• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi dan Histopatologi Penyakit Layu Kelapa

Gejala Morfologi Penyakit Layu Kelapa di Pulau Derawan

Gejala penyakit layu kelapa yang berasal dari Pulau Derawan terlihat umumnya pada tanaman di atas umur 15 tahun. Daun-daun kelapa menguning mulai dari bagian bawah (tua) ke bagian atas (muda). Menguningnya daun juga dimulai pada bagian ujung daun ke bagian yang dekat dengan pelepah. Pelepah-pelepah maupun daun kelapa yang muncul terlihat lebih pendek daripada tanaman kelapa yang sehat. Pemendekan pelepah dan daun kelapa ini mengakibatkan tanaman terlihat kerdil dan sedikit pelepah (Gambar 3).

Gambar 3 Gejala penyakit layu kelapa di Pulau Derawan. Daun tanaman kelapa menguning dan memendek (A); Perbesaran gambar gejala penyakit kelapa (B)

Pada kasus penyakit yang mirip dengan penyakit layu kelapa, yakni penyakit lethal yellowing, konduktansi stomata menurun pada kedua sisi atas daun, tengah dan pangkal pelepah saat stadia perkembangan awal penyakit. Perilaku stomata ini mempengaruhi pertukaran gas dan berbagai proses yang lain pada tanaman seperti fotosintesis dan transportasi air. Akibatnya daun-daun kelapa menjadi menguning dengan penurunan laju fotosintesis serta penurunan pada kandungan protein, klorofil, dan karotenoid (Leon et al.1996). Anguilar et al. (2009) juga berpendapat bahwa terjadi penurunan kandungan sitokinin yang drastis pada daun yang bergejala awal penyakit lethal yellowing, bahkan pada

daun dengan gejala penyakit yang berat, beberapa jenis sitokinin tidak terdeteksi. Penurunan jumlah sitokinin ini mengakibatkan perilaku stomata cenderung menutup. Namun demikian, kandungan sitokinin pada akar tanaman yang bergejala penyakit cenderung mengalami kenaikan.

Perubahan fisiologi juga terjadi terutama di dalam daun dan akar yang akan memperlihatkan gejala secara visual seperti yang diteliti oleh Maust et al. (2003). Konduktansi stomata, fotosintesis dan respirasi akar menurun pada stadia perkembangan penyakit. Jumlah pusat-pusat reaksi fotosistem II (PSII) yang aktif akan menurun mulai stadia awal gejala penyakit, namun maksimum penggunaan efisiensi PSII akan sama sampai stadia pertengahan perkembangan penyakit sebelum mengalami penurunan. Konsentrasi gula dan pati pada daun-daun bagian tengah (daun ke-14) dan daun-daun atas (daun ke-4) mengalami peningkatan selama perkembangan penyakit, sedangkan konsentrasi karbohidrat akar mengalami penurunan yang sangat cepat selama masa inkubasi fitoplasma. Meskipun laju fotosintesis dan konsentrasi karbohidrat akar menurun, konsentrasi karbohidrat daun meningkat. Hal ini membuktikan bahwa terjadinya penghambatan transportasi gula di dalam floem yang memicu pada cekaman jaringan pengangkutan dan menyebabkan perkembangan gejala lethal yellowing menjadi tampak secara visual.

Struktur batang tanaman kelapa sakit umumnya lebih licin dibandingkan batang tanaman sehat. Tekstur kulit batang tetap bergelombang karena adanya bekas tumpuan pelepah yang telah terlepas, tetapi ketika dipanjat akan terasa lebih licin. Batang kelapa yang bergejala penyakit ini semakin ke bagian atas, akan terasa semakin licin. Untuk waktu normal, dengan lingkar batang dan ketinggian tanaman yang sama (sekitar 12 meter), seorang pemanen kelapa akan membutuhkan waktu memanjat pada tanaman yang sakit dan bergejala berturut-turut sekitar 1 menit dan 4 menit. Diameter batang tanaman yang sakit juga lebih kecil daripada tanaman yang masih sehat, namun hanya pada bagian atas, pada bagian bawah relatif sama.

