Posisi narator penting untuk diperhatikan dalam pembahasan teks ini karena pandangan narator mewakili pandangan teks yang sejalan dengan pandangan tokoh utama, Tristran, yang

lebih memilih untuk tinggal di dunia fantasi Faerie daripada dunia nyata Wall, tempat ia dibesarkan. Pengaruh naratologi ini terutama terlihat dari nada penceritaan sang narator yang cenderung mengejek masyarakat yang menganggap diri mereka rasional. Dalam teks ini, narator memiliki pengetahuan terbatas hanya pada apa yang diketahuinya dari cerita-cerita orang lain. Jadi, ia kadang dapat mengetahui berbagai hal tetapi tidak mengetahui hal yang lain. Contoh dari hal-hal yang ia ketahui adalah ketika ia dapat mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh tokoh yang sedang ia ceritakan, “…(what need, Dunstan wondered, could someone have of the storm-filled eggshells?)” (Gaiman. 2007: 13). Tetapi selain menyusup masuk ke dalam pikiran tokohnya, narator juga terkadang tidak mengetahui tentang beberapa hal terutama yang berhubungan dengan Faerie. Satu hal yang dapat menjadi contoh adalah deskripsi narator mengenai kaum Lilim yang tinggal di Faerie.

The three women in the mirror were also the Lilim: but whether they were the successors to the old women, or their shadow-seleves, or whether only the peasant cottage in the woods was real, or if, somewhere, the Lilim lived in a black hall, with a fountain in the shape of a mermaid playing in the courtyard of stars, none knew for certain, and none but the Lilim could say. (Gaiman, 2007: 51-52)

Kutipan di atas memperlihatkan apa yang tidak diketahui sang narator mengenai Lilim. Pemakaian frasa none knew for certain menunjukkan pengetahuannya yang terbatas mengenai Lilim. Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa sang narator bukanlah narator yang mengetahui segalanya.

Selain itu, sang narator juga terkadang memberikan komentarnya sendiri tentang kejadian yang ia ceritakan atau tentang para tokohnya.

There was once a young man who wished to gain his Heart’s Desire.

And while that is, as beginnings go, in not entirely novel (for every tale about every young man there ever was or will be could start in a similar manner) there was much about this young man and what happened to him that was unusual, although even he never knew the whole of it. (Gaiman, 2007: 1)

Alinea ini yang merupakan bagian awal dari teks, telah umum menjadi kata-kata pembuka dalam cerita dongeng. Penggunaan konvensi dongeng oleh sang narator ini seakan ingin memperlihatkan bahwa kisah yang ia ceritakan adalah sebuah dongeng yang fiktif. Namun sang narrator menggunakan kalimat ini dengan main-main yang terlihat dari komentar tentang kalimatnya sendiri, for every tale about every young man there ever was or will be could start in a similar manner. Kalimat ini memperlihatkan posisi sang narator sebagai bagian dari dunia nyata. Apa yang dimaksud dunia nyata di sini tentu saja adalah dunia dalam teks yang berada di luar Faerie.

Stardust berlatar waktu sekitar tahun 1800-an. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks, hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan sang narator,

The events that follow transpired many years ago. Queen Victoria was on the throne of England, but she was not yet the black-clad widow of Windsor…Mr Charles Dickens was serializing his novel Oliver Twist; Mr Draper had just taken the first photograph of the moon…Mr Morse had recently announced a way of transmitting messages down metal wires. (Gaiman, 2007: 3)

