• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran dan Habitat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok

Hasil Penelitian

Kelompok Sosial dan Komposisi Umur Anggota Populasi Lokal

Sensus terhadap sepuluh populasi lokal monyet ekor panjang yang berada di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok menunjukkan jumlah kelompok sosial yang menyusun populasi lokal cukup beragam (koefisien keragaman 46,36%), meskipun sebagian besar populasi lokal tersusun atas dua kelompok sosial. Hal serupa, jumlah monyet jantan dewasa, betina dewasa, muda, dan anakan di masing-masing populasi lokal bervariasi dengan koefisien keragaman berturut-turut 41,73, 44,37, 35,09, dan 47,46% (Tabel 3).

Tabel 3 Struktur populasi, luas habitat, dan kepadatan populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok

Kawasan Populasi lokal Jumlah kelompok sosial Jantan dewasa (ekor) Betina dewasa (ekor) Muda (ekor) Anakan (ekor) Total (ekor) Luas habitat (ha) Kepadatan (ekor/ha) PgsAP 2 8 15 37 8 68 15,00 4,5 Jawa Timur BmBL 3 15 30 92 13 150 15,00 10,0 PrPL 2 26 45 72 19 162 15,00 10,8 AK 3 17 63 84 36 200 12,00 16,7 PrUW 2 17 31 43 13 104 10,00 10,4 SG 3 23 43 119 17 202 13,97 14,5 WwUB 2 15 45 85 13 158 8,74 18,1 Bali PrBG 2 16 42 74 18 150 60,00 2,5 PS 6 30 74 72 24 200 20,00 10,0 Lombok PrGP 2 7 20 44 10 81 11,00 7,4 Rataan ±SD 2,7 ±1,252 17,4 ±7,260 40,8 ±18,097 72,2 ±25,332 17,1 ±8,117 147,5 ±48,820 18,07 ±15,077 10,49 ±4,971 Koefisien Keragaman (%) 46,36 41,73 44,37 35,09 47,46 33,10 83,44 47,39

Anggota populasi lokal monyet ekor panjang didominasi oleh monyet muda dengan kisaran 36-61,33% dengan rataan 49,59%, kecuali pada populasi lokal PS, proporsinya (36%) hampir sama dengan proporsi monyet betina dewasa (37%, Gambar 4). Monyet betina dewasa menempati posisi kedua terbanyak setelah monyet muda dengan proporsi antara 20-37% dan rataan 27,06%. Sementara, monyet jantan dewasa dan anak memberi kontribusi anggota relatif sama masing-masing antara 8,5-16,35% dengan rataan 11,78% dan 8,23-18% dengan rataan 11,56% secara berurutan.

31

Penggabungan jumlah monyet anakan dan muda dilakukan untuk melihat gambaran kenormalan komposisi umur populasi di masing-masing populasi lokal (Gambar 5). Penggabungan tersebut menghasilkan pola kurva yang sama di setiap populasi lokal. Jumlah gabungan monyet anakan dan muda menempati proporsi yang paling tinggi (48-70%, rataan 61,15%) dususl oleh monyet betina dewasa dan selanjutnya monyet jantan dewasa.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

PgsAP BmBL PrPL AK PrUW SG W wUB PrBG PS PrGP

Populasi lokal ju m la h in d iv id u (% ) anak muda betina dewasa jantan dewasa

Gambar 4 Komposisi monyet anak, muda, dan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang. Monyet muda mendominasi di seluruh populasi lokal, kecuali pada PS, frekuensinya relatif sama dengan monyet betina dewasa. Monyet betina dewasa ditemukan dengan proporsi tertiggi kedua setelah monyet muda, kecuali pada PS proporsinya tertinggi. Sementara monyet jantan dewasa dan anakan menyumbang keanggotaan relatif sama di setiap populasi lokal.

