• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Letak dan Kondisi Geografis

Lokasi penelitian berada di Desa Bandung dan Desa Bleberan Kecamatan Playen. Terletak di 7056’40.4”LS dan 11032’59.5”BT pada ketinggian 229 meter diatas permukaan laut (m dpl). Bandung secara karakteristik topografi wilayahnya mirip dengan beberapa desa dalam wilayah administrasi Playen lainnya yaitu berupa wilayah yang datar dan kering, antara lain Desa Ngawu, Desa Playen, Desa Logandeng, Desa Ngunut, Desa Plembutan dan Desa Dengok. Sedangkan Desa Bleberan secara topografi mirip dengan Desa Banyusoco, Desa Getas, Desa Ngleri, Desa Gading dan Desa Banaran yaitu berbukit-bukit dan banyak mata air, kedua desa ini juga mewakili cara penghidupan yang berbeda. Desa Bandung wilayahnya dilalui oleh jalan raya Jogya-Wonosari KM 8-10, sehingga desa ini terlihat sebagai desa semi kota. Sedangkan Desa Bleberan lokasinya menjorok menjauhi jalan penghubung propinsi sehingga berdasarkan potensi yang dimilikinya saat ini lebih tampak sebagai pelosok dengan potensi desa ekowisata dan agraris.

Kecamatan Playen merupakan bentangan datar dan terletak di sebelah Barat Ibu kota Kabupaten Gunung Kidul yaitu Kota Wonosari dengan jarak kurang lebih 7 KM. Batas-batas wilayah Kecamatan Playen adalah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gedangsari, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wonosari, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Paliyan, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul. Wilayah Kecamatan Playen sebagian wilayahnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bantul. Secara geografis posisi Kecamatan Playen berada di zona tengah dengan ketinggian 150 m – 229 m dpl. Zona tengah atau zona ledoksari atau cekungan Wonosari, meliputi wilayah Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Ponjong Tengah, dan Semanu Utara. Bentuk wilayahnya landai sampai bergelombang dengan tinggi diatas permukaan laut antara 150-200 meter. Jenis tanahnya didominasi oleh asosiasi mediteran merah dan renzina serta grumusol hitam dengan bahan induk batu kapur dan merge. Kisaran curah hujan per tahun antara 1800-2000 mm. Terdapat sungai permukaan, sumber air dan di duga terdapat sungai bawah tanah. Wilayah zona tengah ini potensial untuk tanaman semusim (padi, palawija dan sayuran), tanaman dua tahunan seperti pisang, kolam ikan dan usaha ternak penggemukan maupun pengembangan.

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

Jumlah Penduduk. Jumlah penduduk Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul sampai dengan bulan September 2013 sebanyak 61.005 orang yang terdiri dari 30.259 orang laki-laki dan 30.746 orang perempuan. Jumlah penduduk khusus untuk desa Bandung adalah 2.003 laki-laki, 2.043 perempuan sehingga totalnya 4.046 orang. Desa Bleberan terdiri dari 2.790 orang laki-laki, 2.744 orang perempuan sehingga totalnya 5.534 orang. (PODES 2011 Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul). Adapun mata pencaharian yang lazim adalah sebagai petani, industri rumah tangga, penjaga apotek, warung kelontong, bengkel

sepeda motor dan mobil, makelar dan PNS atau jenis-jenis pekerjaan yang biasanya ditekuni oleh masyarakat desa semi kota. Sedangkan desa Bleberan lebih condong ke pekerjaan yang bersifat agraris meskipun ada juga yang menekuni pekerjaan swasta lainnya seperti yang ditekuni penduduk Bandung, namun jumlahnya dan variasi pekerjannya lebih sedikit.