Pelepah daun tanaman kelapa sakit akan lebih mudah sengkleh (jawa: lunglai pada bagian pangkal pelepah) sehingga menyulitkan bagi pemanen kelapa yang memanjat tanaman ini. Pelepah daun yang telah menguning total biasanya

tidak dapat diduduki pemanen yang hanya memiliki berat tubuh sekitar 60 kg. Selain karena jumlah buah yang sangat sedikit dengan ketinggian tanaman yang cukup tinggi, kondisi seperti ini mengakibatkan tanaman ini jarang tersentuh.

Gejala penyakit layu kelapa di Pulau Derawan yang sudah lanjut adalah mengeringnya daun (klorosis) yang dimulai dari bagian daun yang tua (bawah) dan bagian ujung daun. Pelepah-pelepah tua mudah sengkleh, terjadinya penguguran buah kelapa yang masih muda atau jika masih ada buah kelapa yang tersisa sampai besar dan masak, biasanya hanya 1 atau 2 biji saja. Gejala akhir penyakit ini adalah mengeringnya seluruh pelepah dan daun kelapa, rontok dan terlihat hanya seperti tonggak batang kayu (Gambar 4).

Gambar 4 Gejala lanjut penyakit layu kelapa di Pulau Derawan. Daun kelapa mengalami nekorsis dari daun bagian bawah (A), daun dan buah berguguran hingga tertinggal hanya tonggak batang (B)

Gejala lanjut penyakit layu kelapa seperti daun yang mengalami klorosis, pelepah sengkleh, gugurnya buah muda mirip dengan tanaman kelapa yang memperlihatkan gejala penyakit lethal yellowing stadia lanjut. Menurut Leon et al. (1996), tanaman yang sakit akan menghasilkan asam absisat dan etilen yang sangat tinggi. Akibatnya tanaman terjadi ketidakseimbangan hormon. Hormon-hormon ini akan memacu penuaan daun dan mengakibatkansengkleh-nya pelepah serta gugurnya buah yang masih muda (Musetti 2010).

Pengamatan Jaringan Pengangkutan Tanaman dengan Pewarnaan DAPI

Pewarna DAPI digunakan untuk menduga keberadaan fitoplasma pada jaringan pengangkutan floem tanaman. Pengamatan dengan mikroskop fluoresesn

terhadap jaringan batang, akar, dan daun seperti terlihat seperti pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada jaringan floem dari tanaman sakit (bergejala layu) terdapat spot nyala fluoresensi yang lebih terang dibandingkan dengan floem dari tanaman sehat. Spot nyala fluoresensi pada sel floem yang lebih terang ini diduga merupakan akumulasi DNA fitoplasma. Adanya DNA suatu mikroorganisme di dalam jaringan tanaman akan terwarnai dengan pewarna DAPI.

Gambar 5 Jaringan pengangkutan tanaman yang diberi DAPI: (a) Potongan jaringan pengangkutan pada batang kelapa sakit, (b) batang kelapa sehat, (c) akar kelapa sakit, (d) akar kelapa sehat, (e) daun kelapa sakit, (f) daun kelapa sehat. Perbesaran untuk contoh dari batang dan akar adalah 100 X, untuk daun adalah 200 X. Spot nyala fluoresen (tanda panah) pada (a), (c), dan (e) yang tampak pada floem diduga

merupakan DNA fitoplasma

Pewarnaan DAPI merupakan metode deteksi fitoplasma yang relatif cepat, mudah dan murah. Namun demikian, metode ini kurang kuat untuk membedakan

antara sel mikroorganisme lain atau komponen sel (mitokondria, kloroplas) dari fitoplasma (Schaad et al. 2001). Sebagai contoh, pada kasus tanaman wortel, daerah fluorosen (berpendar) biru dan putih terlihat di bawah lensa pandang mikroskop fluoresen pada sel jaringan pengangkutan tanaman yang bergejala penyakit, tetapi pengamatan dengan transmission electron microscope (TEM) memperlihatkan bahwa yang sebenarnya berpendar tersebut berturut-turut adalah ricketsia-like organisms dan partikel rhabdovirus (Franova et al. 2007). Karena itu, teknik ini hanya digunakan sebagai alat deteksi awal dari deteksi utama dengan pendekatanpolymerase chain reaction(PCR) (Arismendiet al.2009).

