• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan hewan ditentukan oleh tingkat dan durasi proses pertumbuhan, yang sebagian besar dikontrol secara genetik pada vertebrata. Pertumbuhan hewan juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan nutrisi. Informasi dari kedua rangsangan baik itu kondisi eksternal maupun internal diproses, dipadukan dan ditanggapi oleh otak untuk modifikasi pertumbuhan yang sesuai melalui jalur mediasi secara hormonal. Pusat tahapan dari jalur endokrin ini adalah sumbu hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) (Duan 1998).

Pemanfaatan rOgGH dalam penelitian ini dimaksudkan agar hormon rekombinan langsung masuk ke dalam aliran darah sehingga dapat langsung mempengaruhi kinerja pertumbuhan ikan gurame. Dalam hal ini terjadi pemotongan jalur, dimana perangsangan pertumbuhan tidak menunggu sekresi GH dari pituitary (Gambar 1), namun langsung melalui pemanfaatan rOgGH yang ada dalam media perendaman yang diserap (diduga melalui insang dan kulit) masuk ke dalam aliran darah kemudian diedarkan ke jaringan target dan diikat oleh reseptor GH. Aktivasi reseptor GH akan merangsang hati untuk memproduksi IGF-I (Gambar 3) yang berperan penting dalam regulasi pertumbuhan (Ohlsson et al. 2009).

Ekspresi Gen IGF-I

Hasil pengamatan terhadap level ekspresi IGF-I (Gambar 6) memperlihatkan adanya peningkatan yang signifikan dalam tubuh benih gurame sesaat setelah dilakukan perandaman dalam rOgGH jika dibandingkan dengan sebelum dilakukan perendaman, peningkatan yang didapat sebesar 208,3% kemudian menurun seiring dengan pertambahan waktu. Hal ini membuktikan bahwa perendaman dalam rOgGH mampu menginduksi sekresi IGF-I dalam tubuh ikan gurame.

Gambar 6. Level ekspresi IGF-I/β-aktin benih gurame.

Terjadinya peningkatan IGF-I setelah diberikan perlakuan rGH juga dilaporkan oleh Pedroso et al. (2009) yang melakukan percobaan pada ikan yellowtail (Seriola quinguerradiata) secara in vivo melalui penyuntikan rGH ikan salmon (rsGH). Pemberian GH salmon pada ikan salmon melalui penyuntikan juga meningkatkan plasma IGF-I sampai puncaknya pada 24 jam setelah pemberian dan tetap tinggi selama 78 jam, ketika pemberian GH dilakukan secara oral peningkatan plasma IGF-I terjadi secara signifikan setelah 48 jam dan tetap tinggi sampai 96 jam (Moriyama 1995). Demikian halnya pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang disuntik rGH bovine (rbGH) (Biga et al. 2005) juga memberikan peningkatan level plasma IGF-I setelah 12 jam setelah penyuntikan. Sejumlah penelitian lain yang telah dilakukan juga menyatakan hal yang serupa bahwa pemberian GH atau rGH dapat meningkatkan level plasma IGF-I (Mathews et al. 1986, Moriyama et al. 2000, Björnsson et al. 2002, Woelfle et al. 2003, Volkoff et al. 2005). IGF-I diketahui berperan dalam regulasi protein, lemak, karbohidrat, metabolisme mineral dalam sel, diferensiasi dan proliferasi sel, dan pada akhirnya pertumbuhan tubuh (Moriyama et al. 2000). Sehingga apabila telah terbukti perendaman dalam rOgGH dapat meningkatkan level ekspresi IGF-I, maka selanjutnya dapat dinyatakan rOgGH ini berpotensi untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan gurame.

Aktivitas Enzim Lipase

Pendapat pada umumnya menyatakan bahwa GH terlibat dalam metabolisme lemak sehingga terjadi penurunan massa lemak dalam tubuh (Lee dan Schaffer 1934, Dietz 1991, Kersten 2001, Albalat et al. 2005, Sakharova 2008). Namun hasil pengamatan terhadap aktivitas enzim lipase (Tabel 3) menyatakan hal yang sebaliknya dimana aktivitas enzim lipase pada ikan yang telah direndam dalam rOgGH dan kontrol BSA tidak memiliki perbedaan yang signifikan yaitu masing-masing 0,055 unit/menit.g bobot tubuh dan 0,053 unit/menit.g bobot tubuh. Hal ini diduga terjadi karena pada saat pengambilan sampel untuk analisis ikan tidak dipuasakan terlebih dahulu. Dietz (1991), Albalat

0,24 0,22 0,74 0,54 0,21 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 Sebelum perendaman Setelah shock salinitas Sesaat setelah perendaman 12 jam setelah perendaman 24 jam setelah perendaman m R N A IG F-I/ β -a kt in

et al. (2005) dan Sakharova (2008) menyatakan bahwa GH berperan penting dalam lipolisis terutama pada saat pemuasaan.