Secara administratif Kecamatan Playen dengan luas 10.448,08 Ha di bagi dalam 13 (tigabelas) desa, dua diantaranya menjadi lokasi penelitian yaitu Bleberan dengan luas 1.626,10 Ha, dan Bandung dengan luas 401,33 Ha. Desa Bandung merupakan tipikal desa kurang dari 1000 Ha sehingga mewakili 5 desa kecil lainnya dalam wilayah administrative Kecamatan Playen. Desa Bleberan merupakan urutan nomor 2 dari 3 desa terluas di Kecamatan Playen, sekaligus mewakili 8 desa besar lainnya di Kecamatan Playen. Semua Desa di Kecamatan Playen telah membentuk Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), khususnya untuk Desa Bandung dan Bleberan secara rinci keberadaan LKD tersebut adalah sebagai berikut : Desa Bandung memiliki LPMD sebanyak 1 unit, PKK 1 unit, Karang Taruna 1 unit, LPMP 1 unit, 38 RT, 8 RW, dan 8 Dukuh. Sedangkan Desa Bleberan memiliki LPMD 1 unit, PKK 1 unit, Karang Taruna 1 unit, LPMP 1 unit, 85 RT, 11 RW, dan 11 Dukuh. (PODES 2011 Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul)

Sarana prasarana sanitasi, telekomunikasi dan ekonomi. Rumah hunian penduduk Kecamatan Playen bentuk bangunannya rata-rata sudah permanen dan semi permanen. Penduduk Kecamatan Playen rata-rata menggunakan sumber air untuk konsumsi dan keperluan mandi, cuci, kakus (MCK) dari sumur gali di pekarangannya masing-masing dengan kedalaman antara 7-20 meter. Untuk sarana prasarana listrik semua penduduk desa telah menggunakan sarana energi listrik walaupun sebagian masyarakatnya belum memasang sendiri, banyak diantaranya masih menggantungkan pada kebaikan tetangga. Untuk sarana prasarana jaringan telekomunikasi seluler telah berdiri beberapa tower yang dipasang oleh pihak swasta (Telkomsel, XL, Indosat, dll.,) fasilitas tersebut sangat membantu masyarakat dalam berkomunikasi karena dengan adanya pemancar dan

relay tersebut menjadikan sebagian besar wilayah desa di Kecamatan Playen sudah terjangkau jaringan/sinyal ponsel. Sementara itu untuk menunjang perekonomian masyarakat, potensi ekonomi desa di Kecamatan Playen ditunjang oleh sentra-sentra perekonomian masyarakat desa seperti adanya pasar umum (7 lokasi), pasar hewan (2 lokasi), koperasi berbadan hukum (4 unit), perbankan negeri dan swasta (6 unit).

Mata Pencaharian. Masyarakat Kecamatan Playen sebagian besar adalah petani tidak permanen, dengan hasil komoditas terdiri dari : padi, jagung, kedelai dan kacang tanah. Tidak permanen dalam bertani tersebut disebabkan pertanian di Kecamatan Playen hanya mengandalkan hujan dan air tanah, sehingga dalam setahun praktis hanya bisa menuai 2 hasil panen, yaitu musim hujan satu (MH 1) dengan komoditas padi ditambah sedikit palawija dan musim hujan 2 (MH 2) dengan hasil palawija karena hanya memerlukan lebih sedikit pasokan air dibanding komoditas padi. Pada musim kemarau (MK) petani tidak berani bertanam, kecuali dipojokan bidang sawah yang memiliki sumur, dengan istilah “nyetren”. Di setren ini mereka bertanam bayam, kangkung, bawang merah, bawang putih dengan skala kecil atau hanya untuk konsumsi pribadi (subsisten). Sebaran produksi pertanian di desa penelitian adalah sebagai berikut :

Desa Bandung produksi padi agregat per tahun adalah 1.923 kwintal, jagung 16.200 kwintal, ketela pohon 3.510 kwintal dan kacang tanah 400 kwintal. Desa Bleberan produksi padi agregat per tahun adalah 5.840 kwintal, jagung 31.320 kwintal, ketela pohon 8.532 kwintal dan kacang tanah 3.644 kwintal (PODES 2011 Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul). Selain memiliki potensi pertanian sebagai strategi nafkah, Kecamatan Playen juga memiliki potensi wisata, hanya saja keberadaan daerah wisata di kecamatan Playen tidak merata. Desa Bleberan beruntung karena memiliki 3 lokasi wisata, yaitu Gua Ngrancang Kencono, Situs Prasejarah Bleberan dan Sungai Oya dengan titik keramaian di Air terjun Sri Gethuk.

Agama. Sebagian besar penduduk (lebih dari 90 persen) di seluruh wilayah kecamatan penelitian memeluk agama Islam. Baik di Desa Bandung, maupun Desa Bleberan agama yang dianut oleh penduduk adalah Islam, Kristen dan Katholik. Tidak ada agama Hindu, Budha dan agama lainnya di daerah penelitian.