Kesemua kejadian yang disebutkan adalah fakta dari realitas dunia nyata. Cara sang narator ini yang membaurkan fakta dan fiksi dalam penceritaannya seakan ingin mencemooh atau mengejek mereka yang rasionalis dengan menyanggah keyakinan mereka akan suatu hal yang nyata. Ia seakan ingin memperlihatkan bahwa fakta dan fiksi hidup berdampingan dan tidak dapat dipisahkan. Pemakaian tokoh-tokoh yang cenderung rasional dan sama sekali tidak memercayai apapun yang irasional (yaitu Mr Morse, Mr Draper, dan Mr Dickens), seperti keberadaan Faerie, maka menimbulkan efek yang ironis karena hal yang irasional justru hadir bersanding dengan rasionalitas. Dari cara penyampaian sang narator, ia juga terkesan seperti seorang juru cerita yang sedang bercerita kepada orang lain. Hal ini dapat diketahui dari pemakaian kata ‘we’ yang terkadang ia gunakan, “…Tristran Thorn passed beyond the fields we know . . . and into Faerie.” (Gaiman, 2007: 43). Frasa the fields we know yang dimaksud oleh sang narator adalah tempat yang ditinggali oleh ‘we’, yaitu di luar Faerie. Kata ‘we’ dalam hal ini lebih tepat diartikan sebagai kita karena mengacu pada sikap sang narator yang suka mencampur-adukkan antara realitas dan fiksi. Sikapnya ini kemudian seperti mensahkan para pembaca untuk ikut dan menjadi bagian dalam cerita (walaupun peran mereka tetap hanya menjadi pengamat dan menjadi bagian dari masyarakat dunia nyata dalam teks) dengan menjadi pendengar akan dongeng yang ia ceritakan.

Sikapnya yang sering bermain-main dalam penceritaan dan pemakaian nada yang mengejek membuat perannya tidak hanya sebagai narator tetapi juga

memperlihatkan keberpihakannya terhadap Faerie sekaligus pilihan Tristran untuk tinggal di Faerie. Kemudian keberpihakannya ini juga menjadi keberpihakan teks terhadap fantasi serta tindakan Tristran.

2. 2 Latar

Latar dalam Stardust tidak hanya berfungsi sebagai latar belakang, tetapi juga sebagai simbol dari masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dengan membandingkan perbedaan antara dua tempat yang ditinggali Tristran (Wall dan Faerie) lalu melihat karakteristik dari masing-masing dunia, maka dapat terlihat kecenderungan sifat dan pribadi Tristran dan masyarakat di kedua dunia. Hal ini membuat latar memiliki keterkaitan yang erat dengan pilihan Tristran untuk tinggal di dunia fantasi.

2. 2. 1 Perbandingan Latar: Wall yang Rasional dan Faerie yang Irasional

Dalam sub sub-bab ini akan dibahas mengenai perbedaan antara dunia realitas Wall yang rasional dan dunia fantasi Faerie yang irasional. Pembahasan keduanya ini kemudian akan memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang membuat sang tokoh kemudian mengambil keputusan untuk tinggal di dunia fantasi.

Dalam Stardust, terdapat dua latar tempat yang hampir selalu bertolak belakang dalam segala hal. Dalam kedua latar inilah kemudian sang tokoh utama (Tristran) menjalani kehidupannya. Kedua tempat itu adalah Wall dan Faerie yang sangat kontras. Wall digambarkan sebagai sebuah kota kecil di Inggris yang

mendapatkan namanya dari tembok tinggi pemisah tempat ini dengan Faerie (Gaiman, 2007: 2). Oleh sang narator, Wall digambarkan sebagai kota yang dingin dan kaku,

The town of Wall stands today as it has stood for six hundred years, on a high jut of granite amidst small forest woodland. The houses of Wall are square and old, built of grey stone, with dark slate roofs and high chimneys; taking advantage of every inch of space on the rock, the houses lean into each other, are built one upon the next, with here and there a bush or tree growing out of the side of a building. (Gaiman, 2007: 1)

Dari kutipan di atas, ada tiga hal yang menunjukkan kemonotonan dan statisnya kehidupan penduduk Wall, yaitu ketiadaan perubahan selama enam ratus tahun, grey stone sebagai materi pembangun rumah orang-orang Wall dan rock atau batu sebagai tempat mereka membangun rumahnya. Warna abu-abu mencerminkan hal yang tidak menarik dan membosankan sehingga warna batu itu menunjukkan pula karakter masyarakatnya yang membosankan dan statis. Kata old yang menggambarkan batapa tuanya grey stone yang membangun kota itu dan dark yang menggambarkan atap rumah-rumah Wall menunjukkan pula bahwa kota ini terasa suram karena ketiadaan perubahan di dalamnya. Namun rumah-rumah yang dibangun berdekatan (yang terlihat dari frasa lean into each other dan built one upon the next) menunjukkan bahwa penduduknya merupakan kelompok yang terus tinggal bersama selama bertahun-tahun.

