• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Ekspresi dan Analisis Protein Hormon Pertumbuhan Rekombinan

Berdasarkan hasil analisis SDS-PAGE (Gambar 1), terdapat pita yang muncul pada posisi sekitar 21 kDa yang merupakan protein hormon pertumbuhan rekombinan. Panjang fragmen DNA gen HP dalam konstruksi adalah 563 bp. Di bagian depan sekuen gen HP terdapat fragmen 65 bp, total sekuen DNA yang menyandikan asam amino adalah menjadi 633 bp, sehingga ukuran protein yang dihasilkan adalah sekitar 21 kDA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa protein HPr telah berhasil diproduksi.

Gambar 1 Analisis SDS-PAGE protein HPr; M= marker, 1= protein dari bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa plasmid C-mOgGH; 2= protein dari bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa plasmid C-mCcGH tanda panah menunjukkan protein HPr; angka di sebelah kiri menunjukkan ukuran marker (M).

30

25 kDA

M 1 2

17

4.2 Percobaan Pertama

Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa bobot rerata juvenil ikan gurami yang diberi perlakuan perendaman protein hormon pertumbuhan dari rekombinan ikan mas dengan frekuensi 4 kali (2,232±0,190 g) lebih tinggi (P<0,05) dari kontrol dan perlakuan lainnya (Tabel 3). Rerata bobot ikan hasil perendaman 5 kali (1,808±0,169 g), 3 kali (1,682±0,338 g), dan 2 kali (1,718±0,289 g) tidak berbeda. Bobot ikan kontrol yang terdiri atas empat macam adalah tidak berbeda (P>0,05). Dengan demikian, juvenil ikan gurami merespons pertumbuhan secara optimum perlakuann HPr pada frekuensi 4 kali perendaman. Tabel 3 Rerata bobot akhir dan kelangsungan hidup juvenil ikan gurami kontrol

dan perlakuan percobaan pertama

Perlakuan Bobot akhir (rerata±SD;g)

Kelangsungan hidup (rerata±SE,%) Protein badan inklusi tanpa HPr (kontrol-1)

Albumim serum sapi (kontrol-2)

Media salinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3) Media air tawar (kontrol-4)

Perendaman HPr 2 kali Perendaman HPr 3 kali Perendaman HPr 4 kali Perendaman HPr 5 kali 1,396 ± 0,068 1,303 ± 0,063 ab 1,305 ± 0,090 a 1,287 ± 0,268 a 1,718 ± 0,289 a 1,682 ± 0,338 bc 2,232 ± 0,190 abc 1,808 ± 0,169 d c 89,33 ± 0,67 87,33 ± 0,67 ab 84,67 ± 4,37 ab 77,33 ± 6,96 ab 81,33 ± 9,40 a 88,67 ± 9,33 ab 96,67 ± 0,67 ab 95,33 ± 2,40 b ab

Keterangan: SD, simpangan deviasi. SE, simpangan eror. Perendaman HPr dilakukan seminggu sekali selama 2 minggu (2 kali), 3 minggu (3 kali), 4 minggu (4 kali), dan 5 minggu (5 kali). Bobot akhir ikan adalah bobot setelah dipelihara selama 4 minggu pertama di akuarium volume 7 liter, dan 2 minggu kedua di akuarium volume 50 liter. Huruf superskrip di belakang nilai SD yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda secara statistik (P<0,05).

Pertambahan bobot juvenil ikan gurami perlakuan perendaman 4 kali pada minggu ke-6 meningkat secara signifikan dibandingkan dengan minggu ke-5 (Gambar 2). Sementara itu, pertambahan bobot ikan perlakuan 2, 3, dan 5 kali

18 perendaman HPr, serta kontrol cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa wadah pemeliharaan telah mempengaruhi potensi pertumbuhan ikan. Oleh karena itu, ikan dipindahkan ke hapa yang dipasang di kolam. Kepadatan ikan dalam hapa adalah 100 ekor. Setelah dipelihara selama 2 minggu dalam hapa, bobot ikan perlakuan perendaman HPr 4 kali (4,010 g) meningkat sekitar 1,80 kali lipat dibandingkan pada minggu ke-6, sedangkan bobot ikan perlakuan lainnya (2,554 – 2,794 g) hanya meningkat sekitar 1,41 – 1,63 kali lipat. Bobot ikan perlakuan perendaman HPr 4 kali adalah lebih tinggi sekitar 70% dibandingkan dengan kontrol (1,962 – 2,359 g). Dengan demikian, pertumbuhan ikan perlakuan perendaman HPr 4 kali tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya.

