• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan gabungan data dari data hasil survei sekolah yang dilakukan PT. TIA Indonesia dan IPAC Kanada melalui survei lapang dan data hasil survei sekolah yang dilakukan sendiri oleh peneliti melalui internet dan korespondensi via telepon. Hal yang menjadi perhatian utama dalam survei tersebut adalah status internasional sekolah sehingga sampel yang diambil berasal dari sekolah yang akan disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan sekolah berbasis internasional atau yang biasa disebut dengan sekolah RSBI. Selain itu, sekolah selain sekolah RSBI (sekolah non RSBI) pun tak luput tersampel dan dijadikan sebagai sekolah pembanding dengan sekolah RSBI dalam penelitian ini.

Gambar 2 Proporsi jumlah sampel sekolah RSBI dan sekolah non RSBI yang diambil dalam survei penelitian

50%

50%

Gambar 2 menunjukkan proporsi jumlah sampel sekolah RSBI dan sekolah non RSBI yang diambil dalam survei penelitian. Berdasarkan Gambar 2, diketahui proporsi jumlah sampel yang diambil untuk sekolah RSBI dan sekolah non RSBI memiliki persentase yang sama dengan nilai proporsi masing-masing sebesar 0.5. Hal ini sengaja dilakukan oleh peneliti karena sampel yang diambil dalam survei lapang yang dilakukan oleh PT. TIA Indonesia dan IPAC Kanada hanya terdapat sebanyak 70 sekolah untuk sekolah RSBI dan 9 sekolah untuk sekolah non RSBI sehingga cenderung akan menjadi berbias jika dilakukan perbandingan terhadap dua jenis sekolah tersebut secara analitik. Jumlah sekolah non RSBI yang lebih banyak daripada jumlah sekolah RSBI di Indonesia menjadi dasar pertimbangan peneliti melakukan penambahan sampel pada data sekolah non RSBI dan menjadikan sampel data seimbang untuk sekolah RSBI dan sekolah non RSBI dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak 70 sekolah.

Gambar 3 Jumlah sampel sekolah RSBI terpilih berdasarkan lokasi sekolah

Gambar 4 Jumlah sampel sekolah non RSBI terpilih berdasarkan lokasi sekolah Gambar 3 menunjukkan diagram batang dari penyebaran lokasi pada 70 sampel sekolah RSBI terpilih. Berdasarkan Gambar 3, tercatat sampel sekolah RSBI yang terpilih paling banyak berasal dari kabupaten dengan jumlah sampel sebanyak 28 sekolah, disusul dengan sampel sekolah RSBI dari kota besar sebanyak 23 sekolah, dan sisanya tersebar di kota kecil. Sementara itu, 70 sampel sekolah non RSBI terpilih paling banyak berasal dari kota besar dengan jumlah sampel sebanyak 31 sekolah, disusul dengan 21 sampel sekolah yang berasal dari kota kecil, dan sisanya sebanyak 18 sampel sekolah berasal dari kabupaten (Gambar 4). Pengambilan sampel yang dilakukan pada sekolah non RSBI tercatat

0 10 20 30

Kota Besar Kota Kecil Kabupaten 23 19 28 Ju m la h s am p el te r am b il Lokasi 0 10 20 30 40

Kota Besar Kota Kecil Kabupaten 31 21 18 Ju m lah s am p e l te r am b il Lokasi

paling banyak berasal dari kota besar. Hal ini disebabkan kebanyakan sampel non RSBI pada penelitian ini diambil melalui survei sekolah yang dilakukan sendiri oleh peneliti dengan mengumpulkan beragam informasi yang bersumber dari internet dan korespondensi via telepon. Informasi yang diberikan oleh sekolah non RSBI yang berasal dari kota besar cenderung memberikan hasil yang lebih lengkap dan akurat jika dibandingkan dengan sekolah non RSBI yang berasal dari kota kecil maupun kabupaten. Meskipun demikian, penarikan sampel pada sekolah non RSBI yang dilakukan oleh peneliti tetap mengikuti prosedur penarikan sampel pada sekolah non RSBI yang dilakukan oleh PT. TIA Indonesia dan IPAC Kanada sehingga sampel sekolah non RSBI yang terambil tetap representatif untuk dijadikan sebagai sekolah pembanding dengan sekolah RSBI.

