Hasil
Derajat Spermatogenesis
Hasil pengamatan histomorfologis tubulus seminiferus disajikan secara deskriptif sesuai dengan penilaian kriteria Jhonsen (Gambar 8,9 dan 10) yang diwakilkan untuk masing-masing umur dan masing-masing dosis serta tabel rerata derajat spermatogenesis (Tabel 4).
v
Gambar 8 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE) A. Gambaran umum tubulus seminiferus umum kontrol pubertas. Bar : 60 µm. B. Pubertas kontrol (P0) spermatosit dominan, C. Pubertas+ekstrak 25 mg (P25) spermatid dominan, D. Pubertas+ekstrak 50 mg (P50) spermatozoa dominan pada lumen. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
60 µm 30 µm 30 µm 30 µm A B C D 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
20
Gambar 9 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE) A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur dewasa. Bar : 60 µm. B. Dewasa kontrol (D0), C. Dewasa+ekstrak 25 mg (D25), D. Dewasa+ekstrak 50 mg (D50), Tahapan spermatogenesis C dan D tidak terlihat begitu berbeda. Pada dewasa sel spermatid lebih dominan. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
Gambar 10 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Tua (HE) A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur tua. Bar : 60 µm, B. Kelompok Tua kontrol (T0) perkembangan spermatogonium terlihat jarang, C.Tua+ekstrak 25 mg (T25) dan D. Tua+ekstrak 50 mg (T50). Gambar C dan D terlihat peningkatan spermatosit dan spermatozoa. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
60 µm A B 30 µm 30 µm C D 30 µm 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 60 µm A B 30 µm 30 µm D 30 µm C
Pada Gambar 8 memperlihatkan perbedaan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50. Tubulus seminiferus kelompok P0 memperlihatkan derajat spermatogenesis dengan kriteria yang mendominasi yaitu epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan tetapi belum terlihat spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Tahap spermatid dan spermatosit terlihat lebih banyak serta spermatogonium yang tersusun rapih di membran basalis. Pada kelompok P25 mulai terlihat spermatozoa di tengah lumen, dan lapisan tahap spermatosit lebih sedikit dan spermatid tetap banyak. Hal tersebut mengindikasikan lebih banyaknya bakal sel spermatozoa, sedangkan pada kelompok P50 terlihat spermatozoa lebih memadati sekeliling lumen dan tampak sebagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing) serta lumen tubulus tertutup oleh sisa-sisa sitoplasma. Gambar 9 mewakili pengamatan pada umur dewasa, yang terlihat adalah keadaan bagian lumen tubulus seminiferus yang lebih banyak dipenuhi oleh spermatozoa.
Pada kelompok D0, D25, dan D50 memperlihatkan peningkatan derajat spermatogenesis yang lebih baik antar dosis. Gambaran tubulus seminiferus dewasa kontrol terlihat berbeda dengan pubertas, pada dewasa sel epitel seminiferus telah mencapai tahapan sempurna mulai dari keberadaan spermatogonium, spermatosit, spermatid, sampai spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Peningkatan derajat spermatogenesis tertinggi yang diperlihatkan kelompok umur dewasa dengan nilai 9.2 ± 0.25 tidak berbeda jauh dengan hasil Juniarto (2004) yaitu nilai derajat spermatogenesis pada tikus jantan dewasa adalah 9.6 ± 0.5.
Gambar 10 memperlihatkan derajat spermatogenesis pada tubulus seminiferus kelompok umur tua, menunjukan keberadaan epitel seminiferus yang berbeda dengan pubertas dan dewasa. Pada T0 spermatosit tidak teratur dan keberadaan spermatozoa (populasi) dalam lumen tubulus yang jarang atau tidak terlihat (Gambar 10B). Hal tersebut berkaitan dengan konsentrasi hormon yang cenderung rendah pada kelompok T0. Pada kelompok T25 dan T50 (Gambar 10C dan D) susunan epitel seminiferus terlihat lebih rapih jika dibandingkan dengan T0 dan perkembangan epitel seminiferus terjadi perbaikan yaitu adanya peningkatan spermatosit dan pada bagian lumen terdapat spermatozoa yang lebih banyak.
