• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampai saat ini, penelitian mengenai propolis lebih banyak dilakukan terhadap propolis yang dihasilkan lebah madu Apis mellifera. Adapun kajian terhadap propolis dari lebah madu Trigona spp. yang merupakan lebah madu tidak bersengat (stingless bee) masih jarang dikaji lebih lanjut. Padahal berdasarkan penelitian terdahulu, potensi propolis dari lebah madu tidak bersengat memiliki bioaktifitas dan ketersediaan yang lebih baik. Kajian pada penelitian ini berupaya menjelaskan profil propolis yang dihasilkan dari beberapa daerah di Indonesia. Sampel propolis diperoleh dari Kabupaten Luwu (Sulawesi Selatan), Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Lombok (Nusa Tenggara Barat) dan Ciamis (Jawa Barat).

Tabel 4 Iklim dan vegetasi daerah asal propolis Trigona spp.

Daerah Tipe Iklim Vegetasi

1 Desa Sepantai Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas Kalimantan Barat Curah Hujan 3.000 mm/tahun Ketinggian 70 m (dpl) Suhu 21,4°C - 33,3°C Iklim curah hujan dan kelembaban yang tinggi

Putri malu, Salak, Medang, Cempedak, Damar, Akasia, Rotan

2 Desa Cieurih Kec.Cipaku Kabupaten Ciamis Jawa Barat Curah Hujan 2.987 mm/tahun Ketinggian 562 m Suhu 20°C - 30°C Iklim curah hujan yang cenderung tinggi Mangga, Jeruk Singkong Pahit, Waluh, Nangka, Pepaya, Pinus, Mahoni, 3 Desa Radda, Kecamatan Baebunta Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan

Curah Hujan 2.000 mm/tahun

Ketinggian 197 m Suhu 25°C – 31,6°C Iklim kering, kelembaban rendah, suhu relatif lebih tinggi Mangga, Jeruk, Singkong Pahit, Nangka, Durian, Dadap, Damar, Uru, Mahoni, Rengas 4 Desa Lendang Nangka Utara

Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok Timur NTB

Curah Hujan 1882 mm/tahun Ketinggian 206 m

Suhu 20°C-33°C

Iklim kering, kelembaban rendah, suhu relatif lebih tinggi Mangga, Jeruk, Singkong pahit, Nangka, Pepaya, Cempedak, Johar, Mete

27 Iklim dan Vegetasi Daerah Asal Propolis

Propolis dikumpulkan lebah dari resin berbagai macam bagian tanaman. Oleh karena itu komposisi kimiawi resin sangat tergantung pada jenis tanaman yang dijadikan asal resin tersebut. Lingkungan yang berbeda dengan jenis vegetasi yang berbeda secara tidak langsung memberikan kandungan kimiawi propolis yang berbeda pula (Bankova 2009). Perbedaan musim pada suatu tempat umumnya tidak menyebabkan perbedaan kandungan kimiawi propolis. Musim yang berbeda hanya menyebabkan perbedaan kuantitas zat kimia yang ada dalam propolis (Bankova et al. 1998). Menurut Valencia et al. (2007) perubahan musim hanya mengakibatkan perbedaan jumlah propolis yang dapat dipanen.

Iklim dan vegetasi daerah asal Trigona spp. disajikan pada Tabel 4. Iklim daerah-daerah ini memungkinkan berbagai macam tumbuhan dapat hidup di dalamnya. Hal tersebut yang kemudian menjadi awal pembentukan vegetasi yang unik bagi lebah Trigona spp. Vegetasi seperti inilah yang menyediakan bahan-bahan untuk pembentukan propolis sarang lebah. Informasi mengenai iklim dan vegetasi diperlukan untuk dapat menjelaskan karakteristik propolis dari daerah yang berbeda.