Nilai Keterpenuhan Kriteria Sekolah Bertaraf Internasional pada Sekolah RSBI di Indonesia

Eksplorasi data dilakukan pada data sekolah RSBI dengan melihat nilai keterpenuhan kriteria berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai persyaratan pendirian sekolah standar internasional di Indonesia. Eksplorasi ini hanya terbatas dilakukan oleh peneliti pada sekolah RSBI berdasarkan suatu pertimbangan yang menyatakan bahwa sekolah RSBI merupakan sekolah yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai sekolah berbasis internasional di Indonesia sehingga eksplorasi data ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum terkait dengan ketersiapan sekolah RSBI yang telah dicanangkan oleh pemerintah menjadi sekolah bertaraf internasional.

Berdasarkan akreditasi sekolah, 96% dari 70 sekolah RSBI terpilih memiliki akreditasi A dan sisanya terakreditasi selain itu. Bahkan, tercatat seluruh SMP dan SMA dari 70 sekolah RSBI terpilih memiliki akreditasi A. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua sekolah RSBI telah memenuhi kriteria dari segi akreditasi yang telah ditetapkan untuk dijadikan sebagai sekolah standar internasional.

Gambar 5 Kualifikasi kepala sekolah pada 70 sekolah RSBI terpilih berdasarkan pendidikan terakhir dan kemahiran berbahasa inggris

Dari segi sumber daya manusia dalam sekolah, tercatat sebanyak 54 dari 70 (77%) kepala sekolah telah menyelesaikan pendidikan strata II-nya dan hanya 24 dari mereka (43%) yang mampu berbahasa inggris secara aktif, sedangkan hanya 6 dari 26 (37%) kepala sekolah bertitel sarjana yang aktif berbahasa inggris (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa hanya sedikit sekolah yang telah memiliki kepala sekolah dengan kualifikasi yang sesuai dengan kriteria yang

37% 63%

S1 Berbahasa Inggris S1 Tidak berbahasa inggris

S1 23% S2 76% S3 1% 43% 57% S2 Berbahasa Inggris S2 Tidak berbahasa inggris

diinginkan oleh pemerintah. Hal serupa ditunjukkan dari segi kualifikasi pada tenaga pendidik, yang mencatat 31% sekolah saja yang memenuhi batas persentase minimal untuk kualifikasi guru.

Salah satu kriteria lain berdirinya sekolah berstandar internasional adalah sekolah harus menjalin kerjasama antar sekolah (sister school) dengan sekolah lain dari negara OECD atau negara maju. Hal ini dimaksudkan agar sekolah dapat mempelajari dan mengadopsi kurikulum pendidikan di negara tersebut sehingga kualitas standar internasional pada sekolah dapat segera tercapai. Tercatat 49% sekolah RSBI melakukan sister school dengan sekolah dari negara lain, tetapi hanya 26% sekolah yang benar-benar menjalin sister school dari sekolah negara OECD atau negara maju. Dari sisi sertifikasi sekolah, 41% dari sekolah RSBI belum memiliki sertifikasi ISO 9001 atau 14001 sebagai sertifikasi mutu sekolahnya.

Dalam hal pembiayaan sekolah, sekolah RSBI diberi kebebasan oleh lembaga atau dinas terkait untuk memungut biaya dari masyarakat dan atau orang tua murid. Meskipun demikian, pemerintah tetap melakukan pengawasan dengan menetapkan biaya pendidikan terendah dan tertinggi yang dibebankan untuk sekolah RSBI kepada orang tua calon peserta didik.