Karakteristik Keluarga Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua. Secara umum, keluarga contoh dilokasi penelitian termasuk keluarga kecil (< 4 orang). Tabel 5.1. memperlihatkan bahwa lebih dari 60 persen termasuk dalam keluarga kecil (< 4 orang), sisanya yaitu 31 persen termasuk keluarga sedang (5-6 orang) dan 1 persen termasuk keluarga besar (= 7 orang). Tabel 5.1 sekaligus menceritakan bahwa terdapat 63 keluarga atau 63 persen keluarga inti (keluarga batih) pada keluarga contoh, sisanya 37 keluarga atau 37 persen merupakan keluarga luas. Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak kandung atau orang tua dan anak saja atau orang tua saja baik masih hidup kedua- duanya atau tinggal salah satunya, sedangkan keluarga luas adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain. Jumlah anggota keluarga terkecil adalah dua orang dimana keluarga tersebut baru saja menikah dan belum dikaruniai anak, serta keluarga dengan (Tabel 5.1)

Hasil uji statistik kedua desa menunjukkan perbedaan yang signifikan (nilai p = 0,034) atau ∝ < 0,05. Keluarga contoh di Desa Bandung yang letaknya dekat dengan kantor kecamatan memiliki rata-rata jumlah tanggungan keluarga yang lebih sedikit yaitu 3, 82 orang, sedangkan keluarga contoh yang tinggalnya jauh dari kantor kecamatan memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar yaitU 4,40. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga contoh yang tinggal di Desa Bandung banyak yang merupakan keluarga baru atau keluarga lansia yang telah ditinggal pergi anak-anaknya.

Tabel 5.1.Sebaran keluarga contoh berdasarkan jumlah tanggungan keluarga dan lokasi tempat tinggal

Jumlah Anggota Keluarga

Desa Bandung Desa Bleberan Total

n % n % n %

Kecil (<4 orang) 34 68,0 29 58,0 63 63,0

Sedang (5-6 orang) 14 28,0 17 34,0 31 31,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100

Min-Maks (orang) 2-8 2-7 2-8

Rata + SD (orang) 3,82+1,45 4,40+1,22 4,1+1,36

P-value 0,034*

Keterangan : * Terdapat perbedaan yang signifikan pada rata-rata jumlah tanggungan keluarga contoh di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan p-value < 0,05 atau signifikan pada selang kepercayaan 95 %

Umur suami dan istri

Umur suami. Kepala keluarga pada umumnya merupakan pencari nafkah utama dalam rumahtangga. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa usia suami dari keseluruhan keluarga contoh berkisar antara 34 sampai dengan 82 tahun dengan rataan 55,47 tahun. Berdasarkan umur produktif dan tidak produktif BKKBN, umur 0-14 tahun disebut anak-anak yang masih ditanggung nafkahnya oleh orang tuanya, dan umur > 65 tahun disebut lansia atau umur tertanggung oleh anak, sehingga umur > 15 < 64 merupakan umur produktif yang menanggung sejumlah anggota keluarga tertanggung.

Umur istri. Umur istri dari keseluruhan keluarga contoh berkisar antara 28 sampai dengan 79 tahun dengan rataan 48,68 tahun. Jika dibandingkan dengan umur suami, umur istri dari keluarga contoh lebih muda dari umur suami. Tabel 5.2. juga menunjukkan bahwa umur istri dari keluarga contoh didominasi oleh kategori umur kerja produktif (90, 8 persen), umur lansia menempati urutan berikutnya (9, 2 persen).