Analisis Fingerprint Propolis (FTIR)

FTIR merupakan perangkat yang digunakan dalam penentuan sidik jari metabolik/metabolic fingerprinting. Pengujian FTIR untuk memperoleh informasi profil komposisi kimia dilakukan pada sampel propolis dari Jawa Barat, NTB, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. FTIR mengukur vibrasi dari ikatan antara gugus fungsi dan menghasilkan spektrum yang dapat dianggap sebagai sidik jari metabolik (metabolic fingerprint). Data spektrum FTIR yang digunakan berada pada kisaran bilangan gelombang 3996.21 sampai 399.24 cm-1

Gambar 6 menunjukkan spektrum IR sampel propolis dari empat daerah berbeda dan propolis komersial, dengan ulangan pengukuran sebanyak lima kali untuk setiap daerah. Hasil spektrum yang diperoleh dari keseluruhan sampel memiliki kemiripan dan berbeda hanya pada nilai kuantitatif serapan spektrumnya masing-masing. Secara visual, tidak ada perbedaan yang signifikan pada karakteristik pita penyerapan tetapi intensitas panjang gelombang tertentu berbeda

. Berdasarkan hasil analisis FTIR, pola spektrum tersebut ditampilkan pada Gambar 6.

28

satu sama lain. Perbedaan spektrum IR dari masing-masing daerah tidak dapat terlihat dengan jelas. Spektrum tersebut menyimpan informasi kuantitatif komposisi total dari suatu sampel.

Marcucci (1995) melaporkan bahwa senyawa umum utama yang terdapat dalam propolis meliputi asam fenolat atau esternya (caffeic acid phenylethyl

ester/CAPE), flavonoid (flavon, flavanon, flavonol, dihiroflavonol dan kalkon),

terpen, aldehid dan alkohol aromatik, asam lemak, stilbena dan b-steroid. Disamping itu juga ditemukan asam alifatik dan esternya, asam aromatik dan esternya, dan asam amino. Asam amino yang terdapat dalam propolis yaitu arginin dan prolin tergolong yang terbanyak (Bankova 2009). Schulz & Baranska (2007) mengidentifikasi propolis berdasarkan analisis FTIR terhadap keberadaan senyawa lipid (2910 – 2845 cm-1), monoterpena (1592, 1114, 1022, 972 cm-1), sesquiterpena (1472 cm-1), and sukrosa (1122 cm-1).

Gambar 6 Spektrum FTIR

Analisis FTIR menjadi metode yang efektif dalam menentukan keberadaan berbagai gugus fungsional dari suatu senyawa atau molekul (Joshi 2012). Identifikasi adanya gugus fungsi tersebut ditafsirkan berdasarkan area spektrum infra red atau infra red chart pada Lampiran 13. Penafsiran spektrum FTIR ekstrak propolis memperlihatkan senyawa fenol atau esternya pada serapan ikatan O-H pada 3307-3368 cm-1, ikatan C-O pada 2879 cm-1 dan ikatan C-H aromatik