Tabel 4 Derajat Spermatogenesis
Umur Dosis (mg) 0 25 50 P D T b 8.0 ± 0.05a c 8.9 ± 0.26a a 7.4 ± 0.32a b 8.2± 0.26a c 9.2± 0.25ab a 7.7± 0.11a b 8.9± 0.05b c 9.5± 0.10b a 7.8 ± 0.25a
Keterangan: P: Umur Pubertas, D: Umur Dewasa, T: Umur Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25: Dosis purwoceng 25 mg/kg BB, 50: Dosis purwoceng 50 mg/kg BB.
-Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap derajat spermatogenesis. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap derajat spermatogenesis. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap derajat spermatogenesis.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap derajat spermatogenesis umur tua tidak signifikan yaitu
22
p=0.139 (p>0.05), sedangkan pengaruh tingkat dosis terhadap umur pubertas dan dewasa (Lampiran 1 dan 2) masing-masing yaitu p=0.01 membuktikan bahwa hasil yang diperoleh signifikan (p<0.05). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4,5, dan 6) menunjukkan bahwa pengaruh faktor umur (pubertas, dewasa, dan tua) terhadap tingkat dosis menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05).
Dosis ekstrak purwoceng memberikan peningkatan derajat spermatogenesis yang signifikan terhadap umur pubertas dan umur dewasa. Kelompok kontrol merupakan kelompok yang memperlihatkan nilai terendah pada setiap umur. Kelompok umur yang memperlihatkan respon tertinggi ialah kelompok umur dewasa. Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg memperlihatkan pengaruh derajat spermatogenesis tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan yang diberikan dosis 25 mg. Pemberian dosis 25 dan 50 mg terhadap kelompok dewasa memperlihatkan bahwa hasil yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap D0 dan D25. Rerata terendah antar umur ataupun antar dosis diperlihatkan pada kelompok T0.
Hasil uji lanjut membuktikan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) pada semua kelompok umur terhadap pemberian dosis, sedangkan hasil uji lanjut antara pemberian dosis terhadap umur, pada kelompok umur tua tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Kelompok umur tua merupakan kelompok umur yang memiliki derajat spermatogenesis terendah dibanding pubertas dan dewasa. Pasca pemberian ekstrak. Semua kelompok umur memberikan respon terbaik pada pemberian D50.
Aktivitas Kelenjar Prostat
Hasil pengamatan histomorfologi kelenjar prostat disajikan dalam bentuk gambaran histologis ujung kelenjar prostat (Gambar 11 dan 12) serta diagram persentase aktivitas ujung kelenjar prostat (Gambar 13 dan 14). Gambar 11 dan 12 memperlihatkan gambar irisan ujung kelenjar prostat pada satu lapang pandang. Pada kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50 (Gambar 11A-11C) memperlihatkan aktivitas kelenjar prostat yang sedang memproduksi cairan prostat (lumen terisi penuh dan mukosa cenderung tinggi). Pada kelompok P0, ujung kelejar yang dominan terdapat pada lima lapang pandang ialah ujung kelenjar yang terwarnai penuh dan beberapa ujung kelenjar yang tidak terwarnai tetapi mukosa masih terlihat tinggi. Selain itu belum terlihat lipatan-lipatan mukosa pada ujung kelenjar prostat. Pada P25 dan P50, memperlihatkan ujung kelenjar prostat yang didominasi dengan ujung kelenjar aktif yang ditunjukan dengan adanya cairan prostat pada lumen serta adanya aktivitas kelenjar yang diindikasikan dengan adanya lipatan mukosa pada beberapa ujung kelenjar. Peningkatan dosis memberikan respon yang berbeda terhadap umur pubertas. Pada P0, morfologi bentuk ujung kelenjar prostat masih terlihat homogen dan jarang ditemukannya lipatan mukosa pada dinding asinus.
Pada kelompok umur dewasa (Gambar 11 dan 12 D-F), D0 memperlihatkan keadaan ujung kelenjar yang aktif dan telah banyak ditemukan ujung kelenjar dengan lipatan mukosa. Secara alamiah menurut Pada kelompok D25 dan D50 ujung kelenjar didominasi dengan ujung kelenjar yang terisi cairan prostat, lipatan mukosa dan bertambah tingginya mukosa laminal sel. Mohamad et
asinus yang mengindikasikan kerja kelenjar lebih aktif dalam memproduksi sekretanya. Hasil yang dinyatakan oleh Mohamad et al. (2001) mendukung hasil penelitian yang telah diperoleh dalam penelitian ini. Bertambah banyaknya lipatan mukosa pada dinding asinus dapat dianalogikan bahwa sel kelenjar prostat sedang aktif memproduksi sekreta (pertambahan volume di dalam kelenjar) dengan keterbatasan ruang di sekelilingnya sehingga terjadi lipatan-lipatan mukosa (perubahan bentuk) pada dinding asinus.
