• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penelitian ini diambil sampel dari 4 kali pemasukan hewan pada bulan September dengan jumlah sampel menggunakan rumus Thrusfield (2005). Berdasarkan prevalensi babesiosis di Australia 7.5% (Jonsson et al. 2008) dengan asumsi sekali kedatangan sapi dianggap sebagai satu populasi ternak. Jumlah sampel yang diambil sebagai berikut :

Tabel 1 Pengambilan sampel darah dari 4 lokasi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) NO Lokasi Pengimpor Sapi Jumlah impor sapi (ekor) Jumlah sampel (ekor)

Jenis Kelamin Umur (th)

Jantan Betina 1 1-3 3 1 Teluk Naga, Tangerang 3044 100 100 - - 100 - 2 Legok, Tangerang 2732 109 109 - - 109 - 3 Lebak, Banten 1682 98 98 - - 98 - 4 Cileungsi, Bogor 4226 102 102 - - 102 - TOTAL SAMPEL 409 409 409 Prevalensi babesiosis

Pada tabel 2 prevalensi dari setiap perusahaan pengimpor berbeda-beda. Prevalensi tertinggi yaitu didapat dari Teluk Naga, Tangerang sebanyak 25% sedangkan terendah yaitu 1% dari Cileungsi, Bogor. Rata-rata prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah 10,5% yaitu dari 409 sampel didapat hasil positif Babesia sp sebanyak 43 sampel

Pada penelitian ini semua sapi berasal dari Australia bagian utara. Kejadian tick fever banyak terjadi di bagian utara Australia yang mempunyai kelembaban tinggi dan suhu 15–20 oC. Kondisi tersebut sangat cocok untuk perkembangan caplak (vektor babesiosis) terutama untuk bertelur dan menetas (Anonim 2005). Didalam sertifikat kesehatan yang menyertai berkas impor yang diterbitkan oleh pemerintah Australia disebutkan bahwa di Australia tidak terjadi

wabah atau gejala klinis yang terlihat dalam 6 bulan terakhir dan disebutkan pula hewan-hewan diberi perlakuan dengan pemberian parasitisida baik dengan ”systemic pour on” maupun dipping dalam waktu 14 hari sebelum impor dan pemberian ivermectin atau obat endoparasit lain dalam waktu 40 hari sebelum ekspor. Adanya perlakuan-perlakuan tersebut dapat menjelaskan prevalensi babesiosis pada sapi potong asal Australia ini hanya 10,5%. Dengan terdeteksinya

Babesia sp pada sapi potong asal Australia tersebut memberikan penjelasan bahwa Australia belum bebas babesiosis tetapi kejadian babesiosis di Australia adalah sub klinis (tanpa gejala).

Tick fever adalah penyakit penting di dunia peternakan Australia, Babesia bovis dilaporkan sebagai penyebab yang penting dalam kejadian babesiosis sebanyak 80%, sedangkan sebanyak 10% disebabkan oleh Babesia bigemina ( De Vos 1991). Infeksi yang disebabkan oleh Babesia bovis, Babesia bigemina dan

Anaplasma marginale juga sangat berpotensi menyebar pada sapi saat ekspor ke negara Asia bagian timur dan selatan yang endemik babesiosis (Bock dan Vos 2001).

Tabel 2 Prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia pada bulan September 2008

NO Lokasi Pengimpor Sapi Jumlah sampel

Jumlah sampel

positif Babesia sp. Prevalensi (%)

1 Teluk Naga, Tangerang 102 7 6,9

2 Legok Tangerang 109 10 9,2

3 Lebak, Banten 100 25 25,0

4 Cileungsi, Bogor 98 1 1,0

Prevalensi rata-rata 409 43 10,5

Prevalensi babesiosis 10.5% adalah hal yang tidak dapat diabaikan karena dapat menjadi sumber penularan, apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh sapi atau stres, pada kondisi tersebut parasit dapat berkembang dan menular ke sapi yang ada di lingkungan sekitar kandang. Indonesia merupakan negara tropis dan banyak ditemukan caplak sebagai vektor babesiosis. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pencegahan agar lingkungan kandang bebas dari caplak seperti

pemberian akarisida dengan cara dipping atau spray, menjaga kebersihan lingkungan kandang dan perbaikan manajemen pemeliharaan.

Peranan manajemen peternakan dalam mempertahankan kondisi hewan agar tidak menurun dan stres yang penting, mulai dari saat pembongkaran kapal, transportasi (perjalanan menuju lokasi kandang), manajemen kandang yang baik seperti kecukupan pakan dan minum dengan jadwal teratur dan pemeliharaan kebersihan. pemberian vitamin yang cukup harus diperhatikan untuk meminimalkan tingkat stres pada hewan.