Tabel 3. Aktivitas enzim lipase.

Perlakuan Aktivitas unit/menit.g bobot tubuh

rGH.Og 0,055

BSA 0,053

Pemuasaan menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi plasma IGF-I (de Azevedo figueiredo et al. 2007), yang secara langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan sekresi GH (Small et al. 2002) melalui loop umpan balik (Gambar 1) . Melalui sifat lipolitiknya, GH kemudian terlibat dalam lipolisis terutama pada jaringan adipose. Hasil penelitian Albalat et al. (2005) menunjukkan adanya perbedaan lipolisis yang signifikan antara ikan yang dipuasakan dan tidak dipuasakan, dinyatakan bahwa ikan yang dipuasakan memiliki konsentrasi asam lemak bebas dalam tubuh yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang tidak dipuasakan. Kandungan asam lemak bebas dalam tubuh menunjukkan tingkat aktivitas lipolisis yang terjadi.

Retensi Nutrien

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah reaksi metabolisme nutrien yang berkaitan dengan pemanfaatan energi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Halver dan Hardy 2002). Telah diketahui bahwa GH memiliki fungsi pleiotropik (banyak pengaruh) pada vertebrata antara lain dalam regulasi metabolisme melalui aktivitas lipolitik dan anabolisme protein (Rousseau dan Dufour 2007). Nilai retensi nutrien dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh perendaman benih ikan gurame dalam rOgGH terhadap metabolisme. Retensi nutrien merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nutrien yang disimpan dalam tubuh ikan berbanding dengan jumlah nutrien yang dikonsumsi. Setelah 8 minggu pemeliharaan, hasil analisis retensi nutrien (Tabel 4) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P < 0,05) antara perlakuan perendaman dalam rOgGH dengan perlakuan kontrol BSA. Ikan yang telah direndam dalam rOgGH memiliki retensi lemak yang lebih tinggi (15,92±0,37%) jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol BSA (6,52±0,38%). Untuk retensi protein, perlakuan perendaman dalam rOgGH juga memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 23,58±2,33% jika dibandingkan dengan kontrol BSA yang memiliki nilai retensi sebesar 19,75±1,00%. Perlakuan perendaman dalam rOgGH memiliki nilai retensi karbohidrat (diwakili oleh kandungan BETN dalam tubuh) yang lebih kecil yaitu sebesar 2,86±0,21% jika dibandingkan dengan kontrol BSA 10,63±0,92%.

Tabel 4. Retensi nutrien

Parameter (%) Perlakuan

BSA (kontrol) rOgGH P

Retensi lemak 6,52 ± 0,38 15,92 ± 0,37* 0,00 Retensi protein 19,75 ± 1,00 23,58 ± 2,33* 0,05 Retensi karbohidrat 10,63 ± 0,92* 2,86 ± 0,21 0,00

Ket: P < 0,05 menyatakan perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, (*) menunjukkan nilai yang lebih besar.

Melalui pendekatan teori yang dihasilkan oleh Leggatt et al. (2009) dalam penelitiannya mengenai pengaruh transgenesis GH terhadap kapasitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein untuk produksi energi pada coho salmon (Oncorhynchus kisutch), diasumsikan mekanisme GH dalam mempengaruhi metabolisme nutrien adalah sama (hanya jalur insersi/pemberian ke dalam tubuh yang berbeda), yang menyatakan bahwa salmon GH transgenik mengarahkan jalur metabolismenya untuk lebih memanfaatkan karbohidrat dalam menghasilkan energi dan sintesis lemak, serta meningkatkan pemanfaatan lemak dan protein untuk mempertahankan peningkatan laju pertumbuhan. Ohlsson et al. (2009) menyatakan bahwa IGF-I terlibat dalam metabolisme karbohidrat, diduga dengan cara menginduksi pengaruh insulin-like dalam penyerapan glukosa secara langsung pada jaringan yang memiliki reseptor IGF-I. Pendapat lain yang juga dikemukakan adalah diduga IGF-I meningkatkan sensitivitas insulin dengan cara menekan pelepasan GH, melalui istilah yang dikenal sebagai umpan balik negatif (negative feedback) dari GH, namun hal ini masih belum diketahui dengan jelas.

