• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juni 2011 dalam kondisi terkontrol di rumah plastik. Penyiraman dilakukan secara manual untuk menggantikan kehilangan air oleh tanaman dengan cara pemberian air pada masing-masing polibag hingga mencapai kadar air kapasitas lapang secara berkala dua hari sekali. Data iklim mikro di lokasi penelitian meliputi suhu rata-rata selama penelitan sekitar 33.90C, kelembaban relatif sekitar 65%. Daya ber-kecambah benih dari kedua genotipe kurang dari 80% sehingga penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 2 MST untuk mempertahankan populasi.

Hama dan penyakit yang ditemui saat pelaksanaan penelitian berlangsung cenderung tidak banyak, hal ini disebabkan kondisi lingkungan penelitian yang cukup terkontrol dengan adanya rumah plastik. Beberapa hama yang dijumpai diantaranya adalah belalang dan kutu putih. Tidak ada penyakit yang dijumpai pada saat penelitian.

Pengendalian hama dilakukan pada saat pertama kali ditemukan adanya hama dan kemudian dilakukan secara teratur selama satukali dalam seminggu. Penyemprotan insektisida digunakan untuk menekan perkembangan hama belalang dan melindungi populasi tanaman kedelai. Pengendalian hama belalang menggunakan insektisida kontak Decis 25EC dengan dosis 0.5 ml/l.

Gulma yang dijumpai saat pelaksanaan penelitian diantaranya adalah

Mimosa pudica, Boreria Laevis, Phyllantus niruri, Oxlalis barerieli. Pengendalian

gulma dilakukan secara manual seminggu sekali.

Secara umum, kondisi per tanaman selama penelitian cukup baik. Kedelai yang ditanam dalam naungan paranet 50% mengalami etiolasi. Pada 3 MST pengajiran dilakukan untuk mencegah tanaman rebah. Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh naungan, genotipe, dan interaksinya terhadap karakter agronomi, analisis pertumbuhan tanaman dan fisiologi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Naungan, Genotipe, dan Interaksinya terhadap Karakter Agronomi, Analisis Pertumbuhan Tanaman dan Fisiologi

Peubah Umur (MST)/Fase Pertumbuhan Naungan (N) Genotipe (G) N×G KK A. Agronomi: Tinggi tanaman 1 ** tn tn 16.07 2 ** ** tn 4.97 3 ** tn tn 15.18 4 ** ** tn 1.46a) 5 ** ** tn 3.42

Jumlah Daun Trifoliat 3 tn tn tn 10.49

4 ** tn tn 9.60 5 * tn tn 9.33 Waktu Berbunga * tn tn 9.66 Fase Pertumbuhan B. Analisis Pertumbuhan Tanaman:

Indeks Luas Daun V3 ** tn tn 4.11

Mulai Berbunga ** tn tn 5.22 Berbunga Penuh ** * * 2.35 Mulai Berpolong ** tn tn 2.61 Berpolong Penuh tn tn tn 6.16

Nisbah Luas Daun V3 ** tn tn 20.43a)

Mulai Berbunga ** tn tn 18.04 Berbunga Penuh ** tn tn 14.35 Mulai Berpolong ** tn tn 18.46 Berpolong Penuh * tn tn 11.52a)

Laju Asimilasi Bersih VC - V3 tn tn tn 0.21a)

V3 - Mulai Berbunga ** tn tn 18.83 Mulai Berbunga - Berbunga Penuh tn tn tn 0.02a)

Berbunga Penuh - Mulai Berpolong tn tn tn 0.004a)

Mulai Berpolong - Berpolong Penuh tn tn tn 0.03a)

Laju Tumbuh Relatif VC - V3 tn tn tn 5.00a)

V3 - Mulai Berbunga * tn tn 19.55 Mulai Berbunga - Berbunga Penuh tn tn tn 4.71a)

Berbunga Penuh - Mulai Berpolong tn * * 0.51a)

Mulai Berpolong - Berpolong Penuh * tn tn 3.72a)

