• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dosimetri Sinar Gamma 0.75 kGy

Dosis serap dapat diukur dengan mengendalikan waktu iradiasi yang dilakukan dengan penentuan cycle time, melalui alat pengatur waktu elektrik. Akurasi alat tersebut dikalibrasi setiap kurun waktu tertentu. Dalam proses dosimetri digunakan dosimeter untuk mengukur radiasi dan disisipkan diantara produk untuk memastikan dosis radiasi yang telah diterima produk sesuai dengan target. Sistem dosimetri yang menggunakan film dosimeter jenis Radiochromic

Dye dipakai untuk mengukur dan menentukan dosis serap pada produk. Sebagai

alat pembaca film dosimeter, digunakan spektrofotometer jenis Genesys 20 yang juga dikalibrasi setiap kurun waktu tertentu. Dosimetri sinar gamma terhadap mangga pada penelitian ini dilakukan di PT. Rel-Ion Sterilization Services. Sistem dosimetri ini telah dikalibrasi oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).

Pada proses dosimetri, mangga dalam karton ukuran 3 kg dimasukkan dalam tote. Tote diisi 2 karton sesuai dengan loading-pattern (Gambar 13). Produk (mangga dalam karton) mengisi 3.8% volume tote dengan tinggi karton 80 mm (tinggi tote 900 mm). Pada proses dosimetri dilakukan pemetaan distribusi dosis untuk menentukan dosis serap minimum dan maksimum sinar gamma yang akan diterima produk (9 titik).

Berdasarkan validasi dose mapping, lokasi dosis serap minimum adalah pada posisi T5 dan B7 dari konfigurasi produk dengan dosis serap sebesar 0.4 kGy. Sedangkan lokasi dosis serap maksimum adalah pada posisi M6 dengan dosis serap sebesar 0.7 kGy. Dari hasil validasi tersebut, alat dosimeter akan ditempatkan pada lokasi M6 dan T5. B7 untuk dosis maksimum dan minimum secara berurutan. Sistem dosimetri selanjutnya dilakukan kalibrasi terhadap dosis iradiasi yang digunakan. Dalam pelaksanaannya pada buah mangga digunakan dosis 0.75 kGy pada 9 (sembilan) titik dosimeter dengan konfigurasi yang digambarkan Gambar 13.

Uji Mortalitas Lalat Buah B. papayae

Pemberian dosis awal iradiasi dilakukan dengan tujuan mengetahui respon mortalitas lalat buah B. papayae. Penentuan besarnya dosis awal yang akan diberikan adalah 0.75 kGy berdasarkan berbagai referensi. Menurut Spalding et

al., (1988) berpendapat bahwa iradiasi sinar gamma (dosis 0.75 dan 1 kGy)

mengurangi serangan antraknos dalam pepaya. Keganasan antraknos pada mangga Keitt dengan iradiasi gamma pada dosis 0.5 kGy dan untuk stem end rot dosis 0.75 kGy.

Uji mortalitas bertujuan untuk mengetahui ketahanan panas lalat buah pada fase telur, sehingga dapat digunakan sebagai pemodelan dalam sistem karantina. Oleh karena itu infestasi buatan B. papayae pada buah mangga gedong dilakukan untuk mengetahui mortalitas lalat buah yang terdapat pada jaringan buah terhadap dosis awal yang akan diberikan. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 4 uji mortalitas B. papayae terhadap dosis awal yang diberikan sebesar 0.75 kGy mencapai 100%. Perlakuan kontrol juga dilakukan untuk mengetahui mortalitas B.