O-H N-H C-H C-H C=C C=O C-C N-O C-H C-N C-O O-H N-H C-H

29 3100–3000 cm-1. Adanya pergeseran serapan ke daerah 3000 cm-1 menunjukkan senyawa mempunyai gugus karboksilat karena ada korelasi gugus C=O dengan gugus O-H. Adapun adanya senyawa flavonoid ditandai dengan adanya gugus karbonil (C=O) yang memberikan serapan kuat pada 1651-1659 cm-1 dan di puncak sempit dan tajam pada 2972, 2933, 2879 cm-1, yang juga menunjukkan adanya C-H dan C-H aromatik serta didukung dengan ikatan O-H pada 3500– 3200 cm-1, ikatan C-O pada 1320–1000 cm-1 dan serapan di daerah 1500-1600 cm-1 menunjukkan adanya regang C=C aromatik. Disamping itu ketersediaan senyawa dengan ikatan C=C dengan serapan lemah yang terlihat pada 1651-1659 cm-1, ikatan C-O pada 1320–1000 cm-1 mengindikasikan adanya senyawa terpen. Sampel ekstrak propolis juga memperlihatkan ikatan N–O simetris dan C-N pada 1334-1290 cm-1 serta N-H pada 3400–3250 cm-1 yang menunjukkan adanya asam amino serta amina aromatis. Selain itu ikatan C-O dan O-H pada 1200-1000 cm-1 mengarahkan pada keberadaan asam lemak, stilbena, b-steroid dan gugus asam karboksilat. Serapan di daerah 1100-1300 cm-1 menunjukkan adanya uluran C-C-C Yang berarti senyawa mengandung gugus C=O keton. Serapan di daerah 1500-1600 cm-1 menunjukkan adanya regang C=C aromatik. Vibrasi Asil CH2 and CH3 dari asam lemak pada 3050–2800 cm-1, polisakarida (C–O and vibrasi cincin) pada 1090 cm-1

Spektrum FTIR sangat kompleks, mengandung banyak variabel setiap sampelnya sehingga analisis secara visual menjadi sulit. Data keluaran FTIR berupa persen transmisi dan bilangan gelombang umumnya berupa matriks data berukuran besar. Selain itu, perbedaan intensitas dan karakteristik serapan konstituen tidak dapat teramati, informasi ini hanya dapat diamati oleh analisis multivariat/teknik kemometrik yaitu PCA dan PLS. Metode ini dapat mengungkap kemiripan pola antar sampel propolis, menyederhanakan dimensi sampel dan

.

Penafsiran spektrum FTIR mengenai keberadaan senyawa berdasarkan identifikasi gugus fungsi tersebut belum dapat dipastikan. Konfirmasi keberadaan senyawa seperti fenol dan flavonoid yang berperan terhadap kemampuan antioksidan propolis dapat diketahui melalui analisis total fenol, total flavonoid yang dikorelasikan dengan aktivitas antioksidannya. Adanya korelasi dengan aktivitas antioksidan mengindikasikan senyawa fenol dan flavonoid tersebut.

30

menghasilkan interpretasi yang sesuai tanpa kehilangan informasi yang penting terkait komposisi kimia propolis.

Aktivitas Antioksidan DPPH

Aktivitas antioksidan didefinisikan sebagai kemampuan suatu senyawa untuk menghambat degradasi oksidatif seperti peroksidasi lipid (Akoh & Min, 2002). Oksidasi adalah proses yang sangat kompleks dengan mekanisme yang berbeda. Dengan demikian, tidak ada metode tunggal yang secara tepat dapat mengevaluasi kapasitas antioksidan. Propolis diketahui memiliki aktifitas antioksidan potensial yang tinggi. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan suatu sampel maka metode DPPH adalah metode yang mudah, cepat dan sensitif.

DPPH, sebuah radikal bebas stabil, sering digunakan untuk mengukur aktivitas penangkapan (scavenging) radikal bebas dari suatu sampel. Penangkapan (scavenging) radikal bebas adalah salah satu mekanisme yang diketahui pada antioksidan dalam menghambat oksidasi lipid (Yu 2008). Pico (2012) mengemukakan bahwa DPPH telah banyak digunakan untuk menguji aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap berbagai macam sampel. Adapun menurut Heim et al. (2002) kemampuan penangkapan radikal bebas DPPH oleh antioksidan ditunjukkan oleh adanya hidrogen yang diberikan ke radikal bebas. DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan mengalami perubahan warna dari jingga ke kuning, intensitas warna tergantung kemampuan dari antioksidan (Pico 2012). Semua sampel propolis menunjukkan aktivitas penangkapan radikal bebas sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5 IC50 Asal Propolis

sampel ekstrak propolis ke empat wilayah dan sampel referensi IC50 (µg/ml)