Sebenarnya jaringan tanaman akan berpendar secara alami (contoh dinding sel xilem) atau karena akumulasi produksi substansi tertentu (misal senyawa fenol) sebagai respon terhadap berbagai keadaan yang kurang mendukung seperti tekanan lingkungan abiotik dan biotik (penyakit). Oleh karena itu, tanpa pewarnaan tertentu, penglihatan langsung jaringan ini menggunakan mikroskop cahaya tidak dapat dijadikan sebagai metode deteksi fitoplasma. Pewarnaan 4’ -6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) yang mengikat DNA mengakibatkan sel-sel floem menjadi sangat berpendar, lebih berpendar dari nukleus sel parenkim (Musetti & Favali 2004). Jika terdapat fitoplasma, maka spot-spot pada sel floem akan sangat berpendar yang akan membedakan dengan ketiadaan fitoplasma pada jaringan tanaman sehat. Teknik pewarnaan DAPI ini dapat digunakan untuk contoh tanaman basah maupun kering, dan juga tidak hanya untuk jaringan daun dan batang, tetapi juga untuk akar, bunga dan petiole.

Pengamatan Jaringan Pengangkutan Floem dengan SEM

Sel-sel yang diduga fitoplasma dari tanaman kelapa sakit tampak melekat pada dinding-dinding sel floem, walaupun tidak terlihat menggerombol (Gambar 6). Bentuk sel fitoplasma beraneka ragam, ada yang membulat, lonjong, bahkan memanjang seperti gada. Hasil pengamatan dengan SEM ini memperlihatkan bahwa sel yang diduga fitoplasma hanya terlihat pada jaringan batang tanaman bergejala layu, dan tidak pada jaringan tanaman yang sehat. Ukuran sel-sel yang diduga fitoplasma ini berkisar antara 0,5–0,9μ m.

Gambar 6 Sel floem batang kelapa bergejala layu yang diamati menggunakan SEM. Panah hijau menunjukkan sel fitoplasma

Konsentrasi fitoplasma yang terlihat pada jaringan atau sel floem dengan SEM cukup rendah. Menurut Marcone (2010), konsentrasi fitoplasma di dalam jaringan tanaman berkayu (tahunan) cenderung sangat sedikit dibandingkan dengan tanamanherbaceous(semusim).

Deteksi Fitoplasma denganNested Polymerase Chain Reaction(nPCR)

Amplifikasi DNA pada PCR yang pertama menggunakan primer P1/P7 hanya terjadi pada fitoplasma yang berasal dari kacang tanah dan kedelai pada gel agarosa. Produk amplifikasi yang dihasilkan adalah sekitar 1.8 kb. Tidak ada amplikon DNA fitoplasma dari semua contoh tanaman kelapa yang terlihat pada gel agarosa, termasuk contoh dari Sampit (Gambar 7).

Amplifikasi DNA pada metode nested PCR menggunakan pasangan primer kedua R16F2n/R16R2 (template DNA pada tahap ini adalah produk PCR yang pertama) memperlihatkan adanya amplikon DNA pada semua contoh, baik contoh kelapa dari Pulau Derawan, Sampit, maupun contoh dari kacang tanah dan kedelai. Ukuran amplikon DNA dari PCR yang kedua ini adalah sekitar 1.25 kb (Gambar 8). Jumlah contoh kelapa dari Pulau Derawan yang positif terdeteksi fitoplasma adalah 18 contoh tanaman bergejala layu sedang sampai berat (semua contoh terdeteksi), 13 contoh tanaman bergejala awal penyakit layu, dan 5 contoh tanaman tidak bergejala penyakit layu.

Gambar 7 Fragmen DNA fitoplasma hasil PCR menggunakan primer P1/P7 dari berbagai tanaman. Lajur 1-2: kelapa belum bergejala dari Pulau Derawan; Lajur 3-6: kelapa bergejala ringan dari Pulau Derawan; Lajur 7-10: kelapa bergejala berat dari Pulau Derawan; Lajur 11-13: kelapa dari Sampit; Lajur 14: kedelai; Lajur 15: kacang tanah; Lajur M: λEco T14Idigest ladder