Wall yang monoton itu sangat bertolak belakang dengan Faerie yang digambarkan oleh sang narator sebagai,

Faerie, after all, is not one land, one principality or dominion. Maps of Faerie are unreliable, and may not be depended upon... it is bigger than the world (for, since the dawn of time, each land that has been forced off the map by explorers and the brave going out and proving it wasn’t there has taken refuge in Faerie; so it is now, by the time that we come to write of it, a most huge place indeed, containing every manner of landscape and terrain). (Gaiman, 2007: 50)

Terlihat bahwa Faerie selalu berubah sehingga setiap peta Faerie yang sudah dibuat mungkin tidak dapat dipakai lagi (Maps of Faerie are unreliable, and may not be depended upon) karena menjadi tempat penampungan bagi tempat-tempat yang dianggap oleh para penjelajah tidak ada. Faerie yang selalu berubah ini sangat bertolak belakang dengan Wall yang tidak pernah berubah. Faerie adalah tempat untuk semua hal yang dianggap tidak masuk akal di dunia nyata sehingga membuat keduanya tidak dapat disatukan. Selain itu, kutipan di atas juga memperlihatkan bagaimana orang-orang yang tinggal di dunia nyata (dalam hal ini diwakili oleh para penjelajah) menolak keberadaan sesuatu yang irasional. Oleh karena tempat-tempat yang dianggap irasional ini tidak diakui keberadaannya, maka mereka pun ditampung dalam Faerie, tempat yang penuh akan hal-hal irasional. Hal ini menunjukkan karakteristik masyarakat (dunia nyata) saat itu yang logis sehingga tidak mau menerima segala hal yang menurut mereka tidak masuk akal. Penggambaran dunia Faerie yang unreliable dan may not be depended upon menunjukkan pula karakteristik para penduduknya yang memang terkadang tidak dapat dipercaya.

Wall dan Faerie terletak bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh tembok yang juga telah ada sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu. Dari tembok ini lah nama Wall

berasal. Tetapi walaupun keduanya bersebelahan, tidak ada yang dapat melewati tembok itu karena selalu dijaga oleh dua orang dewasa penduduk desa secara bergantian. Penjagaan itu (yang terkesan telah menjadi tradisi karena telah dilakukan beratus tahun lalu) dilakukan untuk mencegah semua yang berasal dari dunia nyata melintasi tembok dan masuk ke dunia Faerie,

Instead, for hundreds, perhaps for thousands of years, they have posted guards on each side of the opening on the wall, and done their best to put it out of their minds...

Their main function is to prevent the town’s children from going through the opening, into the meadow and beyond. Occasionally they are called upon to discourage a solitary rambler, or one of the few visitors to the town, from going through the gateway. (Gaiman, 2007: 3)

Selain mencegah masuknya orang-orang dari dunia nyata ke dalam Faerie, para penjaga yang menjaga tembok pun berusaha untuk tidak mengindahkan keberadaan Faerie dan berusaha untuk tidak memikirkannya, done their best to put it out of their minds. Sikap mereka ini seperti memperlihatkan bahwa sebenarnya Faerie dijaga karena dianggap berbahaya dan menggoda sehingga mereka sangat berusaha untuk tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan di Wall.