Seperti ditampilkan dalam Tabel 3, tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada perlakuan perendaman HPr 4 kali (96,67%), sedangkan yang terendah pada perlakuan kontrol-4 ikan direndam dalam air tawar (77,33%). Kelangsungan hidup ikan perlakuan perendaman hormone pertumbuhan rekombinan ikan mas 4 kali juga lebih tinggi daripada perlakuan kontrol-1, 2, dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas 4 kali memberikan kondisi optimum bagi kelangsungan hidup juvenil ikan gurami. Selanjutnya, kelangsungan hidup ikan saat diperlihara di kolam adalah 100% untuk semua perlakuan dan kontrol. Dengan demikian, juvenil ikan gurami yang telah dipelihara selama 6 minggu di akurium relatif kuat dipelihara pada kondisi lingkungan tidak terkendali dengan baik di kolam.

Pertumbuhan ikan gurami relatif lambat sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran konsumsi (>300 g/ekor) relatif lama. Perbaikan pertumbuhan ikan gurami menggunakan metode perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas merupakan alternatif metode cepat. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa bobot juvenil ikan gurami yang direndam

hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas sekali seminggu selama 4 minggu 71% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol-2 albumin

serum sapi. Kelangsungan hidup ikan perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas 4 kali (96,67%) juga lebih tinggi daripada kontrol-2 (87,33%). Dengan demikian, pertumbuhan bobot dan kelangsungan

19 hidup juvenil ikan gurami dapat ditingkatkan dengan perlakuan perendaman HPr 4 kali. Bobot dan kelangsungan hidup merupakan faktor penentu tingkat produksi budidaya ikan, sehingga perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas berpotensi tinggi untuk diterapkan oleh pembudidaya untuk meningkatkan produksi budidayanya.

Gambar 2 Pertumbuhan bobot rerata (g) juvenil ikan gurami yang dipelihara di akuarium volume 7 liter selama 4 minggu pertama dan dilanjutkan di akuarium volume 50 liter selama 2 minggu kedua. Perendaman ikan dalam air mengandung hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas dilakukan seminggu sekali selama 2 minggu (perendaman HPr 2 minggu), 3 minggu (perendaman HPr 3 kali), 4 minggu (perendaman HPr 4 kali), dan 5 minggu (perendaman HPr 5 kali). Ikan kontrol direndam dalam air yang mengandung protein badan inklusi tanpa HPr (kontrol-1), albumin serum sapi (kontrol-2), Media salinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3), dan air tawar tanpa protein (kontrol-4). Frekuensi perendaman HPr 4 kali lebih baik daripada 2, 3, dan 5 kali. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman 4 kali adalah yang optimum untuk memacu pertumbuhan juvenil ikan gurami. Namun demikian, peningkatan bobot ikan hasil perlakuan perendaman 4 kali pada percobaan ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh oleh Putra (2011) yang melakukan perendaman HPr sebanyak 3 kali. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah perbedaan HPr yang digunakan, percobaan ini menggunakan HPr ikan mas, sedangkan Putra (2011) menggunakan HPr ikan gurami. Faktor lain yang

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 0 1 2 3 4 5 6 R at aan B ob ot I k an ( g) (Minggu ke-)

Protein badan inklusi tanpa rHP (kontrol-1) Albumin serum sapi (kontrol-2)

Media salinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3) Media air tawar (kontrol-4)

Perendaman HPr 2 kali Perendaman HPr 3 kali Perendaman HPr 4 kali Perendaman HPr 5 kali

20 dapat menjadi penyebab adalah ikan uji yang digunakan bukan ikan klon yang memiliki karakteristik genetik sama. Pengujian kedua HPr ini secara bersamaan pada populasi juvenil ikan gurami dari induk yang sama diduga dapat memberikan jawaban apakah perbedaan hasil percobaan tersebut terkait dengan sumber gen yang digunakan dalam pembuatan HPr.