Tabel 2 Biaya pendidikan tertinggi sekolah RSBI yang ditetapkan pemerintah Komponen Biaya

(Rupiah)

Jenjang Pendidikan

SD SMP SMA SMK

SPP per Bulan 150 000 600 000 450 000 250 000 Uang Pangkal Sekolah 1 000 000 12 500 000 15 000 000 2 700 000

Tabel 2 menunjukkan besarnya biaya tertinggi yang telah ditetapkan pemerintah untuk dibebankan kepada orang tua murid. Tercatat 30 dari 70 sekolah tidak memenuhi sama sekali aturan yang telah ditetapkan pemerintah, baik dari segi uang pangkal sekolah maupun SPP per bulan. Selain melakukan penetapan biaya pendidikan tertinggi pada sekolah, pemerintah juga melakukan suatu upaya dalam program pemerataan pendidikan dengan mengharuskan minimal 20% peserta didik tidak mampu tertampung dalam sekolah RSBI dan diberikan subsidi pendidikan kepada mereka.

Dari 70 sekolah RSBI terpilih, tercatat hanya 16 sekolah yang memenuhi kuota minimal peserta didik tidak mampu. Selain itu, hasil eksplorasi data juga menunjukkan hanya sebanyak 11 dari 16 sekolah tersebut yang memberikan subsidi pendidikan kepada peserta didik yang tidak mampu. Ironisnya, mayoritas dari sekolah yang memenuhi kriteria tersebut berasal dari sekolah kejuruan.

Ketakutan untuk tidak dapat membayar biaya pendidikan sekolah disinyalir menyebabkan calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu memilih enggan untuk bersekolah di sekolah bertitel RSBI sehingga mereka memutuskan untuk bersekolah di sekolah non RSBI atau sekolah kejuruan RSBI yang biaya pendidikannya yang sedikit lebih terjangkau.

Faktor-Faktor yang Diduga Mempengaruhi Status Internasional Sekolah Melalui Pendekatan Regresi Logistik Biner

Regresi logistik adalah suatu metode analisis statistika yang mendeskripsikan hubungan antara peubah respon yang memiliki dua atau lebih kategori dengan satu atau lebih peubah penjelas yang berskala kategorik atau kontinu (Hosmer & Lemeshow 2000). Pengujian dengan mengunakan uji Hosmer dan Lemeshow pada model regresi logistik biner menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0.705. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati pada taraf nyata sebesar 5% sehingga model regresi biner layak dipakai untuk dilakukan analisis lebih lanjut.

Pendugaan model regresi logistik biner dengan menggunakan sepuluh peubah penjelas menghasilkan nilai statistik uji G sebesar 99.421 dengan nilai p sebesar 0.000 (Lampiran 2). Nilai Khi Kuadrat tersebut merupakan perbedaan nilai kemungkinan model tanpa peubah penjelas dan model dengan peubah penjelas. Berdasarkan nilai tersebut, dapat dinyatakan bahwa pada taraf nyata sebesar 5%, sedikitnya terdapat satu peubah penjelas yang mempengaruhi peubah respon. Pengujian secara parsial dengan uji Wald menunjukkan bahwa peubah penjelas yang berpengaruh paling kuat adalah sister school, akreditasi sekolah, dan persentase siswa miskin.

Tabel 3 Analisis regresi logistik dengan model reduksi untuk peubah respon status internasional sekolah