Selain itu, mereka yang dideskripsikan memiliki potensi untuk berusaha melewati celah tembok adalah anak-anak (the town’s children), para pengelana (solitary rambler), dan pengunjung yang datang ke desa (one of the few visitors to the town). Kesemuanya dapat disamakan ke dalam satu golongan, yaitu mereka yang tidak mengetahui bahaya yang akan mereka hadapi di luar tembok itu. Dari sini dapat

disimpulkan bahwa masyarakat Wall sangat mematuhi peraturan sederhana tersebut sehingga sangat jarang ada orang yang berasal dari dunia nyata sengaja datang ke Wall untuk masuk ke dalam Faerie, ”[v]ery rarely someone comes to Wall knowing what they are looking for, and these people they will sometimes allow through. There is a look in the eye, and once seen it cannot be mistaken.” (Gaiman, 2007: 3). Orang yang diperbolehkan untuk masuk ke dalam Faerie adalah mereka yang mengetahui apa yang mereka cari (knowing what they are looking for) dari sini dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang yang tahu apa yang ada di Faerie. Tidak jelas orang seperti apa yang diijinkan masuk ke dalam Faerie, tetapi dari perbedaan karakteristik penduduk Faerie dan dunia nyata dapat disimpulkan bahwa mereka yang dapat masuk ke Faerie adalah mereka yang memiliki karakteristik yang sama dengan orang-orang Faerie yang dapat dilihat dari pandangan mata mereka (a look in the eye). Perbedaan itu membuat para penjaga dapat mengenali mereka yang memiliki karakteristik seperti ini (it cannot be mistaken).

Memperkuat hal ini adalah perkataan Little Hairy Man (salah satu penghuni Faerie) ketika baru pertama kali bertemu dengan Tristran bahwa orang-orang yang pernah masuk ke dalam Faerie adalah para minstrel (penyanyi dan pembaca puisi), orang yang sedang jatuh cinta, dan orang gila. “’…The only ones who ever come here from your lands are the minstrels, and the lovers, and the mad...’” (Gaiman, 2007: 62). Kesemua orang yang disebutkan oleh Little Hairy Man memiliki satu kesamaan yaitu memiliki kecenderungan untuk berpikir tidak rasional. Hal ini karena profesi

minstrel dan orang yang sedang jatuh cinta juga cenderung menyukai keindahan dan berjiwa puitis. Hal ini membuat mereka memiliki pemikiran yang imajinatif dan imajinasi sering dianggap sebagai hal yang tidak rasional. Maka hal ini juga dapat menjadi alasan mereka masuk ke dalam Faerie. Oleh karena itu dapat dilihat pula bahwa Faerie memiliki keindahan dan irasionalitas di dalamnya.

Tembok tidak dijaga hanya pada saat adanya fair atau pekan raya pada May Day yang terjadi 9 tahun sekali. Hal ini memperlihatkan bahwa para penduduk patuh pada hukum dan tradisi sehingga tidak ada niatan sama sekali untuk masuk ke dalam Faerie atau untuk memberontak, hanya para petualang dan para pemberontaklah yang masuk ke dalam. Tetapi hal ini pun juga sangat jarang karena yang diketahui hanyalah Tristran saja yang masuk dan keluar Faerie di luar pekan raya May Day.

Wall dapat dikatakan sebagai perbatasan antara dunia nyata dengan dunia Faerie. Para penduduk Wall mempercayai adanya makhluk-makhluk aneh di dalamnya dan keajaiban yang bisa mereka buat, namun mereka memilih untuk tidak berhubungan dengan penghuni Faerie kecuali pada saat perayaan. Hal ini karena mereka terlihat seperti tidak mempercayai makhluk dari Faerie yang menurut mereka penuh dengan tipu daya. Sikap mereka ini terlihat dengan adanya pesan turun-temurun dari nenek moyang penduduk Wall,

...village folk, who were often tempted by the foods being sold by the folk from Beyond the Wall but had been told by their grandparents, who had got it from their grandparents, that it was deeply, utterly wrong to eat fairy food, to eat fairy fruit, to drink fairy water and sip fairy wine. (Gaiman, 2007: 13)