Glukosa merupakan senyawaan penting dalam proses lipogenesis atau sintesis lemak (Kersten 2001), sehingga apabila konsentrasi metabolit glukosa dalam tubuh tinggi maka sintesis lemak pun akan meningkat dan hasil selanjutnya adalah lebih banyak lemak yang diretensi dalam tubuh ikan. Dari hasil pengamatan terhadap nilai retensi nutrien pada Tabel 4. terlihat ikan yang direndam dalam rOgGH memiliki nilai retensi lemak dan protein yang lebih tinggi dan retensi karbohidrat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol BSA, dengan kata lain telah terjadi protein dan lemak “sparing effect” sehingga ikan gurame lebih banyak memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi. Hal ini diduga terjadi karena ikan gurame merupakan ikan yang dikenal cenderung herbivor sehingga mampu mencerna karbohidrat dengan lebih baik.

Efisiensi Pakan

Metabolisme yang berjalan baik sudah tentu akan berpengaruh terhadap nilai efisiensi pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Nilai efisiensi pakan menunjukkan persentasi pakan yang dimanfaatkan oleh ikan untuk pertumbuhan (diwakili oleh penambahan bobot tubuh) berbanding dengan jumlah pakan yang dikonsumsi.

Pengamatan terhadap nilai efisiensi pakan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dalam rOgGH tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistika dibandingkan dengan kontrol BSA pada ketiga jenis pakan. Pada pakan

cacing, nilai efisiensi pakan yang didapatkan untuk ikan yang direndam dalam rOgGH adalah 14,8±5,6% dan ikan kontrol BSA adalah 12,7±5,0%. Demikian juga halnya dengan pakan pelet halus/crumble masing-masing 51,6±17,8% dan 41,9±13,6%, serta pelet kecil berukuran sekitar 2mm adalah 66,8±9,0% dan 54,8±10,0%. Perlakuan yang memberikan pengaruh yang signifikan adalah lama pemeliharaan dalam akuarium, terlihat ikan yang dipelihara selama 2 minggu dalam akuarium memiliki nilai efisiensi pakan yang tertinggi untuk pakan cacing dan pelet halus/crumble yaitu sebesar 17,7±2,8% dan 60,5±7% jika dibandingkan dengan ikan yang dipelihara selama 3 dan 4 minggu dalam akuarium dengan nilai efisiensi yang didapat masing-masing sebesar 15,6±2,1% dan 7,9±4,4% untuk pakan cacing serta 30,7±5,0% dan 49,0±16,5% untuk pakan pelet halus/crumble. Sedangkan untuk pakan pelet berukuran sekitar 2mm ketiga perlakuan lama perendaman dalam akuarium tidak memberikan pengaruh yang signifikan (P > 0,05).

Tabel 5. Nilai rataan efisiensi pakan (cacing, pelet halus/crumble dan pelet berukuran sekitar 2mm; %)

Jenis Pakan Lama

pemeliharaan dalam akuarium

Perlakuan perendaman

BSA (kontrol) rOgGH A

Cacing 2 minggu 16,8±4,0 18,7±3,2 17,7±2,8b 3 minggu 14,8±0,9 16,4±2,9 15,6±2,1b 4 minggu 6,6±2,3 9,3±6,1 7,9±4,4a B 12,7±5,0a 14,8±5,6a Pelet halus/crumble 2 minggu 56,9±3,9 64,1±8,1 60,5±7,0b 3 minggu 28,6±6,8 32,7±1,9 30,7±5,0a 4 minggu 40,1±8,6 57,8±19,1 49,0±16,5b B 41,9±13,6a 51,6±17,8b Pelet berukuran sekitar 2mm 2 minggu 56,6±2,6 69,0±10,3 62,8±9,5a 3 minggu 57,7±15,8 66,0±3,3 61,9±11,2a 4 minggu 50,2±8,0 65,4±13,9 57,8±13,6a B 54,8±10,0a 66,8±9,0a

