• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan baku untuk pembuatan produk alergen dapat berasal dari sumber nabati maupun hewani. Menurut European Pharmacopoeia 7.0 Monograph on Allergen Product 01/2010:1063, bahan baku yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen pangan adalah harus bagian yang dapat dimakan. Mutu bahan pangan yang digunakan adalah harus sesuai dengan mutu untuk konsumsi manusia. Aturan lainnya adalah harus menjelaskan bagian yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen dan nama ilmiah bahan baku (EDQM 2010). Bahan baku yang dipilih adalah bahan dengan kualitas baik. The Guideline on Allergen Products: Production and Quality Issues (EMEA/CHMP)BWP/304831/2007) menyebutkan bahwa parameter yang dapat digunakan menilai bahan baku untuk isolat alergen pangan adalah komposisi kimia berupa kadar protein, karbohidrat, lemak, enzim dan kadar air. Bahan baku yang digunakan untuk produksi isolat alergen merupakan campuran heterogen dari protein, glikoprotein, karbohidrat, dan senyawa lain yang tidak alergen (Esch 1997).

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan lokal asal Indonesia yang varietasnya umum dikonsumsi masyarakat. Menurut Burastero (2011), pemilihan bahan baku lokal untuk pembuatan isolat alergen lebih baik dibandingkan dengan menggunakan bahan baku non lokal karena masyarakat setempat terpapar dari alergen yang biasa dikonsumsi. Pasar ikan Muara Angke merupakan pelabuhan pendaratan ikan terbesar di Indonesia dan penyebaran ikan dari pasar muara angke hampir ke seluruh Indonesia sehingga pajanan alergen dari jenis ikan dari pasar muara angke juga besar. Menurut Burastero (2011), bahan baku untuk pembuatan isolat alergen yang akan digunakan untuk diagnosis atau imunoterapi sebaiknya berasal dari tempat dimana isolat itu akan digunakan untuk diagnosis. Spesies yang sama tapi berasal dari daerah yang berbeda mempunyai komposisi alergen dan reaktivitas terhadap IgE berbeda. Hal ini dibuktikan oleh Burazer et al. (2011) dengan membuat ekstrak alergen tungau debu rumah dari spesies yang sama, Dermatophagoides pteronyssinus, dengan asal sumber yang berbeda, Swedia, Chili dan Australia menghasilkan reaktivitas yang berbeda terhadap IgE.

Kepiting dan Cumi-cumi

Jenis kepiting yang digunakan pada penelitian ini adalah Scylla serrata dan jenis cumi-cumi adalah Photololigo duvaucelii sesuai hasil identifikasi yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Gambar 15 menunjukkan kepiting dan cumi-cumi yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan isolat alergen. Hasil identifikasi spesies masing-masing terdapat pada Lampiran 1 dan 2. Kepiting yang digunakan masih hidup sehingga terjamin kesegarannya sedangkan cumi-cumi berasal dari nelayan yang pulang melaut pada malamnya. Kesegaran cumi-cumi ditandai dengan dagingnya padat, berwarna putih dan agak kemerah-merahan, kantung tinta masih utuh, serta tentakel dan kepalannya masih lengkap. Menurut SNI 2731.2:2010, Cumi-cumi beku - Bagian 2: Persyaratan bahan baku (BSN, 2010), cumi-cumi dengan mutu baik adalah bersih, bebas dari setiap bau

yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Mutu baik secara organoleptik adalah mempunyai karakteristik kesegaran (i) kenampakan: utuh, tidak cacat, cemerlang (ii) bau: segar spesifik jenis, dan (iii) tekstur: elastis, padat dan kompak. Cumi-cumi dan kepiting yang tidak segar dapat mengandung histamin walaupun jumlahnya relatif kecil dibandingkan jenis ikan laut lain dari famili scombridae dan scomberesocidae (scombroid fish) seperti ikan tuna dan mackerel. Jika terdapat histamin dalam bahan baku maka kemungkinan besar akan hilang selama proses isolasi alergen karena bersifa larut dalam air. Keberadaan histamin dalam isolat alergen dapat menimbulkan kesalahan positif dalam diagnosis alergi secara in vivo menggunakan metode skin test.