Penduduk Wall yang sama sekali tidak mau menyentuh makanan dan minuman Faerie selain memperlihatkan betapa tidak percayanya penduduk Wall pada penduduk Faerie, juga memperlihatkan bagaimana penduduk Wall sangat patuh pada larangan nenek moyang mereka tentang makanan dan minuman Faerie. Kepatuhan mereka pada larangan yang terlihat sepele ini memperlihatkan bagaimana mereka tidak pernah melanggar tradisi dan nasehat yang bersifat turun-temurun. Hal ini juga yang membuktikan bahwa mereka tidak pernah memiliki keinginan untuk keluar dari tradisi nenek moyang mereka. Repetisi kata-kata tertentu akan larangan nenek moyang itu (was deeply, utterly wrong to eat fairy food, to eat fairy fruit, to drink fairy water and sip fairy wine)4 juga menunjukkan betapa takutnya mereka akan penduduk Faerie dan betapa besarnya rasa tidak percaya penduduk Wall terhadap mereka. Penekanan larangan yang sangat terperinci ini dilakukan untuk membuat penduduk Wall waspada.

Tetapi kepatuhan pada tradisi tidak hanya terjadi di Wall karena para penduduk Faerie (sejahat apapun mereka) juga tetap berusaha mematuhi norma-norma yang ada dalam masyarakatnya. Contohnya adalah perilaku para anggota keluarga kerajaan Stormhold yang semuanya saling berusaha membunuh satu sama lain untuk mendapatkan hak sebagai penguasa Stormhold (kebiasaan saling membunuh antar saudara laki-laki untuk memperebutkan tahta sudah menjadi semacam peraturan di kerajaan Stormhold) berikutnya. Peristiwa saling bunuh ini harus dilakukan antar saudara dan apabila ternyata salah satu saudaranya terbunuh

bukan oleh salah satu saudara kandungnya, maka dia yang masih hidup harus membalaskan dendam saudaranya yang telah dibunuh.

’Why could you not have waited just a few more days, brother Primus?’ he [Septimus] asked the corpse at his feet. ’I would have killed you myself. I had a fine plan for your death...And now I must revenge your sad carcass, and all for the honour of our blood and the Stormhold.’ (Gaiman, 2007: 134)

Terlihat pula bagaimana sistem kekeluargaan dan warisan kekuasaan di Wall sangat berbeda dengan Faerie. Di Faerie, kerajaan Stormhold yang memiliki tradisi saling membunuh antar saudara laki-laki agar dapat menjadi raja yang sah sementara di Wall, harta diserahkan oleh orangtua pada anaknya secara sukarela tanpa pertumpahan darah. Contohnya seperti orangtua Dunstan yang berencana memberikan tanah pada Dunstan jika ia mau menikah ”’...If he’d but settle down, why Thorney was saying he’d settle all the Westward Meadows on the lad’” (Gaiman, 2007: 23), yang memperlihatkan bahwa hak sang anak di Wall telah ditentukan oleh orangtuanya. Sedangkan di Faerie, sang anak harus berjuang demi mendapatkan haknya. Walaupun ada perbedaan di sini karena apa yang diperebutkan oleh keluarga Stormhold adalah kekuasaan sedangkan apa yang didapatkan oleh Dunstan bukanlah kekuasaan, tetapi tanah warisan. Meskipun begitu, melihat cara pemberian orangtua masing-masing tetap memperlihatkan bagaimana cara pandang dan pola pikir masyarakat dari kedua dunia yang bertolak belakang.

Dalam Wall kehidupan seseorang sangat datar dan seperti sudah dapat diprediksi sebelumnya. Tetapi dalam Faerie, segala sesuatu seakan harus dilakukan

dengan penuh perjuangan dan tidak dapat diprediksi karena penuh dengan bahaya, seperti terkena kutukan dan pembunuhan. Setiap makhluk yang tinggal di sana harus bertahan hidup setiap hari (dengan kata lain hidup dalam petualangan). Setiap langkah harus dilakukan dengan cermat dan mereka harus selalu berhati-hati ketika bertemu dengan orang lain.

Kepatuhan dalam Wall terlihat absolut dan tidak dapat diganggu gugat, sedangkan dalam Faerie terkadang sebagian dari penghuninya melakukan berbagai

Dalam dokumen ANALISIS FANTASI DAN EKAPISME DALAM NOVE (Halaman 31-84)

Dokumen terkait