Gambar 11 Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “10x” (HE)
A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25 lebih memperlihatkan pelepasan sekreta ke dalam lumen, C. Ujung kelenjar prostat P50 memperlihatkan pelepasan sekreta dan bertambahnya lipatan mukosa, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25, F. Ujung kelenjar prostat D50 memperlihatkan ujung kelenjar yang berukuran kecil didominasi oleh lipatan mukosa yang lebih banyak, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar yang tidak ada sekresi, H. Ujung kelenjar prostat T25 terlihat didominasi oleh ujung kelenjar yang terisi cairan prostat, I. Ujung kelenjar prostat T50 lebih didominasi dengan ujung kelenjar dengan lumen yang terisi penuh cairan prostat dan lipatan mukosa yang lebih banyak disetiap ujung kelenjar. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 120 µm.
Peningkatan dosis menyebabkan peningkatan aktivitas terhadap ujung kelenjar prostat dalam meghasilkan sekretanya. Selain itu lipatan mukosa di dinding asinus ditemukan lebih banyak jika dibandingkan pada masing-masing umur ataupun dosis. Pada kelompok tua (Gambar 11 dan 12 G, H, I) juga memperlihatkan keadaan kelenjar prostat T0 didominasi oleh ujung kelenjar non aktif dengan semakin menipisnya bagian mukosa dan lumen ujung kelenjar yang
120 µm A B C D 120 µm G 120 µm H I 120 µm E F 1 1 1 2 2 2 2 1 2 1 1 2 1 2 2 1 1 2 120 µm 120 µm 120 µm 120 µm 120 µm
24
tidak terwarnai, hal ini mengindikasikan telah terjadi penurunan aktivitas sel atau ketidakmampuan sel kelenjar prostat dalam memproduksi cairan prostat. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh terhadap aktivitas kelenjar prostat pada umur dan dosis yang berbeda pula. Sistem hormonal merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan suatu target organ dalam menghasilkan produk.
Gambar 12 Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “40x” (HE)
A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25, memperlihatkan mukosa sel dan sel lebih tinggi dibanding P0 dan lumen terisi penuh, C. Ujung kelenjar prostat P50 memperlihatkan aktivitas sel yang aktif memproduksi sekreta (mukosa sel tinggi) dan lumen yang juga terisi penuh dengan cairan prostat, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25 memperlihatkan sel yang lebih tinggi dari D0 dan lipatan mukosa lebih banyak dibandingkan D0, F. Ujung kelenjar prostat D50 didominasi dengan mukosa sel yang tinggi dan lipatan mukosa pada dinding asinus lebih banyak disetiap ujung kelenjar, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar tidak terdapat sekreta, H. Ujung kelenjar prostat T25 terisi dengan cairan prostat, I. Ujung kelenjar prostat T50 memperlihatkan lipatan mukosa lebih banyak, sel lebih tinggi (sel sekretori aktif) dan lumen terisi cairan prostat. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 30 µm.
Pemberian ekstrak purwoceng mampu meningkatkan proses aktivasi sel pada kelenjar prostat tua dengan pemberian dosis 25 mg dan 50 mg. Peningkatan dosis memberikan pengaruh peningkatan aktivitas yang diindikasikan dengan lebih banyaknya lumen yang terisi dengan cairan prostat dan peningkatan lipatan mukosa. Pemberian ekstrak purwoceng membuktikan adanya peningkatan aktivitas kelenjar prostat diperlihatkan dengan bertambah banyaknya mukosa
30 µm A 30 µm B 30 µm C 30 µm D 30 µm E 30 µm F 30 µm G 2 2 2 2 1 2 1 1 2 2 1 30 µm H 30 µm I 2 1 2 1
yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan secara deskriptif ini membuktikan bahwa adanya pengaruh terhadap produksi sekreta dalam lumen, selain itu juga memberikan informasi bahwa semakin tingginya dosis maka lipatan mukosa bertambah lebih banyak pada setiap ujung kelenjar. Pada bagian lumen kelompok hewan pubertas dan dewasa yang diberikan perlakuan ataupun kontrol terlihat terisi dengan cairan (sekreta), yang ditandai dengan terwarnainya bagian lumen. Akan tetapi terlihat perbedaan pada kontrol hewan tua yang didominasi dengan kosongnya lumen ujung kelenjar prostat.