Gambar 3 Babesia sp pada Butir Darah Merah sapi

Tingkat Parasitemia

Untuk melihat tingkat keparahan penyakit maka dilakukan pemeriksaan tingkat parasitemia. Pada babesiosis hemolisis BDM terjadi karena parasit memperbanyak diri (multiplication) di dalam butir darah merah tersebut . Jumlah BDM yang lisis proporsional dengan tingkat parasitemia yang terjadi (Ristic dan Kreier 1981).

Tingkat parasitemia yang didapat cukup rendah yaitu 0,5% pada 42 ekor sapi dan 1% pada 1 ekor sapi. Pengamatan gejala klinis juga dilakukan, pada hewan yang diamati tidak nampak adanya gejala babesiosis seperti kelemahan atau kekuningan. Hal ini dikarenakan tingkat parasitemia yang terjadi rendah yaitu 0,5% dan 1%. Menurut Siswansyah (1996) jika parasitemia mencapai 1%

baru akan tampak gejala awal seperti demam, peningkatan temperatur tubuh ini sangat erat kaitannya dengan meningkatnya parasitemia.

Tabel 3 Tingkat parasitemia dari sapi yang positif Babesia sp.

No. Lokasi IKHS

Jumlah Sampel (ekor) Jumlah Positif Babesia sp. (ekor) Tingkat Parasitemia 0,5% 1% 1 Teluk Naga- Tangerang 102 7 7 - 2 Legok-Tangerang 109 10 10 - 3 Lebak- Banten 100 25 24 1 4 Cileungsi-Bogor 98 1 1 - Jumlah Total 409 43 42 1

Kenaikan Rata-Rata Berat Badan Harian

Pemeriksaan kenaikan rata-rata berat badan (BB) harian dilakukan terhadap 95 ekor sapi di IKHS yang berlokasi di Lebak-Banten. Kenaikan rata- rata berat badan harian yang diharapkan (standar) adalah 1,2 – 1,4 kg /hari.

Pada 20 ekor sapi yang kenaikan berat badannya tidak mencapai 1.2 kg/hari yaitu 3 ekor sapi terinfeksi Babesia sp, 11 ekor terinfeksi parasit darah lain (Theileriosis/Anaplsamosis) dan 6 ekor sisanya tidak teinfeksi parasit darah. Tujuh puluh ekor lainnya dapat mencapai kenaikan rata-rata berat badan >1,2 Kg/hari.

Tabel 4 Kenaikan rata-rata berat badan harian Sapi selama 1,5 bulan

NO Rata-rata kenaikan BB harian

Jumlah sapi (ekor)

Nilai rata-rata kenaikan BB (Kg)

1 >1,2

(Normal) 75 1,35

2 <1,2

(Tidak normal) 20 0.91

Kejadian babesiosis dihubungkan dengan rata-rata kenaikan berat badan harian tidak berbeda nyata (P>0.05). Dari 95 ekor yang dihitung 21,1% dari sapi tersebut tidak mencapai rata-rata berat badan harian yang diharapkan (dibawah 1,2 kg/hari). Pemeriksaan terhadap kenaikan berat badan ini perlu dilakukan mengingat babesiosis juga dapat menurunkan produksi seperti penurunan berat

badan bahkan dapat menyebabkan kematian sehingga akan merugikan secara ekonomi (Benavides dan Sacco 2007). Pengamatan dari gambaran darah memperlihatkan infeksi Babesia sp. yang terjadi bersifat subklinis dengan tingkat parasitemia rendah sehingga belum mempengaruhi kesehatan sapi.

Nilai Pack Cell Volume (PCV) dan Jumlah Butir Darah Merah (BDM)

Gambaran darah yang diperiksa adalah PCV dan jumlah butir darah merah. Pada babesiosis terjadi kerusakan Butir Darah Merah dan penurunan hematokrit maka pemeriksaan diarahkan pada BDM dan PCV.

Pemeriksaan gambaran darah dilakukan pada sapi (n = 163 ekor) dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 5 Hasil pemeriksaan PCV dan BDM pada sapi (n= 163 ekor)

NO Jenis Pemeriksaan Nilai Jumlah Sapi (ekor) % 1. PCV 24 – 46% (Normal) 149 91,4 < 24% (tidak normal) 14 8,6 2. Jumlah Butir Darah Merah 5,0 -10,0 x 106/ul (Normal) 160 98,5 < 5,0 x 106/ul (Tidak Normal) 3 1,8