(A) (B)

Menurut European Medicines Agency Evaluation of Medicines for Human Use (EMEA) dalam The Guideline on Allergen Products: Production and Quality Issues (EMEA/CHMP)BWP/304831/2007, komposisi kimia bahan baku berupa kadar protein, karbohidrat, lipid dan kadar air dapat dijadikan parameter mutu dalam pemilihan bahan baku alergen pangan. Kualitas bahan baku yang digunakan akan secara langsung mempengaruhi kinerja produk alergen. Tabel 9 menunjukkan karakteristik kimia daging kepiting dan cumi-cumi.

Kadar protein yang tinggi dengan kadar lemak dan karbohidrat yang rendah merupakan parameter pilihan bahan baku untuk pembuatan ekstrak alergen (Pastorello dan Trambaioli 2001). Hal ini untuk memudahkan proses ekstraksi protein karena alergen pada bahan makanan umumnya adalah suatu protein atau glikoprotein. Daging kepiting yang digunakan adalah campuran daging dari bagian capit, kaki, dan karapaks.

(A) (B)

Gambar 1 Bahan baku untuk pembuatan isolat alergen (A) kepiting (Scylla serrata) dan (B) cumi-cumi (Photololigo duvaucelii)

Tabel 1 Hasil analisis komposisi bahan baku kepiting dan cumi-cumi

No Parameter Kepiting Cumi-cumi

1 Air (%) 87,17 ± 0,07 84,17 ± 0,48 2 Abu (%) 2,25 ± 0,04 1,55 ± 0,04 3 Protein (Nx6,25) (%) 9,34 ± 0,05 12,45 ± 0,01 4 Lemak (%) 0,26 ± 0,01 1,04 ± 0,08 5 Karbohidrat (%) 0,99 ± 0,10 0,79 ± 0,37

Tabel 9. menunjukkan kadar protein campuran daging kepiting dari bagian capit, kaki, dan karapas, yaitu sebesar 9,34%. Bagian yang mengandung protein tinggi adalah capit (chela/cheliped). Hasil analisis menunjukkan kandungan protein dari daging capit kepiting adalah 13,89%. Penelitian yang dilakukan oleh Vasconcelos and Braz (2001), kandungan protein pada daging capit adalah 16,28%. Kandungan protein daging kepiting dari bagian karapas dan kaki relatif kecil yang dicirikan oleh daging berwarna hitam. Pencampuan antara daging kepiting dari karapak, capit dan kaki menghasilkan penurunan kadar protein. Berdasarkan European Pharmacopoeia 7.0 Monograph on Allergen Product 01/2010:1063,daging yang digunakan untuk bahan baku pembuatan alergen adalah semua bahan yang dapat dimakan maka daging kepiting yang digunakan adalah campuran dari daging dari capit, karapaks dan kaki. Menurut United States Department of Agriculture (2012), kadar protein cumi-cumi adalah 15,5 % dan kadar protein kepiting adalah 18,06%. Hasil analisis protein bahan baku cumi-cumi dan kepiting lebih kecil dibandingkan dengan data yang terdapat pada United States Department of Agriculture. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya: jenis cumi dan kepiting yang digunakan, lingkungan hidup, dan tingkat kesegaran.

Kacang Hijau dan Kacang Koro Pedang

Jenis kacang hijau yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Vigna radiata (L.) R. Wilczek) dan kacang koro pedang adalah Canavalia ensiformis (L.) DC)sesuai dengan hasil identifikasi oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong (Lampiran 3). Gambar 16 menunjukkan kacang hijau dan kacang koro pedang yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen.

Gambar 2 Bahan baku untuk pembuatan isolat alergen (A) kacang hijau (Vigna radiata (L.) R. Wilczek) dan kacang koro pedang (Canavalia ensiformis (L.) DC).