Gambar 8 Fragmen DNA hasil nPCR menggunakan primer R16F2n/R16R2 terhadap DNA fitoplasma dari berbagai tanaman. Lajur 1-2: kelapa belum bergejala dari Pulau Derawan; Lajur 3-6: kelapa bergejala ringan dari Pulau Derawan; Lajur 7-10: kelapa bergejala berat dari Pulau Derawan; Lajur 11-13: kelapa dari Sampit; Lajur 14: kedelai; Lajur 15: kacang tanah; Lajur M: λEco T14Idigest ladder

Hasil deteksi gen 16S rRNA fitoplasma dari beberapa contoh yang digunakan menunjukkan beberapa hal. Pertama, PCR awal menggunakan pasangan primer P1/P7 tidak menghasilkan pita DNA yang terlihat pada gel agarosa dari contoh tanaman kelapa yang diuji, sedangkan dari contoh tanaman kacang-kacangan (kedelai dan kacang tanah), pita DNA tersebut dapat tervisualisasi. Ukuran fragmen DNA ini adalah sekitar 1.8 kb. Kedua, hasil nested PCR (nPCR) menggunakan produk PCR yang pertama dan pasangan

19329 bp

1882 bp

19329 bp

1882 bp 925 bp

primer R16F2n/R16R2 menunjukkan adanya fragmen DNA yang tervisualisasi pada gel agarosa pada ukuran sekitar 1.25 kb. Fragmen ini muncul dari contoh kelapa yang bergejala penyakit layu dan beberapa tanaman yang tidak menunjukkan gejala layu.

Tanaman kelapa termasuk ke dalam keluarga Palmae yang mempunyai struktur morfologi dan fisiologi tanaman berbeda dengan keluarga tanaman kacang-kacangan. Contoh yang diuji dalam penelitian ini berasal dari batang kelapa sehingga diperlukan kehati-hatian untuk mendapatkan jaringan floem yang masih segar dan mengandung patogen. Berbeda halnya dengan tanaman kacang-kacangan, jaringan floem tersebut lebih mudah untuk diperoleh. Menurut Marcone (2010), konsentrasi fitoplasma di dalam jaringan tanaman berkayu (tahunan) cenderung sangat sedikit dibandingkan dengan tanaman semusim. Oleh karena itu, diduga jumlah fitoplasma yang didapatkan dari tanaman kacang-kacangan lebih banyak dibandingan dengan contoh dari tanaman kelapa. Pada PCR awal, jumlah amplikon DNA fitoplasma yang dihasilkan dari tanaman kelapa belum cukup untuk tervisualisasi pada gel agarosa, sedangkan contoh dari kacang-kacangan, fragmen DNA tersebut sudah tampak.

Sedikitnya amplikon DNA dari contoh kelapa yang dihasilkan pada PCR pertama sehingga tidak mampu tervisualisasi pada gel agarosa kemungkinan juga disebabkan oleh banyaknya inhibitor yang terdapat pada jaringan tanaman berkayu tersebut. Inhibitor-inhibitor ini dapat mengganggu proses amplifikasi DNA. Menurut Yuwono (2006), konsentrasi garam yang tinggi pada reaksi PCR dapat menghambat laju aktivitastaq polymerasedalam mensintesis DNA.

Untuk mendapatkan hasil dengan nilai sensitivitas yang tinggi, maka digunakan nPCR dengan memanfaatkan produk hasil PCR awal. Pada Gambar 8 terlihat bahwa fragmen DNA telah muncul dari contoh tanaman kelapa. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya pada tahap PCR awal, fragmen DNA dengan ukuran 1.8 kb dari contoh kelapa telah teramplifikasi namun jumlahnya masih sangat sedikit. Gambar 8 juga menjelaskan adanya jumlah DNA fitoplasma dari contoh kelapa yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah DNA dari contoh tanaman kacang-kacangan sebagai kontrol positif. Konsentrasi inhibitor akan berkurang pada reaksi PCR yang kedua sehingga proses amplifikasi DNA

fitoplasma lebih optimal.

Pengujian nPCR dirancang untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifitas, khususnya untuk amplifikasi fitoplasma dari contoh yang mempunyai kelimpahan pada jaringan yang rendah yang dapat mengganggu keberhasilan PCR. Pengujian nPCR dilakukan dengan amplifikasi awal menggunakan pasangan primer universal dan diikuti dengan PCR yang kedua menggunakan pasangan primer spesifik yang mengarah pada grup fitoplasma tertentu. Pengujian nPCR juga mampu mendeteksi fitoplasma yang memiliki strain yang berbeda (fitoplasma ganda) yang dapat menginfeksi jaringan tanaman dengan infeksi ganda (Arocha & Jones 2006).

