• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Objek Penelitian Kondisi Wilayah Penelitian

Data dari Pemkab Enrekang (2013) menunjukkan bahwa letak geografis Kabupaten Enrekang berada di jantung jasirah Sulawesi Selatan yang dalam peta batas wilayah memang berbentuk seperti jantung. Kabupaten Enrekang di sebelah timur dipagari oleh pegunungan Latimojong yang memanjang dari utara ke

selatan dengan rata-rata ketinggian ± 3.000 m di atas permukaan laut, sedangkan di sebelah barat membentang sungai Saddang dari utara ke selatan.

Kabupaten Enrekang terletak antara 3º14’36” LS dan 119º40’53” BT. Jarak kota Enrekang ke ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) dengan jalan darat adalah ± 235 Km. Batas wilayah Kabupaten Enrekang adalah sebelah utara dengan Kabupaten Tana Toraja, sebelah timur dengan Kabupaten Luwu dan Sidenreng Rappang, sebelah selatan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang, dan sebelah barat dengan Kabupaten Pinrang.

Kabupaten Enrekang mempunyai wilayah topografi yang bervariasi berupa perbukitan, pegunungan, lembah dan sungai, dengan ketinggian 47 sampai 3.293 m dari permukaan laut serta tidak mempunyai wilayah pantai. Secara umum keadaan topografi wilayah didominasi oleh bukit-bukit/gunung-gunung yaitu sekitar 85% dari luas wilayah Kabupaten Enrekang, sedangkan yang datar hanya 15%.

Karakteristik Pekerja Dangke

Pada usaha pengolahan dangke di Kabupaten Enrekang, seorang pekerja sekaligus sebagai produsen/pemilik usaha. Hasil observasi mengenai karakteristik pekerja dangke disajikan pada Tabel 1. Hampir semua (97%) pekerja dangke adalah perempuan. Usaha pengolahan dangke umumnya berintegrasi dengan usaha peternakan sapi perah dalam satu rumah tangga peternak, suami mengurus/memelihara ternak sedangkan istri mengolah susu yang dihasilkan menjadi dangke. Usaha pengolahan pangan yang dikerjakan di rumah sendiri memungkinkan perempuan bekerja sambil mengurus pekerjaan rumah tangga.

Tabel 1 Karakteristik pekerja dangke susu sapi

Unsur karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%) Jenis kelamin Laki-laki 2 3 Perempuan 58 97 Total 60 100 Umur (tahun) 18-26 3 5 31-39 21 35 40-59 29 48 60-70 7 12 Total 60 100 Pendidikan SD 23 38 SMP 11 19 SMA 23 38 SARJANA 3 5 Total 60 100

Kisaran umur sebagian besar pekerja dangke adalah 40 sampai 59 tahun (48%) dan 31 sampai 39 tahun (35%). Keberadaan pekerja yang berumur lebih dari 60 tahun (12%) berkaitan dengan fakta bahwa pengolahan dangke dilakukan turun temurun sehingga pekerja usia tua memiliki pengalaman mengolah dangke,

meskipun secara fisik telah menurun. Tingkat pendidikan pekerja dangke sebagian besar adalah tamatan SD (38%) dan SMA (38%). Metode pengolahan dangke adalah sederhana dan tidak memerlukan keahlian khusus atau hanya mengandalkan pengetahuan yang diperoleh dari orang tua sehingga dapat dikerjakan oleh tingkat pendidikan rendah, Adanya pekerja dangke yang berpendidikan sarjana (5%) kemungkinan berkorelasi dengan sulitnya memperoleh pekerjaan dan usaha dangke dapat memberikan keuntungan yang memadai.

Karakteristik Usaha Dangke

Karakteristik usaha dangke di Kabupaten Enrekang disajikan pada Tabel 2. Dangke diproduksi 1 (43%) dan 2 kali (57%) per hari. Frekuensi pembuatan dangke umumnya bergantung pada produksi susu yang dihasilkan oleh usaha peternakan pekerja. Waktu pembuatan dangke oleh pekerja yang mengolah dangke dua kali sehari adalah pagi dan malam hari (57%), sedangkan pekerja yang membuat dangke satu kali sehari adalah pagi hari (42%). Waktu pengolahan dangke terkait waktu pemerahan susu yang biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Umumnya susu setelah diperah langsung diolah menjadi dangke tanpa melalui proses penyimpanan.