Tabel 5 Hasil pengamatan B. papayae yang hidup terhadap dosis 0.75 kGy

Perlakuan Ulangan Kondisi larva Mortalitas

(%) Jumlah telur (butir) Hidup Mati Iradiasi 0.75kGy 1 100 0 100 100 2 100 0 100 100 3 100 0 100 100 4 100 0 100 100 Jumlah 400 0 400 100 Rata-rata 100 0 100 100 Kontrol (Tanpa iradiasi) 1 100 68 12 12 2 100 72 28 28 3 100 80 20 20 4 100 78 22 22 Jumlah 400 298 102 25.5 Rata-rata 100 74.50 25.5 25.5

Menurut Urbain (1986) menyatakan bahwa penggunaan dosis irradiasi antara 0.1-1 kGy yang merupakan dosis rendah dapat digunakan untuk menunda kematangan dan senescene, disinfestasi hama serangga, dan menambah kualitas produk. Disinfestasi telur dan larva seranga pada biji-bijian dan buah-buahan juga dapat dilakukan untuk dosis dibawah 1-3 kGy. Iradiasi pangan juga dapat diterapkan sebagai perlakuan karantina untuk mencegah perkembangan lalat buah. Dosis antara 1-3 kGy sudah terbukti dapat membunuh hama serangga (Jongen, 2005).

Yahia (2006) mengemukakan bahwa iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah (0.15-1.0 kGy) digunakan sebagai salah satu metode disinfestasi lalat buah untuk beberapa buah seperti mangga, pepaya, pisang, timun, tomat dan beberapa buah yang lainnya. Iradiasi sebagai treatment yang telah disetujui sebagai cara untuk mengontrol serangga karantina pada 10 buah-buahan dan lima sayuran untuk ekspor dari Hawai ke beberapa kota di USA. Dosis 0.15kGy digunakan untuk disinfestasi lalat buah jenis tephritid. Sebaliknya dengan dosis 0.1 kGy, persetujuan untuk penggunaan perlakuan karantina untuk jenis lalat buah

Pengaruh Dosis Iradiasi pada Mangga Perkembangan larva Lalat Buah (Oriental fruit fly)

Setelah hasil uji mortalitas dengan dosis iradiasi 0.75 kGy diperoleh mortalitas lalat buah B. papayae mencapai 100%, maka tahapan selanjutnya adalah menguji lalat buah pada buah mangga yang dianggap sudah terinfestasi lalat buah sejak di lahan. Besarnya dosis yang diberikan adalah 0.25 kGy, 0.5 kGy, 0.75 kGy dan kontol sebagai pembanding.

Buah mangga gedong yang telah disortasi kemudian dikemas menggunakan kemasan kardus. Buah mangga tersebut kemudian diberi perlakuan untuk masing-masing dosis tertentu. Setelah diiradiasi kemudian disimpan pada suhu ruang (28ºC) untuk diamati perkembangan buah yang sudah terinfestasi dari lapang. Pengamatan dilakukan setiap 3 hari dengan mengambil sampel mangga sebanyak 3 buah setiap perlakuan lalu kemudian dilakukan insecting (pembelahan). Hasil perkembangan larva dari lalat buah yang menginfestasi buah mangga gedong dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Jumlah larva yang berkembang

Berdasarkan hasil pengamatan perkembangan larva yang diuji dengan beberapa dosis pada penyimpanan hari ke-3 dan hari ke-6 belum ada larva telur lalat buah yang terlihat, sedangkan pada hari ke-9 mulai terdeteksi larva lalat buah

0 5 10 15 20 25 3 6 9 12 15 18 21 24

Waktu penyimpanan (hari)

Ju

m

lah

lar

va

kontrol 0.25 kGy 0.5 kGy 0.75 kGy

pada tahap instar 2. Penyimpanan pada hari ke-9 terdeteksi larva lalat buah untuk perlakuan kontrol (tanpa iradiasi) dan pada dosis 0.5 kGy. Pada penyimpanan hari ke-12 ditemukan larva lalat buah pada buah mangga yang diberi perlakuan kontrol (tanpa iradiasi), 0.25 kGy, 0.5 kGy. Sampai pada penyimpanan hari ke-24 larva lalat buah terdeteksi untuk perlakuan ketiga tersebut. Sedangkan untuk perlakuan 0.75 kGy ditemukan larva lalat buah pada penyimpanan hari ke-21. Perkembangan telur menjadi larva ternyata belum mampu dicegah dengan pemberian dosis 0.75 kGy. Hal ini diduga bahwa lalat buah yang berkembang menjadi larva selama penyimpanan adalah lalat buah jenis selain B.papayae namun masih dalam satu spesies oriental fruit fly.