Suami pada keluarga contoh di Desa Bandung, yaitu desa yang letaknya dekat dengan pusat pemerintahan memiliki rata-rata umur 60 tahun, sedangkan di Desa Bleberan, yaitu desa yang lokasinya jauh dari pusat pemerintahan memiliki rata-rata umur 49, 72 tahun. Dapat diamati bahwa rata-rata umur suami pada keluarga contoh yang bertempat tinggal di Desa Bandung lebih tua 10 tahun dibandingkan keluarga contoh yang bertempat tinggal di Desa Bleberan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara umur suami dari keluarga contoh yang bertempat tinggal di desa yang dekat dan jauh dari pusat pemerintahan dengan signifikansi 99 persen (p=0,000) atau lebih kecil dari ∝ = 0,001. Mayoritas umur suami di Desa Bandung berada pada kluster umur 45-54 tahun sebanyak 24 persen, kluster umur 55-64 persen sebanyak 28 persen, dan kluster umur 65+ sebanyak 42 persen, sedangkan di Desa Bleberan sebaran mayoritas berada di 4 kluster yaitu umur 35-44 tahun sebanyak 36 persen, kluster umur 45-54 tahun sebanyak 34 persen, kluster umur 55-64 tahun sebanyak 12 persen dan kluster umur 65+ sebanyak 16 persen. Di kedua desa tercatat umur suami dari keluarga contoh termuda adalah 34 tahun dan yang tertua 82 tahun. Tabel 5.2. Sebaran keluarga contoh berdasarkan umur suami-istri dan lokasi

tempat tinggal Kelompok Umur (Tahun) Suami Istri Desa Bandung Desa Bleberan Total Desa Bandung Desa Bleberan Total n % n % n % n % n % n % 23-34 0 0,0 1 2,0 1 1,0 3 6,0 `9 18,0 12 12,0 35-44 3 6,0 18 36,0 21 21,0 8 16,0 21 42,0 29 29,0 45-54 12 24,0 17 34,0 29 29,0 15 30,0 11 22,0 26 26,0 55-64 14 28,0 6 12,0 20 20,0 17 34,0 7 14,0 24 24,0 65+ 21 42,0 8 16,0 29 29,0 7 14,0 2 4,0 9 9,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0 50 100.0 50 100,0 100 100,0 Min-maks 38-78 34-82 34-82 33-75 28-79 28-79 Rata+SD 60,00+9,26 49,72+1,19 54,86+1,18 53,12+1,02 43,98+1,10 48,55+1,15

P-value 0,000** 0,000**

Keterangan : 1 Terdapat perbedaan signifikan pada umur suami antara keluarga contoh di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan p-value <∝=0,001 atau signifikan pada selang kepercayaan 99%

2 Terdapat perbedaan signifikan pada umur istri antara keluarga contoh di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan p-value <∝=0,001 atau signifikan pada selang kepercayaan 99%

Umur istri. Mayoritas umur istri di Desa Bandung di dominasi oleh kluster umur menengah dan tua, yaitu umur 45-54 tahun sebanyak 30 persen dan umur 55-64 tahun sebanyak 34 persen. Sedangkan mayoritas kluster umur istri di Desa Bleberan di dominasi oleh umur yang sedikit lebih muda, yaitu umur 35-44 tahun sebanyak 42 persen dan umur 45-54 tahun sebanyak 22 persen. Dilihat dari segi lokasi tempat tinggal, Desa Bandung yang letaknya dekat dengan pusat pemerintahan rata-rata usia istri adalah 33 tahun sedangkan Desa Bleberan yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan memiliki rata-rata umur istri 28 tahun. Hal ini bersesuaian dengan rataan umur suami di kedua desa, dimana rataan umur suami di Desa Bandung juga lebih tua dibanding rataan umur suami di Desa Bleberan. Umur istri dari keluarga contoh di Desa Bleberan yang termuda adalah 28 tahun, sedangkan yang tertua berusia 79 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara umur istri di kedua desa dengan nilai p-value =0,000 atau kurang dari ∝= 0,001.

Lama Pendidikan Suami dan Istri

Lama Pendidikan Suami. Pendidikan seseorang akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa secara umum lama dan tingkat pendidikan suami pada keluarga contoh penelitian ini yang paling rendah adalah nol tahun atau tidak sekolah, sedangkan yang paling tinggi adalah 14 tahun atau setara diploma tiga. Rata-rata lama pendidikan yang ditempuh suami pada keluarga contoh di Desa Bandung adalah 9,76 tahun, sedangkan rata-rata lama pendidikan yang ditempuh suami pada keluarga contoh di Desa Bleberan adalah 8,46 tahun. Rata-rata ini dinilai sudah cukup memenuhi syarat bila dibandingkan dengan rata-rata lama pendidikan Indonesia yaitu 8,3 tahun untuk laki-laki dan 7,5 tahun untuk perempuan. Porsi terbesar pada kedua desa adalah pendidikan setingkat SLTA, yaitu untuk Desa Bandung sebanyak 50 persen dan untuk Desa Bleberan 38 persen. Hasil uji-t menunjukkan terdapat perbedaan signifikan dari segi pencapaian tingkat pendidikan antara suami yang tinggal di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan

P-Value =0,028 atau < dari ∝ = 0,05.