Tabel 2 Karakteristik usaha dangke susu sapi

Unsur karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%) Frekuensi pembuatan dangke per hari (kali)

1 26 43 2 34 57 Total 60 100 Waktu pembuatan Pagi 25 42 Malam 1 1

Pagi dan malam 34 57

Total 60 100

Produksi dangke per hari (kg)

0.7- 2.2 27 45

2.6- 4.8 26 43

5.2- 7.4 4 7

7.8-14.8 3 5

Total 60 100

Frekuensi dangke tidak terjual habis

Sering 10 16

Kadang-kadang 23 38

Tidak pernah 27 46

Total 60 100

Berat satu buah dangke berkisar 350 sampai 400 g, dengan rata-rata 370 g. Produksi dangke sebagian besar pekerja adalah 0.7 sampai 2.2 kg (45%) dan 2.6 sampai 4.8 kg (43%) per hari. Tingkat produksi dangke yang rendah disebabkan ketersediaan bahan baku susu kurang akibat jumlah ternak yang terbatas dan manajemen pemeliharaan bersifat tradisional, terutama pemberian pakan.

Frekuensi dangke terjual habis (46%) mengindikasikan bahwa dangke termasuk produk yang diminati konsumen. Fakta ini kemungkinan terkait jumlah produksi yang rendah sehingga belum dapat memenuhi permintaan pasar baik yang berasal dari Kabupaten Enrekang maupun luar Enrekang.

Karakteristik Pembuatan Dangke

Dangke merupakan produk olahan susu kerbau atau sapi yang dibuat melalui proses penggumpalan protein susu dengan pemanasan dan penambahan enzim papain (getah pepaya). Proses pembuatan dangke susu sapi meliputi tahap : pemanasan susu, penambahan getah pepaya, penyaringan/pencetakan gumpalan (curd), dan pengemasan curd (Gambar 3). Proses pembuatan dangke tersebut digunakan masyarakat sejak dulu hingga sekarang tanpa mengalami perubahan.

Pemanasan susu

Penambahan getah pepaya

Sebelum susu panas (0-10 menit) Setelah susu panas (11-40 menit)

Pemanasan

campuran susu dan getah pepaya

(proses penggumpalan susu)

Susu sudah mendidih (100 oC) Susu belum mendidih (80-90 oC)

Cairan (whey)

Penyaringan/Pencetakan gumpalan (curd)

(Tempurung kelapa)

Pembungkusan/Pengemasan

(Daun pisang, plastik polietilen)

Dangke

Gambar 2 Alur pembuatan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang Lama pemanasan susu berdasarkan hasil survei bervariasi mulai 20 sampai 107 menit. Lebih dari separuh pekerja (65%) menambahkan getah pepaya sebelum susu panas (0-10 menit), sedangkan selebihnya (35%) setelah susu panas (11-40 menit). Sebanyak 80% pekerja mencetak curd setelah cairan mendidih dan selebihnya (20%) menggunakan kekerasan curd sebagai patokan curd dapat

dicetak (suhu cairan 80-90 oC). Alat pencetak yang digunakan semua pekerja adalah tempurung kelapa yang pada bagian bawahnya terdapat lubang sebagai jalan keluar whey. Lama pencetakan dangke bervariasi mulai 25 menit sampai lebih 10 jam. Tahap akhir proses pembuatan dangke adalah pengemasan dangke dengan daun pisang.

Karakteristik Organoleptik Dangke Susu Sapi dan Kerbau

Hasil penilaian organoleptik terhadap warna dangke susu sapi dan susu kerbau pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar konsumen (64%) menyatakan warna dangke susu sapi adalah putih kekuningan, sedangkan dangke susu kerbau berwarna putih keabuan (36%). Perbedaan kenampakan warna dari kedua jenis dangke tersebut kemungkinan berkorelasi dengan warna susu sebagai bahan baku.

Tabel 3 Deskripsi warna dangke susu sapi dan kerbau a Warna Jenis dangke {jumlah responden (persentase)}

Susu sapi Susu kerbau

Putih keabuan 6(17) 13(36)

Putih kekuningan 23(64) 12(33)

Putih 7(19) 11(31)

a

Responden bukan orang Enrekang.