0 ,0 0 1 0 ,0 0 2 0 ,0 0 3 0 ,0 0 4 0 ,0 0 5 0 ,0 0 6 0 ,0 0 7 0 ,0 0 8 0 ,0 0 Pgs AP Bm BL PrP L AK PrU W SG Ww UB PrB G PS PrG P p o p u l a si l o k a l ju m la h in d iv id u (% ) a n a k d a n m u d a b e t in a d e w a s a ja n t a n d e w a s a

Gambar 5 Komposisi gabungan monyet anak dan muda, betina dewasa, dan jantan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor panjang. Semua populasi lokal memiliki pola kurva yang sama yaitu gabungan monyet anak dan muda mendominasi di setiap populasi lokal disusul monyet betina dan jantan dewasa.

32

Kepadatan Populasi Lokal

Jumlah anggota populasi lokal cukup beragam. Jumlah anggota populasi lokal berkisar 68-202 ekor dengan rataan mendekati 148 ekor (Tabel 3). Keragaman juga terlihat pada luasan habitat yang dihuni oleh populasi lokal. Populasi lokal menghuni habitat dengan luas yang bervariasi antara 8-60 ha dengan rataan ±18 ha. Hasil survei masyarakat di sekitar lokasi menunjukkan sebagian besar responden pernah melihat monyet ke luar habitat. Berdasarkan pada fakta tersebut, daerah jelajah populasi kemungkinan besar melebihi luas habitat yang dicatat sekarang. Kepadatan masing-masing populasi lokal juga berberda-beda dengan kepadatan terendah ditemukan pada populasi lokal PrBG 2,5 ekor/ha dan tertinggi pada populasi lokal WwUB 18,1 ekor/ha.

Rasio Monyet Ekor Panjang Jantan dan Betina Dewasa, serta Ukuran Populasi Efektif

Rata-rata rasio antara jantan dan betina dewasa populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok adalah 1:2,3 (Tabel 4).

Tabel 4 Rasio jantan dan betina dewasa serta ukuran populasi efektif (Ne) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok

Kawasan Populasi lokal Jantan dewasa (ekor) Betina dewasa (ekor) Total dewasa (N) (ekor) Rasio jantan:betina dewasa Ne* (ekor) Ne/N PgsAP 8 15 23 1: 1,9 16 0,70 Jawa Timur BmBL 15 30 45 1:2,0 34 0,76 PrPL 26 45 71 1:1,7 54 0,76 AK 17 63 80 1:3,7 55 0,69 PrUW 17 31 48 1:1,8 36 0,75 SG 23 43 66 1:1,9 51 0,77 WwUB 15 45 60 1:3,0 45 0,75 Bali PrBG 16 42 58 1:2,6 44 0,76 PS 30 74 104 1: 2,5 82 0,79 Lombok PrGP 7 20 27 1:2,9 20 0,74 Rataan ±SD 17,4 ±7,260 40,8 ±18,097 58,2 ±24,248 1:2,3 44± 18,968 0,75 ±0,031 Koefisien keragaman (%) 41,73 44,36 41,66 - 43,11 4,13

*Dihitung menggunakan rumus dari Nozawa et al. (1996)

Rasio jantan dan betina dewasa terendah ditemukan pada populasi lokal AK (1:3,7) dan tertinggi pada populasi PrPL (1:1,7). Ukuran populasi efektif

33 (Ne) populasi lokal cukup beragam (koefisien keragaman 43,11%) dengan ukuran tertinggi ditemukan pada populasi lokal PS (82 ekor) dan terendah pada populsi lokal PgsAP (16 ekor). Keragaman Ne adalah implikasi dari keragaman jumlah monyet jantan dan betina dewasa (N) di masing-masing populasi lokal. Namun demikian, nisbah atau rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah total monyet dewasa (Ne/N) sangat homogen (koefesien keragaman 4,13%) dengan kisaran 0,69-0,79 dan rataan 0,75 (Tabel 4).