Nilai PCV normal pada sapi yaitu 24 – 46% sedangkan jumlah butir darah merah normal yaitu 5,0 – 10,0 x 106 /ul (Schalm et al. 1975). Dari tabel diatas tampak bahwa nilai PCV yang dibawah normal adalah 8,6% (14 sampel) dan 4 sampel menunjukkan positif Babesia sp, sedangkan jumlah butir darah merah yang dibawah normal sebanyak 1,8% (3 sampel) dan 1 sampel menunjukkan positif Babesia sp. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak berbeda nyata nilai PCV dan butir darah merah antara sapi terinfeksi babesiosis dan sapi yang tidak terinfeksi, tingkat parasitemia pada hewan yang rendah yaitu 1% dan 0,5% sehingga kerusakan butir darah merah dan perubahan PCV tidak berbeda nyata. Menurut Siswansyah (1996) pada saat parasitemia menunjukkan lebih dari 10% akan terjadi penurunan hematokrit, jumlah eritrosit dan hemoglobin, pada penelitian ini tidak tampak karena parasitemia belum mencapai lebih dari 10%.

Tabel 6 Nilai rata-rata PCV dan jumlah BDM

No Uraian Jumlah sapi

(ekor) Rata-rata PCV (%) Rata-rata jumlah Butir Darah Merah (106/ul) 1 Sapi terinfeksi Babesia sp 31 37,0 8,8

2 Sapi tidak terinfeksi

Babesia sp 41 42,2 8,8

Pada tabel diatas tampak bahwa pada sapi yang terinfeksi Babesia sp

memiliki nilai rata-rata PCV lebih rendah bila dibandingkan dengan pada sapi yang tidak terinfeksi sedangkan nilai rata-rata jumlah butir darah merah antara sapi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi sama. Pada sapi babesiosis terjadi penurunan nilai PCV hingga 20%, sedangkan jumlah butir darah merah dapat turun sampai 2,1 x 106/ul (Mahoney 1979 diacu dalam Astyawati 1987), disebutkan pula anemia bertanggung jawab terhadap gejala klinis yang muncul pada hewan ataupun manusia yang terinfeksi Babesia sp. karena butir darah merah akan rusak ketika merozoit terlepas (Homer et al. 2000)

Bangsa (breed)

Infeksi babesiosis juga dipengaruhi oleh bangsa hewan, sapi Bos indicus

lebih tahan/resisten jika dibandingkan dengan Bos taurus (Benavides dan Sacco 2007). Menurut DPIF (2007) dan McGregor (2006), Bos indicus merupakan jenis sapi Asia yang biasanya hidup di daerah tropis bahkan sering disebut dengan

tropical breed, memiliki tingkat resistensi yang lebih baik dalam menahan berkembangnya caplak pada tubuh sapi sebagai vektor dibandingkan Bos taurus. Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah sapi dari bangsa Bos indicus yaitu

Santa gertrudis dan Brahman cross.

Tabel 7 Prevalensi babesiosis, nilai rata-rata PCV dan rata-rata jumlah butir

darah merah berdasarkan bangsa /ras.

NO BANGSA Sampel (ekor) Positif Babesia sp. (ekor) Prevalensi rataan PCV (%) Rataan BDM (x 106/ul) 1 Santa gertrudis 100 25 25% 39,40 9,17 2 Brahman cross 309 18 5.8% 41,64 10,05

Sampel diambil dari 2 jenis bangsa sapi yang berbeda yaitu 309 ekor bangsa Brahman cross dan 100 ekor bangsa Santa gertrudis. Prevalensi babesiosis pada Santa gertrudis lebih tinggi dibandingkan pada Brahman cross. Faktor resiko bangsa/ras secara signifikan berpengaruh terhadap terjadinya infeksi

Babesia sp (OR= 1.96;SK95%=0,101-0,379). Dari tabel diatas tampak nilai rata- rata PCV dan jumlah rata-rata butir darah merah pada sapi Santa gertrudis lebih rendah dibandingkan dengan Brahman cross, sesuai dengan kejadian babesiosis yang lebih banyak pada sapi Santa gertrudis.

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pengaruh bangsa/ras dari sapi memang memberikan pengaruh terhadap kejadian babesiosis. Derajat imunitas setelah terpapar Babesia bovis pada Bos indicus lebih besar daripada Bos taurus. Bos indicus memiliki tingkat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan Bos taurus dengan derajat infeksi yang sama. Pada Bos taurus yang mendapat imunitas secara pasif tidak dapat mencegah infeksi subklinis, sedangkan pada Bos indicus imunitas tersebut dapat bertahan selama beberapa bulan dan berkontribusi secara potensial pada situasi yang tidak stabil (Anonim 2005, Jonsson et al. 2008).