Sebagian besar konsumen (58%) menyatakan bahwa aroma khas susu dan rasa khas susu lebih kuat pada dangke susu sapi dibandingkan dengan dangke susu kerbau. Tekstur dangke susu kerbau lebih kenyal (50%), lebih halus (55%), dan tidak lengket ketika ditelan (58%) dibandingkan dengan dangke susu sapi (Tabel 4). Perbedaan aroma, rasa, dan tekstur kedua jenis dangke diduga berkorelasi dengan perbedaan sifat dan komposisi kimiawi antara susu kerbau dan susu sapi.

Tabel 4 Deskripsi aroma, rasa, dan tekstur dangke susu sapi dan kerbau a Uraian Jenis dangke {jumlah responden (persentase)}

Susu sapi Susu kerbau Kedua-duanya Aroma dan rasa

Aroma susu lebih terasa 21(58) 14(39) 1(3) Rasa susu lebih terasa 21(58) 14(39) 1(3)

Tekstur

Lebih kenyal 17(47) 18(50) 1(3)

Lebih halus 15(42) 20(55) 1(3)

Tidak lengket ketika ditelan 13(36) 21(58) 2(6) a

Responden bukan orang Enrekang.

Karakteristik Konsumen Dangke Orang Enrekang

Hasil survei (Tabel 5) menunjukkan bahwa perempuan (55%) lebih banyak membeli dangke dibandingkan dengan laki-laki (45%). Sebagian besar konsumen berasal dari kelompok usia 25 sampai 40 tahun (58%). Persentase konsumen berusia di atas 40 tahun (18%) lebih rendah kemungkinan disebabkan kelompok usia tersebut berhati-hati dalam memilih dan mengkonsumsi makanan.

Lebih dari separuh (51%) konsumen dangke memiliki pendidikan akhir sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa dangke dipandang sebagai pangan bergengsi dan layak dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Pendidikan merupakan faktor psikologis yang mempengaruhi konsumen dalam memilih jenis dan mutu bahan makanan yang akan dikonsumsi (Ariningsih 2008).

Tabel 5 Karakteristik konsumen dangke orang Enrekang Unsur karakteristik Jumlah (orang) Persentase (%) Jenis kelamin Laki-laki 45 45 Perempuan 55 55 Total 100 100 Umur (tahun) 17-24 24 24 25-40 58 58 > 40 18 18 Total 100 100 Pendidikan SD 2 2 SMP 1 1 SMA 46 46 SARJANA 51 51 Total 100 100

Potensi Dangke Susu Sapi sebagai Alternatif Dangke Susu Kerbau Ketersediaan Bahan Baku

Jumlah populasi ternak kerbau betina (2.156 ekor) lebih besar dibandingkan dengan sapi perah (1.065 ekor) di Kabupaten Enrekang (Tabel 6). Ternak kerbau oleh masyarakat lebih banyak digunakan sebagai kerbau pekerja daripada sebagai kerbau perah. Hal ini kemungkinan karena tipe kerbau di Kabupaten Enrekang bukan tipe kerbau perah.

Jumlah populasi ternak kerbau yang besar tidak merefleksikan jumlah usaha pengolahan dangke susu kerbau. Kecamatan Maiwa memiliki jumlah populasi kerbau terbesar, tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan adanya usaha pengolahan dangke susu kerbau maupun dangke susu sapi. Kecamatan Curio merupakan pusat produksi dangke susu kerbau dan hampir semua produsen dangke di daerah tersebut hanya membuat dangke susu kerbau. Pusat usaha pengolahan dangke susu sapi adalah Kecamatan Cendana yang memiliki populasi sapi perah terbesar. Daerah tersebut telah lama mengembangkan dan menjadi pusat pengembangan usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Enrekang.