Pembahasan

Penelitian yang telah dilakukan bersifat cross sectional dan eksploratif sehingga hasil yang didapatkan menggambarkan apa adanya di waktu tertentu. Meskipun penelitian ini bukan mencari jawaban atas keragaman yang tinggi pada beberapa parameter struktur populasi seperti ditampilkan pada Tabel 3, beberapa alasan dapat diberikan untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, luas habitat. Luas habitat yang didapatkan di beberapa populasi lokal bukan mencerminkan luas wilayah jelajah populasi lokal. Luas ini juga tidak mempertimbangkan kebutuhan monyet untuk beraktivitas atau mencari pakan. Kedua, tingkat isolasi populasi lokal. Berdasarkan pada hasil pengamatan di lapangan, tingkat isolasi populasi lokal dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi yaitu tingkat isolasi tinggi, sedang, dan rendah atau tidak ada. Tingkat isolasi tinggi ditemukan di populasi lokal AK, SG, WwUB, dan PrGP. Luas habitat populasi ini terbatas dan dikelilingi oleh perumahan atau daerah pertanian sehingga monyet yang keluar dari habitatnya cenderung dihalau kembali ke habitat. Tingkat isolasi sedang ditemukan di populasi lokal PrPL, PrUW, dan PrBG. Meskipun luas habitatnya terbatas dan dikelilingi oleh perumahan atau lahan milik masyarakat, sebagian habitat populasi lokal ini masih berhubungan dengan kawasan hutan atau lahan bebas dan monyet leluasa untuk memasukinya. Tingkat isolasi rendah atau tidak ada isolasi ditemukan di populasi lokal PgsAP, BmBL, dan PS. Populasi lokal ini terletak di dalam kawasan taman nasional atau hutan (PS) sehingga anggota populasi bebas bergerak tanpa ada hambatan. Perbedaan tingkat isolasi suatu populasi ini mungkin ikut menyumbang terhadap keragaman parameter struktur populasi yang diamati. Ketiga, pemberian pakan tambahan. Hasil penelitian pada

34 masyarakat sekitar dan lapangan menunjukkan tidak ada populasi lokal yang tidak diberikan pakan tambahan. Pakan tambahan dapat berasal dari berbagai sumber dengan kualitas dan kuantitas yang bervariasi. Ketersediaan pakan yang cukup akan mempertahankan anggota kelompok sosial dalam populasi lokal. Masyarakat pengguna jalan raya Gunung Pusuk acapkali melemparkan makanan dari dalam kendaraan untuk monyet yang ada di pinggir jalan. Kebiasaan ini berdampak pada struktur populasi monyet di Gunung Pusuk (PS) yaitu terbentuknya beberapa kelompok sosial yang menempati lokasi di sepanjang jalan raya Gunung Pusuk. Pembentukan kelompok sosial yang lebih banyak dan posisinya berderet akan lebih efektif dan kurangnya persaingan antar anggota untuk mendapatkan makanan dari pengguna jalan. Keempat, sejarah kolonisasi dan pemisahan populasi. Keragaman struktur populasi juga sangat terkait dengan bagaimana populasi awal terbentuk dan bagaimana pemisahan selanjutnya menjadi populasi yang lain. Data seperti ini sangat sulit untuk dilacak, namun kondisi tersebut tidak terbantahkan telah berkontribusi besar terhadap keragaman struktur populasi yang ada kini. Dan kelima, faktor-faktor stokastik internal dan ekternal. Dinamika populasi monyet ekor panjang tentu sangat terpengaruh oleh faktor yang bersifat internal seperti fitness, fertilitas, dan daya tahan atau kompetisi, serta faktor yang bersifat eksternal seperti penyakit, bencana alam, atau ulah manusia. Perpaduan dari beberapa hal tersebut di atas akan berdampak pada keragaman struktur populasi lokal seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Keragaman satu parameter akan berimplikasi pada keragaman parameter lainnya, seperti keragaman pada jumlah anggota populasi lokal dan luasan habitat akan berdampak pada keragaman kepadatan antar populasi lokal.