Peubah B Galat

Baku Wald Signifikansi

Rasio Odds Konstanta 0.744766 0.564 1.76 0.185 2.105949 Lokasi 5.801 0.055 Lokasi (1) -1.157582 0.563 4.216 0.040 0.314245 Lokasi (2) -1.348053 0.676 3.981 0.046 0.259476 Sertifikasi ISO (1) 0.966655 0.531 3.308 0.069 2.629136 Persentase Siswa Miskin -3.050264 1.672 3.354 0.067 0.047349 Uang Pangkal Sekolah 0.000001 1.324 9.384 0.002 1.000000 SPP per bulan -0.000011 1.251 9.322 0.002 0.999982 Pereduksian peubah penjelas yang tidak nyata dilakukan dengan menggunakan backward elimination. Hasil pengujian secara parsial dengan uji Wald pada taraf nyata 10% menunjukkan terdapat lima peubah yang memberikan pengaruh nyata, yaitu lokasi sekolah, sertifikasi ISO 9001 atau 14001, persentase siswa miskin, uang pangkal sekolah, dan biaya SPP per bulan (Tabel 3). Model logit yang diperoleh adalah

Hasil ketepatan klasifikasi model menunjukkan bahwa dari 70 sekolah RSBI dikategorikan dengan benar sebanyak 55 (78.6%) sekolah dan 70 sekolah non RSBI dikategorikan dengan benar sebanyak 65 (92.9%) sekolah. Hal ini memberikan hasil ketepatan klasifikasi model secara keseluruhan sebesar 85.7% dengan pemotongan nilai peluang sebesar 0.5 (Tabel 4).

Tabel 4 Nilai persentase tingkat ketepatan klasifikasi model

Pengamatan Dugaan %

Benar RSBI Non RSBI

RSBI 65 5 92.9

Non RSBI 15 55 78.6

% Benar Keseluruhan 85.7

Pendekatan lainnya yang dapat digunakan untuk melihat kebaikan model dugaan adalah dengan melihat nilai Nagelkerke R2, hal ini serupa seperti yang biasa kita lakukan untuk melihat kebaikan model pada regresi berganda. Berdasarkan Lampiran 3, nilai Nagelkerke R2 terakhir yang diperoleh setelah melalui proses pereduksian peubah adalah sebesar 0.647. Hal ini menunjukkan bahwa hasil model dugaan sudah cukup baik dan dapat diterima secara statistik.

Interpretasi dari nilai dugaan rasio odds menjelaskan bahwa peluang sekolah berstatus RSBI 0.314 kali lebih besar pada saat berada di kota besar dibandingkan jika berada di kabupaten, sedangkan sekolah yang berlokasi pada kota kecil memiliki kecenderungan berstatus RSBI 0.259 kali lebih besar dibandingkan jika berada di lokasi kabupaten.

Sekolah yang memiliki sertifikasi ISO 9001 atau 14001 memiliki peluang 2.629 kali lebih besar untuk berstatus RSBI jika dibandingkan dengan sekolah yang tidak tersertifikasi ISO.

Pendekatan Analisis Profil pada Kriteria Persyaratan Pendirian Sekolah Bertaraf Internasional di Indonesia

Analisis profil digunakan pada saat terdapat beberapa perlakuan yang terbagi ke dalam dua atau lebih grup. Asumsi yang digunakan adalah semua respon diukur dalam unit yang sama dan respon dari grup yang berbeda saling bebas satu sama lain. Dalam analisis profil, ada tiga pengujian hipotesis yang digunakan yaitu kesejajaran, keberhimpitan, dan kesamaan antar profil. Ketiga hipotesis tersebut haruslah diuji secara berurutan. Artinya, bahwa jika hipotesis pertama (mengenai kesejajaran), setelah diuji ternyata ditolak, maka uji untuk hipotesis dua (keberhimpitan) dan tiga (kesamaan) tidak berlaku lagi. (Mattjik & Sumertajaya 2011)

Berdasarkan Gambar 6, dapat disimpulkan secara kasat mata bahwa profil untuk setiap grup tidaklah berhimpit dan sama tetapi memiliki kemungkinan untuk bisa saling sejajar satu sama lainnya. Untuk mengetahui hal tersebut secara pasti, perlu dilakukan serangkaian pengujian analisis profil, dimulai dari uji

kesejajaran (parallel test), uji keberhimpitan (coincident test), sampai uji kesamaan (level test).