Dari hasil uji mortalitas pada dosis 0.75 kGy mampu membunuh lalat buah mencapai mortalitas 100%, namun ketika diterapkan pada buah yang dianggap sudah terinfestasi di lapang masih ditemukan larva yang berkembang pada hari ke-21 penyimpanan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dosis 0.75 kGy belum mampu membunuh lalat buah buah dengan mortalitas 100% selama penyimpanan.

Menurut Hallman (2007) menyatakan bahwa pemaparan dosis serap 0.6 kGy dapat mencegah pembentukan pada tahap pupa lalat buah dengan mortalitas sekitar 95% pada buah apel dan blueberry. Perlakuan iradiasi dapat mengggunakan dosis minimum sebesar 0.1 kGy untuk disinfestasi serangga. Limohpasmanee, et al (2005) mengemukakan efek iradiasi sinar gamma B.

dorsalis lebih resisten dibandingkan B. correcta dan pada tahap larva lebih

resisten jika dibandingkan pada tahap pupa. Pemberian dosis minimum iradiasi dapat mencegah pertumbuhan menjadi dewasa dengan tingkat 99.99% dengan dosis 1.07 kGy. Untuk menguatkan bahwa dosis iradiasi dapat mendukung keamanan karantina maka dilakukan uji 128 larva telah diiradiasi pada dosis 150 Gy dan menunjukkkan bahwa lalat buah pada tahap larva dan pupa tidak dapat berkembang kembali, dan mencapai mortalitas 99.99%. Iradiasi pada dosis 1 kGy menunjukkan tidak ada efek terhadap kulitas dari mangga seperti halnya pada penampakan dan rasanya.

Perubahan Mutu Buah Mangga Gedong Selama Penyimpanan

Pengamatan perubahan secara fisiologi dan kimiawi terhadap mangga gedong juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis iradiasi terhadap perubahan mutu pada masing-masing suhu penyimpanan.

Laju respirasi

Respirasi merupakan proses metabolisme utama pada produk hasil panen yang dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimia pada produk hasil panen. Laju respirasi dinyatakan dalam laju konsumsi O2 dan produksi CO2. Pada Gambar 15 disajikan laju konsumsi O2 mangga gedong pada beberapa suhu penyimpanan. Pada perlakuan buah yang diberi iradiasi 0.75 kGy mencapai fase klimakterik sebesar 7.00 ml/ kg-jam pada hari ke-11 untuk suhu penyimpanan 8ºC, buah mangga yang disimpan pada suhu 13ºC mengalami fase klimakterik sebesar 19.32 ml/ kg-jam pada hari ke-11, dan pada penyimpanan suhu 28ºC mengalami fase klimakterik sebesar 43.901 ml/ kg-jam pada hari ke-4. Setelah mengalami fase klimakterik laju konsumsi O2 mengalami penurunan hal ini dapat ditandai sebagai fase senescene sampai pada penyimpanan hari ke-21. Sedangkan perlakuan kontrol mencapai fase klimakterik sebesar 7.652 ml/ kg-jam pada hari ke-12 untuk suhu penyimpanan 8ºC, buah mangga yang disimpan pada suhu 13ºC mengalami fase klimakterik sebesar 15.722 ml/ kg-jam pada hari ke-11, dan pada penyimpanan suhu 28ºC mengalami fase klimakterik sebesar 57.009 ml/ kg-jam pada hari ke-2. Setelah mengalami fase klimakterik laju konsumsi O2 mengalami penurunan hal ini dapat ditandai sebagai fase senescene sampai pada penyimpanan hari ke-21.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian dosis memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi O2 selama penyimpanan kecuali pada hari ke-4. Suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi O2 pada hari penyimpanan selama penyimpanan. Sedangkan interaksi antara perlakuan pemberian dosis dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang n yata terhadap konsumsi O2 selama penyimpanan kecuali pada penyimpanan hari ke-6, ke-16, dan ke-17.