Tabel 6 Populasi sapi perah dan kerbau betina (ekor) per kecamatan di Kabupaten Enrekang tahun 2012 a

No. Kecamatan Sapi perah Kerbau

1 Anggeraja 178 17 2 Alla 94 24 3 Baraka 49 609 4 Baroko 13 44 5 Masalle 8 13 6 Buntu batu 17 43 7 Curio 25 595 8 Bungin - 6 9 Malua 3 129 10 Cendana 551 8 11 Maiwa 2 665 12 Enrekang 125 3 Total 1.065 2.156 a

Data sekunder penelitian

Hasil pengukuran produksi susu kerbau di Kecamatan Curio menunjukkan bahwa produksi susu kerbau berkisar 0.8 sampai 2.4 liter/ekor/hari dengan rataan produksi 1.5 liter/ekor/hari (Tabel 7). Pemerahan susu di daerah tersebut hanya dilakukan 1 kali, yakni pagi hari. Produksi susu kerbau selain dipengaruhi faktor genetik juga dipengaruhi faktor lingkungan seperti manajemen pemeliharaan (Bahri dan Talib 2007). Produksi susu sapi perah di Kecamatan Cendana berkisar 6.8 sampai 19.3 liter/ekor/hari dengan rataan 11.8 liter/ekor/hari (Tabel 7). Pemerahan susu dilakukan 2 kali dalam sehari, yakni pagi dan sore hari. Produksi susu harian ternak sapi perah yang lebih besar memberikan alasan kuat untuk menjadikan susu sapi sebagai bahan baku dangke pengganti susu kerbau untuk mempertahankan eksistensi dangke.

Tabel 7 Produksi susu kerbau dan sapi perah di Kabupaten Enrekang Jenis ternak Jumlah

sampel

Produksi susu (liter/ekor/hari) Minimal Maksimal Rataan

Kerbau 15 0.8 2.4 1.5

Sapi perah 15 6.8 19.3 11.8

Kualitas Dangke

Persentase kadar air, abu, lemak, dan protein dangke susu sapi dan susu kerbau menunjukkan nilai yang bervariasi (Tabel 8). Belum adanya standarisasi pengolahan dangke menyebabkan masyarakat membuat dangke sesuai dengan kebiasaan dan pengalaman masing-masing. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap beragamnya kualitas dangke yang dihasilkan. Kualitas bahan baku, jenis dan level enzim penggumpal, serta metode pengolahan dapat mempengaruhi kualitas keju yang dihasilkan (Khusniati et al. 2004; Sumarmono dan Suhartati 2012). Standarisasi pengolahan dangke perlu dilakukan untuk mempopulerkan dangke sebagai pangan berskala nasional.

Tabel 8 Kadar air, abu, lemak, protein, dan nilai pH dangke susu sapi dan susu kerbau di Kabupaten Enrekang a

Parameter ns Dangke susu kerbau Dangke susu sapi

Minimal Maksimal Rataan Minimal Maksimal Rataan

Kadar air (%) 43.3 62.8 52.7 49.3 62.4 55.0 Kadar abu (%) 1.9 2.7 2.3 1.9 2.4 2.1 Kadar lemak (%) 10.1 23.9 15.9 8.8 21.6 14.8 Kadar protein (%) 14.5 26.1 21.3 15.7 33.3 23.8

pH 6.2 6.5 6.4 6.3 6.5 6.4

a Jumlah sampel = 6; ns Tidak berbeda nyata

Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa kadar air, abu, lemak dan protein dangke susu sapi tidak berbeda nyata dengan dangke susu kerbau. Hal ini berarti bahwa dangke susu sapi dan susu kerbau memiliki kandungan gizi yang relatif sama. Nilai pH dangke susu sapi (6.4) tidak berbeda nyata dengan nilai pH dangke susu kerbau (6.5). Nilai pH kedua jenis dangke tersebut berada pada kisaran pH netral.

Ketersediaan, Harga, dan Konsumsi Dangke

Sebagian besar konsumen (87%) menyatakan dangke susu sapi lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan dangke susu kerbau dan hampir semua konsumen (91%) menyatakan dangke susu sapi lebih murah dibandingkan dengan dangke susu kerbau (Tabel 9). Harga merupakan bahan pertimbangan utama bagi konsumen Indonesia dalam pembelian produk sehingga konsumen menjadi sensitif terhadap harga. Kemudahan memperoleh dan harga jual dangke susu sapi yang lebih murah disebabkan susu sapi sebagai bahan baku lebih mudah diperoleh. Jika produk yang diinginkan tidak tersedia, konsumen mungkin akan beralih dan mencari alternatif berdasarkan ketersediaannya. Fakta ini dapat menjadi nilai lebih bagi pengembangan usaha dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang.