C. Fisiologi Klorofil a V3 tn tn tn 15.55 Mulai Berbunga tn tn tn 12.21 Berbunga Penuh * ** * 2.33 Mulai Berpolong * ** * 0.66 Berpolong Penuh * ** tn 1.24 Klorofil b V3 * tn tn 16.17 Mulai Berbunga tn tn tn 17.22 Berbunga Penuh * ** tn 2.31 Mulai Berpolong tn tn tn 3.79 Berpolong Penuh tn ** * 1.61

Rasio Klorofil a/b V3 ** tn tn 2.36

Mulai Berbunga * tn tn 6.39 Berbunga Penuh tn tn tn 1.18 Mulai Berpolong tn tn tn 3.33 Berpolong Penuh tn tn tn 2.28

Keterangan: KK : Koefisien Keragaman * : Berbeda Nyata pada α = 5% tn : tidak berbeda nyata a) : Hasil Transformasi ( + 0.5) ** : Berbeda Nyata pada α = 1%

Karakter Agronomi

Tinggi Tanaman

Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) naungan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman mulai dari 1 MST hingga 5 MST (awal pembungaan), genotipe berpengaruh sangat nyata pada 1 MST dan berpengaruh nyata pada 2 dan 5 MST, sedangkan genotipe tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada 3 dan 4 MST, tidak terdapat interaksi antara naungan dengan genotipe. Analisis ragam peubah tinggi tanaman ditampilkan pada Tabel Lampiran 1. Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman dua genotipe kedelai kedelai disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Naungan Terhadap Tinggi Tanaman Dua Genotipe Kedelai Kedelai

Perlakuan 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST

Naungan ---cm---

0% 7.79b 13.75b 21.95b 8.80b (42.75b) 77.16b

50% 13.26a 21.27a 43.16a 10.86a (71.58a) 117.83a Genotipe ---cm---

Godek (G1) 9.30a 16.00b 30.70a 9.45a (57.50a) 89.75b Ceneng (G2) 11.75a 19.02a 34.41a 10.20a (56.83a) 105.25a Keterangan: angka dalam tanda kurung ( ) merupakan nilai rata-rata sebelum transformasi.

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa naungan meningkatkan tinggi tanaman. Tanaman kedelai yang di tanam pada kondisi ternaungi dengan naungan buatan sebesar 50% lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kedelai yang ditanam pada kondisi cahaya penuh (tanpa naungan) untuk kedua genotipe. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mulyana (2006); Soverda et al. (2009); Anggraeni (2010) menunjukkan bahwa pemberian naungan 50%-55% pada tanaman kedelai memberikan pengaruh berupa pertambahan tinggi tanaman dibandingkan dengan tanaman kedelai yang ditanam pada kondisi cahaya penuh. Kondisi ini terjadi karena tanaman yang berada di bawah naungan mengalami etiolasi. Kaufman, et. al. (1989) menjelaskan bahwa proses pemanjangan batang melibatkan sel yang membelah dan memanjang secara aktif. Proses tersebut mungkin dipicu oleh hormon, seperti giberelin.

Weafer dan Clements (1938) menyatakan bahwa batang dari tanaman yang ternaungi biasanya tumbuh lebih panjang daripada daun dari tanaman yang ditanam pada cahaya penuh sebagai akibat dari usaha untuk mendapatkan cahaya. Ciri khas pemanjangan batang pada tanaman yang ternaungi terutama akibat peningkatan panjang dari sel-sel tanaman. Fuller (1955) menyatakan bahwa etiolasi merupakan kondisi dimana tanaman tidak mendapat cukup cahaya kemudian tanaman tersebut gagal membentuk klorofil sehingga daun menjadi berwarna kekuningan dan menunjukkan beberapa struktur khusus seperti mudah rebah, batang yang sukulen, dan daun yang tidak berkembang.

Kedua genotipe (Ceneng dan Godek) yang ditanam dibawah naungan memiliki batang yang kecil, panjang, dan mudah rebah. Karamoy (2009) menjelaskan bahwa tanaman yang ditanam di bawah naungan hingga 40% mengakibatkan penurunan diameter batang.

