• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Uraian Teoritis

2.2.2 Frame Model Gamson dan Modegliani

Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan Frederick (dinyatakan pula oleh William A Gamson dan Andre Modegliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat

representatif yang mengandung kontruksi makna tertentu.

Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan frederick (dinyatakan pula oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media; berita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tertentu.Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condensing symbols.Struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang sedang dibicarakan.Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua sub-struktur, yaitu framing devices dan reasoning

devices. Seperti dijelaskan Gamson, framing devices terdiri atas: methapor,

exemplars, catchphrase, depiction, dan visual image. Sedangkan reasoning

devices terdiri atas: root (analisis kausal), consequencies (efek-efek spesifik), dan

appeals to principle (klaim-klaim moral). Lebih jelasnya dapat dilihat tabel

FRAMING ANALYSIS

MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI

Sumber : Diadopsi dari William A. Gamson dan Andre Modigliani, ‘’Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach’’, Journal of sociology, Vol. 95, No.1, July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001, hlm. 87, Alex sobur hal 177 dan Eriyanto hal 225

Struktur framing devices (perangkat pembingkai) yang mencakup

metaphors (metafora), exemplars (contoh terkait), catchphrases (frase yang

menarik), depictions (penggambaran suatu isu yang bersifat konotatif), dan visual

images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai) menekankan aspek

bagaimana ‘’melihat’’ suatu isu. Struktur reasoning devices (perangkat penalaran) menekankan aspek pembenaran terhadap cara ‘’melihat’’ isu, yakni roots (analisis kausal), appeals to principle (klaim moral), dan consequences (konsekuensi yang didapat dari bingkai).

Secara literal, metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Henry Guntur Tarigan menilai metafora sebagai sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1990:15).

John Fiske (Imawan, 2000:66) menilai metafora sebagai common sense, pengalaman hidup keseharian yang di-taken for granted masyarakat. Common

sense terlihat alamiah (kenyataannya diproduksi secara arbitrer) dan

perlahan-lahan menjadi kekuatan ideologis kelas dominan dalam memperluas dan mempertahankan ide untuk seluruh kelas.Metafora berperan ganda; pertama sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental; kedua, berasosiasi dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu.

Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi

memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran.Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.

Catchphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang

merujuk pemikiran atau semangat tertentu.Dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.

Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat

konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan

tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.

Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan

sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual

image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan

ideologi pesan dengan khalayak.

Roots (analisis kausal), pemberatan isu dengan menghubungkan suatu

objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebab-akibat yang digambarkan atau dibeberkan.

Appeal to Principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi

pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran, dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatis, simplistik, dan monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain. Dan pada akhirnya akan didapat konsekuensi dari teks berita, yang terangkum dalam consequences.

Adapun beberapa penelitian yang telah menggunakan framingmodel Gamsom dan Modegliani contihnya, BUNG KARNO DALAM WACANA MEDIA MASSA ORDE BARU: Analisis terhadap Berita-Berita tentang Bung Karno dalam Majalah Tempo dan Majalah Editor Edisi Januari 1988-Juni 1994 dengan

Pendekatan Framing. (Agus Sudibyo:2001)

Pembicaraan tentang sejarah Indonesia terasa kurang lengkap tanpa menyebut satu nama, Bung Karno. Sulit untuk disangkal bahwa peranan dan kepeloporan Bung Karno dalam perjalanan sejarah Indonesia sangat dominan.Meminjam kata-kata Mahbub Djunaidi, “Bung Karno adalah potongan kayu bakar yang terbesar gelondongannya yang sudah membakar api nasionalisme Indonesia, membakar api persatuan nation Indonesia, dan membakar api revolusi nasional yang pada puncaknya memerdekakan negeri ini.”