Kacang koro yang dipilih adalah kacang berwarna putih, ukuran bijinya besar, berisi, tidak kisut dan tidak ada bekas gigitan serangga berupa bercak coklat. Perlakuan pra-isolasi pada kacang hijau berbeda dengan kacang koro pedang. Kacang koro pedang direndam dalam air selama 2 hari untuk menghilangkan HCN dan antinutrisi yang ada serta memudahkan dalam pengupasan kulit luar. Bagian yang digunakan untuk pembuatan isolat alergen adalah isi kacang koro pedang atau bagian kotiledon. Kacang koro pedang yang telah dikupas kulitnya dikeringkan kemudian dilanjutkan dengan penepungan dan penyaringan hingga 60 mesh. Tepung kacang koro pedang kemudian dianalisis dan sebagian disimpan dalam freezer hingga digunakan untuk isolasi protein.

Kontrol terhadap pemilihan bahan baku merupakan bagian dari proses untuk menghasilkan isolat alergen yang berkualitas dengan reaktivitas yang konsisten. Tabel 10 menunjukkan karakteristik kimia bahan baku kacang hijau dan kacang koro pedang yang akan digunakan untuk pembuatan isolat alergen. Pemilihan parameter analisis proksimat sesuai dengan rekomendasi dari European Medicines Agency dalam The Guideline on Allergen Products: Production and Quality Issues (EMEA/CHMP)BWP/304831/2007). Kadar protein merupakan parameter penting dalam mempertimbangkan pemilihan bahan baku karena pada umumnya alergen pangan adalah suatu protein atau glikoprotein.

Tabel 2 Hasil analisis komposisi bahan baku kacang hijau dan kacang koro pedang

No Parameter Kacang hijau Kacang Koro pedang

1 Air (%) 11,4 ± 0,57 6,95 ± 0,02 2 Abu (%) 3,27 ± 0,01 1,38 ± 0,00 3 Protein (Nx6,25) (%) 21,80 ± 0,13 28,00 ± 0,01 4 Lemak (%) 1,60 ± 0,13 3,47 ± 0,17 5 Karbohidrat (%) 61,9 ± 0,57 61,60 ± 0,18 (A) (B)

Hasil analisis protein kacang hijau adalah 21,80% sedangkan menurut United States Department of Agriculture (2014) adalah adalah 23,86 %. Nilai ini mirip dengan kadar protein kacang hijau yang akan diisolasi proteinnya. Semakin tinggi kandungan protein bahan baku maka akan semakin baik karena akan memudahkan dalam isolasi dan perolehan isolat protein. Hasil analisis protein kacang koro pedang adalah 28,00% sedangkan menurut Ekanayake et al. (2000), kadar protein kacang koro pedang berkisar antara 23-34%. Kadar protein kacang koro pedang lebih tinggi dibandingkan kacang hijau. Penelitian yang dilakukan oleh Vadivel dan Janardhanan (2001) dengan mengumpulkan kacang koro pedang (Canavalia ensiformis L. DC) dari 9 tempat tumbuh di India selatan kemudian dilakukan analisis proksimat diperoleh kadar protein berkisar 28,9-35%, lemak 3,4-4,7%, abu 3,0-5,8% dan karbohidrat 46,1-54,5%.

Isolasi Protein

Proses ekstraksi atau isolasi merupakan tahapan penting dalam proses produksi isolat alergen. Dalam European Pharmacopoeia 6.0, tahapan produksi dibagi menjadi tiga tahap yaitu i) native allergen extract, ii) intermediate allergen extract dan iii) dan bulk allergen preparatian. Ekstrak alergen natif adalah ekstrak alergen yang diperoleh dari bahan baku alami dengan menggunakan pelarut yang sesuai sehingga alergen dapat terpisah dari bahan baku aslinya. Ekstrak alergen antara adalah ekstrak alergen yang diperoleh dari ekstrak alergen natif yang telah diproses baik secara kimia seperti konjugasi maupun fisika seperti adsorpsi dan freeze-dried. Sedian “alergen bulk” adalah produk dalam larutan atau suspensi yang tidak mengalami modifikasi lagi tapi sudah dikemas dalam kemasan dan dilarutkan dalam penggunaannya. Produk alergen yang akan digunakan untuk tusuk kulit harus steril sehingga proses produksi untuk menghasilkan sedian

“alergen bulk” dan produk akhir dilakukan secara aseptis.