Kondisi Alat Angkut

Pengamatan dilakukan di alat angkut kapal. Pengangkutan sapi dari Australia memerlukan waktu 5 – 7 hari. Jumlah sapi yang diangkut 2000 sampai 20.000 ekor tergantung dari kapasitas kapal. Sanitasi atau kebersihan kapal cukup baik, terlihat dengan tidak ditemukannya caplak di kapal. Ventilasi kapal ada dan dalam kondisi yang cukup baik, berupa jendela di dek atas dan berupa exhouse fan di dek bawah. Ventilasi ini sangat diperlukan untuk pertukaran udara di kapal

karena kotoran dan urin sapi mengeluarkan amoniak yang harus dikeluarkan ke udara terbuka, pengumpulan amoniak yang berlebih di dalam kapal dapat menyebabkan kesehatan sapi terganggu selama dalam perjalanan. Pemberian pakan dilakukan secara manual dengan jumlah yang cukup dan waktu pemberian yang teratur berupa hijauan kering dalam bentuk pelet, sedangkan minum diberikan dengan kran otomatis dengan jumlah ad libitum. Tempat pakan dan minum terbuat dari plastik. Konstruksi kandang pada kapal dalam kondisi baik yang terbuat dari bahan yang kuat dan mudah dibersihkan yaitu dari besi dengan lantai tanpa alas. Antar kandang dibatasi tiang besi. Kapasitas kandang < 2 – 3 m2/ekor sapi.

Dari pengamatan di kapal sapi-sapi dalam keadaan baik dengan kondisi kandang yang cukup bersih, ventilasi cukup, pakan dan minum cukup sehingga kondisi sapi dapat terjaga dari stress perjalanan. Stress perjalanan pasti terjadi pada sapi tetapi harus diminimalkan dengan memberikan kenyamanan selama dalam perjalanan.

Kondisi Kandang Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS)

Pengamatan terhadap kondisi kandang IKHS dilakukan pada empat lokasi pengambilan sampel. Empat lokasi tersebut memiliki kondisi yang hampir sama yaitu konstruksi kandang terbuat dari bahan yang permanen dan kuat, memiliki batas antar kandang berupa pagar besi, lantai terbuat dari semen cor dan naungan dari asbes. Kapasitas kandang <2 - 3 m2/ekor sapi. Sanitasi kandang dipelihara dengan baik, kotoran sapi secara berkala dibersihkan dan dikumpulkan pada tempat pengolahan khusus untuk dijadikan kompos. Tidak ditemukan populasi caplak di sekitar kandang sapi. Tempat pakan dan minum dibuat permanen dari semen cor. Pakan diberikan 2 kali sehari berupa konsentrat dan hijauan sedangkan minum diberikan adlibitum. Populasi ruminansia lain di sekitar kandang tidak ditemukan. Pengobatan dilakukan hanya pada hewan sakit yaitu pemberian antibiotik sedangkan vaksinasi yang dilakukan adalah vaksinasi Septisemia Epizootika (SE).

Umur, Jenis Kelamin dan Daerah Asal Hewan.

Peubah lain yang juga diamati adalah umur, jenis kelamin dan daerah asal sapi. Pada penelitian ini umur sapi yang diamati masuk kelompok antara 1 – 3 tahun dan semua sapi yang diimpor berjenis kelamin jantan dan berasal dari Australia utara sehingga dapat dianggap sama dan tidak dapat dijadikan sebagai faktor peubah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sapi potong impor dari Australia yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok belum bebas babesiosis dengan prevalensi 10,5%. Tingkat parasitemia babesiosis yang didapat cukup rendah yaitu berkisar 0,5% - 1%. Kenaikan rata- rata berat badan harian dan nilai PCV serta jumlah BDM tidak berbeda nyata. Prevalensi babesiosis pada bangsa sapi Santa gertrudis lebih tinggi dibandingkan

Brahman cross. Faktor bangsa/ras ini berpengaruh terhadap kejadian babesiosis. Nilai PCV dan jumlah BDM pada Santa gertrudis lebih rendah dibandingkan pada

Brahman cross.

Saran

Adanya Babesia sp. pada sapi potong impor dari Australia disarankan agar diperhatikan sapi yang diimpor harus sapi yang bebas Babesia sp., sapi harus sudah divaksin sebelum diekspor ke Indonesia dan diberi insektisida (spraying/dipping), jenis sapi yang diimpor harus diperhatikan yaitu sapi yang tahan terhadap infeksi Babesia sp. Sapi impor dari bangsa Santa gertrudis harus dilakukan pengamatan yang lebih intensif terhadap babesiosis karena sapi tersebut lebih peka terhadap penyakit ini.

Untuk mencegah berkembangnya Babesia sp di sekitar instalasi karantina hewan maka sebaiknya lokasi IKHS jauh dari peternakan ruminansia lokal, dilakukan pengawasan caplak dengan pemeriksaan rutin dan disediakan fasilitas

Dokumen terkait