Gambar 6 Plot rataan uang pangkal sekolah dan SPP per bulan pada sekolah RSBI dan non RSBI

Uji dilakukan pada taraf nyata 5% dengan diketahui bahwa rataan untuk tiap populasi XRSBI = [4.686.929 395.228] dan XNON-RSBI = [2.282.143 206.885] sehingga didapat matriks selisih rataan kedua populasi tersebut, yaitu X = [2.404.786 188.343].

Perhitungan untuk uji keparalelan pun dilakukan dengan menggunakan matriks ragam-peragam peubah-peubahnya dan matriks C yang berukuran 1x2 sebagai berikut:

dan

Hasil perhitungan yang didapat berupa nilai T2-Hotelling yang nantinya akan dilakukan perbandingan dengan nilai c2. Nilai c2 itu sendiri merupakan nilai yang bergantung pada nilai tabel sebaran F. Perbandingan antara nilai T2 -Hotelling dan c2 dilakukan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dari hasil pengujian tersebut. Dari hasil penghitungan, diperoleh nilai T2-Hotelling sebesar 8.202 yang lebih besar dari nilai c2 sebesar 3.927. Hal ini menunjukkan bahwa profil antar grup tidaklah sejajar. Ketidaksejajaran tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan pemberian perlakuan (uang pangkal sekolah dan SPP per bulan) pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI.

Pendekatan lain yang dilakukan adalah dengan cara membandingkan rataan setiap perlakuan pada setiap grupnya. Dalam hal ini, dilakukan perbandingan nilai rataan uang pangkal sekolah dan SPP per bulan antara sekolah RSBI dengan non RSBI. Dari segi uang pangkal sekolah, rasio yang diperoleh dari perbandingan sekolah RSBI dengan non RSBI adalah sebesar 2.05, sedangkan rasio untuk SPP per bulan dengan perbandingan yang sama diperoleh hasil sebesar 1.91 sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai nominal uang pangkal sekolah dan SPP per bulan untuk sekolah RSBI hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan sekolah non RSBI.

Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada masyarakat saat ini. Masyarakat mengeluhkan tingginya biaya masuk (uang pangkal sekolah) dan biaya bulanan yang harus dikeluarkan oleh mereka ketika akan menyekolahkan

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000

Uang Pangkal Sekolah SPP per bulan

N ila i n o m in al (ru p ia h )

anaknya di sekolah yang berstatus sekolah RSBI. Tingginya biaya masuk dan bulanan pada sekolah RSBI itu sendiri diduga merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang membebaskan sekolah RSBI untuk memungut dana dari masyarakat dan atau orang tua murid dengan dalih untuk proses pencapaian standar sekolah bertaraf internasional.

Selain melakukan pendekatan analisis profil terhadap biaya pendidikan pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI, peneliti juga melakukan pendekatan yang serupa untuk diterapkan pada beberapa kriteria persyaratan pendirian sekolah bertaraf internasional lainnya, seperti kualifikasi kepala sekolah, akreditasi sekolah, dan kepemilikan sertifikasi mutu sekolah.

Gambar 7 Plot proporsi keterpenuhan kriteria dari segi akreditasi sekolah pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI berdasarkan lokasi sekolah

Analisis profil dilakukan pada ketiga kriteria tersebut dengan cara melihat nilai proporsi keterpenuhan kriteria pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI terpilih berdasarkan lokasi sekolahnya. Gambar 7 menunjukkan plot yang dihasilkan melalui pengujian analisis profil pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI dengan melakukan perbandingan proporsi antara jumlah sekolah yang telah terakreditasi A di kota besar, kota kecil, dan kabupaten dengan jumlah keseluruhan sekolah yang terdapat pada masing-masing lokasi. Berdasarkan Gambar 7, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan keparalelan antara sekolah RSBI dan sekolah non RSBI berdasarkan kriteria akreditasi sekolah. Hal yang cukup menarik ditunjukkan dari kekonsistenan plot keterpenuhan dari segi akreditasi pada sekolah RSBI yang berada di atas plot keterpenuhan untuk sekolah non RSBI pada setiap lokasi. Hal ini membuktikan adanya kesiapan sekolah RSBI dari segi akreditasi untuk dijadikan sekolah berbasis internasional, jika melihat nilai proporsi keterpenuhan yang selalu konsisten bernilai tinggi pada setiap lokasinya. 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

