• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.4. Habitat dan ekologi tumbuhan sagu

Daerah penyebaran tumbuhan sagu terdapat di Pasifik Selatan, Melanesia, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Pada umumnya tumbuh pada lahan- lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika berlangsung musim hujan, dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Deinum (1984 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993) menyebutkan bahwa habitat asli tumbuhan sagu adalah tepian parit dan sungai yang becek, tanah berlumpur, akan tetapi secara berkala mengering. Lahan sekitar parit pada umumnya berupa lahan kering, sedangkan pada pinggiran sungai, kebanyakan tergenang air atau relatif basah, meskipun ada pula yang kering. Flach (1983) menyebutkan bahwa habitat tumbuh yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Apabila akar nafas terendam air secara terus menerus akan menghambat pertumbuhan, dan dengan sendirinya menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam pokok batangnya.

Tempat tumbuh sagu terdapat di tanah yang lembab, di sepanjang tepi sungai, di sekitar danau dan tanah berawa (Atmawidjaja 1992). Tumbuhan sagu dijumpai juga di tempat dimana terdapat pohon nipah di muara sungai. Tanah lempung berpasir merupakan tempat tumbuh yang baik, sebaliknya di tanah

gambut pertumbuhan sagu cukup merana. Pada jalur transisi antara hutan sagu dan hutan tropika basah, dimana sesekali digenangi air, sagu tumbuh dengan baik. Tumbuhan sagu dapat pula tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah yang demikian biasanya menunjukkan berbagai gejala defisiensi terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh berkurangnya jumlah daun dan umur sagu yang lebih panjang mencapai 15-17 tahun (Fach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).

Apabila dilihat dari kemungkinan hidup tumbuhan sagu berdasarkan kisaran keadaan hidrologi, maka Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) menyatakan bahwa kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sangat lebar. Sagu dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang, sampai kondisi lahan yang tidak tergenang asalkan kondisi kadar air tanah (lengas tanah) terjamin cukup tinggi. Kondisi kadar air yang tinggi ini dapat disebabkan oleh genangan berkala, daya tahan menyimpan air banyak, misalnya karena mengandung bahan organik banyak, maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap, pertumbuhan sagu pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat, jumlah pohon masak tebang per hektar sedikit dan produksi pati per pohon rendah. Pertumbuhan dan produksi tampak cukup baik pada lahan dengan genangan berkala atau yang tidak tergenang.

Di daerah rawa pantai dengan kadar garam (salinitas) tinggi tumbuhan sagu masih dapat tumbuh, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Secara alamiah di daerah rawa pasang surut zone sagu berada di belakang zone nipah yang lebih tenggelam (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).

Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Maluku, menurut Louhenapessy (1993) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : 1). Kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan tumbuhan payau lainnya, 2). Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan penggenangan tetap maupun penggenangan sementara, 3). Kondisi pantai berpasir yang dipengaruhi oleh

keadaan pasang surut, dan 4). Kondisi yang tidak tergenang tetapi mempunyai kandungan air tanah yang cukup.

Tumbuhan sagu dapat tumbuh di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu

terutama ditanam di tanah gambut (Flach and Schuiling 1988 dalam

Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Di daerah Arandai Bintuni Irian Jaya, sagu ditemukan tumbuh pada tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 4.5 meter dengan hasil panen mencapai 425 kg per pohon (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Sagu juga dapat tumbuh dan berproduksi baik di tanah pasiran, asal mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkaitan dengan penyediaan air, di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah memiliki produksi tepung sagu yang rendah.

Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh baik secara alamiah pada tanah liat yang berawa, kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah. Selain itu tumbuhan sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al. 1984 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).

Tumbuhan sagu pada umumnya tumbuh baik di tropis pada daerah yang terletak antara 10oLS-15oLU, dan antara 90o-180oBT, pada ketinggian antara 0- 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Pertumbuhan sagu terbaik terdapat pada ketinggian mencapai 400 dpl, pada ketinggian tempat yang lebih besar pertumbuhan terhambat dan produksinya rendah (Bintoro 1999 dalam Barahima 2005).

Dalam pertumbuhan sagu diperlukan suhu minimal 15oC, dan

pertumbuhan terbaik berlangsung pada suhu sekitar 25oC dengan kelembaban relatif sekitar 90% dan intensitas sekurang-kurangnya 900 J/cm/hari (Flach 1980; Flach et al. 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Berdasarkan klasifikasi ragam curah hujan oleh Schmidt & Ferguson, daerah pertumbuhan sagu terdapat dalam kawasan ragam A (luar biasa basah-sangat basah) dan B (sangat basah-basah). Curah hujan rata-rata tahunan yang diperlukan sekitar 2.500 - 3.500 mm, dan jumlah hari hujan tahunan rata-rata antara 142 - 209 hari (Turukay 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Hasil studi

Luhulima et al. (2005) di Sorong Selatan didapatkan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada tipe iklim B1, curah hujan 4.365 mm per tahun, jumlah hari hujan 20 hari per bulan, suhu rata-rata 27.58oC, tertinggi 28.74oC, dengan kelembaban relatif sekitar 84.33%.

Menurut Mulyanto dan Suwardi (2000) dikemukakan bahwa sagu tumbuh pada kondisi ekosistem yang spesifik yang dicirikan oleh kondisi temperatur yang berkisar antara 24-30oC, kelembaban relatif terendah 60% dan tertinggi 90%, penyinaran surya terendah 900 J/cm2/hari dengan curah hujan yang berkisar antara 2000-4000 mm/tahun.