(a)

(b)

Gambar 15 Laju konsumsi O2 mangga gedong (a) iradiasi; (b) kontrol

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) diketahui bahwa mangga yang diberi perlakuan iradiasi memiliki laju konsumsi O2 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Pengaruh suhu penyimpanan memiliki pengaruh terhadap laju konsumsi O2.

Laju respirasi produk hortikultura juga ditunjukkan oleh aktivitas memproduksi CO2. Gambar 16 menampilkan grafik laju produksi CO2 mangga gedong selama 21 hari penyimpanan.

(a)

(b)

Gambar 16 Laju produksi CO2 mangga gedong

Pada Gambar 16 disajikan laju produksi CO2 mangga gedong pada beberapa suhu penyimpanan. Buah mangga yang diiradiasi 0.75 kGy mencapai fase klimakterik sebesar 7.060 ml/kg-jam pada hari ke-12 untuk suhu penyimpanan 8ºC, buah mangga yang disimpan pada suhu 13ºC mengalami fase klimakterik

sebesar 19.275 ml/kg-jam pada hari ke-11, dan pada penyimpanan suhu 28ºC mengalami fase klimakterik sebesar 43.614 ml/kg-jam pada hari ke-4. Setelah mengalami fase klimakterik produksi CO2 mengalami penurunan hal ini dapat ditandai sebagai fase senescene sampai pada penyimpanan hari ke-21. Untuk perlakuan kontrol mencapai fase klimakterik sebesar 7.845 ml/kg-jam pada hari ke-12 untuk suhu penyimpanan 8ºC, buah mangga yang disimpan pada suhu 13ºC mengalami fase klimakterik sebesar 15.618 ml/kg-jam pada hari ke-11, dan pada penyimpanan suhu 28ºC mengalami fase klimakterik sebesar 58.040 ml/kg-jam pada hari ke-2. Setelah mengalami fase klimakterik laju produksi CO2 mengalami penurunan hal ini dapat ditandai sebagai fase senescene sampai pada penyimpanan hari ke-21.

Hasil analisis sidik ragam dengan taraf 0.05 (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pemberian dosis memberikan pengaruh terhadap laju produksi CO2 selama penyimpanan kecuali pada hari penyimpanan ke-12. Sementara suhu memberikan pengaruh terhadap laju produksi CO2 selama waktu penyimpanan. Interaksi antara perlakuan pemberian dosis dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang terhadap laju produksi CO2 pada selama. Berdasarkan uji Duncan (Lampiran 18) nilai laju produksi CO2 untuk perlakuan yang disimpanpada suhu 28ºC memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Iradiasi pada buah juga menyebabkan membran sel rusak. Bagian membran sel menyangkut keutuhan di sekitar daging buah, dan beberapa komponen di dalam sel ini, bagian seluler ini sangat penting kaitannya dengan proses pematangan. Hal ini dikendalikan dari reaksi pelepasan phosphat anorganik (Pi) yang disimpan di vakuola. Phosphat ini dapat mengaktifkan phosphofructinase dan dapat meningkatkan pasokan subtrat untuk respirasi dalam mitokondria (Murray, D. 1990)

Dari pengamatan laju produksi CO2 dapat dilihat bahwa perlakuan iradiasi 0.75 kGy dapat menunda pematangan buah. Hal ini juga diungkapkan oleh Jongen (2005) bahwa iradiasi dengan dosis rendah (0.1-1 kGy) dapat menunda proses pematangan dan senescene pada buah mangga. Pada penyinaran iradiasi batas maksimal buah mangga Carabo adalah 0.6kGy bertahan sampai 10 hari. Cara ini menghasilkan umur ketahanan 40 dan 90 hari pada setiap masing-masing buah.

Ketahanan buah yang bervariasi tergantung dari jenis mangga yang diiradiasi (Surianti, 2010).

