• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Hasil

4.1.1 Penentuan Lethal Dosis

Pada uji pendahuluan untuk menentukan interval lethal dosis menunjukkan bahwa perlakuan dosis propolis 20 dan 40 μl/kg pakan menghasilkan kelangsungan hidup ikan 100%. Sedangkan pada dosis propolis 60 dan 80 μl/kg pakan menunjukkan penurunan hingga 33% dan 66 %. Pada dosis propolis yang lebih tinggi ≥ 100 μl/kg pakan derajat kelangsungan hidup ikan menurun sampai 0% (Tabel 5).

Tabel 5. Derajat kelangsungan hidup induk ikan guppy pada uji lethal dosis dengan propolis(%) Dosis Propolis (μl/Kg Pakan) Jumlah Ikan Awal Jumlah Ikan Akhir SR (%) 20 6 6 100 40 6 6 100 60 6 2 33,33 80 6 4 66,66 100 6 0 0 300 6 1 16,66 500 6 0 0

Berdasarkan tabel kelangsungan hidup pada uji lethal dosis, maka interval dosis tertinggi yang digunakan dalam perlakuan adalah 60 μl/kg pakan dan terendah adalah 20 μl/kg pakan.

4.1.2 Kelangsungan Hidup Larva

Derajat kelangsungan hidup larva ikan umur 2 bulan dengan perlakuan dosis propolis 0, 20, 40, 60 μl/kg pakan berkisar antara 36,9% sampai 100% (Gambar 2). Pada perlakuan dosis propolis 60 μl/kg pakan terdapat kematian induk ikan guppy saat perlakuan sehingga tidak menghasilkan anak (Lampiran 2). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan popolis memberikan pengaruh nyata pada kelangsungan hidup larva ikan guppy (P < 0.05).

95.39 100 98.79 36.9 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 0 20 40 60

Dosis propolis dalam pakan (μl/Kg Pakan)

SR

(

%

)

Gambar 2. Persentase kelangsungan hidup (SR) larva ikan guppy 4.1.3 Keberhasilan Pengarahan Kelamin

Rata-rata persentase jantan tertinggi terdapat pada perlakuan dosis propolis 60 μl/kg pakan yaitu sebesar 55.17% dan terendah pada perlakuan propolis 0 μl/kg pakan yaitu sebesar 24.30% (Lampiran 4). Hasil analisis statistik bahwa kecenderungan peningkatan persentase jantan dengan peningkatan dosis yang diberikan tidak berbeda nyata (P < 0.05).

24.3 36.81 27.2 55.17 0 10 20 30 40 50 60 0 20 40 60

Dosis propolis (μL/kg pakan)

P e rs e n ta se j a n ta n (% )

Gambar 3. Persentase ikan guppy jantan pada perlakuan propolis (0,20,40,60 μl/kg pakan)

Pada gambar 3 menunjukkan terdapat peningkatan persentase jantan dari perlakuan dosis propolis 0 μl/kg pakan (24,35%) menjadi 36, 81% (20 μl/kg pakan). Kemudian nilai persentase jantan menurun pada perlakuan dosis propolis 40 μl/kg pakan sebesar 27.2% dan meningkat kembali pada perlakuan dosis propolis 60 μl/kg pakan sebesar 55.17%.

Berdasarkan analisis kontingensi menggunakan uji khi kuadrat menunjukkan bahwa efektivitas keempat dosis perlakuan berpengaruh terhadap perubahan nisbah kelamin jantan ikan guppy (Lampiran 5).

Uji proporsi nisbah kelamin jantan menegaskan bahwa dosis perlakuan propolis memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan kontrol (Tabel 6). Tabel 6. Uji proporsi ikan guppy jantan pada perlakuan dosis propolis

Perlakuan Kontrol 20 40 60

Kontrol -1.49 -0.49 -3.7

20 1.49 1.19 -1.65

40 0.49 -1.19 -3.5

60 3.7* 1.65* 3.5*

Proporsi ikan jantan pada perlakuan 60 μL propolis/kg pakan lebih besar daripada perlakuan popolis 0, 20, dan 40 μL propolis/kg pakan. Hal ini menunjukkan perlakuan propolis 60 μL propolis/kg pakan signifikan berpengaruh terhadap nisbah kelamin jantan ikan guppy.