Tabel 5.3. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan suami dan lokasi tempat tinggal

Lama pendidikan suami Desa Bandung Desa Bleberan Total

n % n % n %

Tidak tamat SD (< 6 tahun) 3 6,0 3 6,0 6 6,0

Tamat SD 11 22,0 16 32,0 27 27,0

Tamat SLTA (12 tahun) 25 50,0 13 26,0 38 38,0

Perguruan Tinggi (13 tahun +) 2 4,0 0 0,0 2 2,0

Total 50 100 50 100,0 100 100,0

Min-Maks (tahun) 0-14 2-12 0-14

Rata-Rata + SD (tahun) 9,76+3,12 8,46+2,69 9,11+2,97

P-Value 0,028*

Keterangan : Terdapat perbedaan yang signifikan pada lama pendidikan suami antara keluarga contoh di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan p-value <∝=0,05 atau signifikan pada selang kepercayaan 95%

Lama Pendidikan Istri.

Kaum ibu dikenal sebagai tulang punggung negara. Jika kaum ibu baik maka negara itu akan kuat namun jika kaum ibunya rusak maka negara itu akan runtuh. Kalimat tersebut merupakan hadist Rosulullah SAW, yang menunjukkan betapa pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk memajukan pola pikir dan kaum ibu. Pada tabel 5.4 ditunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan ibu di Desa Bandung didominasi oleh tingkat pendidikan setara SD sebesar 32 persen diikuti dengan setara lulusan SLTP dan SLTA pada porsi yang sama besar yaitu 24 persen. Sedangkan untuk Desa Bleberan status pendidikan istri didominasi oleh lulusan SD sebanyak 32 persen, lulusan SLTP 27 persen dan lulusan SLTA 21 persen. Berdasarkan uji beda-t diketahui tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai tingkat pendidikan istri di kedua desa P-value = 0,365 atau > ∝=0,05.

Tabel 5.4. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan istri dan lokasi tempat tinggal

Lama pendidikan istri Desa Bandung Desa Bleberan Total

n % n % n %

Tidak tamat SD (< 6 tahun) 6 12,0 8 16,0 14 14,0

Tamat SD 16 32,0 16 32,0 32 32,0

Tamat SLTP (9 tahun) 12 24,0 15 30,0 27 27,0

Tamat SLTA (12 tahun) 12 24,0 9 18,0 21 21,0

Perguruan Tinggi (13 tahun +) 4 8,0 2 4,0 6 6,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0

Min-Maks (tahun) 0-16 0-16 0-16

Rata-Rata + SD (tahun) 8,48+3,96 7,80+3,49 8,14+3,73

P-Value 0,365

Keterangan : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada lama pendidikan istri antara keluarga contoh di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan p-value >∝=0,05 atau tidak signifikan pada selang kepercayaan 95%

Pengeluaran per kapita

Pengeluaran keluarga adalah nilai total barang dan jasa yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga. Dengan menilai jumlah pengeluaran keluarga akan diketahui berapa kira-kira jumlah pendapatan keluarga. Dengan kata lain pengeluaran keluarga adalah salah satu metode pendekatan (proxy) untuk mengetahui berapa kira-kira pendapatan keluarga itu. Pengeluaran keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran keluarga bukan pangan. Seperti halnya dengan pendapatan, pengeluaran keluarga belum bisa mencerminkan apakah seluruh hajat kebutuhan keluarga sudah atau belum terpenuhi. Meskipun pengeluaran keluarga cukup

tinggi, tetapi bilamana anggota keluarganya banyak maka pengeluaran perkapitanya menjadi rendah. Sebetulnya pengeluaran perkapita bisa menjadi cerminan tingkat kesejahteraan materi dari keleluasaan mengkonsumsi barang dan jasa oleh anggota keluarga.

