• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Data

5. Feminisme dalam Novel Sali:

Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani mengemukakan

masalah kekerasan dan penindasan terhadap kaum wanita. Masalah-

masalah tersebut saling berhubungan dan apabila dilihat dengan kacamata

feminisme berarti menyaran pada masalah prasangka gender yang

mendorong lahirnya emansipasi wanita.

Prasangka gender ditimbulkan oleh anggapan yang salah kaprah

terhadap jenis kelamin dan gender. Di masyarakat selama ini terjadi

peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya mengenai gender. Apa

yang disebut gender karena dikonstruksikan secara sosial budaya dianggap

sebagai kodrat Tuhan (Fakih via Sugihastuti, 2010:206). Gender itu

bukanlah ciptaan Tuhan, tetapi hanya ciptaan masyarakat. Masyarakat

berprasangka bahwa di balik jenis kelamin ada gender dan ternyata

prasangka itu berbeda pada masyarakat di suatu tempat dengan masyarakat

selain mengandung, melahirkan dan menyusui anak, adalah tugas

mengurus rumah tangga (mengatur makanan, pergi ke kebun, membelah

kayu bakar, dan memberi makan babi-babi) dan mengasuh (memelihara,

membesarkan, dan mendidik) anak.

Masyarakat suku Dani berprasangka bahwa pekerjaan mengurus

rumah tangga dan mengasuh anak adalah pekerjaan wanita. Secara

otomatis wanita diposisikan pada tugas domestik. Laki-laki tidak boleh

ikut campur dalam pekerjaan domestik karena mereka mempunyai tempat

bekerja sendiri, yaitu tugas berburu dan berperang. Pembagian tugas itu

sesungguhnya bukan merupakan kodrat Tuhan, tetapi hanya merupakan

konstruksi sosial budaya yang telah berjalan lama. Kutipan yang

mendukung pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.

“Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu. Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau kau tak segera pergi ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara menyatakan ancaman. (hlm. 38).

Prasangka gender juga melahirkan ketidakadilan yang

termanifestasikan ke dalam bentuk subordinasi atau tidak diprioritaskan

dalam pengambilan keputusan, beban kerja yang lebih berat, dan

kekerasan terhadap wanita. Bersumber dari adat, prasangka gender

menciptakan stereotip wanita. Wanita adalah makhluk yang lemah dan

hina. Olah karena itu, perannya dalam masyarakat tidak dihargai, bahkan

tidak diberi peran sama sekali. Berikut ini adalah kutipan-kutipan

bagaimana adat memandang wanita suku Dani dan bagaimana adat

Konon, darah kotor wanita yang datang setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu kehilangan tuah, dan tak dapat dimanfaatkan untuk mengalahkan lawan dalam sebuah pertarungan. Sebab itu wanita suku Dani tak diizinkan untuk mendekat, terlebih menyentuh perlengkapan perang itu. (hlm. 4).

Adat di kampung ini membenarkan seorang duda yang kehilangan istri, karena kematian, untuk menikah dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Dengan demikian, maka ikatan keluarga dengan pihak istri dapat tetap diteruskan. Sementara anaknya akan menjadi anak tiri dari saudara kandung istrinya sendiri. (hlm. 8).

Bahwa secara adat ia memang berhak memerintah Aburah, karena telah membayarnya dengan babi-babi pada hari perkawinan itu. Ia telah membeli seorang wanita dengan harga yang sangat mahal. Seperti halnya setiap laki-laki di kampung ini, ia berhak memperbudak wanita yang dinikahi, sekalipun wanita itu tengah hamil atau baru saja melahirkan anak yang dikandungnya. (hlm. 11). Makanan yang tampak dalam ukuran besar dibagikan kepada pihak laki-laki, sedangkan yang berukuran kecil diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Adat selalu menempatkan laki-laki sebagai pihak yang harus dihormati, sehingga mereka selalu mendapatkan yang terbaik. (hlm. 27).