Menurut Crawley (1986) tanaman ternaungi dengan jarak daun dalam kanopi menjadi lebih rapat membuat tanaman meningkatkan pertumbuhan batang yang lebih tinggi untuk mendapatkan cahaya yang cukup guna bersaing. Tanaman yang demikian mengalokasikan sumberdaya secara proporsional kearah batang dan biasanya akan semakin bertambah tinggi selama diperlukan.

Hasil penelitian oleh Lakitan (1993) menunjukkan bahwa peningkatan pemanjangan batang sering menguntungkan bagi tumbuhan yang berkompetisi untuk mendapatkan cahaya. Lambers et al. (1998) menjelaskan bahwa tanaman dengan mekanisme penghindaran naungan (shade-avoiding) yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang ternaungi akan meningkatkan pemanjangan batang dan tangkai, mengurangi jumlah cabang (meningkatkan dominasi apikal). Oosting (1958) menyatakan bahwa cahaya menghalangi produksi auksin maupun beberapa substansi pengontrol pertumbuhan pada tanaman. Tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang gelap, menghasilkan auksin maksimum sehingga tumbuh memanjang secara cepat dan sukulen.

Kedua genotipe yang ditanam dalam naungan paranet juga menunjukkan warna daun yang lebih hijau dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kondisi tanpa naungan. Langenheim dan Thimann (1982) menyatakan bahwa

daun dari tanaman yang ternaungi berwarna hijau tua jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak ternaungi.

Jumlah Daun Trifoliat

Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) naungan tidak berpengaruh nyata pada 3 MST, berpengaruh pada 4 dan 5 MST. Pengaruh genotipe dan interaksi antara naungan dan genotipe tidak menunjukkan pengaruh nyata mulai 3 MST hingga 5 MST (awal pembungaan). Analisis ragam peubah jumlah daun trifoliate disajikan pada Tabel Lampiran 2. Pengaruh naungan terhadap jumlah daun trifoliat dua varietas kedelai disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Naungan terhadap Jumlah Daun Trifoliat Dua Varietas Kedelai

Perlakuan 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST

Naungan ---helai---

0% 1.00a 3.00a 4.88a 10.16a

50% 1.00a 2.50a 3.66b 7.33b

Genotipe ---helai---

Godek (G1) 1.00a 2.83a 4.33a 8.50a

Ceneng (G2) 1.00a 2.66a 4.16a 9.00a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah daun trifoliat pada kedua genotipe yang ditanam pada kondisi lingkungan yang ternaungi lebih sedikit daripada genotipe yang ditanam pada kondisi cahaya penuh. Daun pada tanaman yang ternaungi menjadi lebih lebar jika dibandingkan dengan daun pada tanaman yang mendapat cahaya penuh (tanpa naungan). Hal serupa juga dilaporkan oleh Tamaki dan Naka (1972); Mulyana (2006); Anggraeni (2010) bahwa pada tanaman yang ternaungi akan menurunkan jumlah daun, daun menjadi lebih tipis, dan lenih lebar.

Oosting (1958) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang gelap tumbuh menjadi tinggi, kurus, dengan jarak antar buku yang panjang, dan relatif memiliki jumlah daun yang sedikit.

Langenheim dan Thimann (1982) menyatakan bahwa daun dari tanaman yang ternaungi berwarna hijau tua dan berkembang menjadi luas dan tipis.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Lambers et al. (1998), bahwa tanaman dengan mekanisme penghindaran naungan (shade-avoiding) yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang ternaungi akan meningkatkan total luas daun dan mengurangi ketebalan daun.

Kaufman et al. (1989) menyatakan bahwa cahaya merah mendukung perluasan daun, dengan meningkatkan pembelahan sel dan pembesaran sel. Hormon berperan dalam mengatur proses perluasan daun tersebut, khususnya sitokonin dan auksin. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh cahaya merah bertindak untuk meningkatkan sintesis sitokinin dan auksin sehingga menyebabkan pelepasan satu atau kedua hormon tersebut maupun untuk meningkatkan sensitivitas dalam sel.

