• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kematangan Gonad

Induk-induk ikan yang siap dipijahkan telah matang gonad. Hal ini dapat dilihat secara visual dengan mengamati ukuran diameter telur dan posisi intinya. Berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti (germinal vesicle) telur pada penelitian ini, tampak bahwa induk-induk ikan yang digunakan baik ikan mas maupun ikan tawes telah matang gonad. Kematangan telur tersebut juga dapat dilihat dari penampilan telur yang bulat dan seragam ukurannya.

17

Diameter Telur

Ukuran diameter telur pada masing-masing induk ikan mas dan ikan tawes yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3 dan Lampiran 2.

Tabel 2 Ukuran diameter (mm) telur ikan mas

Ulangan Perlakuan A B C D E 1 1.5±0.12 1.5±0.07 1.6±0.08 1.3±0.18 1.1±0.11 1.2±0.13 1.6±0.14 1.8±0.16 1.4±0.17 2 1.5±0.14 1.4±0.07 1.4±0.10 1.2±0.04 1.5±0.10 1.5±0.06 1.5±0.10 1.7±0.11 1.3±0.10 3 1.4±0.05 1.5±0.06 1.5±0.09 1.5±0.05 1.6±0.08 1.6±0.09 1.5±0.09 1.6±0.10 1.4±0.10 n = 30, rerata±simpangan baku

Tabel 3 Ukuran diameter (mm) telur ikan tawes

Ulangan Perlakuan A B C D E 1 0.7±0.03 0.7±0.04 0.7±0.04 0.7±0.04 0.7±0.05 2 0.7±0.03 0.7±0.05 0.7±0.05 0.7±0.05 0.7±0.03 3 0.7±0.03 0.7±0.04 0.7±0.04 0.7±0.03 0.7±0.04 n = 30, rerata±simpangan baku

Semakin berkembang tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad akan menjadi semakin besar sampai mencapai ukuran maksimum. Secara umum, ukuran diameter telur ikan termasuk ikan mas dan ikan tawes sangat dipengaruhi oleh umur, lingkungan, genetik, nutrisi dan siklus reproduksi. Kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya (Effendie 2002). Telur yang matang pada ikan zebra (Brachydanio rerio) berbentuk bulat, transparan, dan tidak terikat satu sama lain, sedangkan telur yang belum matang berwarna buram, bentuk dan ukurannya tidak teratur dan saling menempel satu sama lain (Chen dan Martinich 1975).

Berdasarkan kedua tabel di atas terlihat bahwa rata-rata diameter telur ikan mas berkisar antara 0.99–1.96 mm, sedangkan ikan tawes berkisar antara 0.67– 0.75 mm. Hasil pengukuran diameter oosit matang untuk ikan mas oleh Rottmann et al. (1991) berkisar antara 0.9–1.2 mm dan Linhart et al. (1995) berkisar antara 1.24–l .42 mm. Hasil penelitian Tempero et al. (2006) menunjukkan bahwa rata-rata diameter oosit ikan mas berkisar antara 0.30 dan 1.85 mm dengan rata-rata-rata-rata diameter oosit matang adalah 1.16 mm. Sementara ukuran diameter oosit matang pada ikan tawes berkisar antara 0.68 dan 0.78 mm dengan rata-rata 0.70 mm (Bhuiyan et al. 2006).

18

Posisi Inti Telur

Keberhasilan metode Cangkringan ditandai dengan memijahnya ikan tawes karena pengaruh pemijahan ikan mas. Keberhasilan tersebut sangat ditentukan oleh kematangan induk ikan mas dan ikan tawes. Meskipun ukuran diameter telur beragam, tetapi jika dilihat dari kematangan secara fisiologis, yaitu dari posisi inti telur semua induk ikan tawes dan ikan mas yang digunakan pada setiap perlakuan sudah berada pada kondisi siap mijah (Gambar 9 dan Lampiran 3).