Kota Besar Kota Kecil Kabupaten

P ro p o rs i k e te rp en u h an k ri te ri a Lokasi RSBI Non RSBI

Gambar 8 Plot proporsi keterpenuhan kriteria dari segi kualifikasi kepala sekolah pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI berdasarkan lokasi sekolah

Gambar 9 Plot proporsi keterpenuhan kriteria dari segi kepemilikan sertifikasi mutu pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI berdasarkan lokasi sekolah

Dari segi kualifikasi kepala sekolah, pemerintah mensyaratkan sekolah memiliki kepala sekolah dengan kualifikasi pendidikan minimal S2 dan mampu berbahasa inggris secara aktif sebagai salah satu kriteria ideal yang harus dipenuhi oleh sosok seorang pemimpin di sekolah bertaraf internasional. Plot perbandingan proporsi keterpenuhan kriteria dari segi kualifikasi kepala sekolah pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI di kota besar dan kota kecil menunjukkan nilai proporsi yang hampir serupa, sedangkan untuk perbandingan proporsi di kabupaten tercatat memberikan hasil selisih proporsi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan nilai proporsi di kedua lokasi lainnya (Gambar 8).

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

Kota Besar Kota Kecil Kabupaten

P ro p o rs i ket er p en u h a n kr it er ia Lokasi RSBI Non RSBI 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8

Kota Besar Kota Kecil Kabupaten

P ro p o rs i k et erp e n u h an k ri te ri a Lokasi RSBI Non RSBI

Hubungan keparalelan nampak tidak terlihat dari hasil perbandingan proporsi keterpenuhan kriteria pada sekolah RSBI dan sekolah non RSBI dari segi kualifikasi kepala sekolah.

Gambar 9 menunjukkan plot perbandingan proporsi keterpenuhan kriteria dari sekolah RSBI dan sekolah non RSBI berdasarkan kepemilikan sertifikasi mutu sekolah di kota besar, kota kecil, dan kabupaten. Secara kasat mata, terlihat adanya hubungan keparalelan yang terjadi antara sekolah RSBI dan sekolah non RSBI dari segi kepemilikan sertifikasi mutu. Plot perbandingan proporsi pada Gambar 9 juga menunjukkan bahwa proporsi kepemilikan sertifikasi mutu sekolah pada sekolah non RSBI selalu memberikan nilai yang lebih rendah pada setiap lokasi jika dibandingkan dengan nilai proporsi yang dihasilkan oleh sekolah RSBI. Hal tersebut menjadi bukti bahwa dengan adanya program RSBI bisa memberikan motivasi pada sekolah untuk memperbaiki sistem yang ada pada sekolahnya.

Penskoran terhadap Indikator Mutu dan Indikator Pembiayaan Pada Sekolah RSBI dan Sekolah Non RSBI

Penskoran dilakukan dengan menggunakan metode Sub Dimension Index

Indicator (SDII). Metode ini banyak digunakan dalam berbagai aspek, seperti

penyusunan indeks pembangunan manusia (human development index), indeks kemiskinan (poverty index), dan penggabungan atribut ganda dalam analisis pengendalian mutu. Pada penelitian ini, penskoran dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan pembobot SDII yang bernama Range Equalization (RE). Metode ini dilakukan dengan cara membagi nilai amatan dalam suatu peubah dengan nilai wilayahnya, setelah terlebih dahulu dilakukan pengurangan antara nilai amatan dengan nilai terkecil dalam peubah tersebut sehingga skala nilai amatan yang dihasilkan akan berkisar dari nilai nol sampai dengan satu.