Sebanyak 79% konsumen pernah mengkonsumsi kedua jenis dangke, 21% konsumen hanya pernah mengkonsumsi dangke susu sapi, dan tidak ada konsumen yang hanya pernah mengkonsumsi dangke susu kerbau (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa semua konsumen pernah mengkonsumsi dangke susu sapi dan 21% konsumen belum pernah mengkonsumsi dangke susu kerbau. Fakta tersebut terkait dengan kemudahan dangke susu sapi diperoleh dibandingkan dengan dangke susu kerbau. Daerah produksi dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang meliputi Kecamatan Cendana sebagai produsen dangke susu sapi terbesar; serta Kecamatan Anggeraja, Alla, Baraka, dan Enrekang. Produsen dangke susu kerbau dapat dijumpai di Kecamatan Curio dan Baraka.

Tabel 9 Penilaian konsumen orang Enrekang terhadap ketersediaan, harga, dan konsumsi dangke susu sapi dan susu kerbau

Uraian Jumlah (orang) Persentase (%)

Jenis dangke yang lebih mudah diperoleh

Dangke susu sapi 87 87

Dangke susu kerbau 1 1

Kedua-duanya 12 12

Total 100 100

Jenis dangke yang lebih murah

Dangke susu sapi 91 91

Dangke susu kerbau 1 1

Kedua-duanya 8 8

Total 100 100

Jenis dangke yang pernah dikonsumsi

Dangke susu sapi 21 21

Dangke susu kerbau 0 0

Kedua-duanya 79 79

Total 100 100

Kesukaan Konsumen terhadap Jenis Dangke

Penilaian kesukaan konsumen terhadap jenis dangke menggunakan responden orang Enrekang yang pernah mengkonsumsi kedua jenis dangke dan responden bukan orang Enrekang yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Hasil survei menunjukkan sebagian besar konsumen orang Enrekang (48%) menyukai dangke susu kerbau dan 11% menyukai dangke susu sapi, sedangkan persentase yang menyukai kedua jenis dangke sebesar 41% (Tabel 10). Sebagian besar konsumen bukan orang Enrekang (50%) menyukai dangke susu sapi dan 44% menyukai dangke susu kerbau, sedangkan 6% menyukai kedua jenis dangke.

Tabel 10 Kesukaan konsumen orang Enrekang dan bukan orang Enrekang terhadap jenis dangke

Asal konsumen Jenis dangke {jumlah responden (%)}

Susu sapi Susu kerbau Kedua-duanya Total Orang Enrekang 9(11) 38(48) 32(41) 79(100) Bukan orang Enrekang 18(50) 16(44) 2( 6) 36(100) Sebaran kesukaan pada kedua kelompok konsumen menunjukkan peluang bagi pengembangan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang. Tingkat persentase konsumen orang Enrekang yang menyukai kedua jenis dangke (41%) menunjukkan bahwa penggunaan susu sapi dapat memenuhi selera dan kepuasan konsumen orang Enrekang yang sebelumnya hanya diperoleh dari dangke susu kerbau. Penerimaan konsumen orang Enrekang terhadap dangke susu sapi kemungkinan berkorelasi dengan karakteristik umur dan pendidikan sebagian besar kelompok tersebut yang memberikan sikap moderat terhadap suatu perubahan.

Kesukaan Konsumen terhadap Atribut Organoleptik Dangke

Hasil survei pada Tabel 11 menunjukkan konsumen orang Enrekang lebih menyukai atribut organoleptik dangke susu kerbau dibandingkan dengan dangke susu sapi. Atribut organoleptik dangke susu kerbau yang disukai lebih dari separuh konsumen orang Enrekang adalah rasa (57%) diikuti aroma dan tekstur dengan persentase yang sama, yakni 53%. Atribut organoleptik warna dangke susu kerbau disukai kurang dari separuh konsumen (42%). Atribut organoleptik dangke susu sapi yang paling banyak dipilih konsumen orang Enrekang adalah warna (26%) diikuti atribut aroma dan tekstur dengan persentase yang sama sebesar 23%; sedangkan atribut organoleptik rasa dipilih 19% konsumen. Atribut organoleptik warna paling banyak dipilih konsumen orang Enrekang (32%) yang menyukai atribut organoleptik kedua jenis dangke; sedangkan aroma, rasa, dan tekstur dipilih konsumen dengan persentase yang sama, yakni 24%. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keunggulan dangke susu kerbau bagi konsumen orang Enrekang adalah pada atribut organoleptik rasa, sedangkan warna dangke susu sapi merupakan daya tarik utama yang dapat mempengaruhi konsumen untuk membeli dangke susu sapi.