Hasil pengamatan pada Gambar 11 dan 12 khususnya pada kelompok umur tua (T), ukuran ujung kelenjar relatif tidak sama dalam satu lapang pandang dan keadaan sel yang berbeda jika dibanding kontrol. Selain itu, dapat dilihat ujung kelenjar yang tidak terdapat cairan prostat jika dibandingkan dengan pubertas dan dewasa. Pemberian ekstrak purwoceng pada umur tua membuktikan adanya perbaikan aktivitas kelenjar prostat, dimana gambaran histologis ujung kelenjar prostat T25 dan T50 menunjukkan adanya aktivitas sel sekretori dalam memproduksi sekreta ke dalam lumen.
Gambar 13 dan 14 menunjukkan persentase kelenjar prostat aktif dan non aktif faktor dosis dan faktor umur. Secara umum pemberian dosis ekstrak purwoceng memberikan kecenderungan peningkatan persentase aktivitas kelenjar prostat, khususnya pada umur tua. Pada T0, T25, dan T50 memperlihatkan respon yang berbeda dibanding kelompok pubertas dan dewasa. Pada Gambar 13, terlihat persentase yang tinggi pada kelenjar prostat non aktif umur tua. Pemberian dosis 25 dan 50 mg terlihat mampu memberikan perbaikan terhadap aktivitas kelenjar prostat pada pubertas, dewasa, dan khususya pada umur tua. Pada Gambar 14, memperlihatkan bahwa aktivitas kelenjar prostat tertinggi diperlihatkan pada kelompok umur dewasa dan penurunan diperlihatkan pada umur tua. Hal tersebut berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis.
Gambar 13 Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif)
(faktor dosis terhadap aktivitas kelenjar prostat)
Keterangan :
: Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur pubertas : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur dewasa : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur tua : Persentase prostat non aktif
75 75.6 79.2 84.7 81.6 87.6 20.7 46.2 56.6 25 24.4 20.8 15.3 18.4 12.4 79.3 53.8 43.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P0 P25 P50 D0 D25 D50 T0 T25 T50
26
Gambar 14 Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif)
(faktor umur terhadap aktivitas kelenjar prostat)
Keterangan :
: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua kontrol
: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 25 mg : Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 50 mg : Persentase prostat non aktif
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
Data analisis hormon androgen (testosteron) disajikan pada Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7-12) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis (0, 25, dan 50 mg) terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur pubertas (p=0.99), faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur dewasa (p=0.44), dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur tua (p=0.79). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil tidak signifikan (p>0.05). Sama seperti hasil analisis sidik ragam faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron kelompok kontrol (p=0.38), faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 25 mg (p=0.34), dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 50 mg (p=0.74). Data-data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa pengaruh ekstrak purwoceng baik faktor dosis ataupun umur terhadap konsentrasi hormon testosteron tidak berbeda nyata (p>0.05).
Pada kelompok umur pubertas terjadi peningkatan tidak bermakna antar faktor (p>0.05). Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg memperlihatkan nilai rerata lebih rendah dibanding kelompok hewan yang diberikan dosis 25 mg, peningkatan yang terjadi antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Pada umur tua memperlihatkan peningkatan respon terhadap konsentrasi hormon testosteron seiring peningkatan dosis perlakuan, akan tetapi hasil analisis uji Duncan antar faktor juga tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p>0.05). Selain itu, Tabel 5 juga memperlihatkan variasi respon setelah diberikan perlakuan dosis 25 mg dan dosis 50 mg dan dengan meningkatnya umur hewan menunjukan penurunan konsentrasi hormon testosteron secara alami.
75 84.7 20.7 75.6 81.6 46.2 79.2 87.6 56.6 25 15.3 79.3 24.4 18.4 53.8 20.8 12.4 43.4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P0 D0 T0 P25 D25 T25 P50 D50 T50
Tabel 5 Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL) Umur Dosis (mg) 0 25 50 P D T 1.21 ± 0.50 (0.71-1.71) 1.05 ± 0.32 (0.86-1.42) 0.73 ± 0.34 (0.44-1.10) 1.21 ± 0.65 (0.46-1.49) 1.54± 0.59 (1.04-2.19) 0.83± 0.32 (0.52-1.16) 1.28± 0.84 (0.51-2.18) 1.46± 0.37 (1.04-1.75) 1.02 ± 0.76 (0.40-0.87)
Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25 : dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.