Posisi wanita yang disubordinatkan, membuat laki-laki cenderung

memperlakukan wanita (istri) sebagai benda yang dimilikinya, layaknya

benda-benda yang lain (Wahyuni via Sugihastuti, 2010:218). Karena istri

dianggap sebagai barang, suami dapat berbuat sewenang-wenang terhadap

istri, sedangkan istri seolah-olah tidak mempunyai hak untuk melawan

tindakan suami, termasuk mencegah suami untuk melakukan kekerasan

dan kawin lagi. Seperti apa yang dialami oleh Liwa, ia tidak mampu

mencegah suaminya Ibarak untuk menikah lagi. Kutipan yang mendukung

pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.

“Aku hendak menikah lagi Liwa”, Ibarak membuka pembicaraan. “Dengan siapa?”

“Dengan anak gadis Lorina”. “Kapan kau hendak menikah?”. “secepatnya”.

Liwa terdiam, tak tahu dengan pasti bagaimana perasaan hatinya. Sudah menjadi suatu hal yang lumrah, bahwa di kampung ini seorang suami dapat memilki lebih dari seorang istri, dengan satu syarat, ia mampu membayarnya dengan babi. Istri kedua, ketiga, dan selanjutnya akan meringankan beban istri pertama, karena ia akan melakukan pekerjaan sehari-hari yang sama. Beban hidup Liwa pasti akan menjadi berkurang. Tetapi jauh di dalam hati kecil ada suara yang tak dapat dibungkam, ia terjebak ked alam suatu kehidupan yang ganjil dan tak mudah dimengerti. (hlm. 217).

Karena adat yang melestarikan prasangka gender itu sangat

merugikan wanita, timbullah penentangan terhadap adat lama dari

kalangan wanita yang menyadari bahwa ada ketidakadilan, sehingga

muncullah emansipasi wanita. Emansipasi wanita pada dasarnya

merupakan embrio feminisme, yaitu kelompok atau gerakan wanita yang

menuntut persamaan hak sepenuhnya (dalam bidang politik, ekonomi,

dan sosial budaya) antara laki-laki dan perempuan (Djajanegara via

Sugihastuti, 2010:220). Sedangkan inti tujuan feminisme adalah

meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar

dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha

feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu

caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang

dimiliki laki-laki (Djajanegara, 2000: 5-6).

Wanita pada zaman Liwa tidak menuntut disamakan benar-benar

dalam segala hal dengan laki-laki. Mereka menyadari bahwa menjadi

benar-benar sama tidak mungkin terjadi. Mereka hanya menginginkan

agar laki-laki menghargai wanita sehingga dapat menjalani kehidupannya

secara wajar. Jika laki-laki tidak dapat memuliakan dan menghargai

jangan dianggap sebagai budak atau makhluk yang hina. Wanita harus

diberi kebebasan dan kesempatan untuk menentukan apa yang terbaik

baginya. Kutipan yang mendukung pernyataan tersebut adalah sebagai

berikut.

“Aku tahu kau baru melahirkan Lapina, tapi coba kau lihat persediaan makanan kita sudah menipis. Kalau kau tak pergi ke kebun kita akan kelaparan”, Kugara membuka pembicaraan.

“Kau tahu badanku masih sangat lemah, tidakkah untuk sementara kau dapat menggantikan pekerjaanku?” Lapina menyanggah sambil menyusui bayinya yang mungil, (hlm. 31).

Liwa pernah berbaring seharian di dalam honai, karena kandungan yang kian membesar, tetapi ketika persediaan ubi manis telah habis, maka Ibarak menegurnya.

“Engkau harus kembali pada tugasmu, atau kita akan kelaparan”. “Tidakkah kau tahu akan keadaanku?” Liwa membela diri

“Aku tahu, tapi inilah adat dalam keluarga. Bukankah aku telah membayarmu dengan harga yang mahal? Engkau tak bisa mengelak dari tanggung jawab. Dan aku tak ma uterus menerus memarahimu”. Ibarak berkata seolah-olah Liwa adalah seorang wanita sehat yang dapat melakukan segalanya. (hlm. 217).