Bung Karno adalah nation and character builder yang telah membawa bangsa Indonesia ke arah terbentuknya bangsa yang berkpribadian khas. Bung Karno juga nerupakan simbol nasionalisme Indonesia yang berhasil menjembatani perbedaan di antara suku-suku di Indonesia dan menanamkan kepada mereka kesadaran tentang satu bangsa, bangsa Indonesia. Dalam percaturan politik internasional, ia adalah figur negarawan yang representatife pada masanya dan merupakan salah satu dari pemimpin berkarisma istimewa dalam nasionalisme Asia dan Afrika. Berbagai kalangan tanpa terkecuali yang pada awalnya tidak menyukainya, mengakui keberadaan Bung Karno sebagai pemimpin terkemuka di Asia, serta salah satu tokoh politik dunia yang sangat diperhitungkan.

Memahami manusia Soekarno, bagaikan memahami lukisan dengan seribu warna.Meminjam istilah Benda, Bung Karno adalah sosok dramatic personae, sebuah gambaran pribadi yang bukan hanya popular dan karismatik di mata rakyat, tapi juga kontradiktif dan controversial. Bung Karno mewakili sosok pemimpin rakyat yang multidimensional. Tidak ada tokoh di Indonesia yang semarak label seperti Bung Karno: proklamator, Bapak Bangsa, nation and

character building, singa podium, agitator ulung, pemimpin absolute-totaliter dan

kolaborator Jepang. Sebagian label itu bahkan berasal dari luar negeri, sebagai bukti bahwa ketokohan Bung Karno juga diakui khalayak internasional.

Kompleksitas Bung Karno sebagai seorang pemimpin terlihat dari beragam perspektif yang digunakan masyarakat Indonesia untuk memandang Bung Karno.Disatu sisi, Bung Karno memang dihormati berkat pengorbanan dan kontribusinya dalam sejarah perjuangan bangsa. Di sisi lain, Bung Karno juga dipersalahkan karena tidak mau membubarkan PKI pasca G-30S/PKI 1965, kegagalan ekonomi dan proyek-proyek mercusuar yang tidak efisien di era Demokrasi Terpimpin, serta kisah-kisah asmaranya yang kurang mencerminkan kualitas seorang pemimpin. Bung Karno juga dituduh sebagai penguasa yang cenderung totaliter.

Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah bagaimanakah sebenarnya sikap politik Orde Baru terhadap Bung Karno.Harian Merdeka pernah menyimpulkan bahwa negara Orde Baru menggunakan ‘standar ganda’ dalam bersikap terhadap Bung Karno.Rachmawati Soekarnoputri juga pernah

menyimpulkan ada dualisme sikap Pemerintah terhadap Bung Karno. Pada satu sisi, Pemerintah mengakuinya sebagai pahlawan dan proklamator kemerdekaan, di sisi lain Pemerintah mengizinkan terbitnya buku-buku yang mendeskriditkan dan merusak nama baik Bung Karno, membiarkan pihak-pihak yang berpresepsi bahwa Bung Karno adalah komunis, bahkan melarang berdirinya Universitas Bung Karno.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pers Orde Baru cenderung menghadirkan wacana legitimasi terhadap Bung Karno. Pers Orde Baru sebenarnya cukup legaliter dalam menyoroti kesalahan dan kegagalan Bung Karno dengan kata lain mereka tidak kehilangan daya kritis dalam merekontruksi realitas-realitas Bung Karno. Namun seperti terlihat dalam analisis data kuantitatif, wacana media Orde Baru lebih banyak melahirkan konstruksi sejarah yang favourable dan legitimate tentang Bung Karno.

Kesimpulan ini didukung oleh kecerendungan framing yang ditunjukkan insane pers Orde Baru sendiri dalam mengkontruksi berita-berita tentang Bung Karno.Sebagai contoh, majalah Editor (17/3/1990) berjudul “Agar Bangsa Ini Tidak Pecah” yang mengulas kekerasan sikap Bung Karno untuk tidak membubarkan PKI pasca-G 30 S/PKI 1965.

Kelemahan analisis framingyang terbingkai dari data manifest dan latent dengan akhir analisis latent dan simpulan latent. Objek yang dianalisis khusus tentang berita.Unit analisisnya berupa skema, produksi dan reproduksi berita. Analisis framingternyata masih memerlukan penyempurnaan, misalnya permasalahan model proses analisis framing.

Dokumen terkait