Daun pada kedua genotipe yang ditanam pada kondisi lingkungan tanpa naungan memiliki daun yang lebih sempit. Oosting (1958) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh dalam kondisi cahaya penuh (full sunlight) adalah lebih kecil, tebal, dan lebih keras dibandingkan dengan daun dari tanaman yang tumbuh pada naungan.

Weafer dan Clements (1938) menjelaskan bahwa akibat dari tanaman yang ditanam pada kondisi ternaungi adalah daun yang lebih tipis dengan satu lapis sel-sel palisade. Pada kondisi naungan yang sangat rapat, ketika sedikit sekali intensitas cahaya yang diterima oleh daun, seringkali jaringan palisade tidak dapat terbentuk dan sebagai akibatnya hanya terbentuk jaringan spons yang seragam.

Kaufman et al. (1989) menyatakan bahwa intensitas cahaya mempengaruhi perluasan daun. Secara umum daun yang berada pada kondisi intensitas cahaya yang rendah akan cenderung memiliki permukaan yang luas, tipis, dan lebih hijau (lebih banyak klorofil per unit luas daun) jika dibandingkan dengan daun pada tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya matahari penuh. Daun yang lebar pada daun tanaman yang hanya mendapat sedikit intensitas cahaya digunakan agar daun tersebut dapat mendapatkan cahaya lebih banyak, hal ini merupakan ekspresi dari adaptasi lingkungan oleh daun.

Menurut Lakitan (1993) pada tumbuhan dikotil, daun yang ternaungi biasanya lebih tipis dan lebar, sedangkan daun yang mendapat cahaya matahari

penuh, lebih tebal karena daun tersebut membentuk sel-sel palisade yang lebih panjang dan terdiri dari beberapa lapisan.

Ehleinger (1988) dalam BjÖrkman dan Adams (1995) menyatakan bahwa

secara umum daun pada tanaman yang berkembang di bawah naungan memiliki orientasi horizontal dan tersusun dalam satu lapisan, sedangkan daun dari tanaman yang mendapat cahaya matahari penuh memiliki sudut daun lebih tajam.

Waktu Berbunga

Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) naungan mempengaruhi waktu berbunga pada tanaman kedelai. Genotipe dan interaksi tidak menunjukkan pengaruh terhadap waktu berbunga. Analisis ragam peubah waktu berbunga ditampilkan pada Tabel Lampiran 3. Pengaruh naungan terhadap peubah waktu berbunga dua varietas kedelai disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Naungan terhadap Peubah Waktu Berbunga Dua Varietas Kedelai

Perlakuan Rata-Rata (HST) Naungan 0% 32.00a 50% 30.66b Genotipe Godek (G1) 32.00a Ceneng (G2) 30.66a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%.

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa naungan mempercepat waktu berbunga pada kedelai yang ditanam pada kondisi ternaungi. Kaufman (1989) menjelaskan bahwa tanaman yang dengan batang yang mengalami pemanjangan, biasanya diikuti dengan pembungaan yang cepat.

Parker (2004) menjelaskan bahwa tanaman tomat yang ditanam pada naungan memiliki lebih sedikit bunga, batang yang memanjang, daun menjadi lebih sedikit, lebih sedikit cabang, pada struktur internal daun dijumpai sedikit sel dan selapis sel pelindung yang tipis.

Karamoy (2009) menjelaskan bahwa pembungaan terjadi karena adanya pigmen yang tanggap terhadap rangsangan cahaya. Pigmen tersebut adalah protein yang mudah larut dan dikenal dengan istilah fitokrom. Fitokrom memiliki dua

bentuk yang mudah berganti tergantung pada kualitas cahaya. Cahaya dengan panjang gelombang 660 nm dapat mengubah pigmen menjadi bentuk yang mengawali kejadian kearah terbentuknya induksi pembungaan.