Gambar 9 Posisi inti telur ikan tawes, inti telur pada fase istrahat (panah putih); inti telur bergerak ke tepi : GVM (panah hitam)

Pengamatan terhadap posisi inti telur merupakan metode yang baik untuk menentukan perkembangan dan tingkat kematangan telur. Rottmann et al. (1991) menyatakan bahwa diameter, penampilan dan posisi inti telur adalah indikator visual perkembangan telur. Menurut Kucharczyk et al. (2008) posisi inti telur sebagai tanda kematangan telur, ditentukan dalam empat tahap kematangan yaitu tahap 1 : inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2 : awal migrasi inti (kurang dari setengah jari-jari telur), tahap 3 : akhir migrasi inti (lebih dari setengah jari-jari telur), tahap 4 : inti periferal atau germinal vesicle breakdown (GVBD).

Inti telur yang terlihat lebih kecil dari ooplasma dan terletak di tengah berada pada fase istrahat/dorman, menunggu sinyal pemijahan. Gerakan inti dari pusat telur ke tepi (germinal vesicle migration) merupakan langkah awal untuk ovulasi (Woynarovich dan Horvath 1980; Rottmann et al. 1991). Inti telur yang berada pada posisi lebih dekat ke pusat dibanding ke pertengahan jari-jari telur diklasifikasikan telah mencapai keadaan matang tahap II (Zarski et al. 2011). Selanjutnya Yueh dan Chang (2000) menjelaskan bahwa telur yang matang ditandai dengan ooplasma yang transparan dan inti yang bergerak menuju ke bagian peripheral. (B) 1 (B) 2 (C) 2 (D) 2 (E) 2 (A) 1 (C) 1 (D) 1 (E) 1 (E) 3 (D) 3 (C) 3 (B) 3 (A) 3 (A) 2 (E)2

19

Tingkah Laku Pemijahan

Tingkah laku induk-induk ikan pada semua perlakuan hampir sama sesaat setelah dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Pada perlakuan A, B dan C (♂♂♀), induk-induk ikan mas baik jantan maupun betina berenang secara perlahan mengelilingi bak pemijahan dengan arah berbeda satu sama lain. Induk ikan akan membelokkan badannya ketika bertemu dengan ikan mas lainnya. Demikian pula pada perlakuan D dan E (♀♀♀), induk-induk ikan berenang perlahan, beriringan, terkadang berlawanan arah kemudian berbelok, sesekali kepalanya menyundul kakaban atau diam bergerombol di dasar memperhatikan ikan tawes. Hal yang sama terjadi pula pada ikan tawes, dimana induk-induk ikan tawes (♂♀) pada semua perlakuan berenang perlahan sesaat setelah dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Kadang terlihat berenang di bawah kucuran air, terkadang berenang perlahan mengitari pinggiran sekat hapa kemudian diam memperhatikan ikan mas.

Pada perlakuan B dan C, aktifitas induk-induk ikan mas mulai terlihat aktif setelah penyuntikan kedua. Ketika mereka aktif secara seksual, ikan mas jantan mengejar dan menyentuh bagian urogenital ikan mas betina. Terkadang berenang disamping ikan betina, menempelkan badannya dan mendorong ikan betina sambil mengitari bak pemijahan. Kadang-kadang ikan akan berenang ke atas kakaban, untuk mengevaluasi manfaatnya dalam oviposisi (Kobayashi et al. 2002). Selanjutnya pemijahan terjadi, ditandai dengan ikan jantan semakin agresif mengejar ikan betina, memastikan dirinya selalu berada di samping ikan betina. Kadang-kadang ikan tersebut menyembulkan kepalanya ke permukaan air. Gerakan-gerakan ini semakin agresif sehingga menimbulkan percikan-percikan air ke permukaan. Ikan betina terlihat membalikkan badannya tepat di bawah kakaban untuk oviposisi. Pada saat itulah ikan jantan berenang cepat melepaskan sperma untuk membuahi telur. Selama masa pemijahan ikan jantan dan betina secara langsung menyamakan tingkah lakunya untuk mencapai pelepasan gamet yang serempak (terkoordinasi) seperti oviposisi dan pelepasan sperma (Liley dan Stacey 1983). Setelah terjadi pemijahan, air terlihat seperti berminyak, berbusa dan berbau amis.

Hal yang sama juga terjadi pada ikan tawes. Ketika ikan mas terlihat agresif, ikan tawes juga mulai menunjukkan perilaku agresif. Ikan-ikan tawes jantan menempelkan badannya ke badan ikan tawes betina, berputar-putar dan berusaha untuk menggiring ikan tawes betina dari satu tempat ke tempat lain dengan gerakan yang cepat disertai suara gaduh berupa dengungan.