Penelitian ini menunjukkan bahwa fitoplasma terbukti berasosiasi dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan. Hasil keseluruhan contoh dengan gejala penyakit layu kelapa adalah positif terdeteksi fitoplasma melalui nPCR. Namun demikian, hasil deteksi fitoplasma dari beberapa tanaman kelapa yang masih tampak sehat secara visual juga menunjukkan hasil yang positif. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, fitoplasma tersebut telah berada dalam jaringan tanaman tetapi belum dapat menimbulkan penyakit yang berarti periode inkubasi penyakit yang sangat lama pada tanaman kelapa. Kedua, fragmen DNA yang terlihat pada gel agarosa bukan merupakan fitoplasma melainkan berupa DNA spesies lain seperti Bacillus spp seperti yang pernah ditemukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Warokka et al. 2006, Nejat et al. 2009). Hal ini mungkin terjadi karena fitoplasma erat berhubungan dengan bakteri Gram Positif khususnya grup BacillusdanClostridiumyang menjadi nenek moyang fitoplasma (Baiet al.2006).

PCR merupakan sistem deteksi yang paling sensitif, spesifik dan cepat. Sayangnya, beberapa kerancuan juga dapat dijumpai pada proses PCR untuk fitoplasma, diantaranya adalah munculnya pita DNA yang tidak spesifik danfalse positiveataunegativeDNA. Oleh karena itu, konfirmasi hasil PCR menggunakan primer berikutnya melalui nPCR dilanjutkan dengan pemotongan DNA hasil PCR tersebut menggunakan beberapa enzim restriksi melalui RFLP dan sequencing produk PCR sepertinya menjadi cara yang tepat untuk mengidentifikasi fitoplasma dengan tepat dari contoh yang diperiksa (Franova et al. 2007).

Pengujian PCR menggunakan banyak pasangan primer universal yang telah menjadi rutinitas diagnosis fitoplama hanya digunakan sebagai deteksi awal akan kemungkinan keberadaan penyakit.

Identifikasi dan Karakterisasi Molekuler Fitoplasma dari Kelapa Bergejala Layu di Pulau Derawan

SequencingProduk nPCR

Hasil perakitan data sequencing dari semua contoh yang diuji menunjukkan adanya beberapa ukuran basa sekuen yang berbeda. Dari total 36 produk nPCR, 28 sekuen dari tanaman kelapa di Pulau Derawan, 4 sekuen dari tanaman kelapa Sampit serta masing-masing 2 produk nPCR dari tanaman kedelai dan kacang tanah menghasilkan ukuran sekuen DNA berkisar antara 1228–1298 bp (Tabel 5, Lampiran 1). Setelah dilakukan uji BLAST dari NCBI diperoleh bahwa 77,78% sangat mirip dengan beberapa strain fitoplasma dan 23,22% bukan merupakan fitoplasma.

Untuk contoh tanaman kelapa dari Pulau Derawan, 75% hasil BLAST termasuk ke dalam fitoplasma kelompok witches broom phytoplasma, 17% tergolong ke dalamCa. Phytoplasma oryzae, dan 18% sisanya bukan merupakan fitoplasma melainkan Bacillus megaterium, Bacillus sp., Clostridium sp., dan Friedmaniella lacustris. Sekuen DNA fitoplasma yang berasal dari Pulau Derawan terdiri dari 6 sekuen yang berbeda meskipun ukurannya tetap sama, yaitu 1247 bp.

Karakterisasi gen 16S rRNA fitoplasma sering dilakukan dengan metode PCR dapat dikategorikan menjadi tiga tahap: ekstraksi DNA total dari tanaman bergejala, amplifikasi DNA spesifik fitoplasma melalui PCR, karakterisasi amplikon DNA dengan sequencing, analisis RFLP atau nPCR menggunakan primer spesifik untuk grup fitoplasma tertentu (Marzachi 2004). Kesuksesan tahapan ini tergantung dari persiapan ekstraksi DNA total dengan baik yang memungkinkan konsentrasi DNA fitoplasma yang terisolasi paling tinggi. Konsentrasi sel fitoplasma di dalam jaringan pengangkutan floem bervariasi tergantung dari lingkungan, bagian tanaman, dan spesies tanaman, yang sering dijumpai sangat rendah pada tanaman berkayu (Firraoet al. 2007).