Karakter Fisiologi Klorofil a

Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) naungan tidak berpengaruh nyata pada fase vegetatif ketiga dan fase mulai berbunga, berbeda nyata pada fase berbungapenuh, mulai berpolong, dan berpolong penuh. Genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a pada fase vegetatif ketiga dan mulai berbunga, namun berpengaruh sangat nyata pada fase berbunga penuh, mulai berpolong, dan berpolong penuh.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa secara umum naungan meningkatkan jumlah klorofil a pada fase berpolong penuh. Interaksi (Tabel 6 dan 7) antara naungan dan genotipe pada fase berbunga penuh dan fase mulai berpolong menunjukkan bahwa naungan menyebabkan peningkatan klorofil a pada genotipe kedua, yaitu genotipe Ceneng sedangkan pada genotipe G1, yaitu Godek, tidak menunjukkan kenaikan. Pengaruh naungan terhadap jumlah klorofil a pada dua genotipe kedelai disajikan pada Tabel 5. Pengaruh naungan, genotipe, dan interaksinya terhadap jumlah klorofil a tanaman kedelai pada fase berbunga penuh disajikan pada Tabel 6 dan pada fase mulai berpolong disajikan pada Tabel 7..

Tabel 5. Pengaruh Naungan terhadap Jumlah Klorofil a pada Dua Genotipe Kedelai

Perlakuan V3 Mulai Berbunga Berpolong Penuh

Naungan ---µmol/100cm2---

0% 1.93a 3.27a 4.17b

50% 1.98a 3.03a 4.38a

Genotipe ---µmol/100cm2---

Godek (G1) 2.08a 3.19a 4.01b

Ceneng (G2) 1.84a 3.11a 4.47a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%.

Tabel 6. Pengaruh Naungan, Genotipe, dan Interaksinya terhadap Jumlah Klorofil a Tanaman Kedelai pada Fase Berbunga Penuh

Genotipe 0% Naungan 50% Rata-Rata

---µmol/100cm2---

Godek (G1) 2.47Bb 2.80Ba 2.64b

Ceneng (G2) 3.02Ab 3.12Aa 3.07a

Rata-Rata 2.75B 2.96A

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%. Kapital: kolom

Tabel 7. Pengaruh Naungan, Genotipe, dan Interaksinya terhadap Jumlah Klorofil a Tanaman Kedelai pada Fase Mulai Berpolong

Genotipe 0% Naungan 50% Rata-Rata

---µmol/100cm2---

Godek (G1) 3.39Bb 3.44Ba 3.42b

Ceneng (G2) 3.52Ab 3.65Aa 3.58a

Rata-Rata 3.45B 3.55A

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%. Kapital: kolom

Kaufman et al. (1989) menyatakan bahwa klorofil a terdapat pada panjang gelombang 430 dan 662 nm, sedangkan klorofil b pada panjang gelombang 453 dan 642 nm. Klorofil a biasanya terdapat dalam jumlah dua kali lebih banyak daripada klorofi b. klorofil a dapat ditemukan pada hampir semua organisme fotosintetik. Graham et al. (2006) menyatakan bahwa klorofil a merupakan klorofil yang paling banyak terdapat pada kloroplas daun. Klorofil a memantulkan cahaya hijau sehingga daun tanaman selalu tampak hijau. Spektrum cahaya yang diserap oleh klorofil a adalah merah dan biru-violet.

Peningkatan jumlah klorofil a ini menandakan bahwa jumlah klorofil pada daun dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang diterima daun pada setiap fase pertumbuhannya. Oosting (1958) menyatakan bahwa produksi klorofil, pembukaan dan penutupan stomata, dan pembentukan auksin merupakan contoh dari akibat yang ditumbulkan oleh adanya perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh individu tanaman. Produksi klorofil ditentukan oleh intensitas cahaya.