Ket: A merupakan nilai rataan dari faktor lama pemeliharaan dalam akuarium, B merupakan nilai rataan dari faktor perlakuan perendaman, huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan terhadap parameter uji (P<0.05)

Penelitian ini menggunakan 3 jenis pakan yang disesuaikan dengan perkembangan ikan. Pada awal masa pemeliharaan setelah perandaman ikan diberi pakan cacing, kemudian pakan halus lalu pelet berukuran sekitar 2mm (skema pemberian pakan pada Gambar 5). Pengamatan terhadap nilai efisiensi pakan menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dalam rOgGH tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistika dibandingkan dengan kontrol BSA pada ketiga jenis pakan, walaupun terlihat memiliki kecendrungan nilai efisiensi pakan yang lebih tinggi jika dianalisa secara deskriptif. Johnsson et al.(1994), Silverstein et al. (2000), Leedom et al.(2002), Peterson et al.(2004), dan Ravenet al. (2012) menyatakan bahwa pemberian rGH dapat meningkatkan

laju pertumbuhan ikan dengan cara memperbaiki kinerja metabolisme nutrien dalam tubuh ikan dan juga meningkatkan komsumsi pakan. Peningkatan konsumsi pakan ini berkaitan dengan semakin meningkatnya energi yang diperlukan untuk menunjang peningkatan laju pertumbuhan yang distimulasi oleh pemberian rGH. Pertumbuhan selain didukung oleh faktor internal (genetis, yang berkaitan dengan kinerja fisiologi dalam tubuh) juga didukung oleh faktor eksternal berupa pakan dan lingkungan yang berkualitas sehingga ikan dapat tumbuh maksimal. Pemberian rGH dapat terlihat tidak memberikan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan ikan kontrol yang hanya direndam dalam BSA bila faktor internal, dalam hal ini konsentrasi hormon pertumbuhan, telah diperbaiki namun tidak didukung oleh ketersediaan pakan yang memadai untuk memenuhi jumlah energi yang dibutuhkan dalam meningkatkan pertumbuhan.

Lebih lanjut, pada tabel hasil yang sama (Tabel 5) terlihat perlakuan “lama pemeliharaan dalam akuarium” memberikan pengaruh yang signifikan. Benih ikan yang dipelihara selama 2 minggu di dalam akuarium memiliki nilai efisiensi pakan (cacing dan pelet halus) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan benih ikan yang dipelihara selama 3 dan 4 minggu. Pemeliharaan dalam akuarium memberikan keuntungan berupa lingkungan pemeliharaan yang dapat dikontrol. Namun, di lain pihak juga memiliki kekurangan dimana ikan sangat bergantung terhadap pemberian pakan tanpa adanya makanan alami sebagai makanan tambahan pendamping makanan utama. Hal ini dapat digunakan sebagai penjelasan mengapa pada ikan yang hanya dipelihara selama 2 minggu di dalam akuarium memiiliki nilai efisiensi pakan yang lebih tinggi terutama pada saat masih mengkonsumsi cacing dan pelet halus pada masa awal pemeliharaan, karena ikan sudah lebih dahulu dipindahkan ke kolam sehingga ikan gurame dapat mengkonsumsi pakan alami lain yang ada di kolam selain cacing yang diberikan sebagai pakan utama.

Laju Pertumbuhan

Tujuan utama dari penerapan teknologi hormon pertumbuhan rekombinan ini adalah untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan gurame yang relatif lambat menjadi lebih cepat. Laju pertumbuhan merupakan parameter utama yang dapat digunakan untuk menilai apakah teknologi ini efektif untuk diterapkan dalam kegiatan budidaya khususnya budidaya ikan gurame. Perendaman dalam rOgGH diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ikan, namun hasil yang didapatkan ternyata tidak berbeda (P > 0,05) dengan ikan kontrol BSA yaitu sebesar 8,7±0,3% dan 8,4±0,3%. Lama pemeliharaan dalam akuarium terlihat memberikan pengaruh yang signifikan (P < 0,05) terhadap laju pertumbuhan ikan, terlihat kelompok ikan yang dipelihara selama 2 minggu dalam akuarium memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat yaitu sebesar 8,7±0,2% jika dibandingkan dengan kelompok ikan yang dipelihara selama 3 dan 4 minggu dengan nilai masing-masing sebesar 8,3±0,1% dan 8,6±0,5%.