Peningkatan frekuensi perendaman HPr cenderung meningkatkan kelangsungan hidup juvenil ikan gurami. Frekuensi perendaman HPr 4 dan 5 kali adalah sama, dan lebih tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan kontrol termasuk kontrol air tawar. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Putra (2010) bahwa kelangsungan hidup perlakuan HPr (100%) lebih tinggi daripada kontrol (94%). Pemberian HPr dapat meningkatkan daya tahan ikan terhadap stres (McCormick 2001; Acosta et al. 2009), dan infeksi penyakit (Sakai et al. 1997; Acosta et al. 2009). Kondisi media dan metode pemeliharaan ikan pada semua perlakuan pada percobaan ini adalah sama. Oleh karena itu, peningkatan kelangsungan hidup tersebut diduga disebabkan oleh peningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap stres. Stres dapat berasal dari perlakuan salinitas, dan gangguan fisik dalam pemeliharaan ikan seperti pengambilan ikan dari akuarium untuk diberi perlakuan HPr dan pergantian air akuarium yang dilakukan setiap hari.

Pemberian HPr dengan frekuensi 3 kali atau lebih adalah umum dilakukan, seperti Leedom et al. (2002) menginjeksi ikan nila dengan HPr sekali seminggu selama 4 minggu, dan Acosta et al. (2009) merendam juvenil ikan mas 3 kali seminggu. Namun demikian, pemberian HPr dengan frekuensi sering adalah tidak praktis dilakukan oleh pembudidaya. Oleh karena itu, perlakuan HPr dengan sekali perendaman pada juvenil ikan gurami perlu diteliti. Sonnenschein (2001) melaporkan peningkatan pertumbuhan ikan grass carp secara signifikan dengan hanya sekali perendaman HPr menggunakan dosis tinggi 300 mg/L. Penggunaan total HPr 4 kali pemberian hasil percobaan ini menjadi sekali pemberian (120 mg/L) diduga juga dapat meningkatkan pertumbuhan juvenil ikan gurami secara signifikan, dan hal ini akan meningkatkan daya tarik HPr untuk diaplikasikan oleh pembudidaya.

21

4.3 Percobaan Kedua

Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa rerata bobot benih ikan gurami tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L) (5482,58±110,70 g), selanjutnya perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 2 kali @60 mg/L interval 3 hari (4480,95±858,82 g), perendaman perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurami 2 kali @60 mg/L interval 7 hari (4569,28±242,87 g), albumin serum sapi (kontrol-1) (3621,79±197,40 g) dan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari) (3488,75±155,38 g). Hal ini menunjukkan bahwa hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami dapat diberikan sekali, dengan efek pertumbuhan yang tinggi.

Gambar 3 Pertumbuhan bobot biomassa (g) juvenil ikan gurami yang dipelihara di akuarium volume 250 liter selama 4 minggu pertama dan dilanjutkan kolam dengan luas hapa 3x2x1m. Angka 1, 2, 3, 4, 5 menunjukkan perlakuan. 1= Perendaman albumim serum sapi (kontrol-1), 2= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari

ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 3= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami

2 kali @ 60 mg/L (interval 7 hari), 4= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 3 hari), 5= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L)

3.621,79 3.488,75 4.569,28 4.480,95 5.482,58 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 1 2 3 4 5 Bob ot b iom assa (g) Perlakuan

22 Kelangsungan hidup ikan (Gambar 4) hasil perendaman 1 kali (87,38±8,84%) tidak berbeda (p>0,05) dengan perlakuan perendaman lainnya, tetapi lebih tinggi (p<0,05) daripada kontrol-2 (64,00±7,25%). Perendaman 1 kali dengan dosis tinggi mampu memberikan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan kontrol.