Perilaku yang sama juga terjadi pada perlakuan D dan E. Jika waktu untuk memijah telah tiba, maka perilaku agresif dan kejar-kejaran juga terjadi walaupun tanpa ikan mas jantan. Namun yang terlihat beda dengan perlakuan lain adalah ikan tawes lebih dahulu menunjukkan perilaku agresif baru diikuti ikan-ikan mas betina. Meskipun demikian, ikan tawes tidak mendahului ikan mas untuk memijah. Ikan tawes memijah mengikuti pemijahan ikan mas dengan interval waktu antara 51 menit sampai 31 jam 19 menit, dimana pemijahan alami terjadi dengan interval waktu antara 6 jam 55 menit sampai 8 jam 5 menit (Tabel 4).

Pascapemijahan, induk-iduk ikan mas berenang perlahan. Kadang terlihat memakan telur-telur yang menempel pada kakaban atau sekat hapa. Oleh karena itu, ketika kakaban terlihat sudah dipenuhi telur, perlu di pindahkan ke bak penetasan dan diganti dengan kakaban yang baru.

20

Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ikan tawes dapat memijah secara alami atau melalui stripping karena rangsangan ikan mas yang memijah baik disuntik maupun tidak disuntik ovaprim (Tabel 4 dan Lampiran 4).

Tabel 4 Jumlah ikan mas dan tawes yang mijah, waktu ikan mas mencapai ovulasi (WOM), waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT), dan derajat pemijahan (DP) ikan tawes

Perlakuan Ulangan

Pemijahan ikan mas

Pemijahan

ikan tawes WOM (jam) WOT (jam) DP tawes (%) Ala mi Strip ping Ala mi Strip ping A (♀♂♂ tidak disuntik) 1 + - - + td 7.23” ** 0 2 - - - - 3 - - - - B (♀♂♂ disuntik) 1 + - - + 6.15” 51” 100 2 + - - + 8.2” 26.3” 3 + - + - 5 6.55” C (♀ disuntik ♂♂ tidak disuntik) 1 + - - - * - 33.33 2 + - - - 18.24” - 3 + - + - 5.13 8.5” Induk ke D1 (♀♀♀ disuntik) 1 + - - - 8.33” - 66.67 2 - - - 3 - + 11.06” D2 (♀♀♀ disuntik) 1 - - - + - 31.19” 2 + - 2.57” 3 + - 2.57” D3 (♀♀♀ disuntik) 1 + - - + 18” 13.53” 2 - - - 3 + - 18” E1 (♀♀♀ tidak disuntik) 1 - - - + - 12.2” 66.67 2 + - td 3 + - td E2 (♀♀♀ tidak disuntik) 1 + - - - td - 2 + - td 3 + - td E3 (♀♀♀ tidak disuntik) 1 + - + - td 6.58” 2 + - td 3 - - -

* Mijah sesaat sebelum penyuntikan kedua.

** Mijah alami tanpa penyuntikan, tidak dihitung sebagai kontrol negatif. td Perlakuan tanpa penyuntikan, waktu pencapaian ovulasi tidak terdeteksi.

21 Pencapaian interval waktu imbas tercepat pada pemijahan ikan tawes secara alami karena pengaruh pemijahan ikan mas terjadi pada perlakuan B3 (K+), yaitu 6 jam 55 menit, kemudian perlakuan E3 yaitu 6 jam 58 menit, dan C3 yaitu 8 jam 5 menit. Begitu pula hasil pengamatan pada jumlah induk ikan tawes yang mijah karena pengaruh imbas ikan mas, hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu sebesar 100%, kemudian diikuti oleh perlakuan D dan E yang memberikan hasil yang sama yaitu 66.7%. Hasil terendah diperoleh pada perlakuan C sebesar 33.3% dan perlakuan A (K-) sebesar 0% (Tabel 4).