Tabel 6. Nilai rataan laju pertumbuhan (%) benih ikan gurame yang diberi perlakuan perendaman (rOgGH dan BSA) dan lama pemeliharaan dalam akuarium yang berbeda

Lama pemeliharaan dalam akuarium

Perlakuan perendaman

BSA (kontrol) rOgGH A

2 minggu 8,6±0,1 8,9±0,1 8,7±0,2c

3 minggu 8,3±0,0 8,4±0,0 8,3±0,1a

4 minggu 8,2±0,4 9,0±0,4 8,6±0,5b

B 8,4±0,3a 8,7±0,3a

Ket: A merupakan nilai rataan dari faktor lama pemeliharaan dalam akuarium, B merupakan nilai rataan dari faktor perlakuan perendaman, huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan terhadap parameter uji (P<0,05)

Hasil yang tidak berbeda (P > 0,05) antara ikan yang direndam dalam rOgGH dan ikan kontrol-BSA ini diduga terjadi karena seperti yang telah dijelaskan pada hasil penelitian mengenai efisiensi pakan pada Tabel 5, telah diketahui bahwa peningkatan pertumbuhan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa ketersediaan dan kualitas pakan yang diberikan yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan ikan untuk meningkatkan laju pertumbuhannya.

Lama pemeliharaan dalam akuarium terlihat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ikan,terlihat kelompok ikan yang dipelihara selama 2 minggu dalam akuarium memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kelompok ikan yang dipelihara selama 3 dan 4 minggu. Hal ini diduga terjadi karena ikan yang lebih cepat dipindahkan ke kolam memiliki waktu yang lebih lama untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan kolam sehingga ikan sudah mampu mengalihkan konsumsi energi untuk mempertahankan kondisi tubuh dari perubahan lingkungan ke penyimpanan energi untuk pertumbuhan.

Selain karena jumlah pakan yang tidak mendukung untuk percepatan laju pertumbuhan, diduga faktor kualitas air pemeliharaan terutama di kolam tidak mendukung (tidak optimum) untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimum. Pada saat penelitian tidak dilakukan pengukuran kualitas air media pemeliharaan, namun berdasarkan pengamatan secara langsung ketika pemeliharaan di kolam terlihat volume air yang ada pada saat itu sedikit.Keterbatasan volume air menyebabkan tidak dapat dilakukan pergantian air secara berkala untuk mempertahankan kualitas air media pemeliharaan. Pergantian air diperlukan untuk membuang sisa-sisa metabolit dan sisa-sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan.Hal ini terjadi karena penelitian dilakukan pada musim kemarau.

Kelangsungan Hidup

Perendaman dan pemindahan ikan ke kolam memberikan dampak stres tersendiri bagi ikan, stres dapat menyebabkan perubahan fisiologis dengan konsekuensi maladaptasi sebagai pengaruh kronik berupa penurunan ketahanan tubuh terhadap perubahan lingkungan (Tort et al. 2003) yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kelangsungan hidup. Berdasarkan pengamatan, terlihat perendaman dalam rOgGH tidak memberikan pengaruh yang signifikan (P > 0,05) jika dibandingkan dengan nilai kelangsungan hidup ikan yang direndam dalam BSA (kontrol) yaitu rata-rata nilai kelangsungan hidup (KH) masing-masing

sebesar 58,9±17,9% dan 57,9±14,6%. Sedangkan dari tabel hasil yang sama (Tabel 7) terlihat lama pemeliharaan dalam akuarium memberikan pengaruh yang signifikan (P < 0,05) dengan nilai KH tertinggi terdapat pada ikan yang dipelihara selama 2 minggu dalam akuarium yaitu sebesar 75,5±10,2% jika dibandingkan dengan ikan yang dipelihara selama 3 dan 4 minggu dengan nilai KH sebesar 55,4±5,8% dan 44,4±11,0%.

Tabel 7. Nilai rataan kelangsungan hidup benih ikan gurame yang diberi perlakuan perendaman (rOgGH dan BSA) dan lama pemeliharaan dalam akuarium yang berbeda

Lama pemeliharaan dalam akuarium Perlakuan perendaman BSA rGHOg A 2 minggu 75,0±9,9 76,1±12,6 75,5±10,2b 3 minggu 53,8±4,5 57±7,4 55,4±5,8a 4 minggu 45,1±5,7 43,7±16,4 44,4±11,0a B 57,9±14,6a 58,9±17,9a

Ket: A merupakan nilai rataan dari faktor lama pemeliharaan dalam akuarium, B merupakan nilai rataan dari faktor perlakuan perendaman, huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan terhadap parameter uji (P<0,05).