Jumlah klorofil a yang tinggi pada tanaman ternaungi dijelaskan oleh Langenheim dan Thimann (1982) yang menyatakan bahwa komposisi klorofil pada daun yang ternaungi lebih tinggi dan perbandingan klorofil dan karotenoid tinggi daripada daun pada tanaman dengan cahaya penuh. Hasil penelitian Muhuria et al. (2006); Mulyana (2006); Kisman et al. (2007); dan Anggraeni (2010) menunjukkan bahwa genotipe Ceneng yang ditanam pada naungan 50% memiliki lebih banyak klorofil a daripada yang ditanam pada kondisi tanpa naungan.

Muhuria (2006) menyatakan bahwa daun yang ternaungi memiliki lebih banyak grana per volume kloroplas, kloroplas lebih besar, dan rasio klorofil yang lebih besar daripada daun yang berkembang pada kondisi cahaya matahari penuh.

Klorofil b

Berdasarkan hasil rekapitulasi sidk ragam (Tabel 1) naungan berpengaruh terhadap jumlah klorofil b pada fase vegetatif ketiga dan pada fase berbunga penuh. Genotipe berpengaruh sangat nyata pada fase berbunga penuh dan fase berpolong penuh. Interaksi antara naungan dan genotipe berpengaruh nyata pada saat fase berpolong penuh. Analisis ragam peubah klorofil b ditampilkan pada Tabel Lampiran 5. Pengaruh naungan terhadap jumlah klorofil b pada dua genotipe kedelai disajikan pada Tabel 8. Pengaruh naungan, genotipe, dan interaksi terhadap jumlah klorofil b tanaman kedelai fase berpolong penuh disajikan pada Tabel 9.

Tabel 8. Pengaruh Naungan terhadap Jumlah Klorofil b pada Dua Genotipe Kedelai Perlakuan V3 Mulai Berbunga Berbunga Penuh Mulai Berpolong Naungan ---µmol/100cm2--- 0% 0.58b 1.009a 0.85b 1.13a

50% 0.67a 1.037a 0.93a 1.14a

Genotipe ---µmol/100cm2---

Godek (G1) 0.67a 1.022a 0.82b 1.11a

Ceneng (G2) 0.58a 1.024a 0.97a 1.17a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%.

Tabel 9. Pengaruh naungan, Genotipe, dan Interaksi terhadap Jumlah Klorofil b Tanaman Kedelai Fase Berpolong Penuh

Genotipe Naungan Rata-Rata

0% 50%

---µmol/100cm2

---Godek (G1) 1.27Ba 1.39Ba 1.33b

Ceneng (G2) 1.43Aa 1.47Aa 1.45a

Rata-Rata 1.35A 1.43A

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%. Kapital: kolom

Berdasarkan Tabel 8 Dapat dilihat bahwa secara umum naungan meningkatkan pembentukan klorofil b. Hal ini sejalan dengan penjelasan Weafer dan Clements (1966) bahwa tanaman ternaungi akan memiliki komponen klorofil yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh. Salisbury dan Ross (1991) menyatakan bahwa tanaman ternaungi lebih banyak mengandung klorofil b karena tiap kloroplas mempunyai lebih banyak grana dibandingkan dengan daun pada tanaman tanpa naungan.

Graham et al. (2006) menyatakan bahwa klorofil b dan karotenoid merupakan pigmen asesoris. Korofil b dan karotenoid menyerap cahaya yang berbeda dengan klorofil a. Klorofil b dan karotenoid meningkatkan penyerapan dari cahaya tampak (visible light) yang berguna untuk fotosintesis. Klorofil b dan karotenoid mentrasfer energi yang telah diserap ke klorofil a. Baik klorofil a, klorofil b, dan karotenoid menyerap energi dari cahaya tampak untuk fotosintesis.

Rasio Klorofil a/b

Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) naungan berpengaruh sangat nyata pada fase vegetatif ketiga dan berpengaruh nyata pada fase mulai berbunga. Genotipe dan interaksi antara genotipe dan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap rasio klorofil a/b. Analisis ragam peubah rasio klorofil a/b disajikan pada Tabel Lampiran 6. Pengaruh naungan terhadap rasio klorofi a/b pada dua genotipe kedelai disajikan pada Tabel 10.