Tabel 6 Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
Umur Dosis 0 25 50 P D T a 1.21a a 1.05a a 0.73a a 1.21a a 1.54a a 0.83a a 1.23a a 1.46a a 1.02a
Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon testosteron. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon testosteron.
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron)
Hasil analisis konsentrasi hormon DHT disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13-18) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada umur pubertas p=0.52, faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada dewasa p=0.16 dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok tua p=0.990. Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Pengaruh faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok kontrol dengan p=0.59, faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT kelompok dosis 25 mg dengan nilai p=0.21, dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok dosis 50 mg p=0.94, data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 8 memerlihatkan bahwa hubungan antara faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon DHT tidak berbeda nyata (p>0.05).
Secara umum antar kelompok umur (pubertas, dewasa, dan tua) yang menunjukkan konsentrasi tertinggi ialah umur dewasa dan terendah pada umur tua. Pada umur pubertas pemberian ekstrak purwoceng cenderung memberikan penurunan konsentrasi. Hasil tersebut membutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan mekanisme yang terjadi. Pada umur dewasa nilai rerata konsentrasi hormon DHT yang diberikan dosis 50 mg cenderung memperlihatkan peningkatan. Sama seperti kelompok umur dewasa, pemberian dosis 50 mg memberikan peningkatan konsentrasi hormon DHT pada umur tua, akan tetapi
28
peningkatan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil uji lanjut pada Tabel 8 membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap umur ataupun umur terhadap dosis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada p>0.05. Secara fisiologis pemberian ekstrak purwoceng memberikan dampak kecenderungan terhadap penurunan dan peningkatan konsentrasi seiring peningkatan umur dan dosis, akan tetapi sesuai analisis sidik ragam hal tersebut tidak signifikan. Faktor jumlah n diduga memengaruhi hasil analisis statistik.
Tabel 7 Konsentrasi Hormon Androgen (DHT) (ng/mL)
Umur Dosis (mg) 0 25 50 P D T 0.62 ± 0.20 (0.42-0.82) 0.52 ± 0.15 (0.37-0.67) 0.43 ± 0.28 (0.15-0.71) 0.42±0.08 (0.36-0.51) 0.68± 0.11 (0.58-0.80) 0.44± 0.27 (0.28-0.75) 0.45 ± 0.30 (0.26-0.80) 0.74± 0.12 (0.60-0.79) 0.46 ± 0.24 (0.20-0.69)
Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25 : dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.
Tabel 8 Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (DHT)
Umur Dosis 0 25 50 P D T a 0.62 a a 0.52 a a 0.43 a a 0.42 a a 0.68 a a 0.44 a a 0.45 a a 0.74 a a 0.46 a
Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon DHT. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon DHT. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon DHT.
Pembahasan
Spermatogenesis melibatkan empat proses dasar yang dimulai dari pengembangan spermatogonium (sel germinal dan pembelahan sel mitosis berikutnya), meiosis (sintesis DNA dan dua kali pembelahan meiosis untuk menghasilkan spermatid haploid), spermiogenesis (pengembangan spermatid yang melibatkan diferensiasi kepala dan struktur ekor), dan spermiasi (proses pelepasan sperma matang ke dalam lumen tubulus). Pada umur pubertas meskipun individu hewan belum menunjukan perilaku bereproduksi, jaringan testisnya telah memproduksi spermatozoa walau masih banyak didapati lumen yang belum maksimal dipenuhi oleh spermatozoa. Jika dilihat pada foto hasil pengamatan, umur dewasa menunjukan spermatogenesis yang teratur dan terlihat dari banyaknya spermatozoa pada lumen tubulus seminiferus. Terbentuknya spermatid dan adanya spermatozoa yang memadati lumen tubulus seminiferus serta sel-sel
epitel tubuli seminiferus yang telah mengalami siklus menunjukan perbedaan derajat spermatogenesis antara pubertas dan dewasa.
Spermatositogenesis dikendalikan atas pengaruh hormon-hormon yang berasal dari adenohipofisa (pituitari anterior), terutama FSH dan spermiogenesis berlangsung di bawah pengaruh LH dan testosteron. FSH dan androgen bertindak baik secara terpisah dan sinergis untuk mendukung tahapan spermatogenesis, dari pembelahan sel spermatogonium sampai akhir tahapan yaitu perilisan spermatozoa. Hal ini dikarenakan peran hormon LH, FSH dan testosteron dalam proses spermatogenesis. Mekanisme peningkatan hormon ini diduga dimediasi oleh GnRH like substance atau saponin yang berupa steroid yang terkandung dalam tanaman. Steroid mampu meningkatkan jumlah sel spermatogonia, spermatosit, dan spermatid tanpa meningkatkan sekresi FSH (Taufiqqurachman 1999).
Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa adanya kandungan senyawa sterol pada tanaman purwoceng menjadi justifikasi terhadap peningkatan aktifitas hormon steroid yaitu dengan adanya stigmasterol dan golongan flavonoid (Sidik et al. 1975, Rostiana 2003, dan Suzery 2004). Pemberian ekstrak purwoceng yang dapat menstimulasi peningkatan hormon testosteron memberikan pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan sel-sel spermatogenik pada tubuli seminiferi. Diduga, hal ini terjadi akibat meningkatnya kadar hormon testosteron hasil konversi senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng yang terdeteksi dalam darah sebagai substrat dasar yang dibutuhkan sebagai prekusor hormon steroid sehingga mampu mendukung berlangsungnya peningkatan derajat spermatogenesis. Senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng seperti keberadaan senyawa golongan sterol dan flavonoid dianggap sebagai pemacu gonadotropin eksogen yang akan merangsang gonadotropin endogen dari kelenjar hipofisa dan merangsang steroid secara alami serta senyawa-senyawa lain yang ada dalam gonad. Sekresi testosteron oleh sel Leydig memberikan konsentrasi testosteron yang tinggi di sekitar tubulus seminiferus yang sangat penting untuk spermatogenesis.
Menurunnya konsentrasi testosteron atau ketidakseimbangan yang terjadi dapat mempengaruhi proses spermatogenesis. Selain itu, dapat menyebabkan spermatozoa tidak dapat mencapai pendewasaan, bahkan dapat menyebabkan azospermia (Jhonson, et al. 2008). Tingginya konsentrasi androgen juga akan mempengaruhi mekanisme yang terjadi pada target organ yang memiliki reseptor adrogen. Hormon yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi proses spermatogenesis adalah hormon androgen, akan tetapi kerja hormon androgen tidak sendiri. Hormon FSH atau LH dengan FSH juga mempunyai peran dalam mempertahankan spermatogenesis.
Ekstrak purwoceng mengandung beberapa senyawa yang dapat menjadi triger atau pemacu meningkatnya hormon testosteron. Kandungan senyawa bioaktif dari golongan steroid menjadi susbtrat utama yang mampu dikonversi menjadi hormon androgen (hormon steroid). Selain senyawa golongan steroid, senyawa golongan flavonoid yang terdapat dalam tanaman juga akan diserap oleh tubuh melalui pembuluh darah, senyawa tersebut mampu berikatan dengan reseptor estrogen alfa (REα) pada testis dan epididimis yang dapat menggantikan fungsi estrogenik dan bekerja sama dengan testosteron untuk pematangan spermatozoa (Akiles 2011).
30
Beberapa literatur menjelaskan bahwa periode pubertas dikaitkan dengan pertumbuhan testis yang cepat, perubahan pola sekresi LH yang meningkat secara bertahap dalam darah, dan inisiasi spermatogenesis. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini bahwa pada saat pubertas (kontrol), hormon testosteron lebih tinggi dibanding umur dewasa. Kesiapan hipotalamus sebagai poros pusat yang secara fisiologis telah memerlihatkan fungsinya, secara alami diikuti oleh peningkatan sirkulasi testosteron pada perubahan steroidogenesis di dalam testis, diferensiasi sel sertoli sampai terjadi spermatogenesis. Pada saat pubertas hewan menjadi kurang sensitif terhadap penghambatan umpan balik pada kompleks hipotalamus-hipofisis oleh steroid gonad. Diduga, bahwa hal ini memberikan informasi adanya peningkatan GnRH dan respon yang lebih besar oleh kelenjar pituitari. Faktor lingkungan (internal maupun eksternal) juga dapat menjadi pengaruh penting dalam sistem saraf pusat untuk memodulasi sistem endokrin. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang mampu menganggu bahkan mengubah kesiapan hewan dalam mencapai pubertas.
Pada saat mencapai dewasa morfologi dan spermatogenesis telah berlangsung dengan sempurna. Kondisi yang berbeda diperlihatkan pada umur tua, adanya faktor fisiologis seperti penuaan diduga menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya penurunan fungsi hypotalamus pituitary gonad axis