Gambar 4 Kelangsungan hidup ikan gurami pada akhir percobaan. Angka 1, 2, 3, 4, 5 menunjukkan perlakuan. 1= Perendaman albumim serum sapi (kontrol-1), 2= Perendaman HPr dari ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 3= Perendaman HPr dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 7 hari), 4= Perendaman HPr dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 3 hari), 5= Perendaman HPr dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L)

Perendaman HPr dari ikan gurami dosis tinggi memacu pertumbuhan bobot benih ikan gurami yang diamati pada percobaan ini. Terlihat bahwa perendaman HPr sekali dengan dosis tinggi memberikan pertumbuhan yang signifikan (P<0,05) dengan perlakuan lainnya. Agellon et al. (1988) telah meneliti perendaman sekali larva ikan raibow trout dalam larutan HPr 500 µg/L dapat memacu pertumbuhan. Sementara Schulte et al. (1995) melaporkan bahwa HPr sapi dapat mempercepat pertumbuhan benih ikan rainbow trout setelah direndam pada dosis 1-100 mg/L. Peterson et al. (2004) menyatakan bahwa penyuntikan tunggal dosis tinggi lebih efektif memacu pertumbuhan bobot pada ikan lele.

72,00 64,00 82,31 79,78 87,38 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 K el an gs ungan hi dup (% )

Perlakuan

23 0,5

-0,5

-kb M 1 2 3 4 5 6 7

Kelangsungan hidup ikan hasil perendaman 1 kali (87,29±8,76) berbeda (p<0,05) dengan perlakuan perendaman lainnya. Perendaman tunggal dengan dosis tinggi mampu memberikan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. Putra (2011) mendapatkan kelangsungan hidup 100% pada perendaman benih ikan gurami dosis 30 mg/L. Selanjutnya Acosta et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian HPr pada larva dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan daya tahan terhadap stres dan infeksi penyakit. Pemberian HPr pada ikan rainbow trout juga efektif meningkatkan resistensi terhadap Vibrio anguilarum (Sakai et al. 1997).

4.4 Ekspresi Gen IGF-I

Hasil elektroforesis RT-PCR ekspresi gen IGF-I, 24 jam setelah direndam dengan HPr dari ikan gurami dapat dilihat pada Gambar 5A. Sebagai kontrol internal digunakan gen β-aktin (Gambar 5B). Dari hasil analisis level ekspresi (Gambar 6) pemberian HPr pada ikan gurami 1 kali perendaman dapat menginduksi peningkatan ekspresi gen IGF-I yang signifikan setelah 24 jam dibandingkan dengan perlakuan lain.

\

Gambar 5 Ekspresi gen IGF-I (A), dan gen β-aktin (B) yang diamati 24 jam setelah perendaman hormon pertumbuhan rekombinan (HPr) dari ikan gurami. M = marker DNA. Angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, menunjukkan perlakuan. 1= Perendaman HPr 1 kali (120 mg/L), 2 = Perendaman HPr 2 kali (@ 60 mg/L, 3= Perendaman 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 4= Perendaman dengan albumin serum sapi (kontrol-1), 5= kontrol sebelum kejutan salinitas, 6= kontrol setelah kejutan salinitas, 7= sampel hasil PCR tanpa DNA cetakan.

A

24 Penelitian ini ingin membuktikan mekanisme kerja hormon pertumbuhan eksogen yang melibatkan hormon IGF-I. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian hormon pertumbuhan rekombinan melalui perendaman merangsang transkripsi IGF-I dalam hati benih ikan gurami. Perendaman HPr 1 kali (total dosis 120 mg/L) mampu meningkatkan ekspresi gen IGF-I secara signifikan di seluruh tubuh benih ikan gurami dibandingkan dengan perlakuan lain. Pembuktian ini mengidikasikan bahwa efek pertumbuhan merupakan proses dari meningkatnya IGF-I pada tubuh ikan sebagai respons dari pemberian hormon pertumbuhan rekombinan.

Gambar 6 Level ekspresi gen IGF-I pada larva ikan gurami, 24 jam setelah perendaman hormon pertumbuhan rekombinan. Data telah dinormalkan dengan menggunakan gen β-aktin. Angka 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 menunjukkan perlakuan. 1 = kontrol sebelum kejutan salinitas, 2 = kontrol setelah kejutan salinitas 3 = Perendaman dengan albumin serum sapi (kontrol-1), 4 = Perendaman HPr 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 5 = Perendaman HPr 2 kali (@ 60 mg/L), 6 = Perendaman HPr 1 kali (120 mg/L). 1,57 1,47 1,61 1,43 1,52 2,06 0 0,5 1 1,5 2 2,5 1 2 3 4 5 6 m RNA I G F -I/ β -ac ti n Perlakuan