Perlakuan B memberikan interval waktu imbas tercepat dan derajat pemijahan tertinggi, diduga karena penyuntikan ovaprim pada semua induk ikan mas baik jantan maupun betina pada perlakuan ini membantu meningkatkan konsentrasi LH. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17α-hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah oleh enzim 20β-hidroxysteroid dehidrogenase (20β-HSD) menjadi 17α,20β-P yang beraksi sebagai maturation inducing steroid (MIS) (Zairin 2003; Nagahama et al. 2005; Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid ini akan mendorong inisiasi meiosis inti dan pematangan folikel serta ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan pematangan spermatozoa serta spermiasi (Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan Levavi-Sivan 2011). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

Selama proses ovulasi dan spermiasi, terjadi perubahan tingkah laku ikan mas yang menjadi lebih agresif. Perubahan tingkah laku tersebut menyebabkan banyaknya urin yang dikeluarkan oleh ikan mas yang mengakibatkan banyaknya feromon yang dilepaskan ke air melalui urin tersebut (Appelt dan Sorensen 2007). Feromon yang dilepaskan ke air merupakan stimulasi dari ikan mas yang memicu terjadinya pemijahan pada ikan tawes. Isyarat-isyarat feromon ini pada ikan dapat masuk melalui organ penciuman (olfactory bulb), kemudian di teruskan ke sistem syaraf pusat, selanjutnya mengaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad (Zielinski dan Hara 2007).

Selanjutnya pada perlakuan D yang juga diinjeksi ovaprim terdapat dua pasang ikan tawes yang mijah, yaitu pada ulangan ke-2 dan ke-3 dengan jumlah ikan mas yang memijah masing-masing sebanyak 2 ekor, tetapi pada ulangan ke-1 tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes. Hal ini diduga karena feromon yang dikeluarkan ikan mas betina pada ulangan ini tidak cukup untuk mengimbas tawes, karena ketiadaan ikan mas jantan. Selain itu hanya terdapat 1 ekor induk ikan mas yang memijah yang berperan sebagai pengimbas.

Hasil yang sama ditunjukan pada perlakuan E dimana induk-induk ikan mas tidak diinjeksi ovaprim, namun karena terjadi pemijahan pada ikan mas sehingga terdapat 2 pasang ikan tawes yang mijah yaitu pada ulangan ke-1 dan ke-3. Namun demikian pada ulangan ke-2 tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes walaupun semua ikan mas (3 ekor) mijah pada ulangan ini. Diduga telur ikan tawes pada perlakuan ini belum benar-benar matang. Dugaan lain adalah terdapat kelebihan metabolit dalam air yang dilepaskan ikan mas pada saat ovulasi yang menyebabkan ikan tawes tidak terangsang untuk melakukan pemijahan. Aksi feromon dan metabolitnya yang dikeluarkan pada saat ovulasi mungkin dapat mengaktifkan atau menonaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad (Chen dan Martinich 1975). Sifat kimia dari metabolit penghambat pemijahan tersebut belum

22

diketahui, namun Greene (1966) menduga bahwa metabolit tersebut adalah amonia.

Pada kedua perlakuan D dan E di atas, tidak terdapat ikan mas jantan namun ikan mas betina pun dapat mengimbas ikan tawes (DP = 66.7%). Hal ini disebabkan karena ikan betina juga melepaskan feromon pada saat ovulasi (Kobayashi et al. 2002; Lim dan Sorensen 2012). Pemijahan ikan mas yang terjadi pada perlakuan E yang tidak disuntik ovaprim dan tanpa kehadiran ikan jantan, diduga disebabkan oleh mekanisme stres. Mekanisme ini mengaktifkan poros hyphothalamus-hipofisis-ginjal-gonad. Gonadotropin tampaknya merangsang interrenal ginjal untuk memproduksi kortikosteroid yang pada gilirannya beraksi pada oosit sebagai MIS (Sundararaj dan Goswami 1977) yang membantu gonad membentuk maturation promoting factor (MPF) yang menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur (Yaron 1995).