Monyet ekor panjang merupakan primata nonhuman yang hidup dalam kelompok-kelompok sosial (Napier dan Napier 1985; Bennett et al.1995; Dolhinow dan Fuentes 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar populasi lokal tersusun atas dua atau tiga kelompok sosial terutama populasi lokal yang menempati daerah dengan luasan terbatas seperti WwUB, SG, PrGP, atau AK (Tabel 3). Tampaknya, luas habitat, derajat isolasi, dan pemusatan sumber pakan sangat mempengaruhi pembentukan kelompok sosial dalam populasi lokal. Populasi lokal PS yang berlokasi di hutan atau gunung

35 (Gunung Pusuk) tidak memiliki batas yang tegas. Area yang luas pada PS memberi kesempatan kepada anggota kelompok untuk bergerak dan berpencar secara lebih bebas untuk mendapatkan makanan. Kelompok sosial yang anggotanya besar akan terpisah menjadi kelompok yang lebih kecil. Lebih banyaknya kelompok sosial yang ditemukan (enam kelompok sosial) di sepanjang jalan raya Gunung Pusuk (lebih kurang 2 km) mungkin terkait dengan hal tersebut seperti yang telah diterangkan di atas. Sementara, populasi lokal yang terletak pada area terbatas dan adanya pemusatan lokasi pemberian pakan memiliki kelompok sosial yang lebih rendah (2-3 kelompok sosial).

Hal yang sama juga terjadi pada area Pura Giri Sloka di Taman Nasioanl Alas Purwo (PgsAP) dan penginapan Bama Baluran (BmBL). Meskipun populasi lokal PgsAP dan BmBL terletak berturut-turut di Taman Nasional Alas Purwo (43420 ha) dan Baluran (25000 ha) yang cukup luas dan arealnya tanpa isolasi, jumlah kelompok sosial yang ditemukan di kedua populasi lokal tersebut berkisar 2-3 kelompok. Rendahnya kelompok sosial yang ditemukan lebih disebabkan oleh adanya pemusatan sumber pakan seperti di areal pura pada PgsAP dan di sekitar penginapan pantai Bama pada BmBL. Selain itu, pembatasan terhadap luas area yang disurvei yakni terbatas pada area sekitar Pura Giri Sloka (pada Alas Purwo) dan penginapan pantai Bama (Baluran) juga mendukung lebih sedikitnya kelompok sosial yang ditemukan.

Kelompok sosial dapat tertembuskan oleh kedatangan jantan migran meskipun kelompok sosial monyet ekor panjang bersifat kohesif. Monyet jantan dalam kehidupan selanjutnya akan migrasi ke kelompok sosial lainnya (Napier dan Napier 1985; Suryobroto et al. 1995) menyebabkan populasi lokal merupakan satu unit breeding. Hal senada, sebelumnya, telah dinyatakan oleh Kawamoto et al. (1981) karena rendahnya diferensiasi genetik antar kelompok sosial dalam satu lokasi. Hasil penelitian Wandia et al. (2004) yang menganalisis keragaman genetik monyet ekor panjang menggunakan beberapa lokus mikrosatelit pada satu area juga menemukan diferensiasi genetik antar kelompok sosial rendah sehingga satu populasi lokal dapat dinyatakan sebagai satu unit

36 Hasil sensus menunjukkan jumlah anggota masing-masing populasi lokal cukup beragam. Monyet muda merupakan penyumbang anggota populasi terbanyak di setiap populasi lokal (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan lebarnya kisaran umur untuk penentuan monyet muda yaitu 3-4 kali kisaran umur untuk anak. Monyet yang baru lahir dan monyet yang masih memiliki warna hitam pada rambut kepala dikelompokkan ke dalam anak. Selanjutnya, monyet yang warna hitam pada rambut kepala telah menghilang (umur ±15 bulan, Fooden 1995) dikelompokkan ke dalam monyet muda. Penentuan batas maksimum kelompok monyet muda cukup sulit. Fooden (1995) menyatakan bahwa batas maksimum umur muda untuk monyet jantan dan betina bila masing-masing gigi taring permanen dan geraham M3 tumbuh belum komplit. Ahli lain melansir bahwa monyet jantan dewasa ditandai oleh volume testis lebih besar dari 20 cm3 (Hendrickx dan Dukelow 1995). Karena kedua cara ini cukup sulit diterapkan di lapangan, jantan masih digolongkan muda jika besar badannya lebih kecil dari jantan dewasa (jantan alfa) yang ada, taringnya belum sepanjang taring jantan dewasa (umurnya kurang dari 6 tahun), dan tingkah lakunya permisif terhadap jantan dewasa. Untuk yang betina, monyet yang belum memperlihatkan puting susu menggelantung (pendulus) dikelompokkan ke dalam monyet muda (umur kurang dari 4 tahun). Penentuan umur dengan cara ini menyebabkan lebarnya kisaran umur monyet muda dan berimplikasi pada tingginya jumlah monyet muda dalam populasi lokal.