Selama pemeliharaan ikan baik itu di akuarium maupun di kolam terjadi banyak kematian pada ikan yang dipelihara. Terutama pada saat ikan memasuki usia 2 minggu setelah perendaman dan ketika ikan mulai diberikan pakan cacing, Hal ini diduga terjadi karena ikan diberi pakan cacing yang didapat dari petani berasal dari parit dan selokan,diketahui cacing dapat berperan sebagai inang beberapa parasit, sehingga terjadipenularan penyakit pada ikan danmenyebabkan banyak ikan yang sakit kemudian mengalami kematian.

Hasil pada Tabel 7 memperlihatkan nilai derajat kelangsungan hidup yang lebih tinggi pada kelompok ikan yang dipelihara selama 2 minggu di dalam akuarium jika dibandingkan dengan kelompok 3 dan 4 minggu.Pemeliharaan dalam akuarium memiliki kelemahan yaitu penularan penyakit yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam. Hal ini dapat terjadi berkaitan dengan volume air yang ada, dimana dalam akuarium volume air lebih sedikit sehingga kelimpahanmikroorganisme yang bersifat parasit bagi ikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan kolam dan menyebabkan peluang ikan tertular penyakit lebih tinggi jika dipelihara di dalam akuarium.

Efektivitas Aplikasi rOgGH melalui Metode Perendaman dalam Meningkatkan Laju Pertumbuhan Ikan Gurame

Pada kegiatan budidaya, mempercepat laju pertumbuhan merupakan kunci utama dalam meningkatkan efisiensi produksi, untuk tujuan ini banyak jenis ikan telah didomestikasi dan/atau diseleksi secara terarah untuk meningkatkan laju pertumbuhan. Perkembangan teknologi saat ini telah mendukung penerapan teknik eksperimental untuk memanipulasi pertumbuhan ikan, seperti pakan yang diperkaya dengan nutrien tertentu dan juga pemberian hormon (GH dan IGF-I).

Untuk lebih memperjelas potensi rGH dalam meningkatkan laju pertumbuhan ikan pada kegiatan budidaya diperlukan kajian-kajian yang lebih dalam mengenai faktor-faktor pendukung dalam optimasi pemanfaatan teknologi ini, antara lain: metode pemberian hormon, dosis hormon yang efektif, regimen pemberian hormon, kebutuhan nutrisi untuk mendukung pengaruh dari pemberian hormon terhadap laju metabolisme, pengaruh dari faktor lingkungan, dan pengaruh kronik dan akut dari pemberian rGH.

Dari hasil penelitian yang telah diperoleh terlihat bahwa rOgGH dapat diaplikasikan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan gurame jika didasarkan pada kemampuan rOgGH untuk meningkatkan ekspresi IGF-I serta meningkatkan nilai retensi nutrien dalam tubuh ikan gurame. Peningkatan ekspresi IGF-I menunjukkan bahwa rOgGH terbukti dapat masuk ke dalam sistem peredaran darah ikan melalui metode perendaman, lalu terikat dengan reseptor GH dalam tubuh yang kemudian menginduksi produksi IGF-I. IGF-I inilah yang bertanggung jawab dalam serangkaian reaksi metabolisme yang penting untuk menunjang laju pertumbuhan tubuh. Nilai retensi nutrien yang terlihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan gurame yang direndam dalam rOgGH dosis 120 mg/L selama 1 jam pada usia 2 hari setelah habis kuning telur mampu mengarahkan sistem metabolismenya untuk lebih memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi dan mengalihkan pemanfaatan lemak dan protein untuk pertumbuhan.

Hasil yang tidak memuaskan dalam mempercepat laju pertumbuhan pada penelitian ini diyakini terjadi bukan karena kegagalan dari rOgGH untuk mempercepat laju pertumbuhan namun diduga disebabkan oleh faktor eksternal seperti: ketersediaan pakan yang tidak memadai/mencukupi untuk menunjang percepatan laju pertumbuhan dan juga karena lingkungan pemeliharaan yang kurang optimal untuk mendukung potensi teknologi ini.

Dokumen terkait