Dalam European Pharmacopoeia 7.0 monograph on allergen product 01/2010:1063 tahap proses dibagi menjadi tiga yaitu: 1) sumber bahan baku, 2) bahan aktif, secara umum adalah ekstrak alergen yang dimodifikasi atau yang tidak dimodifikasi contohnya adalah ekstrak hasil freeze-dried dan 3) produk akhir. Proses lainnya dalam tahapan produksi disebut tahap intermediet. Pada penelitian ini, juga dilakukan tahap persiapan dan pemilihan bahan baku dengan kualitas yang baik kemudian dilakukan tahap antara berupa isolasi protein kacang dan seafood sehingga menghasilkan ekstrak alergen natif. Tahap berikutnya adalah tahap dua dengan melakukan freeze-dried ekstrak alergen natif menghasilkan ekstrak alergen. Ekstrak alergen yang mengandung bahan aktif alergen dilarutkan dalam PBS untuk menghasilkan sediaan alergen bulk. Tahap akhir proses produksi adalah formulasi produk sehingga menghasilkan produk akhir. Pelarutan dengan PBS dan formulasi dilakukan secara aseptis.

Proses isolasi untuk menghasilkan ekstrak alergen yang dilakukan oleh perusahaan sangat bervariasi walaupun dari sumber alergen yang sama sehingga akan menghasilkan reaktivitas yang berbeda-beda. Peraturan di US dan EU tidak mensyaratkan agar perusahaan mengikuti prosedur isolasi tertentu sehingga perusahaan diberi keleluasaan untuk mengembangkan metode isolasi sendiri. Pada saat registrasi produk, perusahaan wajib melampirkan flow chart proses produksi

disertai dengan penjelasan secara detil. Untuk menjaga konsistensi hasil ekstrak alergen selama proses produksi maka dapat dilakukan standardisasi produk. Perusahaan produk alergen tidak mempublikasikan secara detil proses ekstraksi yang dilakukan. Secara umum, isolasi protein atau glikoprotein yang dilakukan adalah menggunakan larutan bufer fisiologis.

Ekstraksi Protein Cumi-Cumi dan Kepiting

Isolasi protein alergen dari pangan hewani seperti telur dan produk laut umumnya langsung dilakukan dengan menggunakan larutan PBS pada produk pangan tersebut. Langeland (1982) melakukan isolasi alergen dari putih telur ayam menggunakan larutan salin fisiologis kemudian di-stirrer selama 4 jam, disentrifugasi dan supernatannya disimpan untuk uji immunokimia dan uji klinis. Tahap yang sama juga dilakukan oleh Bernhisel-Broadbent et al. (1994), ekstraksi protein putih telur menggunakan larutan PBS kemudian diekstraksi selama 12 jam . Metode yang sama untuk persiapan ekstrak dari berbagai macam produk laut mentah maupun yang sudah diolah (seperti catfish, tuna, salmon, trout, dan codfish) juga menggunakan larutan PBS (Bernhisel-Broadbent et al. 1994). Witteman et al. (1994) menggunakan akuades pH 8 untuk ekstraksi protein dari oyster, kepiting, dan mussels selama 4 jam. Gautrin et al. (2009) melakukan isolasi protein daging kepiting (snow crab) dengan menggunakan larutan PBS (pH 7.2, 0.01 mol/L). Belum dilaporkan isolasi protein alergen atau persiapan ekstrak protein produk laut untuk diagnosis alergi dengan cara ekstraksi protein miofibril dan sarkoplasma. Pemisahan protein miofibril dan sarkoplasma bertujuan untuk meningkatkan jumlah protein yang terekspresi pada saat penentuan profil protein dengan metode elektroforesis dan diharapkan protein alergen yang terdeteksi juga lebih banyak yang dilihat dengan metode immunoblotting. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam diagnosis karena protein penyebab alergi pada setiap individu berbeda-beda walaupun ada protein tertentu yang mempunyai reaktivitas alergenisitas yang tinggi yang dikenal dengan major allergen. Ekstrak alergen untuk diagnosis lebih efektif menggunakan crude protein dibandingkan single protein.