Semakin banyak konsumsi yang tergambarkan lewat besarnya pengeluaran perkapita maka semakin sejahtera keluarga tersebut. Tabel 5.5 menunjukkan sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran perkapita dan lokasi tempat tinggal. Pengeluaran keluarga minimal untuk kedua desa adalah sebesar Rp 125.000,00 per bulan sedangkan pengeluaran keluarga maksimal untuk kedua desa adalah Rp 1.080.000,00 per bulan. Porsi terbanyak pengeluaran per kapita adalah 58 persen keluarga contoh untuk pengeluaran diatas Rp.357.085,00 terdapat di Desa Bandung dan 52 persen keluarga contoh untuk pengeluaran diatas Rp 357.085,00 untuk keluarga contoh yang berdomisili di Desa Bleberan. Rata- rata pengeluaran perkapita untuk Desa Bandung adalah Rp 435.520,00 sedikit lebih tinggi dibanding Desa Bleberan sebesar Rp 366.360,00. Secara keseluruhan pengeluaran perkapita terendah adalah Rp 125.000,00 sedangkan pengeluaran per kapita tertinggi adalah Rp 1.080.000,00. Berdasarkan uji beda-t terdapat perbedaan yang signifikan P-value = 0,033 atau lebih rendah dari ∝ = 0,05 antara Desa Bandung dengan Desa Bleberan.

Tabel 5.5. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran perkapita dan lokasi tempat tinggal

Pengeluaran keluarga (Rp/Bulan) Desa Bandung Desa Bleberan Total

n % n % n % < Rp 238.056,00 5 10,0 9 18 14 14,0 Rp 238.056,00-Rp 297.570,00 8 16,0 9 18 17 17,0 Rp 297.571,00-Rp .357.084,00 8 16,0 6 12 14 14,0 >Rp 357.085,00 29 58,0 26 52 55 55,0 Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0 Min-Maks (Rp 000/bulan) 137+1.080 125+642 125+1.080 Rata + SD (Rp 000/bulan) 435,52+186,94 366,36+127,90 400,94+163,10 P-Value 0,033*

keterangan : 1. Rp 238.056,00 adalah batas Garis Kemiskinan (GK) Kabupaten Gunungkidul pada bulan September 2014.

2. Terdapat perbedaan signifikan pada pengeluaran keluarga antara keluarga contoh di Desa Bandung dan Desa Bleberan dengan P-value=0,033 atau < ∝=0,05 atau signifikan pada selang kepercayaan 95%

Keluarga petani membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan dengan cara yang berbeda. Banyak diantaranya yang tidak pernah membeli gula, kopi dan teh, susu, daging, ayam , telur, ikan segar, ikan asin, air dalam kemasan, sayuran dan buah-buahan. Petani yang tidak melakukan pembelian bahan pangan jenis ini karena cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan secara mandiri atau subsisten dan ada yang karena tidak menyukainya. Pada saat pengeluaran yang semestinya untuk memenuhi kebutuhan pokok ini tidak terpakai, keluarga petani akan membelanjakannya untuk memenuhi kebutuhan non pangan. Disisi yang lain, beberapa keluarga petani melakukan pembelanjaan yang didominasi oleh kebutuhan pangan. Tiga

pengeluaran pangan terbesar didominasi oleh jenis kebutuhan beras (15, 90 persen), sayuran (14,15 persen) dan buah-buahan (16,26 persen). Sedangkan enam rata-rata pengeluaran terendah untuk kebutuhan pangan didominasi oleh jenis pengeluaran untuk tepung (0, 94 persen), kopi dan teh (1,42 persen), susu (1,60 persen), daging (1,04 persen), ikan asin (0,60 persen) dan air kemasan (0, 69 persen). Ini sekaligus menunjukkan bahwa dari Sembilan bahan pangan pokok, gula dan tepung tidak menjadi prioritas bagi keluarga petani di pedesaan.

