• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diameter Cervix Uterus dan Kornua Uterus

Involusi uterus sangat bergantung pada kontraksi miometrium, eliminasi bakteri dan regenerasi dari endometrium, ketiga hal tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Kontraksi miometrium sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan lochia dari uterus, dan tentunya hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kerja hormon prostaglandin post partus karena hormon tersebut dapat meningkatkan kontraksi uterus sehingga cairan lochia dapat dikeluarkan (Arthur 1996). Eliminasi bakteri dan regenerasi endometrium sangat berkaitan dengan kesempurnaan pengeluaran cairan lochia karena cairan tersebut merupakan media yang sangat cocok untuk perkembangan bakteri post partus seperti Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum, Corynebacterium pyogenese, Archanobacterium pyogenes, Staphylococcus aureus sehingga menghambat proses persembuhan luka post partus dan regenerasi endometrium (Kognisson 2001). Penelitian Yeon Lee dan Kim (2006), plasenta sapi yang menggantung di luar vulva lebih dari 24 jam pada kejadian retensi plasenta, akan membuat bakteri lingkungan mudah masuk kedalam uterus, sehingga apabila tidak diberikan bolus antibiotika maka persembuhan luka akan menjadi lebih lama dan dapat memperpanjang masa involusi uterus. Pemberian bolus antibiotika yang mengandung sulfadiazine dan trimethoprim post partus seringkali digunakan sebagai terapi pencegahan terhadap infeksi bakteri, sehingga membantu persembuhan luka dan diharapkan panjangnya waktu involusi uterus mengikuti waktu normalnya. Berdasarkan analisis statistika terhadap pengaruh pemberian bolus antibiotika pada penelitian ini menunjukan pengembalian ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus pada ketiga kelompok perlakuan sampai dengan minggu kelima tidak berbeda nyata (p>0,05) akan tetapi pengaruh waktu involusi uterus berpengaruh signifikan (p<0,05). Pada minggu kelima kelompok N+B sudah menunjukan gejala estrus kembali, oleh karenanya pengukuran diameter cervix dan kornua uterus dihentikan. Seperti di gambar 4 tampak bahwa, pada saat ini ukuran diameter cervix uterus 5,43±0,49 cm dan kornua uterusnya 5,19±0,61 cm pada kelompok N+B lebih

15

kecil dari diameter cervix uterus 6,21±0,46 cm dan kornua uterus 5,35±0,33 kelompok RP+B di minggu ke-5 pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus sapi dengan kelahiran normal pada saat kembali estrus pasca kelahiran lebih kecil dari sapi retensi plasenta. Dibandingkan dengan hasil penelitian Konyves et al. (2009) ukuran diameter uterus kelompok N+B masih lebih besar dari ukuran cervix uterus dan kornua uterus sapi dengan kelahiran normal dari penelitiannya yaitu 3-4 cm pada 30-40 hari post partus. Maka pada kelompok N+B dengan kelahiran normal dan diberikan bolus antibiotika, karena cairan lochia lebih cepat dikeluarkan dan luka peradangan lebih cepat sembuh sehingga estrus dapat muncul kembali walaupun diameternya lebih besar dari ukuran diameter cervix uterus dan kornua uterus normal sapi post partus.

Gambar 4. Grafik pengukuran diameter uterus, A (cervix) dan B (kornua) pada ketiga kelompok penelitian. Kelompok RP+B dan RP-B membutuhkan waktu 8 minggu untuk kembali estrus sedangkan kelompok N+B membutuhkan waktu 5 minggu.

A

16

Penelitian Spigel (2001) dan Levkut (2002), mengaitkan kesuksesan terapi bolus antibiotika post partus dengan cairan lochia, pada sapi dengan kelahiran normal dan diterapi dengan bolus antibiotika cairan lochia akan mengering rata-rata 10 hari post partus dan diikuti dengan hancurnya bolus antibiotika di dalam uterus sehingga zat aktif bolus diserap sempurna karena lebih mudah menembus dinding endometrium untuk mengeliminasi infeksi bakteri di uterus. Sapi dengan kelahiran yang diikuti retensi plasenta, cairan lochia rata-rata mengering 20-25 hari post partus, sehingga jika diberikan bolus antibiotika, hancurnya bolus tidak diikuti dengan mengeringnya cairan lochia di dalam uterus sehingga zat aktif bolus hanya dalam jumlah sedikit yang dapat menembus dinding endometrium (Sheldon 2005).