Pada perlakuan A1 terjadi pemijahan pada induk ikan mas walaupun induk-induk ikan mas pada perlakuan ini tidak disuntik ovaprim. Hal ini dapat diduga bahwa gonad ikan betina sudah cukup matang dan didukung oleh kehadiran ikan jantan sebagai lawan jenis (Woynarovich dan Horvath) dapat merangsang ikan betina untuk ovulasi. Begitupula ikan jantan akan menunjukkan peningkatan aktivitas berenang bila terkena bau ikan betina yang matang gonad (Sorensen dan Stacey 2004). Peningkatan aktivitas berenang tersebut menyebabkan banyaknya urin yang dikeluarkan oleh ikan mas jantan yang mengakibatkan banyaknya feromon yang dilepaskan ke air melalui urin (Appelt dan Sorensen 2007). Pelepasan feromon oleh ikan mas jantan dapat menyebabkan ovulasi pada ikan mas betina yang selanjutnya memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa feromon dari ikan mas yang berovulasi dapat menyebabkan ikan tawes mijah dan metode Cangkringan berpotensi tinggi menjadi solusi alternatif pemijahan ikan menggantikan metode kawin suntik yang menggunakan ekstrak kelenjar hipofisa atau hormon gonadotropin lain yang selama ini biasa diterapkan dalam akuakultur.

Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR) dan Derajat Penetasan Telur (HR)

Hasil perhitungan fekunditas ikan tawes menunjukkan bahwa ikan tawes yang mijah karena pengaruh imbas ikan mas yang disuntik (perlakuan B, C dan D) memberikan fekunditas yang tinggi dibanding dengan yang tidak disuntik (perlakuan A dan E) (Tabel 5 dan Lampiran 5). Fekunditas tertinggi diperoleh pada perlakuan B, C dan D yaitu masing-masing sebanyak 71 460, 35 730 dan 32 752 butir telur. Hal ini diduga bahwa pengaruh pemberian ovaprim mengakibatkan tingginya konsentrasi gonadotropin pada induk-induk ikan mas pada perlakuan ini sehingga feromon yang diberikan cukup kuat untuk merangsang ikan tawes mijah. Feromon sebagai hormon eksternal, membantu menaikkan konsentrasi gonadotropin internal ikan tawes sehingga peluang telur matang dalam gonad semakin tinggi untuk diovulasikan.

23 Tabel 5 Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan

(HR) ikan tawes Perlakuan Bobot ikan

betina (Kg) Fekunditas rata-rata (butir) FR (%) HR (%)* A 0.25 11 910 0 0 B 0.56 71 460 79.3 96.7 C 0.31 35 730 81.3 93.4 D 0.49 32 752 0 0 E 0.42 20 247 81.7 94.7

* Dihitung dari jumlah telur yang terbuahi.

Derajat pembuahan dan penetasan telur ikan tawes memberikan hasil yang tinggi dan hampir sama pada semua perlakuan hasil permijahan alami (perlakuan B, C dan E) masing-masing berkisar antara 79.3–81.7% dan 93.4–96.7% (Tabel 5). Nilai yang hampir sama yang ditunjukkan pada perlakuan-perlakuan tersebut diduga terjadi karena terdapat pasangan induk ikan tawes dalam jumlah yang sama pula baik jantan maupun betina pada setiap perlakuan. Namun pada perlakuan D dan A dimana ikan tawes memijah dengan cara distripping, tidak terdapat telur yang menetas karena tidak terbuahi.

Derajat pembuahan sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma yang dipengaruhi oleh nutrisi, musim, temperatur, frekuensi pemakaian jantan dan hereditas. Banyaknya jumlah sperma yang dikeluarkan dari seekor ikan jantan bergantung pula kepada umur, ukuran dan frekuensi ejakulasi. Selain itu, tingkat pembuahan juga dipengaruhi oleh kondisi kematangan telur yang berkaitan dengan proses vitelogenesis sebelum telur diovulasikan (Zairin et al. 2005). Derajat penetasan dipengaruhi oleh faktor internal berupa kerja hormon dan volume kuning telur serta faktor eksternal berupa suhu, oksigen terlarut dan intensitas cahaya (Affandi dan Tang 2002). Rendahnya derajat pembuahan dan penetasan pada perlakuan yang memijah secara stripping diduga sangat dipengaruhi oleh kesalahan manusia.

Telur ikan tawes yang terbuahi berwarna bening transparan dan embrio berbentuk huruf koma. Telur-telur tersebut umumnya akan menetas selama 2–3 hari setelah masa inkubasi. Larva yang hidup terlihat transparan, berukuran sangat kecil dan aktif berenang mencari makan, sedangkan larva yang mati berwarna putih keruh dan melayang di kolom air atau tenggelam di dasar kolam.