Ciamis (Jawa Barat) 0,87 ± 0,14 a

Lombok (NTB) 2,90 ± 0,55

Luwu (Sulawesi Selatan)

c

1,76 ± 0,35 Sambas (Kalimantan Barat)

b 0,54 ± 0,06 Propolis Komersial a 0,19 ± 0,07 Troloks d 501,97 ± 141,13 Vitamin C e 6873,87 ± 1309,93 f Pada Tabel 5, hasil analisis aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode DPPH menunjukkan variasi dalam setiap pengujian. Sampel ekstrak

31 propolis dengan aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH tinggi ditunjukkan dengan nilai IC50 (konsentrasi yang diperlukan untuk menangkap 50% radikal bebas) yang rendah. Propolis dengan aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH tinggi ditunjukkan dengan nilai IC50 yang rendah. Peningkatan konsentrasi sampel hasil dalam peningkatan aktivitas penangkapan pada berbagai konsentrasi sampel dibandingkan dengan sampel referensi (Vitamin C dan Troloks) yang digunakan sebagai kontrol positif. Konsentrasi ekstrak propolis yang rendah untuk penangkapan radikal DPPH menunjukkan bahwa sampel propolis efektif sebagai penangkap radikal bebas.

Berdasarkan Tabel 5, evaluasi terhadap aktivitas scavenging radikal bebas propolis diketahui bahwa propolis dari Kalimantan Barat menangkap radikal bebas lebih efisien daripada propolis dari daerah lainnya. Nilai IC50 propolis Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan NTB adalah masing-masing 0,54, 0,87, 1,76 dan 2,90 µg/mL. Konsentrasi ekstrak propolis yang rendah untuk penangkapan radikal DPPH menunjukkan bahwa sampel propolis efektif sebagai penangkap radikal bebas.

Konsentrasi penghambatan 50% (IC50) tertinggi yang diperoleh propolis Kalimantan Barat tidak berbeda nyata dengan propolis Jawa Barat. Nilai IC50 yang rendah menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi untuk kedua ekstrak propolis ini. Nilai IC50 propolis Kalimantan Barat adalah 0,54 µg/mL sedangkan Jawa Barat 0,87 µg/mL. Dibandingkan dengan propolis komersial, nilai IC50

Nilai IC

propolis dari ke empat wilayah lebih rendah daripada propolis komersial. Hal ini kemungkinan dipengaruhi asal propolis komersial, cara ekstraksi dan juga konsentrasi propolis pada produk komersial tersebut. Propolis komersial yang dianalisis merupakan produk propolis impor yang diperoleh dari lebah madu Apis. Selain itu, ekstrak propolis dari ke empat wilayah menggunakan metode Mahani (2012) yang berbeda dengan propolis komersial.

50 propolis dari beberapa wilayah tersebut secara signifikan lebih rendah dari trolox dan vitamin C. Dengan demikian sampel ekstrak propolis dari keempat wilayah tersebut memiliki kemampuan antioksidan yang baik. Urutan konsentrasi penghambatan 50% dari yang paling kecil hingga yang paling besar sebagai berikut yaitu propolis Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan,

32

NTB. Perbedaan hasil analisis aktivitas antioksidan DPPH menunjukkan adanya perbedaan aktivitas senyawa yang terkandung di dalam propolis. Perbedaan aktivitas ini diduga karena adanya perbedaan kandungan senyawa flavonoid ataupun fenolik yang berfungsi sebagai antioksidan pada propolis maupun kandungan senyawa lain yang juga dapat berfungsi sebagai antioksidan.

Aktivitas penangkapan radikal bebas yang ditunjukkan oleh nilai IC50

Analisis PCA

ditandai dengan keberadaan gugus yang berperan sebagai donor elektron (Thirugnanasampandan 2012). Senyawa golongan fenolik dan turunannya seperti golongan flavonoid merupakan golongan senyawa yang memiliki kemampuan dalam menangkap radikal bebas dengan cara mendonorkan elektron untuk menstabilkan radikal bebas (Vermerris & Nicholson 2006). Golongan fenol dan flavonoid memiliki spektrum keberagaman yang luas yang dibedakan berdasarkan gugus fungsi yang menyertainya.