4.1.4 Pengamatan Gonad Ikan Guppy Jantan dan Betina

Secara morfologis, ikan guppy dapat dibedakan antara jantan dan betina berdasarkan ukurannya yaitu ikan jantan lebih kecil dan ramping daripada ikan betina. Ikan guppy jantan memiliki corak warna yang lebih indah dan bervariasi daripada betina. Pada induk jantan terdapat gonopodium yaitu modifikasi sirip anal berbentuk panjang dan runcing pada bagian ujung yang berfungsi sebagai tempat pengeluaran sperma. Sedangkan induk betina diidentifikasi dengan adanya bintik hitam pada bagian urogenital atau pada sirip analnya bulat (Gambar 4).

Gonopodium Urogenital Gambar 4. Ikan guppy jantan (kiri) dan betina (kanan)

Pengamatan jaringan gonad menggunakan metode pewarnaan asetokarmin. Gonad ikan guppy jantan (secara morfologi) memiliki jaringan gonad berupa bakal sperma. Sedangkan pada larva ikan guppy betina memiliki jaringan gonad berupa bakal sel telur. Pengamatan secara morfologi dan jaringan gonad tidak berbeda pada satu jenis kelamin ikan. Hasil pewarnaan gonad dengan asetokarmin disajikan pada gambar 5.

Bakal sel sperma Bakal sel telur

Gambar 5. Gonad ikan jantan (kiri) dan gonad ikan betina (kanan) dengan pewarnaan asetokarmin

4.1.5 Jumlah Intake per Hari

Rata-rata konsumi pakan per hari ikan guppy berkisar antara 0.037-0.046 gram (Tabel 7). Rata-rata pakan yang dikonsumsi induk ikan guppy untuk semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05). Hal ini berarti bahwa induk ikan guppy mengkonsumsi jumlah pakan yang hampir sama dan tidak terpengaruh oleh rasa pakan yang berbeda pada berbagai perlakuan dengan propolis.

Tabel 7.Jumlah konsumsi pakan harian pada induk ikan guppy

Σ konsumsi pakan perhari (g)

Ulangan 0 20 40 60 1 0.032 0.04 0.05 0.036 2 0.040 0.05 0.04 0.049 3 0.039 0.04 0.04 0.037 Rata-rata 0.037 0.042 0.046 0.040 SD 0.004 0.006 0.002 0.007 4.1.6 Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada awal pemeliharaan induk, dan selama perlakuan yaitu awal perlakuan, saat perlakuan,

serta akhir perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, pH, oksigen terlarut (DO), dan amonia disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengukuran parameter kualitas air selama penelitian

Parameter kualitas air

Waktu pengukuran Suhu (0C) pH DO (mg/L) Amonia (mg/L) Pemeliharaan induk 26.5-26.7 7.44-7.56 3.59-4.83 0.045-0.05

Awal perlakuan 25.8 7.42 3.46 0.073

Saat Perlakuan 25.9-26.3 8.02-8.12 6.03-6.19 0.014-0.45 Akhir perlakuan 27.1-27.6 7.64-8.47 3.14-4.06 0.02-0.07 Referensi 25- 27* 6.5-9 * > 3 * < 1**

* Swingel, 1969 dalam Boyd, 1990 ** Wardoyo, 1975 dalam Zakaria, 2003

Selama penelitian suhu berkisar antara 25.8-27.6 0C, pH berkisar antara 7.42-8.47, DO berkisar antara 3.14-6.19 mg/L, dan amonia berkisar antara 0.014- 0.073 mg/L.

4.2 Pembahasan

Penentuan jenis kelamin atau ekspresi seks pada ikan ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan penentu kelamin pada awal perkembangan embrio yaitu pasangan kromosom kelaminnya saat zigot.. Gonad berfungsi untuk menghasilkan sel gamet dan hormon kelamin sesuai dengan kelamin yang ditentukan secara genetik. Hormon kelamin kemudian mengatur perkembangan karakter kelamin sekunder dan mempengaruhi fungsi reproduksi (Yatim, 1983).

Genotip betina XX akan terekspresi menjadi fenotip betina begitu pula dengan genotip jantan XY yang akan terekspresi menjadi fenotip jantan dengan perbandingan 1:1 untuk kondisi normal tanpa pengaruh dari luar (Zairin, 2002).

Dalam penelitian ini, jumlah ikan guppy jantan yang dihasilkan pada perlakuan propolis dosis 60 μL propolis/kg pakan, lebih tinggi mencapai 55.17% dibandingkan dengan kontrol 24,3 %. Hal ini terjadi diduga karena faktor penentu kelamin betina dan jantan tidak seimbang sebagaimana dilaporkan Yamamoto (1969) bahwa terdapat perbedaan persentase jumlah keturunan berkelamin jantan dan betina pada ikan guppy dan beberapa ikan-ikan lain seperti ikan platis, kongotetra, cupang, dan jenis ikan hias tidak normal. Jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh faktor genetis dan lingkungan. Jenis kelamin pada zigot secara

genetis merupakan hasil dari keseimbangan gen penentu jantan dan betina di dalam kromosom kelamin, serta sebagian kecil gen yang berada di dalam autosom). Kirpichnikov (1981) menyatakan perubahan jenis kelamin dapat terjadi apabila keseimbangan gen penentu jantan dan betina didalam autosom berubah.