Hasil survei pada Tabel 11 memperlihatkan persentase konsumen bukan orang Enrekang yang menyukai warna dangke susu sapi sebesar 55% dan aroma sebesar 50%; sedangkan warna dangke susu kerbau 42% dan aroma sebesar 47%. Rasa dangke susu kerbau dipilih oleh 55% konsumen dan untuk tekstur sebesar 58%, sedangkan persentase konsumen yang memilih rasa dan tekstur dangke susu sapi masing-masing sebesar 42% dan 39%. Persentase konsumen yang menyukai atribut organoleptik kedua jenis dangke relatif kecil, yakni 3% untuk semua atribut organoleptik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keunggulan dangke susu sapi bagi konsumen bukan orang Enrekang adalah pada warna dan aroma, sedangkan keunggulan dangke susu kerbau adalah pada rasa dan tekstur. Tabel 11 Sebaran konsumen berdasarkan kesukaan terhadap atribut organoleptik

dangke Jenis dangke yang disukai

Atribut organoleptik {jumlah responden (persentase)}

Warna Aroma Rasa Tekstur

Orang Enrekang

Susu sapi 21(26) 18(23) 15(19) 18(23)

Susu kerbau 33(42) 42(53) 45(57) 42(53)

Kedua-duanya 25(32) 19(24) 19(24) 19(24) Bukan orang Enrekang

Susu sapi 20(55) 18(50) 15(42) 14(39)

Susu kerbau 15(42) 17(47) 20(55) 21(58)

Kedua-duanya 1( 3) 1( 3) 1( 3) 1( 3)

Praktik Sanitasi Higiene pada Pengolahan Dangke Susu Sapi Sanitasi Higiene Pekerja

Hasil survei terhadap praktik sanitasi higiene pekerja dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang disajikan pada Tabel 12. Tidak ada pekerja yang memakai baju khusus untuk bekerja pada saat mengolah dangke. Hal ini disebabkan

pengolahan dangke dilakukan di rumah sendiri sehingga mereka menganggap lebih praktis menggunakan baju yang dipakai sehari-hari. Menutup kepala saat mengolah dangke dilakukan oleh 26% pekerja dan hal ini disebabkan dalam keseharian mereka menggunakan jilbab atau topi haji. Alasan sebagian besar pengolah pangan skala kecil tidak menggunakan kelengkapan kerja seperti pakaian kerja, celemek, dan penutup kepala adalah kurang nyaman, tidak terbiasa, dan dianggap tidak perlu (Dharma dan Gunawan 2008).

Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun berperan penting untuk menjaga keamanan pangan karena tangan adalah penghantar utama masuknya kuman penyakit ke tubuh manusia. Sebagian besar pekerja (80%) mencuci tangan sebelum mulai mengolah dangke dan 65% menggunakan sabun saat mencuci tangan. Menurut Shojaei et al. (2006), mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi frekuensi kontaminasi mikroba pada tangan pengolah pangan di Iran dari 109 (73%) menjadi 48 orang (32%). Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pekerja (20%) menganggap mencuci tangan tidak penting karena pembuatan dangke dapat menggunakan bantuan sendok tanpa harus menyentuh dengan tangan. Kenyataan di lapangan menunjukkan penyaringan/pencetakan dan pengemasan dangke merupakan tahap paling berpeluang dangke terkontaminasi mikroba melalui tangan pekerja, karena seringkali tanpa sengaja pekerja menyentuh dangke dengan tangan. Hampir semua orang mengerti pentingnya mencuci tangan memakai sabun, namun tidak membiasakan diri untuk melakukannya dengan benar pada saat yang penting (Utami et al. 2011).