Tabel 5.6 menunjukkan pengeluaran keluarga dibagi atas pengeluaran pangan dan non pangan. Pengeluaran keluarga bisa dipakai sebagai pendekatan atas pendapatan keluarga per bulan, jika karena sesuatu hal dalam penelitian ini sulit diketahui berapa pendapatan yang pasti dari sebuah keluarga, maka pengeluaran keluarga bisa dipakai sebagai perkiraan pendapatan dari sebuah keluarga. Rataan pengeluaran keluarga masih didominasi oleh pengeluaran pangan, yaitu Rp. 948.060,00 per keluarga per bulan 60, 54 persen. Dengan demikian rata-rata untuk pengeluaran non pangan adalah sebesar 39, 46 persen. Rata-rata pengeluaran keluarga yang tinggi adalah untuk membeli beras sebesar Rp 249.050,00/keluarga/bulan, sayuran rata-rata Rp 221.650,00/keluarga/bulan, buah-buahan sebesar rata-rata Rp 254.650,00/keluarga/bulan serta rokok dan sirih rata-rata sebesar Rp 116.200,00/keluarga/bulan. Dua pengeluaran tertinggi untuk kebutuhan non pangan adalah biaya sekolah anak rata-rata sebesar Rp 153.140,00/keluarga/bulan dan sumbangan hajatan rata-rata sebesar Rp 152.000,00/keluarga/bulan. Keluarga contoh di kedua desa kurang memperhatikan tentang kebutuhan hiburan dan kesehatan, terbukti rata-rata pengeluaran keluarga untuk kebutuhan hiburan hanya Rp 20.044,00/keluarga/bulan dan untuk kebutuhan kesehatan rata-rata hanya Rp 53.821,00/keluarga/bulan.

Tabel 5.6 Rataan, standar deviasi dan prosentase pengeluaran keluarga contoh

Kebutuhan Pangan (Rp/Bln/keluarga) %

- Beras 249.050+104.574 15,90

- Gula 31.760+29.424 2,03

- Minyak goring 46.630+24.461 2,98

- Tepung 14.790+20.162 0,94

- Kopi dan the 22.220+19.323 1,42

- Susu 25.090+55.322 1,60 - Daging 16.350+62.225 1,04 - Ayam 75.525+70.375 4,82 - Telur 50.565+41.460 3,23 - Ikan segar 32.800+46.266 2,09 - Ikan asin 9.463+12.269 0,60 - Air kemasan 10.758+38.847 0,69 - Sayuran 221.650+177.414 14,15 - Buah-buahan 254.650+84.187 16,26

- Rokok dan Sirih 116.200+185.470 7,42

Sub Total 1 948.060+549.680 60,54

Kebutuhan Non Pangan

- Pakaian 36.088+38.636 2,30

- Listrik 49.460+33.006 3,16

- Sumbangan Hajatan 152.000+102.370 9,71

- Pulsa HP 44.813+45.566 2,86

- Bahan bakar Gas 25.183+23.361 1,61

- Biaya Sekolah Anak 153.140+200.680 9,78

- Kebutuhan MCK 69.050+63.152 4,41 Sub Total 2 544.580+191.960 34,78 - Hiburan 20.044+90.292 1,28 Sub Total 3 19.944+88.664 1,27 - Biaya Kesehatan 53.821+155.030 3,44 Sub Total 4 53.821+155.030 3,44 Pengeluaran Total (Rp/Bln+SD) 1.565.900+691.000 100,0

Modal-Modal Strategi Nafkah Modal Fisik

Dalam rumusan strategi nafkah, modal fisik merupakan satu dari lima modal yang sangat penting untuk menciptakan keamanan dan kelestarian strategi nafkah. Mengacu pada ILO dan FAO (2009), pada penelitian ini modal fisik berasal dari kepemilikan ternak, peralatan elektronika, kendaraan dan mesin produktif lainnya, meubelair, rumah dan kepemilikan lahan.

Kelompok ternak. Kelompok modal fisik yang pertama adalah kepemilikan ternak. Kepemilikan sapi di pedesaan bisa menjadi simbol tingkat kekayaan seseorang. Kepercayaan tetangga untuk memberikan pinjaman yang cukup besar kepada tetangganya yang lain seringkali dinilai dari kepemilikan sapi rumah tangga calon peminjam tersebut. Apalagi jika jumlah pinjamannya cukup besar. Dibandingkan dengan harta kekayaan yang lain berupa tanah pekarangan, sawah dan rumah, sapi terbilang paling liquid atau mudah diuangkan sewaktu- waktu. Sehingga kadangkala sapi juga disebut asuransinya orang desa. Asuransi “sapi” ini mudah diuangkan ketika anak pemiliknya ingin sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, pemiliknya sakit dan butuh biaya berobat yang cukup besar, atau

Dokumen terkait