25 Peningkatan IGF-I setelah direndam rHP yang ditemukan pada penelitian ini serupa dengan pola IGF-I pada ikan ekor kuning (Pedroso et al. 2009), ikan salmon (Pierce et al. 2004) dan ikan seabream (Leung et al. 2008) yang menunjukkan adanya pengaruh hormon pertumbuhan yang besar dalam hati ketika diberikan hormon pertumbuhan eksogen dengan dosis tinggi. Pemberian hormon pertumbuhan secara eksogen baik yang homolog dan heterolog juga dapat menyebabkan peningkatan mRNA IGF-I di hati ikan salmon (Oncorhynchus

kisutch) (Duguay et al. 1994), ikan sidat Jepang (Anguilla japonica) (Duan et al.

1993) dan ikan mas (Cyprinus carpio) (Vong et al. 2003). IGF-I berperan penting dalam mengatur beberapa proses fisiologi ikan seperti pertumbuhan, metabolisme, perkembangan, reproduksi dan osmoregulasi. Pemberian hormon pertumbuhan pada ikan juga dapat meningkatkan toleransi terhadap salinitas (Bolton et al. 1987) sehingga dapat mengurangi tingkat stres ikan gurami yang diberi kejutan salinitas dan perendaman HPr.

Efek hormon pertumbuhan pada jaringan target dimediasi oleh reseptor hormon pertumbuhan. Hal ini telah dilaporkan oleh Gahr et al. (2008) bahwa pemberian hormon pertumbuhan rekombinan akan meningkatkan ekspresi reseptor hormon pertumbuhan pada hati. Ekspresi IGF-I dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan, dan pada percobaan kedua digunakan hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurami. Penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan yang homolog diduga memegang peranan penting dalam mengenali dan merespons sinyal reseptor serta memiliki tingkat afinitas tinggi. Hormon pertumbuhan berikatan dengan reseptor di hati, dan merangsang pelepasan hormon IGF-I (Moriyama et al. 2000).

4.5 Kadar Hormon Kortisol

Hasil pengukuran hormon kortisol pada benih ikan gurami yang diberi kejutan salinitas dan direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan dapat dilihat pada Gambar 7. Sebelum diberi kejutan salinitas, kadar kortisol yang terukur adalah 3,12 ng/mL kemudian mengalami peningkatan sebanyak 190,23% ke level 9,04 ng/mL setelah kejutan salinitas selama 2 menit. Level kortisol terus meningkat pada perendaman hormon pertumbuhan rekombinan 1 kali hingga

26 mencapai 20,72 ng/mL sesaat setelah perendaman. Perendaman HPr 2 kali juga mencapai puncak sesaat setelah perendaman HPr pada 13,70 ng/mL, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan perendaman HPr 1 kali. Hasil yang berbeda terjadi pada perendaman HPr 4 kali, dan albumin serum sapi yang mengalami mengalami penurunan masing-masing ke tingkat 7,90 ng/mL, dan 6,85 ng/mL 0 jam setelah perlakuan.

Gambar 7 Perubahan kadar hormon kortisol benih ikan gurami setelah direndam HPr dari ikan gurami. (■) Perendaman HPr 1 kali, (x) Perendaman HPr 2 kali, (▲) Perendaman HPr 4 kali (kontrol-2), (•) Perendaman albumin serum sapi (kontrol-1)

Pada jam ke-3 setelah perendaman HPr, tingkat hormon kortisol yang terukur pada perlakuan perendaman HPr 1 kali mengalami penurunan ke tingkat 0,89 ng/mL dan cendenrung normal sampai pada jam ke-36. Pola yang sama juga ditunjukkan pada perendaman HPr 2 kali yaitu pada jam ke-3 setelah perendaman juga mengalami penurunan ke level 1,97 ng/mL. Pada perendaman HPr 4 kali dan albumin serum sapi, hormon kortisol kembali meningkat masing-masing hingga 7,90 ng/mL dan 6,85 ng/mL, 0 jam setelah perendaman dan mengalami fluktuasi sampai akhir pengamatan. Puncak hormon kortisol pada perendaman HPr 4 kali terjadi pada jam ke-3 (11,35 ng/mL) dan pada perendaman albumin serum sapi juga terjadi pada jam ke-3 di level 10,96 ng/mL).