(a) (b)

(c)

Gambar 17 Penampakan buah mangga diiradiasi 0.75 kGy pada penyimpanan hari ke-12, (a) Suhu 8ºC; (b) Suhu 13ºC; dan (c) Suhu 28 ºC

(a) (b)

(c)

Gambar 18 Penampakan buah mangga tanpa diiradiasi (kontrol) pada penyimpanan hari ke-12, (a) Suhu 8ºC; (b) Suhu 13ºC; dan (c) Suhu 28 ºC

Urbain (1986) menyatakan bahwa mangga yang disimpan pada suhu 25ºC memiliki nilai laju respirasi yang hampir sama antara buah mangga yang diiradiasi 0.25 kGy maupun untuk buah mangga yang tidak diiradiasi. Pemberian dosis iradiasi 0.25 kGy mampu menunda proses pematangan sampai pada hari ke-7 penyimpanan pada penyimpanan suhu 25ºC.

Menurut Pantastico (1986), adanya kenaikan mendadak dari produksi CO2 dan setelah itu menurun menunjukkan bahwa terjadi klimakterik respirasi. Wills

et al., (1981) menerangkan bahwa penurunan produksi CO2 selama penyimpanan terjadi karena menurunnya konsentrasi adenosine diphospat (ADP) yang bertindak sebagai aseptor pospat dan rusaknya mitokondria sehingga konsentrasi

adenosine triphosphate (ATP) sebagai suplai energi dalam reaksi metabolik juga

menurun. Hasil penelitian pada mangga Alphonso dan Bangalora pada dosis 0.25-0.75 kGy dapat menekan laju produksi etilen (Urbain, 1986).

Kekerasan

Sifat fisik mangga gedong yang disimpan akan mempengaruhi kekerasannya. Kekerasan atau kelunakan suatu buah dapat berhubungan dengan tingkat kematangan atau tingkat kebusukan buah tersebut. Buah yang masih mentah mempunyai tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang masak. Prinsip kerja penetrometer adalah penetrasi jarum penetrometer ke dalam jaringan buah dengan tekanan tertentu selama waktu tertentu. Selama masuk ke dalam buah, jarum penetrometer akan bergesekan dengan jaringan buah. Semakin masak buah, maka semakin mudah jarum melewati jaringan buah.

Perubahan kekerasan mangga gedong yang disimpan pada masing-masing suhu yang berbeda semakin meningkat dengan semakin lama penyimpanan dan kenaikan terjadi lebih cepat pada suhu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan pada buah mangga berlangsung pada bagian pangkal buah. Kemudian disusul pada bagian tengah buah dan ujung buah. Nilai kekerasan buah menunjukkan kedalaman jarum yang ditusukkan ke dalam buah. Semakin dalam tusukan jarum ke dalam buah maka buah tersebut semakin lunak. Kekerasan tertinggi pada hari ke-0 adalah 4.94 mm/10 detik (kontrol dan suhu penyimpanan

13ºC) dan 4.99 mm/10 detik (iradiasi dan suhu penyimpanan 13ºC). Pada hari penyimpanan ke-24, nilai kekerasan tertinggi 18.957 mm/10 detik (iradiasi dan suhu penyimpanan 8 ºC).

Tabel 6 Nilai kekerasan selama penyimpanan Waktu

penyimpanan (hari)

Kekerasan ( mm/10detik)

Dosis 0.75 kGy kontrol

suhu

8⁰C 13suhu ⁰C 28suhu ⁰C suhu 8⁰C 13suhu ⁰C 28suhu ⁰C

0 5.20 4.99 5.02 5.02 4.94 5.04 3 9.08 10.87 16.21 12.33 7.98 15.91 6 9.42 14.50 15.41 13.24 12.81 14.89 9 12.67 15.42 17.71 13.93 13.65 17.80 12 14.74 15.88 17.54 14.40 13.40 * 15 15.35 16.04 19.05 15.83 19.66 * 18 15.88 17.94 * 18.94 * * 21 16.07 17.10 * 19.01 * * 24 18.96 20.02 * 20.05 * *