Perbedaan gugus fungsi pada golongan flavonoid sangat mungkin menyebabkan perbedaan aktivitas antioksidannya. Sehingga disamping perbedaan jumlah fenol dan flavonoid, perbedaaan komposisi penyusun fenolik dan flavonoid juga berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Berkaitan dengan adanya perbedaan aktifitas antioksidan propolis maka dapat dikatakan bahwa komposisi kimia propolis dipengaruhi tidak hanya berdasarkan atas lokasi asal propolis, tetapi juga berhubungan dengan sifat antioksidan propolis tersebut.

Penggunaan spektrum FTIR sebagai alat bantu untuk penentuan struktur molekul suatu senyawa kimia biasanya terbatas hanya melibatkan informasi serapan pada daerah tertentu saja sebagai tanda pengenal gugus fungsi tertentu. Pemanfaatan ini membatasi informasi lain yang dimiliki oleh suatu spektrum IR, terlebih lagi bila spektrum tersebut merupakan spektrum yang bersifat multidimensi. Spektrum multidimensi mengandung informasi kuantitatif yang dapat menggambarkan ciri khas suatu objek pengamatan. Informasi ini tidak dapat diamati dengan melihat pola serapan spektrum propolis saja.

Untuk mendapatkan informasi perbedaan dari sampel propolis tersebut membutuhkan alat bantu analisis multivariat berupa teknik ekstraksi pola spektrum atau teknik kemometrik. Teknik kemometrik yang digunakan untuk

33 mengenali pengelompokan pola spektrum propolis dari keempat wilayah dilakukan dengan menggunakan PCA. PCA menyederhanakan variabel-variabel yang dimiliki oleh spektrum menjadi beberapa variabel utama saja. Tahapan ini menyebabkan sampel propolis terkelompokkan berdasarkan korelasi informasi variabel yang dimiliki dalam kelompok.

Teknik PCA dapat mengurangi dimensi dari data awal, yaitu dari ribuan dimensi (sebanyak jumlah bilangan gelombang spektrum IR) menjadi hanya beberapa dimensi saja. Proyeksi sampel terhadap beberapa variabel baru ini ditunjukkan pada score plot. Score plot untuk dua komponen utama (Principal

Component/PC) pertama biasanya paling berguna dalam analisis karena keduanya

mengandung banyak variasi dalam data. Sampel propolis yang mirip satu sama lain akan memiliki plot yang berdekatan (Esbensen, 2004).

Analisis PCA dilakukan dengan melibatkan 1876 titik. Ada beberapa sampel terlihat sangat terpisah dari kelompoknya dan program The Unscrambler

X 10.2 mengidentifikasinya sebagai pencilan. Pencilan ini dapat disebabkan oleh

adanya galat pengukuran, sampel dari kategori lain, atau kesalahan instrumental (Esbensen 2004). Berdasarkan perhitungan, penghilangan pencilan tidak mampu memperbaiki pengelompokan sampel berdasarkan wilayahnya sehingga pencilan tetap diikutkan dalam pengolahan selanjutnya. Score plot dan loading plot PCA ditampilkan pada Gambar 7.