0 5 10 15 20 25 sebelum setelah 0 3 6 9 12 24 36 K ad ar K or ti sol ( n g/ m L )

Waktu pengamatan (Jam) Shok Salinitas

27 Hormon kortisol merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat stres pada ikan (Haukenes et al. 2008). Meningkatnya kadar hormon kortisol setelah setelah diberi kejutan salinitas merupakan reaksi adaptif ikan dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim. Beberapa penelitian telah menujukkan bahwa perubahan salinitas dapat meningkatkan konsentrasi hormon kortisol dalam dalam darah ikan seperti yang dilaporkan oleh Young et al. (1989) pada ikan salmon coho (Oncorhynchus kisutch) dan (Morgan et al.1997) pada ikan mujair (Oreochromis mossambicus).

Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali meningkatkan kadar hormon kortisol ikan gurami yang diamati sesaat setelah perendaman hingga mencapai 20,72 ng/mL. Hal yang sama juga terlihat pada perendaman HPr 2 kali, namun hanya meningkat hingga 13,70 ng/mL. Tingginya kadar hormon kortisol sesaat setelah direndam diduga karena terjadinya peningkatan ACTH (Adrenocorticortropic Hormone) sebagai respon terhadap terganggunya fungsi biokimia tubuh (Porchas et al. 2009), sehingga merangsang produksi hormon kortisol. Hal yang sama terjadi pada Rainbow trout

(Oncorhynchus mykiss) (Benguira et al. 2002) yang mengalami peningkatan kadar

hormon kortisol setelah diekspos dalam larutan kimia.

Ada kecenderungan bahwa perendaman HPr 1 kali dan 2 kali mengakibatkan ikan lebih cepat kembali pulih setelah mengalami stres. Pada percobaan ini ditemukan bahwa level kortisol menurun ke tingkat yang paling rendah 3 jam setelah mengalami stres. Sementara pada beberapa ikan, butuh waktu selama 6 jam untuk kembali ke tingkat normal setelah stres (Iwama et al. 1995). Tingkat kortisol ikan red drum mengalami peningkatan saat penangkapan dan menurun ke tingkat bawah dalam waktu 48 jam (Robertson et al. 1987). Ikan mas mengalami peningkatan hormon kortisol ketika ditangkap dengan jaring dan kembali normal setelah 4 jam (Pottinger 1998). Namun Biga (2004) menyatakan bahwa pemberian hormon pertumbuhan meningkatkan sirkulasi kortisol dalam darah ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss).

Pada percobaan ini ditemukan bahwa tingkat hormon kortisol terendah pada perlakuan perendaman HPr 1 kali yaitu 2,45 ng/mL. Rendahnya tingkat

28 hormon kortisol diduga berhubungan dengan kinerja hormone pertumbuhan yang memberikan kontrol negatif terhadap jaringan interrenal yang merupakan tempat sekresi utama hormon kortisol (Nishioka et al. 1985). Kondisi hormon kortisol yang cenderung stabil setelah mengalami stres mempengaruhi kinerja pertumbuhan yang optimal bagi ikan gurami dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada perendaman HPr 1 kali, kisaran kortisol dari jam ke-3 sampai jam ke-36 berkisar antara 0,89 ng/mL hingga 2,84 ng/mL, lebih rendah sebelum diberi kejutan salinitas (3,12 ng/mL). Data bobot biomassa dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan yang terbaik pada perendaman HPr 1 kali juga ditunjang oleh keadaan hormon kortisol yang cepat pulih dan tetap rendah dan lebih stabil selama percobaan. Penelitian Flick et al. (1993) membuktikan bahwa pemberian hormon pertumbuhan rekombinan mampu memberikan pertumbuhan biomassa terbaik setelah 44 hari dan hormon kortisol yang lebih rendah 94,8% dibandingkan dengan kontrol.

Data bobot biomassa (Gambar 3) dan kelangsungan hidup (Gambar 4) terbaik didapatkan dari perendaman HPr 1 kali berhubungan dengan keadaan plasma kortisol darah tubuh ikan selama percobaan. Rendahnya kadar kortisol pada percobaan pertama diduga merupakan kondisi yang efisien untuk memacu pertumbuhan, dan aman dari serangan bakteri atau virus yang dapat mengakibatkan kematian. Yada et al. (2005) menyatakan bahwa pemberian HPr dapat mengatifkan sistem kekebalan pada tubuh ikan. Hal yang sama diduga juga terjadi pada penelitian ini.