Hasil analisis sidik ragam dengan taraf 0.05 (Lampiran 4) menunjukkan bahwa pemberian dosis memberikan pengaruh terhadap kekerasan pada hari penyimpanan hari ke-12. Sementara suhu memberikan pengaruh terhadap kekerasan selama waktu penyimpanan ke-3, 6, 9 dan ke-15. Interaksi antara perlakuan pemberian dosis dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekerasan pada hari ke-3, dan 15. Berdasarkan uji Duncan (Lampiran 19) nilai kekerasan pada penyimpanan hari ke-3 untuk perlakuan kontrol yang disimpan pada suhu 13ºC memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Penyimpanan pada suhu 8ºC menunjukkan meningkatnya nilai kekerasan selama masa penyimpanan dengan ditandai mudahnya jarum penetrometer masuk kedalam jaringan buah. Buah mangga yang dijadikan kontrol mempunyai nilai kekerasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan buah yang diberi perlakuan iradiasi. Sama halnya dengan buah mangga yang disimpan pada suhu 8ºC, buah mangga yang disimpan pada suhu 13ºC mengalami peningkatan nilai kekerasan selama waktu penyimpanan. Buah mangga yang dijadikan kontrol hanya dapat diamati sampai hari ke-15. Hal ini dikarenakan buah sudah mulai busuk dan

terserang cendawan. Sedangkan buah yang diiradiasi dengan dosis 0.75 kGy masih dapat diamati sampai hari ke-24 untuk penyimpanan pada suhu 13ºC tersebut. Buah mangga yang disimpan pada suhu 28ºC juga mengalami peningkatan nilai kekerasan selama waktu penyimpanan. Buah yang disimpan pada suhu 28 ºC hanya dapat diamati sampai hari penyimpanan ke-15 untuk buah yang diberi perlakuan iradiasi dengan dosis 0.75 kGy. Sedangkan untuk kontrol hanya dapat diamati sampai pada penyimpanan hari ke-9. Buah mangga yang disimpan pada suhu 28ºC paling cepat mengalami kebusukan dibandingkan dengan buah mangga yang disimpan pada suhu 8ºC dan 13ºC. Hal ini menunjukkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap buah mangga tersebut.

Menurut Apandi (1984) perubahan tekstur yang terjadi pada buah yaitu dari keras menjadi lunak sebagai akibat terjadinya proses kelayuan akibat respirasi dan transpirasi. Proses kelayuan ini merupakan masa senescence atau penuaan yang disusul dengan kerusakan buah. Adanya proses respirasi dan transpirasi menyebabkan buah dan sayur kehilangan air akibat berkurangnya karbon dalam proses respirasi. Pada pematangan buah-buahan dan sayuran terjadi perubahan fisik dan kimia yang meliputi perubahan-perubahan turgor sel yang berperan pada pelunakan buah dengan menurunnya protopektin dan meningkatnya pektin; karbohidrat, yang tingkat perubahannya dibedakan antara buah-buahan dengan kandungan pati tinggi, buah-buahan dengan kandungan pati rendah, sayuran dengan kandungan pati tinggi, dan sayuran dengan kandungan pati rendah; gula sederhana yang meliputi glukosa, fruktosa, dan sukrosa; protein, yang pada pematangan berkaitan dengan proses respirasi, yang mana pencegahan sintesis protein dapat menghambat proses klimakterik; pigmen, terutama pada pigmen klorofil, antosianin dan karotenoid; senyawa lainnya seperti halnya a). turunan fenol, seperti tanin yang memberi rasa sepat pada buah. b). asam organik dan kaitannya dengan buah klimakterik dan non klimakterik.

Pada semua buah-buah yang sudah diteliti, iradiasi sinar gamma dapat mempercepat pelunakan secara kualitatif yang berbeda . Pelunakan ini terjadi selama proses pematangan buah. Hal ini disebabkan karena kerusakan dinding sel, pektin dan selulosa melalui metilesterasi pektin, poligalakturonasi dan selulosa. Iradiasi menyebabkan pecahnya ikatan glikosidik dalam beberapa polisakarida

dinding sel dalam jaringan buah. Dalam hal ini, perlakuan iradiasi menyebabkan proses pelunakan buah secara tidak teratur (Murray, D. 1990)