Secara struktural, protein penyusun ikan dan produk laut lainnya terdiri dari protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Protein sarkoplasma umumnya terdiri dari 30% dari total protein dan dapat dieksrak dengan air atau larutan garam dengan kekuatan ion dibawah 0.15M. Protein miofibril adalah protein struktur yang terdiri dari myosin, actin, tropomyosin, troponin, and actinin. Protein miofibril umumnya terdiri dari 66-77% dari total protein dan dapat diekstrak dengan larutan garam netral dengan kekuatan ion diatas 0,15M (Scopes 1994). Protein stroma berperan dalam pembentukan jaringan ikat terutama terdiri dari kolagen dan elastin. Protein stroma bersifat tidak larut dan tidak dapat diekstraksi dengan air, larutan asam atau basa dan garam netral 0,01-0,1M.

Recovery protein miofibril dan sarkoplasma kepiting masing-masing adalah 46,5% dan 31,5% sehingga total recovery protein kepiting dalam bentuk serbuk adalah 78%. Dalam 100 g sampel daging kepiting diperoleh jumlah serbuk ekstrak protein sebanyak 78 gram dengan 46,5 g serbuk ekstrak sarkoplasma dan 31,5 g ekstrak miofibril. Kadar protein masing-masing serbuk ekstrak protein miofibril dan sarkoplasma adalah 6,81% dan 7,75% sehingga jumlah protein yang terdapat

dalam ekstrak protein miofibril dan sarkoplasma masing-masing adalah 0,54 g dan 0,35 g. Jika jumlah protein awal adalah 1,88 g maka rendemen protein miofibril adalah 28,4% dan sarkoplasma adalah 18,4%. Jika kadar protein miofibril kepiting adalah 66-77 % dari total protein (1,88g) maka jumlah protein miofibril adalah 1,2 g maka rendemen protein miofibril terhadap protein miofibril awal adalah 41,7%. Jika kadar protein sarkoplasma kepiting adalah 30 % dari total protein (1,88 g) maka jumlah protein sarkoplasma adalah 0,56 g maka rendemen protein sarkoplasma terhadap protein sarkoplasma awal adalah 62,5%.

Protein cumi-cumi terdiri dari 15% protein sarkoplasma yang umumnya protein bersifat enzimatis (Sikorski dan Kolodziejska 1986). Kandungan protein miofibril cumi-cumi adalah 75-85% dari total protein terdiri dari miosin (220 kDa), aktin (45 kDa) dan paramiosin (111 kDa). Paramiosin umumnya menyusun 25% dari protein miofibril terutama pada hewan laut invertebrata (Sikorski and Kolodziejska 1986). Cumi-cumi mengandung protein kolagen 3 % dan N-non protein 36,2%. Hasil isolasi protein cumi-cumi diperoleh recovery protein miofibril dan sarkoplasma masing-masing 31,5% dan 46,5,0% sehingga “total recovery” protein cumi-cumi adalah 78,0% terhadap cumi-cumi yang digunakan. Masing-masing ekstrak dalam bentuk serbuk, hasil dari freeze-dried. Berdasarkan pengukuran dengan metode Bradford, kadar protein ekstrak protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi masing-masing adalah 7,43% dan 7,64% sehingga jumlah protein yang terdapat dalam ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril masing-masing adalah 0,48 g dan 0,69 g. Apabila dibandingkan dengan jumlah protein awal maka dapat dihitung rendemen (jumlah protein yang terekstrak) protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi. Tabel 11 menunjukkan recovery ekstrak protein dan rendemen protein miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi dan kepiting. Hasil perhitungan diperoleh bahwa rendemen protein miofibril cumi-cumi dan sarkoplasma cumi-cumi masing-masing adalah 27,8% dan 19,4%.