Tabel 5 Data hasilsequencingdan uji BLAST pada NCBI dari produk nPCR contoh tanaman kelapa, kacang tanah, dan kedelai

No. ∑ sekuen yang sama Ukuran (bp) Asal contoh

Strain yang mirip dari uji Blast (no

aksesi)

% kemiripan

1 2 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99 2 5 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99 3 7 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99 4 3 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99 5 4 1247 Kelapa Pulau Derawan WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99 6 2 1247 Kelapa Pulau Derawan Ca. P. oryzae

(D12581.2)

95

7 1 1.246 Kelapa Sampit Ca. P. oryzae

(D12581.2)

95

8 2 1247 Kacang tanah Bogor WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99 9 2 1247 Kedelai Bogor WB Phytoplasma

(JN885462.1)

99

10 1 1.292 Kelapa Pulau Derawan B. megaterium

(HQ336301.1)

96

11 1 1.292 Kelapa Pulau Derawan B. megaterium

(CP003017.1)

95

12 1 1.292 Kelapa Sampit B. megaterium

(GU125638.1)

94

13 1 1.228 Kelapa Pulau Derawan Clostridiumsp.( AB550230.1)

93

14 1 1.256 Kelapa Sampit Clostridiumsp. (DQ978215.1)

94

15 1 1.298 Kelapa Pulau Derawan Bacillusspp. (JN800333.1)

94

16 1 1.233 Kelapa Pulau Derawan F. lacustris

(NR_028884.1)

96 17 1 1.252 Kelapa Sampit L. birminghamensis

(NR_044953.1)

95 WB:witches broom

Berdasarkan hasil analisis sequencing, fitoplasma yang terdapat pada tanaman kelapa dengan gejala layu di Pulau Derawan digolongkan ke dalam dua grup, yakni sebagian besar grup witches broom phytoplasma dan bagian kecil lainnya adalah rice yellow dwarf phytoplasma. Kelompok fitoplasma witches broom phytoplasma sebelumnya diketahui banyak menyebabkan penyakit pada tanaman kacang-kacangan dan termasuk dalam grup 16SrII, sedangkan kelompok fitoplasmarice yellow dwarf phytoplasmasudah pernah dilaporkan oleh Warokka et al. (2006) sebagai kandidat penyebab penyakit layu Kalimantan di daerah Sampit Kalimantan Tengah dan termasuk ke dalam grup 16SrXI. Strain fitoplasma grup 16SrII dari tanaman kelapa ini adalah yang pertama kali dilaporkan setelah sebelumnya hanya dilaporkan fitoplasma grup 16SrIV, 16SrXI, 16SrXII, dan 16SrXIV yang berasosiasi kuat sebagai penyebab penyakit pada tanaman kelapa (Tabel 6, Tabel 7).

Hasil sequencing terhadap fitoplasma yang berasal dari contoh kelapa asal Sampit Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa patogen tersebut tergolong ke ca. Phytoplasma oryzae (rice yellow dwarf phytoplasma)sama dengan strain yang ditemukan oleh Warokka et al. (2006). Hasil deteksi ini diperoleh dari contoh tanaman yang bergejala layu Kalimantan maupun yang belum bergejala. Hal ini membuktikan bahwa epidemi penyakit ini sudah meluas setelah sebelumnya dilakukan eradikasi tanaman kelapa yang terserang cukup banyak.

Tanaman kacang-kacangan bergejala sapu yang digunakan sebagai kontrol positif, memperlihatkan hasil sekuen berupa gen 16S rRNA fitoplasma yang termasuk ke dalam gruppeanut witches broom phytoplasma. Hasil ini didapatkan dari contoh tanaman kacang tanah dan kedelai yang berasal dari Dramaga Bogor Jawa Barat. Strain fitoplasma dari tanaman kacang-kacangan ini memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan strain fitoplasma grup 16SrII yang telah terdeposit di GenBank dibandingkan dengan strain fitoplasma yang berasal dari tanaman kelapa bergejala layu di Pulau Derawan.