Pendekatan range equalization menerapkan sistem pembobotan yang sama pada seluruh peubah sehingga pendekatan ini akan sangat baik bila tingkat kepentingan dari seluruh peubah dianggap sama. Kelemahan dari pendekatan

range equalization akan terlihat jika peubah-peubah yang terlibat dalam kasus

yang dihadapi memiliki tingkat kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penskoran, peneliti membagi peubah ke dalam dua indikator, yakni indikator mutu dan indikator pembiayaan sekolah.

Peubah yang terdapat dalam indikator mutu adalah kualifikasi kepala sekolah, akreditasi sekolah, sister school, dan sertifikasi ISO yang bersifat kategorik, sedangkan peubah yang bersifat numerik dalam indikator tersebut meliputi persentase guru dengan pendidikan terakhir minimal S2 dan nilai rataan UAN sekolah. Persentase siswa miskin yang bersifat numerik dimasukkan ke dalam indikator pembiayaan bersama dengan uang pangkal sekolah beserta SPP per bulan yang bersifat kategorik.

Asumsi yang digunakan dalam penskoran SDII RE adalah semua peubah bersifat numerik dan diukur dengan menggunakan skala satuan yang sama sehingga peubah yang bersifat kategorik harus terlebih dahulu dilakukan perubahan menjadi peubah yang bersifat numerik. Peneliti menetapkan satuan skala yang digunakan dalam penskoran adalah persentase ketidakterpenuhan

dalam proses pencapaian kriteria untuk menjadi sekolah berbasis internasional. Oleh karena itu, semakin kecil skor yang didapat dalam penskoran, semakin kecil pula nilai ketidakterpenuhan pencapaian kriteria sekolah berbasis internasionalnya sehingga sekolah tersebut semakin baik untuk dijadikan basis sebagai sekolah bertaraf internasional.

Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam penskoran adalah melakukan perubahan skala untuk peubah yang bersifat kategorik menjadi numerik. Perubahan skala ini dilakukan dengan melihat proporsi jumlah peubah yang tidak memenuhi kriteria, yang disimbolkan dengan “0”, dalam suatu indikator dengan jumlah peubah dalam indikator tersebut. Tabel 5 dan Tabel 6 masing-masing menunjukkan ilustrasi perubahan skala kategorik menjadi skala numerik pada indikator mutu dan indikator pembiayaan.

Tabel 5 Ilustrasi perubahan skala peubah kategorik menjadi numerik pada indikator mutu Indikator Mutu Proporsi ketidakterpenuhan Kepala Sekolah Akreditasi Sister School Sertifikasi ISO 1 0 0 1 0.5 0 0 0 1 0.75 1 1 1 0 0.25

Tabel 6 Ilustrasi perubahan skala peubah kategorik menjadi numerik pada indikator pembiayaan Indikator Pembiayaan Proporsi Ketidakterpenuhan Uang Pangkal Sekolah SPP per bulan 0 1 0.5 1 0 0.5 1 1 0

Dalam penghitungan skor, diperoleh nilai skor sebesar 0.13 untuk sekolah RSBI dan 0.18 untuk sekolah non RSBI dari segi indikator mutu. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah RSBI memiliki keunggulan yang sedikit lebih baik dari segi mutu jika dibandingkan dengan sekolah non RSBI. Selain itu, penghitungan skor pun dilakukan dari segi indikator pembiayaan dan diperoleh kesimpulan bahwa sekolah non RSBI sangat memperhatikan keadaan peserta didik dari segi penerimaan siswa tidak mampu dan biaya pendidikan yang dibebankan kepada orang tua murid jika dibandingkan dengan sekolah RSBI. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya skor sebesar 0.04 untuk sekolah non RSBI

Dokumen terkait