Tabel 3 Recovery dan rendemen ekstrak protein cumi-cumi dan kepiting

Menurut Sikorski dan Kolodziejska (1986), protein cumi-cumi terdiri dari 15% protein sarkoplasma dan 75-85% protein miofibril dari total protein. Jika dalam 20 g daging cumi-cumi terdapat 2,48 g total protein maka jumlah protein sarkoplasmanya adalah 0,37 g dan protein miofibrilnya 1,86- 2,1 g. Jumlah

No Ekstrak protein seafood Berat ekstrak (g) Kadar protein ekstrak (%) Berat absolut protein (g) Recovery (g/100g seafood) Rendemen (% protein seafood) 1 Miofibril cumi-cumi 9,2985 7,43 0,69 39,0 27,8 2 Sarkoplasma cumi-cumi 6,3065 7,64 0,48 25,5 19,4 3 Miofibril dan sarkoplasma cumi-cumi 15,6050 15,07 1,17 64,5 47,3 4 Miofibril kepiting 7,8743 6,81 0,54 46,5 28,4 5 Sarkoplasma kepiting 5,1417 6,75 0,35 31,5 18,4 6 Miofibril dan sarkoplasma kepiting 13,0220 13,56 0,89 78,0 46,8

protein miofibril yang terekstrak adalah 0,69 g sehingga persentase jumlah protein miofibril yang terekstrak terhadap protein miofibril awal adalah kira-kira 37%-33%. Jumlah protein sarkoplasma yang terekstrak adalah 0,48 g sedangkan jumlah protein sarkoplasma awal adalah 0,37 g sehingga protein sarkoplasma yang terekstrak adalah 130%. Protein sarkoplasma mempunyai sifat mudah larut dalam air dan Berdasarkan nilai ini, maka kemungkinan semua protein sarkoplasma terekstrak. Nilai persentase yang lebih dari 100% disebabkan karena jumlah protein sarkoplasma pada cumi-cumi sampel lebih dari 15%. Jumlah protein sarkoplasma yang terekstrak lebih besar dibandingkan dengan protein miofibril. Hal ini disebabkan protein sarkoplasma lebih mudah larut dalam air atau larutan garam encer sehingga proses ekstraksinya lebih mudah dibandingkan protein miofibril yang dapat larut pada konsentrasi garam > 0,3 M (Hultin et al. 1995). Isolasi Protein Kacang Hijau dan Kacang Koro Pedang

Keberadaan lipid dalam produk pangan biji-bijian dan kacang-kacangan tidak diinginkan karena dapat mengganggu proses pemisahan protein dengan metode elektroforesis dan kromatografi cair (Pastorello dan Trambaioli 2001). Lipid dapat menutup epitop pada alergen sehingga menurunkan alergenisitas. Untuk itu, lipid harus dikurangi atau dihilangkan dari bahan baku sebelum dilakukan isolasi melalui proses defatisasi atau delipidisasi tanpa merubah sifat alergenisitas. Protokol defatisasi menggunakan larutan heksan pertama kali dilaporkan oleh Samuel et al. (1987) menggunakan Brazil nut kernels dan Yunginger dan Jones (1987) menggunakan kacang tanah yang telah dihaluskan. Ekstraksi tiga kali dengan larutan heksan menghasilkan pasta bebas lemak kemudian dikeringkan selama 1 malam sehingga diperoleh tepung kacang bebas lemak. Pastorello Trambaioli (2001) melakukan defatisasi dengan menggunakan aseton. Defatisasi menggunakan larutan heksan pada produk pangan biji-bijian dan kacang-kacangan yang telah diolah juga disampaikan oleh Burks et al. (1992). Pada penelitian ini dilakukan defatisasi sesuai dengan Samuel et al. (1987) mengunakan larutan heksan tiga kali ekstraksi. Penurunan jumlah lemak pada defatisasi kacang koro pedang adalah 95% sehingga kandungan lemak setelah defatisasi adalah 0,19 ± 0,01% yang sebelumnya 3,47 ± 0,17%. Pada sampel kacang hijau, penurunan kandungan lemak adalah 62% sehingga menjadi 0,61± 0,09 % yang sebelumnya 1,60 ± 0,13%.Tepung kacang bebas lemak diisolasi proteinnya dengan metode isoelectric precipitation (Makri et al. 2005; Wu et al. 2009, Butt dan Batool 2010). Pemilihan metode isoelectric precipitation diharapkan menghasilkan isolat dengan kadar protein yang tinggi. Tabel 12 menunjukkan recovery dan rendemen isolat protein kacang hijau dan kacang koro pedang. Recovery isolat protein kacang hijau dan kacang koro pedang relatif sama, masing-masing adalah 20,5 dan 21,0 g/100g kacang. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Qayyum et al. (2012) dengan teknik isoelectric precipitation. Jenis kacang-kacangan yang digunakan adalah chickpea, lentil, broad bean, dan kidney bean dengan recovery yang dihasilkan masing-masing adalah 20,70±0,97; 29,58±1,49; 19,68±1,08; dan 14,60±0,38 g/100 kacang.