Secara umum, pada kondisi normal, monyet ekor panjang betina melahirkan pertama pada umur 46 bulan, dan interval kelahiran antara 12–24 bulan (Rowe 1996). Dalam kurun waktu 4 tahun (monyet betina anakan menjadi dewasa) akan terjadi akumulasi monyet muda antara 2-4 ekor dari setiap induk betina. Sejalan dengan keberlangsungan hidup populasi dari generasi ke generasi, jumlah gabungan monyet anakan dan muda akan melebihi jumlah monyet betina atau jantan dewasa pada suatu populasi lokal. Jika kondisi kenormalan ini menyimpang pada suatu populasi lokal, maka kehidupan jangka panjangnya kemungkinan juga akan terancam. Hasil penelitian menunjukkan jumlah gabungan monyet anakan dan muda sangat mendominasi di setiap populasi lokal (Gambar 5). Fakta ini mengindikasikan stabil dan amannya keberadaan jangka

37 panjang populasi lokal yang ada di ketiga pulau. Kondisi reproduksi monyet yang baik dan makanan yang cukup tampaknya menjadi penyumbang kestabilan populasi lokal tersebut selain faktor genetik (rendahnya tekanan silang dalam).

Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok sosial tipe multimales- multifamels group (Napier dan Napier 1985; Williams dan Bernstein 1995; Swindler 1998). Adanya banyak jantan dan betina dalam satu kelompok sosial merupakan hal umum pada monyet ekor panjang. Hal ini sejalan dengan hasil sensus demografi populasi monyet ekor panjang di sepuluh populasi lokal baik di Jawa Timur, Pulau Bali, maupun Pulau Lombok.

Populasi lokal ditempati oleh monyet jantan dewasa dengan kisaran 8,5- 16,35% dan betina dewasa antara 20-37% dari seluruh anggota populasi (Gambar 4). Rasio antara jantan dewasa dengan betina dewasa memiliki kisaran yang sempit pada masing-masing populasi lokal. Rasio tertinggi ditemukan pada populasi lokal Pura Pulaki (PrPL) 1:1,7 dan terendah pada populasi lokal Alas Kedaton (AK) 1:3,7 (Tabel 4). Karena kisaran rasio yang ditemukan cukup sempit, maka rataan rasio 1:2,3 mungkin dapat disimpulkan sebagai kekhasan rasio antara jantan dengan betina dewasa populasi lokal monyet ekor panjang di Indonesia. Konsistensi rasio ini dapat digunaan untuk memperkirakan jumlah monyet betina dewasa dalam suatu populasi lokal dengan hanya menghitung jumlah jantan dewasa. Pengalaman peneliti menunjukkan bahwa menghitung jumlah betina dewasa lebih sulit dari menghitung jumlah jantan dewasa.

Hal lain yang konsisten pada penelitian ini adalah nisbah (rasio) antara ukuran populasi efektif (Ne) dengan jumlah monyet jantan dan betina dewasa sensus (N). Dalam dunia genetika konservasi dan evolusi biologi, Ne memiliki peran yang sangat penting (Nozawa et al. 1996; Frankham et al. 2004). Ukuran populasi efektif (Ne) mengukur jumlah anggota populasi (jantan dan betina dewasa) yang terlibat dalam proses reproduksi dan memberi keturunan ke generasi berikutnya. Pada penelitian ini, Ne didekati dengan menggunakan rumus dari Nozawa yang digunakan untuk menghitung Ne pada kelompok monyet Jepang (Nozawa et al. 1996).