Proporsi ikan guppy berkelamin jantan pada perlakuan dosis propolis 20,40, 60 μl/kg pakan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Dalam hal ini perlakuan dosis propolis 60 μl/kg pakan menghasilkan proporsi jantan tertinggi (55,17%), namun kedua ulangannya mati sebelum beranak. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengarahan kelamin dengan propolis melalui pakan pada perlakuan dosis propolis 20 μl/kg pakan dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi karena perlakuan dosis propolis 60 μl/kg pakan dapat meningkatkan proporsi jumlah anak ikan guppy jantan tetapi memiliki efek lethal atau mematikan. Peningkatan perlakuan dosis propolis berbanding lurus dengan peningkatan persentase jumlah ikan guppy jantan. Hal ini diduga terkait dengan bahan aktif chrysin, mineral, dan kalium yang terkandung dalam propolis. Namun rendahnya penyerapan chrysin disinyalir karena adanya membran sel yang berfungsi sebagai penghalang pertama dalam menghambat kemampuan kerja chrysin pada sistem hewan menyebabkan efektivitasnya kurang optimal (Campbell and Kurzer, 1993).

Gambar 6. Diagram proses steroidogenesis dengan adanya kalium dan chrysin (Djaelani, 2007)

Kemampuan propolis dalam peningkatan proporsi ikan guppy jantan berhubungan dengan bahan aktif biovlavonoid yang terdapat dalam chrysin, yang berfungsi sebagai aromatase inhibitor (Gambar 6). Aromatase inhibitor bekerja dengan cara manghambat aktivitas aromatase. Penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah pada tidak aktifnya transkripsi dari aromatase sebagai feedbacknya (Sever et al., 1999).

Mekanisme kerja aromatase inhibitor yaitu bersaing dengan substrat alami enzim dan berinteraksi dengan sisi aktif enzim, mengikatnya dan tidak kembali lagi sehingga mengakibatkan ketidakaktifan enzim (Brodie, 1991). Namun penyerapan chrysin oleh tubuh ikan masih relatif kecil karena salah satu masalah dari chrysin adalah penyerapan chrysin oleh aliran darah sangat kecil (Dean, 2002).

Pengarahan kelamin jantan pada ikan guppy juga diduga terkait dengan adanya kadar kalium dan mineral yang terdapat dalam propolis. Syaifuddin (2004) dan Martati (2006) menyatakan bahwa tingginya kandungan kalium yang diberikan dalam madu pada pakan larva ikan nila GIFT menyebabkan perubahan kolesterol yang terdapat dalam jaringan tubuh larva menjadi pregnenolon. Pregnenolon merupakan sumber biosintesis hormon-hormon steroid (testosteron) oleh kelenjar adrenal.

Dalam diagram biosintesis steroid (Matty, 1985) menunjukkan pregnenolon diubah dalam sitosol menjadi progesteron oleh dehidrogenase atau menjadi 17 hidroksi pregnenolon oleh 17 hidroksilase spesifik, dua steroid ini diubah menjadi berbagai macam hormon aktif dalam retikulum endoplasma dan mitokondria oleh oksigenase dan dehidrogenase spesifik yang memerlukan molekul oksigen dan NADPH (Nikotinamida adenin Dinukleutida Pospat). Kemudian androgen adrenal utama, dehidroepiandrosteron dihasilkan dengan pembelahan rantai samping 17 hidroksipregnolon oleh enzim C-17 dan 20-liase. Selanjutnya dehidroepiandrosteron atau 17 hidroksi progesteron akan membentuk testosteron. Hormon testosteron akan mempengaruhi perkembangan genital jantan, karakteristik seks sekunder jantan dan spermatogenesis (Gambar 7).

Gambar 7. Diagram biosintesis steroid (Matty, 1985)

Pemberian propolis secara oral melalui pakan buatan diduga kurang efektif karena perubahan feeding habit yaitu ikan guppy biasanya lebih menyukai pakan alami, atau kemungkinan terjadi pencucian bahan aktif (leaching) di dalam air sehingga mengurangi efektifitas bahan yang diberikan selain kemungkinan degradasi oleh enzim pencernaan sehingga rusak sebelum bekerja (Zairin, 2002).