Fitoplasma tidak hanya terdeteksi pada tanaman kelapa yang bergejala penyakit berat maupun ringan, tetapi juga terdeteksi pada tanaman yang masih tampak sehat secara visual. Hal ini diduga bahwa fitoplasma telah berasosiasi di dalam jaringan tanaman namun belum mampu memunculkan gejala penyakit.

Selain itu, kemungkinan faktor lingkungan dan tanaman inang juga dapat menghambat laju perkembangan penyakit (Firrao et al. 2007). Periode inkubasi penyakit layu kelapa di lapangan diduga membutuhkan waktu lebih dari 7 tahun.

Tabel 6. Penyakit layu pada tanaman kelapa yang berasosiasi dengan fitoplasma

Nama penyakit (Negara)

No aksesi GenBank

Grup fitoplasma Referensi

Nigerian Awka disease

(Nigeria)

Y14175 ca. Phytoplasma palmae

(16SrIV)

Tymonet al. (1998)

Tanzanian lethal disease

(Tanzania)

X80117 ca. Phytoplasma palmae

(16SrIV)

Tymonet al.

(1998)

Lethal yellowing

(Meksiko)

AF500329 ca. Phytoplasma palmae

(16SrIV-A, B)

Harrisonet al.

(2002a,b)

Coconut lethal yellowing

(Jamaika)

DQ384863 ca. Phytoplasma palmae

(16SrIV) Myrieet al. (2006) Kalimantan wilt (Indonesia)

-ca. Phytoplasma oryzae

(16SrXI) Mexican periwinkle virescence (16SrXII) Warokkaet al. (2006) Kerala wilt (India)

AY158660 ca. Phytoplasma palmae

(16SrIV-C)

Edwin & Mohankumar

(2007)

Coconut yellow decline

(Malaysia)

EU328159 ca. Phytoplasma

cynodontis

(16SrXIV)

Nejatet al.

(2009)

Root wilt disease

(India)

GQ850122 ca. Phytoplasma oryzae

(16SrXI)

Manimekalaiet al.

Tabel 7 Fitoplasma grup witches broom phytoplasma (16SrII) yang pernah dilaporkan pada beberapa tanaman inang

Negara (No aksesi GenBank)

Nama penyakit Tanaman inang Referensi

Australia ( HQ404357) (HM583346) (Y08173) (JF340080) Bituminaria WB Stunting & necrosis Australian die back Coneflower WB Bituminaria bituminosa Pelargonium capitatum Carica papaya Echinacea pallida Aryamaneshet al.(2011)

Lee & Jones (2010) Gibbet al(1998) Pearceet al.(2011) Iran (GQ861500) (FJ788514) Cucumber phyllody WB disease Spinacia oleracea, Elaeagnus angustifolia Tazehkhanet al. (2010) Rashidiet al.(2010) Taiwan (L33765) (L33770) (EF193157) Peanut WB Sweet potato WB Pear decline Arachis hypogea Ipomoea batatas Pyrus pyrifolia Gundersenet al (1994) Gundersenet al (1994) Liuet al.(2007) Serbia

(JF799094) WB disease Picris hieracioides Mitrovicet al.

(2011) Thailand (GU004373) (EF193353) -Sesame phyllody Soybean phyllody Sesamum indicum Glycine max Leeet al(2007) Martiniet al.(2007) China (EU099561) (EF656453) Cactus WB Crotalaria WB Opuntia species Crotalariasp. Caiet al(2008) Wanget al.(2008) Italia

(Y16393) Phyllody Picris echioides Leeet al(2007) Ethiopia

(EU137845) Napier grass stunt Pennisetum purpureum Arochaet al.(2009) Arab Saudi

(EU119389) Decline disease Chenopodium morale Alhudaibet al.

(2009) Inggris

(FJ008924) Stunting Fallopia japonica Reederet al.(2010) Jepang

(AB247462) Virescence Dendranthema

grandiflorum

Naitoet al.(2007) Oman

(HQ423156) Phyllody Solanum melongena Al-Subhiet al.

(2011) WB:witches broom;Semua koleksi strain fitoplasma yang termasuk ke dalam gruppeanut witches broom phytoplasmadapat diakses di

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?mode=Undef&id=85621&lvl=3&k

Dokumen terkait