Protes Liwa terhadap pemberian tugas yang tidak adil terhadap

kaum wanita itu merupakan kesadaran dirinya bahwa perempuan secara

substansial adalah makhluk yang berdiri sendiri (otonom). Kesadaran

Liwa akan adanya ketidakadilan diwujudkan dengan sikap dan tindakan

Liwa yang mulai menentang suaminya. Berikut ini akan dipaparkan sikap

dan tindakan yang bersifat feminisme yang dilakukan oleh wanita suku

Dani, khususnya Liwa dan Lapina.

a. Berani melawan

Berani merupakan suatu sikap hati yang mantap dan mempunyai

rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya dan rasa takut.

menjumpai kutipan yang mengandung nilai feminisme yang

menunjukan sikap berani melawan. Berikut adalah contoh feminisme

yang menunjukkan sikap berani melawan.

“Aku tahu kau baru melahirkan Lapina, tapi coba kau lihat persediaan makanan kita sudah menipis. Kalau kau tak pergi ke kebun kita akan kelaparan”, Kugara membuka pembicaraan. “Kau tahu badanku masih sangat lemah, tidakkah untuk sementara kau dapat menggantikan pekerjaanku?” Lapina menyanggah sambil menyusui bayinya yang mungil, ia sungguh merasa kasihan dan sayang terhadap anak tak berdosa yang telah dilahirkannya. “Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu. Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau kau tak segera pergi ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara menyatakan ancaman. (hlm. 37-38).

“Mana tembakau?” Ibarak menuntut ketika Liwa baru saja duduk melepas lelah di dekat honai.

“Tak ada”.

“Bukankah engkau baru saja menjual hasil kebun ke pasar?” Ibarak tampak tidak senang.

“Betul”.

“Terus ke mana hasilnya? Mana tembakau buatku?” Ibarak menatap Liwa dengan tajam.

“Apakah engkau tidak melihat, bahwa anakmu sakit-sakitan? Ia memerlukan pakaian buat pelindung”, Liwa mulai tampak ketakutan, tapi benar, ia harus menganggap pakaian itu lebih penting dari pada tembakau.

“Jadi?” suara Ibarak mulai meninggi.

“Jadi kenapa? Kau juga orang tua dari anak yang kulahirkan, mestinya kau harus ikut pula bertanggung jawab atas anak itu. Benar, engkau telah membayarku dengan babi, tapi lihatlah, aku bekerja setiap hari sepanjang tahun seperti budak. Aku telah tujuh kali mengandung dan melahirkan kemudian membesarkan anak- anak, aku meratap memberi makan anak-anakku. Lalu engkau? Apa yang dapat kau lalukan selama hidup bertahun-tahun denganku? Engkau tak perlu lagi menyambung nyawa pergi berperang. Seharusnya engkau mengerti akan penderitaan hidupku!” Liwa bersuara dengan lantang, ia bahkan merasa heran dengan kata-kata yang baru saja diucapkan.

“He perempuan! Kau sudah berani bicara rupanya. Tak sekali- sekali engkau dapat menentangku, karena memang benar aku telah membayarmu. Jadi, mana tembakau buatku? Ibarak menadahkan tangannya. (hlm. 83-84).

Perlawanan yang dilakukan oleh Liwa akibat dari kekesalannya

pada suaminya yang tidak perduli pada anaknya dan hanya

mementingkan dirinya sendiri. Walaupun secara adat memang benar

bahwa Liwa harus tunduk dan patuh pada suaminya tetapi Liwa tidak

ingin anaknya menderita. Berawal dari membela anaknya, akhirnya

Liwa pun memberanikan diri untuk melakukan perlawan demi

anaknya.

Tokoh Liwa tidak hanya berani melawan, tetapi juga ia berani

melakukan tindakan atas perlawanannya tersebut. Berikut adalah

tindakan-tindakan yang diambil oleh Liwa atas keberaniannya

melawan suaminya Ibarak.

Dokumen terkait