• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harga Kedelai Tingkat Produsen

6. PENDUGAAN MODEL EKONOMETRIKA

6.3. Analisis Dayasaing Kedelai

6.3.4. Harga Kedelai Tingkat Produsen

Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga kedelai tingkat produsen sebesar

0.5953, artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan oleh peubah- peubah eksogen di dalam model, yakni produksi, volume impor, konsumsi,

dummy monopoli Bulog dan harga di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar 59.53 persen. Sedangkan sisanya 40.47 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain

yang tidak terdapat di dalam model. Hasil pendugaan parameter harga kedelai tingkat produsen dapat dilihat pada Tabel 10.

Dari hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 6.77, lebih besar dari F tabel sebesar 2.64 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini menunjukkan bahwa peubah- peubah eksogen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai tingkat produsen.

Tabel 10. Hasil Dugaan Parameter Harga Kedelai Tingkat Produsen

Keterangan : (a) nyata pada taraf α = 0.05 (c) nyata pada taraf α = 0.15

(d) nyata pada taraf α = 0.20

Dari hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa produksi, volume impor dan konsumsi kedelai berpengaruh nyata terhadap harga riil tingkat produsen pada taraf dua

puluh persen. Dummy monopoli Bulog dan harga riil tingkat produsen berpengaruh

nyata terhadap pada taraf lima dan lima belas persen.

Dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa peubah produksi kedelai Indonesia sebesar –0.0013. Artinya jika terjadi kenaikan produksi sebesar satu satu ton, maka akan menurunkan harga riil tingkat produsen sebesar 0.0013 rupiah per kilogram,

cateris paribus, dan sebaliknya. Produksi kedelai Indonesia bersifat elastis, baik untuk jangka pendek (-1.25) maupun jangka panjang (-1.57). Hal ini menunjukkan

bahwa jika produksi naik sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil di

tingkat produsen akan turun sebesar 1.25 dalam jangka pendek dan 1.57 persen dalam jangka panjang.

Variabel Koefisien t- hitung Proba- Nama Dugaan bilitas Pendek Panjang Variabel INT 721.72 4.00 0.00 Intersep

QKT -0.0013(d) 1.42 0.17 -1.25 -1.57 Produksi Lokal QIT -0.0012(d) 1.35 0.19 -0.59 -0.75 Volume Kedelai Impor CKT 0.0012(d) 1.36 0.19 1.75 2.20 Jumlah Konsumsi Nasional DBT 218.644(a) 2.20 0.04 0.23 0.29 Dummy Monopoli Bulog LPPT 0.2022 c) 1.50 0.15 Lag Harga Riil Tingkat Produsen R-Sq 0.60 R-Sq Adj 0.51 F-hit 6.77 D W Stat 2.01 D h -0.03 Elastisitas

Nilai koefisien dugaan volume impor kedelai Indonesia sebesar -0.0012, artinya apabila volume impor naik sebesar satu ton, maka harga riil di tingkat produsen akan turun sebesar 0.0012 rupiah per kilogram, sebaliknya apabila volume impor turun sebesar satu ton, maka harga riil di tingkat produsen akan naik sebesar

0.0013 rupiah per kilogram, cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisnya, maka

harga riil di tingkat produsen tidak responsif terhadap perubahan volume impor baik pada jangka pendek (-0.59) maupun jangka panjang (-0.75).

Nilai koefisien dugaan konsumsi kedelai Indonesia sebesar 0.0012, artinya apabila konsumsi bertambah sebesar satu ton, maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan meningkat sebesar 0.0012 rupiah per kilogram, sebaliknya apabila konsumsi menurun sebesar satu ton, maka akan menyebabkan turunnya harga riil di tingkat

produsen sebesar 0.0012 rupiah per kilogram, cateris paribus. Berdasarkan nilai

elastisnya, harga riil di tingkat produsen responsif terhadap perubahan konsumsi baik pada jangka pendek (1.75) maupun jangka panjang (2.20). Hal ini berarti jika

konsumsi meningkat sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil di tingkat

produsen akan meningkat sebesar 1.75 pada jangka pendek dan 2.20 pada jangka panjang.

Konsumsi kedelai ini lebih dititik beratkan pada penggunaan kedelai untuk industri olahan : tahu, tempe dan kecap, karena merupakan konsumsi terbesar. Konsumsi kedelai untuk industri olahan disesuaikan dengan spesifikasi produk yang diminta. Menurut Saptana (1993) dan berdasarkan observasi pada industri olahan bahwa industri tahu menginginkan kedelai yang mengandung sari kedelai yang lebih tinggi dan tidak mempermasalahkan ukuran biji besar sampai kecil. Namun berdasarkan observasi, industri tahu lebih menginginkan kedelai lokal karena kedelainya masih baru dan menghasilkan tahu dengan citarasa khas yang lebih enak (Lampiran 19).

Berdasarkan penelitian Hartati (1999), gumpalan sari kedelai yang terbentuk setelah diberi koagulan yang terbanyak dan cepat terbentuk adalah dari kedelai lokal, sehingga tahu yang dihasilkan lebih banyak. Hal ini disebabkan kedelai lokal mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai impor.