Kadar hormon kortisol yang berfluktuasi terlihat pada perlakuan kontrol-1 dan kontrol-2 dari awal sampai akhir percobaan. Peningkatan hormon kortisol diduga kerena adanya gangguan pada saat penangkapan dan pemindahan ikan ke wadah yang baru sehingga merangsang hipotalamus untuk melepaskan

corticotropin-releasing factor (CRF) ke dalam sirkulasi darah. Polipeptida ini

kemudian mengaktifkan pelepasan adrenocorticotrophic hormon (ACTH) dari kelenjar anterior hipofisis untuk merangsang pelepasan hormon kortisol yang diproduksi di jaringan interrenal (Mommsen et al. 1999). Rendahnya tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada perlakuan kontrol-1 dan kontrol-2 diduga karena perubahan kadar hormon kortisol dalam tubuh ikan secara

29 berulang-ulang. Hal ini merupakan proses yang maladaptif sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat, peningkatan konsumsi oksigen, pengunaan energi yang lebih banyak, dan dapat meningkatn kerentanan terhadap penyakit (Jentoft et al. 2005).

4.6 Hubungan antara Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan, Pertumbuhan, Ekspresi Gen IGF-1 dan Kadar Hormon Kortisol

Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan melalui perendaman dapat meningkatkan pertumbuhan ikan gurami, melibatkan hormon IGF-I baik secara langsung maupun tidak langsung, dan berhubungan dengan kadar hormon kortisol dalam tubuh ikan gurami (Gambar 8). Perendaman HPr 1 kali menghasilkan bobot biomassa yang tinggi, ekspresi gen IGF-I yang meningkat dan kadar hormon kortisol. Pada perendaman HPr 2 kali terlihat pertambahan bobot biomassa mulai menurun, ekspresi IGF-I menurun dan meningkatnya kadar hormon kortisol. Sementara perendaman HPr 4 kali menghasilkan bobot biomassa yang rendah, ekspresi gen IGF-1 yang menurun dan kadar hormon kortisol yang semakin tinggi. Pola yang sama terjadi pada perendaman albumin serum sapi yang direndam selama 4 kali. Perendaman HPr yang berulang-ulang dapat menurunkan pertambahan bobot biomassa, ekspresi gen IGF-I berkurang dan meningkatkan kadar kortisol sehingga perendaman HPr 1 kali efektif dilakukan untuk memacu pertumbuhan ikan gurami.

Peningkatan pertumbuhan ikan gurami yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan 1 kali disebabkan karena HPr yang diberikan efektif merangsang ekspresi gen IGF-I (Silverstein et al. 2000; Biga et al. 2005). Bukti ini menguatkan bahwa peningkatan pertumbuhan disebabkan karena hormon pertumbuhan mampu memediasi produksi IGF-I di hati dan memperjelas bahwa hormon pertumbuhan merupakan pengatur utama produksi IGF-I pada ikan (Moriyama et al. 2000).

Perendaman berulang-ulang mempengaruhi pertumbuhan ikan diduga karena ikan mengalami stres yang berlangsung lama. Pada penelitian ini ditemukan bahwa semakin sering ikan direndam dalam larutan HPr akan meningkatkan kadar kortisol. Tingginya kadar kortisol dapat mengaktifkan proses

30 glikogenolisis dan glukoneogenesis yang membutuhkan banyak energi (Porchas

et al. 2009), sehingga mereduksi enegi yang digunakan untuk pertumbuhan.

Gambar 8 Hubungan antara pertumbuhan, ekspresi gen IGF-I dan kadar kortisol darah ikan gurami yang diberi perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami.(■) Bobot biomassa (g), (•) Kadar hormon kortisol (ng/mL), (▲) IGF-I/ β-aktin.

Menurunnya pertumbuhan yang diikuti oleh berkurangnya ekspresi gen IGF-I dan meningkatnya kadar kortisol pada perendaman HPr 4 kali dan albumin

Dokumen terkait