Berdasarkan Gambar 7, ekstrak propolis dapat dikelompokkan dengan baik menggunakan PCA berdasarkan asal daerahnya. Adapun Gambar 7a menunjukkan score plot dari ke 25 spektrum IR sampel propolis dari empat daerah berbeda dan propolis komersial. Pengelompokan propolis diperlihatkan pada score plot dua dimensi. Gambar 7a memperlihatkan bahwa score plot dua PC pertama dari data spektrum FTIR mampu menjelaskan 99% dari variansi total (PC1 = 87%, PC2 = 12%). Plot ini memperlihatkan pola yang terdapat pada spektrum FTIR, semakin dekat plot masing-masing sampel, maka semakin besar kemiripan di antara spektrum FTIR sampel tersebut. Sampel yang mirip satu sama lain akan memiliki plot yang berdekatan. Pengelompokan diperoleh berdasarkan daerah asal sampel ekstrak propolis. Pengelompokan terlihat jelas dari saling berdekatannya sampel yang berasal dari satu daerah.

34

a. Score plot PCA

b. Loading plot PCA kelompok 1

c. Loading plot PCA kelompok 2 Gambar 7 Score plot dan loading plot PCA

C-H O-H C-H N-H I II C=C C=O C-N O-H C-H C-H C-N C-O N-O O-H N-H

35 Berkelompoknya plot sampel propolis menunjukkan bahwa komposisi kimia propolis tersebut yang direfleksikan oleh spektrum FTIR pada kelompok yang sama memiliki ciri yang mirip satu sama lain. Propolis dari Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan propolis komersial cenderung menjadi satu kelompok (kelompok 1), dengan demikian komposisi kimia propolis dari dari wilayah tersebut memiliki kemiripan. Di lain pihak, propolis dari NTB terpisah menjadi satu kelompok lain (kelompok 2) yang berarti komposisi kimia yang dimilikinya berbeda dengan kelompok 1. Berdasarkan hal ini maka dapat diasumsikan bahwa komposisi kimia propolis bervariasi sesuai asal daerahnya.

Tabel 6 Daerah serapan gugus fungsi dominan kelompok 1 dan kelompok 2 pada analisis PCA

Frekuensi cm-1 Ikatan Kelompok 1 Kelompok 2

3500 – 3200 O-H, H √ 3400 – 3250 N-H √ 3000 – 2850 C-H √ 1810 – 1640 C=O √ 1680 – 1600 C=C √ 1550 – 1475 N-O √ 1500 – 1400 C-C aromatik √ 1470 – 1450 C-H √ 1360 –1290 N–O √ 1335 –1250 C–N √ 1320 –1000 C–O √ 1300 –1150 C–H √ 1250 –1020 C–N √ 950 – 910 O–H √ √ 910 – 665 N–H √

Berdasarkan loading plot (Gambar 7), maka diperkirakan gugus fungsi yang berpengaruh pada terjadinya pengelompokan disebabkan gugus fungsi C=O, C-O, C-H aromatik yang dominan pada kelompok 1 mengindikasikan senyawa fenolik dan flavonoid, sedangkan pada NTB (kelompok 2) yang mendominasi adalah gugus O-H, C-O dan C=C yang diduga merupakan senyawa asam lemak,

36

dan adanya gugus C-N, N-H serta N-O yang menandakan senyawa asam amino. Penafsiran terhadap daerah gugus fungsi tersebut disajikan pada Tabel 6.

Kondisi pengelompokan ini dapat terjadi sebagai hasil identifikasi PCA terhadap variasi komposisi kimia propolis yang dapat disebabkan adanya perbedaan komposisi kimia dari propolis. Meskipun demikian analisis PCA juga mempertimbangkan fakta bahwa propolis diketahui merupakan sumber senyawa fenol seperti asam fenolat dan flavonoid. Senyawa fenol secara umum terdapat pada sebagian besar tumbuhan dan berpengaruh terhadap komposisi kimia propolis. Komposisi yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh keragaman iklim dan vegetasi Trigona spp. sebagai bahan penyusun propolis (Tabel 4).