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa rasio klorofil a/b pada kondisi naungan lebih rendah daripada kondisi cahaya penuh. Hal yang serupa juga

di-sampaikan oleh Jufri (2006); Muhuria (2006); Mulyana (2006); Kisman (2007) bahwa naungan menurunkan rasio klorofil a/b.

Tabel 10. Pengaruh Naungan terhadap Rasio Klorofi a/b pada Dua Genotipe Kedelai Perlakuan V3 Mulai Berbunga Berbunga Penuh Mulai Berpolong Berpolong Penuh Naungan

100% 3.34a 3.24a 3.21a 3.04a 3.02a

50% 2.93b 2.92b 3.15a 3.09a 3.05a

Genotipe

Godek (G1) 3.08a 3.12a 3.19a 3.08a 3.01a

Ceneng (G2) 3.20a 3.04a 3.16a 3.05a 3.07a

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT 5%.

Penjelasan mengenai rendahnya rasio antara klorofil a dengan klorofil b dikemukakan oleh Lambers et al. (1998) bahwa rasio antara klorofil a dan klorofil b rendah pada daun dari tanaman yang ternaungi. Daun-daun tersebut memiliki klorofil lebih banyak untuk berasosiasi dengan Light Harvesting Complex (yang mengandung lebih sedikit klorofil a daripada klorofil b) dibanding dengan fotosistem. Penurunan rasio klorofil a/b adalah karena refleksi dari pembentukan pada sistem LHC. Proporsi terbanyak dari LHC terdapat di grana terbesar dari grana daun-daun yang ternaungi. Secara umum lebih lanjut dijelaskan bahwa daun yang ternaungi akan lebih banyak mengandung klorofil per kloroplas, klorofil per berat kering, dan rasio klorofil a/b dibandingkan dengan daun tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh.

Analisis Pertumbuhan Tanaman Indeks Luas Daun

Berdasarkan hasil rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) naungan berpengaruh sangat nyata terhadap indeks luas daun pada fase vegetatif ketiga hingga fase mulai berpolong, tidak nyata pada fase berpolong penuh. Genotipe berpengaruh nyata hanya pada fase berbunga penuh. Interaksi antara naungan dan genotipe berpengaruh nyata pada fase berbunga penuh. Analisis ragam peubah indeks luas daun ditampilkan pada Tabel Lampiran 7. Pengaruh naungan terhadap indeks luas

daun pada dua genotipe kedelai disajikan pada Tabel 11. Pengaruh naungan, genotipe, dan interaksinya terhadap indeks luas daun pada fase berbunga penuh disajikan pada Tabel 12.

Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa indeks luas daun merupakan perbandingan luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi atau luas daun diatas suatu luasan tanah. Harga indeks luas daun >1 menggambarkan adanya saling menaungi diantara daun yang mengakibatkan daun yang ternaungi pada lapisan bawah tajuk mendapat cahaya yang kurang dan karenanya mempunyai laju fotosintesis yang lebih rendah dari daun yang tidak ternaungi.

Secara umum, tanaman kedelai akan meningkat nilai indeks luas daunnya sesuai dengan tahap perkembangan hingga mencapai luas daun maksimum. Bila dilihat pada Tabel 11, peningkatan maksimum indeks luas daun terjadi pada fase pertumbuhan berpolong penuh. Menurut Gardner et al. (1991) dalam tajuk tanaman dengan nilai indeks luas daun yang tinggi, daun yang muda pada pucuk tanaman menyerap radiasi paling banyak, memiliki laju asimilasi CO2 yang tinggi, dan mentranslokasikan sejumlah besar hasil asimiasi ke bagian tumbuhan yang lain. Sebaliknya, daun-daun yang lebih tua pada dasar tajuk dan terlindung mempunyai laju asimilasi CO2 yang rendah dan memberikan lebih sedikit asimilasi kepada bagian tumbuhan yang lain.

Tabel 11. Pengaruh Naungan terhadap Indeks Luas Daun pada Dua Genotipe Kedelai

Perlakuan V3 Berbunga Mulai Berpolong Mulai Berpolong Penuh

Dokumen terkait