Rendemen protein isolat kacang hijau dan kacang koro pedang adalah masing-masing 68,3 dan 64,3 %. Rendemen protein isolat kacang hijau lebih tinggi dibandingkan isolat kacang koro pedang. Penelitian yang dilakukan oleh Qayyum et al. 2012, dengan teknik yang sama dan menggunakan jenis kacang

chickpea, lentil, broad bean, dan kidney bean menghasilkan kisaran rendemen 52,83±3,36 % protein kacang sampai 80,47±5,71 % protein kacang.

Kadar protein isolat kacang koro pedang lebih tinggi dibandingkan kadar protein isolat kacang hijau, masing-masing adalah 85,9% dan 72,7%. Penelitian yang dilakukan oleh Parades-Lopez et al. (2006) menghasilkan kadar protein 84,8-87,8 % isolat protein kacang arab (chickpea) yang diisolasi dengan menggunakan metode isoelectric precipitation. Penelitian yang dilakukan oleh Qayyum et al. 2012, dengan teknik yang sama dan menggunakan jenis kacang chickpea, lentil, broad bean, dan kidney bean menghasilkan masing-masing kadar protein 80,67±3,80; 84,66±6,48; 77,64±4,25 dan 72,69±3,87%. Penelitian yang dilakukan oleh Butt dan Batool (2010) menghasilkan kadar protein isolat kacang hijau 85%.

Tabel 4 Recovery dan rendemen isolat protein kacang hijau dan kacang koro pedang

No Isolat protein Berat

isolat (g) Kadar protein isolat (%) Berat absolut protein (g) Recovery (g/100g kacang) Rendemen (% protein kacang) 1 Kacang hijau 18,4681 87,98 16,25 20,5 82,7 2 Kacang koro pedang 5,6000 85,90 4,81 21,0 64,3 Elektroforesis

Profil protein merupakan salah satu parameter uji yang disyaratkan oleh European Pharmacopoeia 7.0: Allergen Products 01/2010:1063 untuk memverifikasi konsistensi selama proses produksi dari batch ke batch hingga ke produk akhir. European Pharmacopoeia 7.0 tidak mensyaratkan suatu produk alergen tertentu mengandung protein dengan bobot molekul tertentu. Hal ini diduga disebabkan bervariasinya profil protein untuk setiap produk alergen karena berbagai faktor seperti asal bahan dan proses pengolahan. Proses untuk memverifikasi produk alergen selama proses produksi dari batch ke batch hingga ke produk akhir disebut In-House Reference Preparation (IHRP). Parameter yang digunakan dalam IHRP tergantung sumber bahan alergen, pengetahuan tentang komponen alergen, ketersediaan pereaksi, dan tujuan penggunaan. Parameter yang digunakan dalam IHRP adalah kadar protein, profil protein, profil protein alergen, dan potensi biologis (secara in vitro maupun in vivo). Profil protein miofibril cumi-cumi, sarkoplasma cumi-cumi, miofibril kepiting, sarkoplasma kepiting, kacang hijau dan kacang koro pedang dapat diketahui dengan metode sodium dodecyl sulfate-polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE). Metode SDS-PAGE merupakan salah satu metode penentuan profil protein yang disarankan oleh European Pharmacopoeia 7.0. Metode lain yang disarankan adalah isoelectric focusing, immunoelectrophoresis, capillary electrophoresis, chromatographic techniques, dan mass spectrometry.

Metode SDS-PAGE dikondisikan agar memberikan resolusi pemisahan yang sempurna untuk protein dengan kisaran bobot molekul (BM) dari 10 kDa

Dokumen terkait