Bahan utama propolis adalah resin yang umumnya terdapat pada tumbuhan. Lebah madu mengumpulkan resin tersebut terutama dari bunga dan pucuk daun, kemudian mengolahnya dengan bantuan enzim untuk membentuk propolis. Semakin banyak sumber resin, yang ditandai dengan banyaknya ragam vegetasi, maka semakin banyak dan beragam komponen kimiawi propolis tersebut. Hal ini yang menentukan diperolehnya propolis dengan aktivitas antioksidan yang baik. Tabel 4 memperlihatkan bahwa daerah seperti Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan memiliki iklim dengan curah hujan yang lebih tinggi dibanding daerah Nusa Tenggaara Barat. Iklim seperti ini menyebabkan kemungkinan beragam dan banyaknya vegetasi yang dapat tumbuh di daerah tersebut sehingga mempermudah lebah madu dalam mengumpulkan bahan resin untuk membentuk propolis. Dibandingkan dengan daerah NTB yang curah hujan rendah sehingga vegetasi pun menjadi lebih sedikit. Hal ini kemungkinan menjadikan komposisi kimia propolisnya yang berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya juga menjadi rendah. Ahn et al. (2007), Mohammadzadeh et al. (2007) dan Da Silva (2006) mengungkapkan bahwa komposisi propolis berkaitan dengan iklim dan vegetasi dari daerah asalnya. Perbedaan goegrafis ini menyebabkan propolis dari Eropa, Amerika Selatan dan Asia memiliki komposisi yang berlainan (Marcucci 1995 & Kumazawa et al. 2004). Propolis dari Eropa dan Asia mengandung banyak senyawa flavonoid and asam fenolat (Bankova et al. 2000 & Thirugnanasampandan et al. 2012). Sebaliknya, komponen pada propolis dari Brasil terutama terpenoid dan turunan

37 asam kumarat (Marcucci & Bankova 1999). Oleh karena komposisi kimia tersebut berbeda maka bioaktifitas propolisnya juga berbeda sesuai asal daerahnya.

Analisis PLS

Pendugaan keterkaitan antara spektrum FTIR ekstrak propolis dan aktivitas antioksidan memerlukan metode pemodelan lain, yaitu PLS. Bila PCA mengekstrak informasi spektrum secara keseluruhan maka PLS mengekstrak informasi spektrum yang relevan dengan suatu karakter kimia tertentu yang dibutuhkan, yang dalam hal ini adalah aktifitas antioksidannya.

Metode PLS digunakan untuk menemukan hubungan antara matriks X (penduga) dan Y (respons) untuk membuat prediksi Y di dalam fungsi X (Esbensen 2004). Matriks X mengandung data yang dihasilkan dari pengukuran contoh dengan FTIR dan matriks Y mengandung data dari pengukuran dengan FTIR dan aktifitas antioksidan metode DPPH. Dalam hal ini, nilai serapan digunakan sebagai variabel x (penduga/prediktor) dan aktivitas antioksidannya sebagai variabel y (respons).

Pemodelan analisis PLS dilakukan dengan mengunakan peranti lunak The

Unscrambler versi X 10.2 dengan memanfaatkan sarana regresi multivariat PLS. Score plot dan loading plot PLS disajikan pada Gambar 8. Analisis PLS untuk

propolis dilakukan dengan teknik PLS-1 karena hanya melibatkan satu komponen respons dari spektrum yaitu aktifitas antioksidan propolis.

Gambar 8 memperlihatkan score plot PLS dari data spektrum FTIR. Kelompok-kelompok ekstrak propolis melalui PC 1 dan PC 2 memperlihatkan adanya pemisahan ekstrak propolis, yang bila dihubungkan dengan aktivitas antioksidannya terdapat dua kelompok besar yaitu kelompok ekstrak yang bersifat aktif dan kelompok yang bersifat kurang aktif. Berdasarkan Gambar 8 dapat disimpulkan bahwa berkelompoknya plot sampel propolis menunjukkan bahwa kemampuan antioksidan propolis tersebut yang direfleksikan oleh spektrum inframerah memiliki ciri yang mirip satu sama lain. Gambar 8 menunjukkan propolis Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan propolis komersial berada pada satu kelompok (kelompok 1), sedangkan propolis NTB terpisah (kelompok 2).