Suhu dingin sangat mempengaruhi perubahan nilai kekerasan buah. Semakin rendah suhu penyimpanan semakin lambat penurunan nilai kekerasan buah. Salah satu bentuk penilaian bahwa suatu produk pertanian masih layak simpan untuk dikonsumsi adalah ketika tekstur buah masih cukup keras. Pada penyimpanan dengan suhu ruang, buah cepat menjadi lunak. Penurunan tingkat kekerasan ini terjadi akibat proses pematangan sehingga komposisi dinding sel berubah menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah menurun. Perubahan kekerasan ini dapat dijadikan indikator tingkat kematangan buah. Menurut Urbain (1986) menyatakan bahwa mangga Alphonso dan Bangalora yang diiradiasi dengan dosis 0.75 kGy memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mangga yang tidak diiradiasi.

Susut bobot

Susut bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran buah. Semakin tinggi susut bobot, maka buah tersebut semakin berkurang tingkat kesegarannya. Kenaikan susut bobot semakin terus meningkat selama waktu penyimpanan. Buah mangga dengan perlakuan kontrol lebih tinggi mengalami kenaikan susut bobot jika dibandingkan dengan buah yang diiradiasi. Kenaikan susut bobot dimulai pada hari ke-6 sebesar 3.3% untuk mangga yang diiradiasi dan 3.4% untuk mangga sebagai kontrol. Persentase kenaikan susut bobot untuk mangga yang diiradiasi mencapai 8.3% dan 9.4% untuk mangga perlakuan kontrol. Penyimpanan buah mangga pada suhu 13ºC juga mengalami kenaikan susut bobot. Kenaikan susut bobot pada mangga yang dikenai iradiasi maupun kontrol hampir sama sampai pada penyimpanan hari ke-12. Setelah itu buah mangga yang dikenai perlakuan kontrol mengalami lonjakan kenaikan susut bobot mencapai 20.5%, kemudian mangga tersebut mulai mengalami pembusukan. Sama halnya dengan kedua suhu penyimpanan diatas, penyimpanan buah mangga pada suhu 28ºC mengalami peningkatan seiring waktu penyimpanan.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 5) dosis mempunyai pengaruh nyata pada hari ke-12 dan hari ke-15, suhu berpengaruh nyata pada hari ke-6, 9,

12, dan 15. Sedangkan interaksi antara dosis dan suhu mempunyai pengaruh yang sangat nyata pada hari ke-15. Hasil uji lanjut menggunakan Duncan (Lampiran 22) menunjukkan bahwa susut bobot terkecil yaitu 5.384% diperoleh pada interaksi perlakuan suhu penyimpanan 8ºC dan pada hari penyimpanan ke-12.

Gambar 19 Persentase kenaikan susut bobot pada hari penyimpanan ke-12 Kader (1992) menjelaskan bahwa terjadinya susut bobot disebabkan hilangnya air dalam buah oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Hal ini juga dijelaskan oleh Muchtadi (1992) bahwa kehilangan bobot pada buah dan sayuran selama penyimpanan disebabkan oleh kehilangan air sebagai akibat proses penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan mutu produk tersebut. Pantastico (1986) menjelaskan bahwa penurunan bobot dapat disebabkan oleh terurainya glukosa menjadi CO2 dan air selama proses respirasi walaupun jumlahnya kecil. Selain itu kehilangan bobot juga dihubungkan dengan adanya penurunan kekerasan, sehingga ikatan antar sel di dalam buah manjadi lebih lemah dan jaraknya meregang sehingga air-air bebas yang terdapat di dalam buah menjadi mudah teruapkan. Dikatakan pula oleh Wills et al. (1981), faktor lain yang mempengaruhi kehilangan air pada buah dan sayuran antara lain adalah luas/volume permukaan buah dan sayur itu sendiri, lapisan alami permukaan buah serta kerusakan mekanik pada buah dan sayur itu. Disamping itu Syarief dan

Halid (1991) menjelaskan bahwa salah satu penyebab susut bobot adalah proses respirasi dan proses transpirasi. Transpirasi merupakan faktor dominan penyebab susut bobot. Proses transpirasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu dan

Dokumen terkait