Ukuran populasi efektif (Ne) yang didapatkan pada penelitan ini cukup beragam sesuai dengan jumlah jantan dan betina dewasa yang ada pada populasi

38 lokal. Namun, rasio antara Ne dengan jumlah jantan dan betina dewasa sensus (N) sangat homogen (KK 4,13%) antar populasi lokal baik yang ada dalam satu pulau maupun antar pulau (Tabel 4). Rataan rasio Ne/N populasi lokal monyet ekor panjang sebesar 0,75 mungkin dapat dinyatakan sebagai kekhasan rasio Ne/N populasi lokal monyet ekor pajang yang ada di Indonesia. Rasio Ne/N yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi dari rasio Ne/N pada kelompok monyet Jepang (Macaca fuscata) yang mendekati 0,36 (Nozawa et al. 1996) dan juga lebih tinggi dari Ne/N untuk hewan secara umum (0,10) yang dilansir oleh Frankham et al. (2004) dalam buku “A Primier of Conservation Genetics”.

Salah satu penyebab penurunan jumlah anggota suatu populasi adalah menurunnya luasan habitat yang ditempati dan daya dukungnya (Primack 1995). Pengalihan fungsi kawasan atau hutan menjadi areal pertanian dalam arti luas, daerah industri, atau menjadi tempat tinggal telah menimbulkan beberapa populasi monyet terlokalisasi di suatu area seperti Wanara Wana Ubud (Pulau Bali), Alas Kedaton (Pulau Bali), dan Pura Gunung Pengsong (Pulau Lombok). Sensus yang dilakukan pada sepuluh populasi lokal pada penelitian ini mendapatkan jumlah anggota populasi lokal dan luasan area yang ditempatinya beragam (Tabel 3).

Penghitungan kepadatan populasi lokal menghasilkan besaran yang beragam. Populasi lokal WwUB, SG, dan AK adalah populasi lokal dengan urutan kepadatan tiga tertinggi dari seluruh populasi lokal yang diamati. Ketiga populasi lokal ini merupakan representasi populasi lokal dengan tingkat isolasi tertinggi dibandingkan populasi lokal lainnya karena habitatnya dikelilingi oleh areal pertanian dan perumahan. Kepadatan populasi lokal SG 14,5 individu/ha, AK 16,7 individu/ha, dan WwUB 18,1 individu/ha jauh melebihi kepadatan di Pulau Tinjil yang dihuni oleh monyet liar yang disurvei pada tahun 2001 sebesar 403,2 individu/km2 atau 4,03 individu/ha (Leeson et al. 2004). Populasi lokal PrUW, PrPL, dan PrGP juga memiliki kepadatan populasi yang melebihi kepadatan di Pulau Tinjil untuk survei tahun 2001 tersebut. Tingginya kepadatan populasi lokal mungkin berhubungan erat dengan kombinasi beberapa hal seperti sempitnya area yang ditempati, akses pakan yang lebih baik, dan terlindung dari gangguan luar. Tampaknya, ketersediaan pakan menjadi faktor penyumbang

39 utama terhadap tingginya kepadatan populasi lokal sebagaimana juga yang disampaikan oleh Fooden (1995) bahwa kepadatan kelompok monyet ekor panjang di alam liar tanpa diberi pakan tambahan lebih rendah daripada kepadatan di daerah yang diberi pakan tambahan.