38

a Score plot PLS

b. Loading plot PLS kelompoks 1

c. Loading plot PLS kelompok 2 Gambar 8 Score plot dan loading plot PLS

I II O-H N-H C-H C-H C=C C=O O-H C-H aromatik C=C C=O C-H C-N C-O O-H N-H N-O

39 Propolis NTB memperlihatkan aktifitas antioksidan yang rendah, sedangkan propolis Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan propolis komersial memiliki aktifitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan NTB. Pengelompokan propolis Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan propolis komersial juga membuktikan bahwa komposisi kimia yang berkorelasi dengan aktifitas antioksidan dari keempat jenis sampel tersebut tidak berbeda jauh. Oleh karena itu, perbedaan propolis masing-masing daerah berdasarkan aktifitas antioksidannya dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan asal tanamannya, hal ini memperkuat sebagaimana yang dilaporkan oleh Ahn et al. (2007).

Tabel 7 Daerah serapan gugus fungsi dominan kelompok 1 dan kelompok 2 pada analisis PLS

Frekuensi cm-1 Ikatan Kelompok 1 Kelompok 2

3500 – 3200 O-H, H √ 3400 – 3250 N-H √ 3000 – 2850 C-H √ 1810 – 1640 C=O √ 1680 – 1600 C=C √ 1550 – 1475 N-O √ 1500 – 1400 C-C aromatik √ 1470 – 1450 C-H √

1360 –1290 N–O regangan simetris √

1335 –1250 C–N √ 1320 –1000 C–O 1300 –1150 C–H √ 1250 –1020 C–N √ 950 – 910 O–H √ √ 910 – 665 N–H √

Berdasarkan loading plot pada Gambar 8 maka sumbangan konstituen yang berperan besar pada pengelompokan ini diduga berasal dari gugus O-H, C-H, C=O, C=C, C-H aromatik yang kemungkinan berasal dari senyawa fenol dan flavonoid propolis. Gugus fungsi tersebut dominan terdapat pada kelompok 1.

40

Adapun kelompok 2, senyawa yang mempengaruhi kemampuan antioksidannya ditunjukkan oleh gugus fungsi N-H, C-N, C=C, C-H alifatik, C=O yang menandakan kemungkinan adanya senyawa terpen, asam lemak dan juga asam amino. Secara umum, antioksidan mempunyai struktur inti yang sama, yaitu cincin benzen tidak jenuh disertai gugus hidroksil (-OH), asam amino (-NH2), ataupun hidrogen (-H). Gugus-gugus inilah yang bertugas untuk berikatan dengan radikal bebas sehingga menghasilkan komponen yang tidak reaktif lagi (Winarno 1992). Perbedaan komposisi yang mempengaruhi aktifitas antioksidan propolis kemungkinan dipengaruhi oleh keragaman iklim dan vegetasi Trigona spp. (Tabel 4). Penafsiran terhadap daerah serapan gugus fungsi pada analisis PLS ditampilkan pada Tabel 7.

Beberapa penelitian membuktikan penerapan FTIR dan analisis multivariat dapat digunakan untuk pengklasifikasian sampel serta hubungannya terhadap bioaktifitasnya ( (Joshi 2012). Berdasarkan PLS maka diketahui adanya pengaruh dari gugus fungsi dari senyawa tertentu terhadap terjadinya pengelompokkan tersebut. Untuk menerangkan signifikansi pengaruh tersebut maka dapat diperoleh dengan mengetahui koefisien regresi dan x-loading weight yang telah memperhitungan keterlibatan semua komponen secara komprehensif.

Koefisien regresi adalah koefisien numerik yang menyatakan hubungan antara variasi dalam spektrum FTIR (prediktor) dan variasi dalam (aktivitas

Dokumen terkait