Berdasarkan analisa proksimat yang dilakukannya, kedelai lokal dan impor masing- masing mengandung kadar air 14.1 dan 11.3, kadar protein 34.1 dan 25.4 dan kadar lemak 19.9 dan 18.1 (persen basis kering). Warna tahu yang dihasilkan dari kedelai lokal dan impor tidak berbeda, walaupun sebagian biji kedelai lokal berwarna hijau. Pada saat pembuatan tahu, kandungan klorofil yang menyebabkan warna hijau tersebut akan larut dalam air. Tahu dari kedelai lokal lebih keras dibandingkan dari kedelai impor dan campuran, dikarenakan protein dari kedelai lokal lebih banyak tergumpalkan, sehingga tahu yang dihasilkan lebih padat.

Untuk industri tempe memerlukan biji kedelai yang berukuran sedang sampai besar dengan kualitas baik dan tidak dicampur tanah atau krikil yang diberi warna seperti halnya kedelai. Sebagian besar industri tempe lebih menyukai kedelai impor karena warna biji dan kualitasnya seragam, ukuran biji besar dan kadar airnya rendah, sehingga jika kedelai direndam akan lebih banyak menyerap air (lebih mengembang), sehingga menghasilkan produk tempe lebih banyak (Lampiran 20).

Menurut penelitian Aryanie (1999), kedelai lokal dan impor masing-masing mengandung kadar air 15.06 dan 10.92, kadar protein 32.55 dan 29.95 dan kadar lemak 19.60 dan 22.10 (persen basis kering). Berdasar uji organoleptik yang dilakukannya, kedelai impor lebih disukai dari kedelai lokal karena tempe yang dihasilkan bertekstur lebih empuk. Hal ini disebabkan ukuran biji kedelai lokal lebih kecil sehingga dengan satuan volume yang sama, penggunaan kedelai lokal lebih banyak yang mengakibatkan tempe dari kedelai lokal lebih padat dan kurang empuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaryanto (1996) yang mengatakan bahwa preferensi konsumen lebih cenderung kepada kedelai impor karena kualitasnya lebih baik, ukuran biji relatif besar dan seragam, serta harganya lebih murah. Industri tempe lebih menyukai kedelai impor, karena rendemennya lebih tinggi, sedangkan industri tahu lebih menyukai kedelai lokal karena kadar sari kedelainya tinggi.

Sementara industri kecap menginginkan bahan baku kedelai hitam sesuai dengan keinginan konsumen. Berdasarkan hasil observasi ke beberapa industri kecap,

bahan baku yang lebih disukai adalah kedelai hitam lokal, karena kecap yang dihasilkan memiliki citarasa khas (Lampiran 21). Namun data produksi kedelai hitam secara nasional sulit diperoleh dan sebagian besar petani menanam kedelai hitam bermitra langsung dengan industri kecap.

Variabel dummy monopoli Bulog juga berpengaruh nyata terhadap harga riil

kedelai di tingkat produsen dengan nilai koefisien dugaan positif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya monopoli Bulog akan menyebabkan harga riil kedelai di tingkat produsen meningkat. Hal ini akan berakibat timbulnya minat petani untuk menanam kedelai kembali dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang wajar.

Pada awal tahun delapan puluhan Bulog berperan dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, melalui pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai terutama bagi industri tahu dan tempe, khususnya bagi anggota Kopti. Walaupun peran Bulog dalam pengadaan kedelai dalam negeri hanya berlangsung tiga tahun dan jumlahnya sangat kecil atau kurang satu persen dari produksi kedelai dalam negeri, namun dari hasil penelitian menunjukkan peran Bulog berpengaruh positif terhadap harga kedelai di tingkat produsen. Hal ini diduga harga dari Bulog akan menjadi pedoman bagi harga di tingkat produsen diluar transaksi Bulog.

Pada masa Bulog masih mengelola kedelai, kebijakan kuota dapat diterapkan, sehingga volume impor dapat dikendalikan. Pada era perdagangan bebas tahun 1998, kebijakan kuota impor tidak dapat lagi diterapkan, sehingga pemerintah hanya dapat memberlakukan kebijakan tarif. Pemerintah telah melakukan liberalisasi sepenuhnya atas perdagangan dan distribusi berbagai komoditi yang sebelumnya ditangani Bulog.

Pada September 1998, Bulog telah melepaskan kontrolnya atas gula, gandum dan kacang-kacangan impor, termasuk kedelai. Satu-satunya komoditi yang masih berada dalam pengawasan Bulog adalah beras, karena merupakan komoditi yang

sensitif bagi perekonomian Indonesia. Sejak itu Bulog tidak lagi memonopoli kedelai, maka harga impor kedelai semakin rendah. Sebagai akibatnya banyak industri olahan kedelai menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai lokal.

Peubah lain yang juga berpengaruh nyata adalah harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya, dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0.20. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.20 rupiah per kilogram, dan sebaliknya, jika terjadi penurunan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan penurunan harga riil kedelai di tingkat

produsen sebesar 0.20 rupiah per kilogram, cateris paribus, dan sebaliknya. Pada

umumnya produsen/petani akan menanam kedelai jika harga jual di tahun sebelumnya baik, demikian sebaliknya.