Pada dosis propolis 60 μl/kg pakan menunjukkan persentase ikan guppy jantan yang tinggi yaitu mencapai 55.17 % tetapi menyebabkan kematian ikan. Sehingga dosis propolis efektif adalah 20 μl/kg pakan karena menunjukkan rata- rata persentase ikan guppy jantan lebih tinggi daripada kontrol tanpa menimbulkan efek lethal dan derajat kelangsungan hidup larva mencapai 100%.

Perlakuan dilakukan selama 10 hari karena perkembangan masih berada pada masa diferensiasi kelamin sehingga masih dapat dipengaruhi oleh faktor luar. Pada ikan guppy masa diferensiasi terjadi pada fase embrio sampai larva berumur 12 hari (Arfah, 1997). Menurut Baroiler et al (1995) perlakuan pengarahan kelamin pada ikan guppy diberikan pada hari ke-9 sampai 13 hari setelah pembuahan. Sedangkan menurut Hunter dan Donalson (1983) masa diferensiasi pada ikan guppy terjadi 8 hari sebelum atau pada saat fase bintik mata dimana

perkembangan otak pada fase tersebut masih labil untuk melepaskan hormon- hormon yang berfungsi untuk mengarahkan kelamin.

Parameter kualitas air merupakan salah satu faktor yang terkait dengan kelangsungan hidup ikan. Kualitas yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan biologis (biological requierement) ikan atau masih dalam toleransi untuk hidup ikan. Selama penelitian parameter kualitas air masih berada dalam kisaran yang layak untuk kebutuhan hidup ikan guppy (Tabel 11).

Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proporsi ikan guppy. Proporsi betina meningkat secara gradual seiring dengan penurunan suhu dan proporsi jantan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan (Karayˇcel, 2006). Proporsi anak jantan yang dihasilkan oleh induk yang dipelihara pada suhu 30 0C lebih banyak dibandingkan pad suhu 27 0C. Peningkatan jumlah ikan jantan diduga karena adanya peningkatan hormon jantan testosteron dan ketotestosteron sejalan dengan meningkatnya suhu inkubasi (Arfah, 2005). Menurut Durham (2004) peningkatan proporsi jantan ikan tilapia pada suhu tinggi terjadi karena adanya transkipsi DNA komplemen (cDNA) yaitu MM20C memiliki ekspresi yang berbeda. Gen ini berekpresi minimal pada temperatur normal tetapi akan berekspresi secara kuat pada kedua jenis kelamin pada suhu maskulinisasi yang tinggi lebih khususnya berekspresi pada jenis kelamin jantan. MM20C merupakan gen yang menstimulasi perkembangan testikular pada ikan tilapia dan meningkat seiring peningkatan suhu. Suhu berkisar antara 25,8 – 27,6 oC masih termasuk kisaran normal sesuai dengan kebutuhan ikan pada umumnya (menurut Swingel, 1969 dalam Boyd, 1990) dan kisaran suhu normal pada ikan guppy khususnya (26±1 oC menurut Karayˇcel, 2006 ).

Nilai pH berkisar antara 7.42-8.47 masih termasuk dalam kisaran pH 6.5-9 yang baik untuk pertumbuhan dan reproduksi ikan (Swingel, 1969 dalam Boyd, 1990). Nilai pH berpengaruh terhadap karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas dan semakin rendahnya karbondioksida bebas. Toksisitas senyawa kimia kimia seperti amonia yang tidak terionisasi pada pH tinggi bersifat toksik (membunuh) dan lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik (Effendi, 2003).

DO (dissolve oksigen) merupakan kadar oksigen yang terlarut di dalam air. Organisme akuatik memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup agar tidak terjadi stress, hypoxia pada jaringan, anoreksia, ketidaksadaran, mudah terserang penyakit dan parasit. Bahkan dalam kondisi ekstrim menyebabkan kematian secara mendadak dan masal.

Amonia di perairan dihasilkan dari pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen organik yang berasal dari dekomposisi bahan organik melalui proses amonifikasi. Amonia yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas meningkat seiring dengan penurunan kadar oksign terlarut, pH dan suhu. Menurut Wardoyo (1975) dalam Zakaria (2003) konsentrasi amonia dalam air yang ideal bagi kehidupan ikan tidak boleh melebihi 1 ppm (mg/L). Amonia yang tinggi akan menghambat daya serap haemoglobin dalam darah.

Dokumen terkait