Tabel 12 Praktik sanitasi higiene pada pekerja dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang

No. Uraian Ya

Jumlah responden (%)

Tidak

Jumlah responden (%) 1 Memakai baju kerja

khusus

0( 0) 60(100)

2 Memakai penutup kepala 26( 43) 34( 57) 3 Mencuci tangan sebelum

membuat dangke

48( 80) 12( 20)

4 Mencuci tangan memakai sabun

39( 65) 21( 35)

5 Membuat dangke sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya

60(100) 0( 0)

Semua pekerja mengolah dangke sambil melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan rumah, memasak, dan mengurus anak. Kondisi ini adalah dampak dari pekerja dangke yang umumnya perempuan dan pengolahan dangke berlokasi di rumah pekerja. Keadaan ini meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang antara dangke dengan mikroba dari benda-benda yang tersentuh pekerja selama mengerjakan pekerjaan lainnya. Hal ini berarti bahwa kebiasaan mencuci tangan dengan sabun tidak hanya dilakukan pada awal pembuatan dangke, tetapi pada setiap kali pekerja selesai mengerjakan pekerjaan lain dan akan kembali mengolah dangke.

Sanitasi Higiene Peralatan Pengolahan

Pada penelitian ini, fokus penilaian praktik sanitasi higiene peralatan adalah tempurung kelapa sebagai cetakan dan daun pisang sebagai kemasan dangke. Hasil survei terhadap penerapan sanitasi higiene pada peralatan pengolahan dangke disajikan pada Tabel 13. Separuh pekerja (50%) segera mencuci cetakan setelah digunakan, sedangkan separuhnya lagi mencuci cetakan setelah ada waktu atau saat cetakan akan dipakai lagi. Akumulasi sisa-sisa dangke yang kaya nutrisi jika tidak hilang setelah pencucian mendukung pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Jika praktek pencucian cetakan kurang tepat, maka tingkat kontaminasi mikroba kemungkinan lebih besar pada cetakan yang tidak segera dicuci dibandingkan dengan cetakan yang segera dicuci.

Lebih dari separuh (77%) pekerja mencuci cetakan dengan sabun. Pencucian cetakan tidak cukup dengan air, karena air hanya menghilangkan kotoran yang terlihat oleh mata tetapi tidak mampu menghilangkan lemak maupun mikroba. Aktivitas emulsifikasi sabun membantu menghilangkan sisa-sisa lemak sedangkan bahan antiseptiknya membunuh mikroba yang melekat pada cetakan. Pencucian peralatan susu dengan sabun dan air yang berkualitas baik membantu menghilangkan sisa-sisa susu yang tertinggal, termasuk mikroba (Chye et al. 2004). Peralatan pengolahan pangan yang tidak bersih dapat menjadi sumber kontaminasi bakteri patogen, seperti Staphylococcus aureus dan Salmonella (Nicolas et al. 2006).

Tabel 13 Praktik sanitasi higiene pada peralatan pengolahan dangke susu sapi di Kabupaten Enrekang No. Uraian Ya Jumlah responden (%) Tidak Jumlah responden (%) 1 Tempurung kelapa

segera dicuci setelah dipakai 30(50) 30( 50) 2 Tempurung kelapa dicuci menggunakan sabun 46(77) 14( 23) 3 Tempurung kelapa disimpan dalam wadah tertutup 0( 0) 60(100)

4 Daun pisang kemasan dilap sebelum dipakai

45(75) 15( 25)

5 Daun pisang dilap dengan kain khusus

0( 0) 60(100)

Setelah proses pencucian, tahap selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyimpanan cetakan. Cetakan harus disimpan dalam wadah yang terlindung dari cemaran lingkungan sekitar. Menurut Damayanthi et al. (2008), cemaran kapang dan kamir yang ditemukan pada piring saji dan piring makan kantin berasal dari udara di sekitar lingkungan kantin. Hasil survei menunjukkan tidak ada pekerja yang menyimpan cetakan setelah dicuci dalam wadah tertutup. Umumnya cetakan ditempatkan pada rak piring hingga digunakan lagi. Peralatan yang disimpan di

ruang terbuka dengan posisi menengadah ke atas setelah dicuci menyebabkan debu maupun kotoran yang berasal dari udara melekat pada alat tersebut.

Perlakuan pembersihan yang digunakan lebih dari separuh (75%) pekerja untuk menghilangkan kotoran pada daun pisang adalah melap daun pisang dengan kain, sedangkan 25% pekerja menggunakan daun pisang tanpa dibersihkan. Praktik melap peralatan dengan kain mungkin efektif menghilangkan kotoran, tetapi kain lap juga dapat berperan sebagai penyebar mikroba kontaminan di antara daun pisang. Hasil survei juga menunjukkan semua pekerja tidak menggunakan lap khusus untuk daun pisang. Kondisi ini dapat menjadikan kain

Dokumen terkait