Profil Hormon Testosteron (T) dan Estradiol (E2

Berdasarkan hasil analisis hormon testosteron dan estradiol pada plasma ikan mas, diperoleh hasil bahwa nilai T dan E

) Ikan Mas

2 ikan mas berhubungan erat dengan status pemijahan ikan tawes (Tabel 6 dan Lampiran 6).

24

Tabel 6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E2

Status pemijahan ikan tawes ) ikan mas Perlakuan

Konsentrasi hormon pada betina

Konsentrasi hormon pada

jantan E2 (ng mL-1) T (ng mL-1) T (ng mL-1) Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Alami B3 0.22 0.89 0.27 6.76 1.59 10.19 C3 0.13 0.62 5.44 3.76 1.23 7.91 E3 0.39 0.86 1.04 1.79 - - Alin/ Stripping A1 1.40 1.46 1.82 0.79 3.21 2.26 B1 1.45 1.35 2.55 2.67 2.55 2.44 B2 0.37 0.28 td td 3.22 0.79 D2 0.51 0.40 2.46 0.69 - - D3 1.06 1.13 td td - - E1 0.46 1.01 0.82 2.66 - - Tidak mijah A2 0.72 0.72 td td 2.48 0.53 A3 0.48 3.55 2.95 >16.8 2.01 12.83 C1 2.70 0.96 8.19 1.40 1.66 td C2 0.11 3.23 td td 1.35 0.98 td tidak terdeteksi

Konsentrasi T ikan mas jantan sebesar 2.26–10.19 ng mL-1

Konsentrasi E

pada akhir pemijahan dapat memberikan pengaruh pemijahan baik secara stripping maupun secara alami pada ikan tawes (perlakuan B1, A1, B3 dan C3). Testosteron maupun steroid C19 lainnya diketahui dapat menginduksi peleburan inti pada konsentrasi yang tinggi (Nagahama dan Yamashita 2008) dan konjugat testosteron yang dilepaskan ke air bertindak sebagai feromon seks (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

2 ikan mas betina cenderung meningkat dari pemijahan alami ikan tawes ke tidak memijah. Pada pemijahan alami, terlihat konsentrasi berada di

bawah 1 ng mL-1. Pada pemijahan alin konsentrasi meningkat di atas nilai 1 ng mL-1 pada 66.7% data yang dimiliki. Sedangkan pada ikan tawes yang tidak

memijah, didapatkan informasi nilai konsentrasi meningkat hingga 3 ng mL-1 yang ditunjukkan oleh 50% data yang ada. Konsentrasi E2

Konsentrasi T yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng mL

ikan mas betina yang rendah pada pemijahan alami menunjukkan bahwa konsentrasi steroid C21 terutama 17α,20β-P tinggi (Kobayashi et al. 2002) karena terjadi penurunan aktivitas enzim aromatase P450 sedangkan aktivitas enzim 20β-HSD meningkat (Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).

-1

; perlakuan A2

dan C2) atau terlalu tinggi (12.83 ng mL-1 pada ikan mas jantan dan >16.8 ng mL-1 pada ikan mas betina ; perlakuan A3) tidak memberikan pengaruh

pemijahan pada ikan tawes. Hasil yang sama dilaporkan Simanjuntak (2013) bahwa konsentrasi T yang tinggi (10.42–15.46 ng mL-1) pada ikan mas jantan pada akhir pemijahan tidak memberikan pengaruh pemijahan pada ikan tawes.

25

Kualitas air

Dalam penelitian ini kualitas air yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut dan suhu. Nilai pH, oksigen terlarut dan suhu air selama penelitian berada pada

kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan mas dan ikan tawes, yaitu suhu 25–27 oC, oksigen terlarut 6.10–6.75 mg L-1 dan pH 6.5. Kondisi ini masih pada

kisaran optimum bagi ikan mas dan ikan tawes (Tabel 7). Tabel 7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian

Parameter kualitas air Nilai pengukuran Nilai optimum Pustaka Suhu (o C) 25–27 25–30 SNI 1999 Oksigen terlarut (mg L-1) 6.10–6.75 > 5 pH 6.5 6.5–8.5

Dokumen terkait