Wheatly (1989) yang melakukan penghitungan jumlah anggota populasi di Wanara Wana Ubud (WwUB) pada tahun 1986 menemukan kepadatan 1600/km2 atau 16 individu/ha. Kepadatan populasi WwUB pada penelitian saat ini (tahun 2005) didapatkan 18,1 individu/ha. Dengan menggunakan data ini, laju pertumbuhan populasi dapat diperkirakan sebesar 0,131 selama kurun waktu 19 tahun. Atau jumlah populasi saat ini (tahun 2005) sebesar 1,131 kali jumlah populasi tahun 1986. Laju pertumbuhan ini terlihat cukup rendah untuk daerah dengan ketersediaan pakan cukup. Jika luas area WwUB adalah 8,74 ha maka jumah populasi tahun 1986 (survei Wheatly) sebesar 139 individu. Apabila diperkirakan jumlah betina dewasa sebesar 20% dari populasi (pendugaan terendah dari sensus penelitian ini dan 30% beranak) maka jumlah tambahan anggota sekali reproduksi sebesar 8 ekor. Jika terjadi dua kali reproduksi dalam 5 tahun, maka akan ada tambahan populasi sebesar 64 individu, atau laju pertumbuhan populasi sebesar 0,46 selama 19 tahun, atau jumlah anggota populasi saat ini (tahun 2005) semestinya 203 ekor. Jumlah ini jauh lebih besar dari hasil sensus saat ini (158 individu tahun 2005). Yang menjadi pertanyaan adalah kemana anggota populasi sejumlah 45 ekor tersebut. Survei terhadap masyarakat sekitar WwUB menunjukkan 100% responden menyatakan sering melihat monyet keluar dari habitatnya (Lampiran 11). Fakta ini mengindikasikan bahwa beberapa anggota populasi mungkin keluar dan menetap di lokasi lain di luar habitat sebelumnya. Pola ini kemungkinan besar juga ditemukan pada populasi lokal lain terutama populasi yang memiliki tipe yang mirip dengan WwUB seperti SG dan AK.

Habitat dengan luas yang terbatas memiliki daya tampung anggota populasi yang terbatas pula. Tingkat kenyamanan yang menurun akibat jumlah monyet yang berlebihan akan mendorong beberapa monyet untuk keluar dari habitatnya. Sebagian besar responden menyatakan bahwa monyet yang ada di luar habitat mengganggu atau merusak tetapi sebagian besar dari mereka juga

40 menyatakan tidak setuju ditangkap atau dibunuh. Sikap masyarakat yang demikian sudah memberikan perlindungan dan jaminan hidup anggota populasi lokal, atau sudah melaksanakan prinsip-prinsip konservasi. Namun demikian, konservasi tidak mesti mengorbankan properti masyarakat di sekitar populasi lokal. Suatu strategi untuk meminimumkan efek yang kurang baik dari kelebihan populasi perlu diupayakan. Satu pilihan yang paling mudah di antara pilihan- pilihan lain seperti relokasi atau pemanfaatan kelebihan populasi untuk berberbagai penelitian adalah memperluas habitat. Tetapi, alternatif ini tampaknya cukup sulit dilakukan karena keterbatasan lahan bebas yang tersedia.

Sebelum dilakukan kebijakan lain seperti pemindahan anggota atau penguatan populasi, penentuan status struktur genetik populasi sangat diperlukan untuk memutuskan apakah masing-masing populasi lokal diperlakukan sebagai unit manajemen yang berbeda atau tidak.

Simpulan

1. Struktur populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok beragam.

2. Komposisi umur populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok stabil dengan jumlah gabungan monyet anakan dan muda terbanyak, disusul diurutan kedua oleh monyet betina dewasa, dan diurutan ketiga oleh monyet jantan dewasa.

3. Populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki kisaran rasio jantan dengan betina dewasa yang sempit dengan rataan 1:2,3 dan kisaran rasio ukuran populasi efektif dengan jumlah monyet dewasa homogen dengan rataan 0,75.

41

Keragaman Fenotipe Kualitatif Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok

Hasil Penelitian

Kelas Fenotipe Kualitatif dan Sebaran Karakter

Tujuh kelas fenotipe kualitatif yang dikenakan pada 334 monyet ekor panjang dewasa dapat dikelompokkan menjadi sembilan belas karakter fenotipe (Tabel 5). Setiap kelas fenotipe memiliki jumlah karakter yang berbeda-beda, bahkan pada kelas fenotipe cambang (crest lateral wajah) ditemukan hanya satu karakter dari seluruh monyet yang disurvei. Dua karakter diidentifikasi pada kelas fenotipe warna kulit abdomen, namun sebagian besar populasi lokal hanya memiliki satu karakter. Karakter fenotipe terbanyak, yakni enam karakter, ditemukan pada kelas fenotipe pusaran kepala, kemudian disusul oleh kelas fenotipe jambul dengan empat karakter. Karakter tersebar pada populasi lokal

Dokumen terkait