Pada minggu ke-5 pengamatan sapi kelompok RP+B dan RP-B belum menunjukan gejala estrus kembali dengan ukuran diameter cervix uterus 6,21±0,46 cm dan kornua uterus 5,35±0,33 cm pada kelompok RP+B yang ukuran diameternya lebih kecil dari kelompok RP-B dengan diameter cervix uterus 6,73±0,87 cm dan kornua uterus 6,30±0,53 cm. Pada saat sapi kelompok RP+B dan RP-B menunjukan estrus kembali, diameter cervix uterus sebesar 5,12±0,13 cm dan kornua uterusnya 4,23±0,34 cm pada kelompok RP+B tetap ukurannya lebih kecil dari diameter cervix uterus 5,83±1,04 cm dan kornua uterus 5,50±0,62 pada kelompok RP-B di minggu ke-8 pengamatan. Dengan perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa penurunan diameter uterus dengan pemberian bolus antibiotika pada sapi retensi plasenta akan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan sapi retensi plasenta tanpa pemberian bolus, karena pemberian bolus antibiotika dapat mengeliminasi bakteri di uterus pada kelompok RP+B dan membantu persembuhan luka. Hasil ini sesuai dengan penelitian Cai (2000) menyatakan bahwa karena sapi yang melahirkan dengan kejadian retensi plasenta mengalami perubahan fisiologis yang berdampak pada penurunan sistim pertahanan tubuh pada tingkat selular dan hormonal sehingga meningkatkan resiko infeksi pada uterus maka penggunaan terapi bolus antibiotika pada sapi yang mengalami retensi plasenta sangat diperlukan. Pernyataan ini dapat diperkuat dengan hasil penelitian (Kaczmarowski et al. 2005) yang menyatakan bahwa level progesteron pada kejadian retensi plasenta post partus lebih tinggi

17

dibandingkan dengan sapi yang melahirkan normal, hal ini terjadi karena adanya gangguan pada plasenta untuk memproduksi enzim spesifik steroidal yang berfungsi untuk proses metabolisme progesteron dan mengubahnya menjadi estrogen, kejadian ini akan menginduksi akumulasi protein immunosupresif di lumen uterus sehingga uterus mudah terinfeksi bakteri serta kontraksi post partus untuk mengeluarkan cairan lochia akan terganggu. Selain itu menurut (Kimura et al. 1999) cairan lochia yang terhambat pengeluarnnya merupakan media yang memungkinkan kontaminasi patogen di uterus sehingga kondisi imunosupresif lebih jelas terlihat.

Gambaran Ultrasonografi Involusi Uterus

Gambaran ultrasonografi terhadap cervix uterus dan kornua uterus memperlihatkan proses involusi uterus sepanjang waktu pengamatan, seperti diameter cervix uterus dan kornua uterus yang terus mengecil, dan cairan lochia yang volumenya terus berkurang diikuti dengan persembuhan jaringan cervix uterus dan kornua uterus.

Potongan melintang gambaran ultrasonografi cervix uterus dan kornua uterus pada kelompok N+B seperti pada gambar 5, di minggu pengamatan ke-1 cervix uterus memberikan gambaran anechoic yang lebih dominan, diselingi gambaran hypoechoic dengan diameter yang masih panjang dan dinding cervix uterus yang tidak jelas dan tidak berbatas karena tertutup cairan lochia sehingga gelombang ultrasound tidak bisa memberikan gambaran bagian-bagian cervix secara jelas.

Berdasarkan penelitian Dolezel et al. (2008); Johnson (2009) metode pengamatan terhadap organ uterus pada sapi perah menggunakan teknik ultrasonografi real time B-mode akan memberikan gambaran potongan melintang yang jelas setelah hari ke-19 sampai hari ke-22 post partus normal.

Pada minggu pengamatan ke-2 cervix uterus mulai memberikan gambaran hypoechoic dan menampakkan warna putih di tengah diantara celah anechoic, akan tetapi gambaran anechoic lebih dominan yang menandakan cairan lochia masih menutupi bagian-bagian cervix, minggu pengamatan ke-3 cervix uterus memberikan gambaran hypoechoic yang lebih dominan dibandingkan gambaran anechoic dengan

18

dinding cervix uterus yang tampak masih tebal, di minggu pengamatan ke-4 cervix memberikan gambaran yang sama dengan minggu ke-3 tetapi dinding cervix uterus terlihat lebih tipis.

Gambar 5. Potongan melintang gambaran ultrasonografi cervix uterus pada setiap kelompok pengamatan. Kelompok RP+B dan RP-B membutuhkan waktu 8 minggu untuk memberikan gambaran ultrasonografi normal cervix uterus sapi betina siklus, sedangkan kelompok N+B membutuhkan waktu 5 minggu.

Pengamatan di minggu ke-5 cervix memberikan gambaran hypoechoic dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic yang berarti adanya lumen diantara bagian dinding cervix uterus, gambaran seperti ini adalah gambaran normal cervix pada sapi betina siklus. Pada kelompok RP+B dan RP-B cervix uterus memberikan gambaran yang sama seperti minggu ke-4 pada kelompok N+B mulai

RP+B RP-B N+B

19

dari minggu ke-6, pada kedua kelompok ini gambaran cervix uterus normal sapi betina siklus baru dihasilkan pada minggu pengamatan ke-8.

Pada kelompok N+B seperti tampak pada gambar 6, minggu pengamatan ke-1 kornua uterus memberikan gambaran anechoic yang lebih dominan, diselingi gambaran hypoechoic, lapisan-lapisan dan lumennya tidak bisa dibedakan yang menandakan banyaknya jaringan dan cairan lochia sehingga gelombang ultrasound tidak bisa memberikan gambaran bagian-bagian kornua uterus secara jelas. Minggu pengamatan ke-2 kornua uterus masih memberikan gambaran anechoic diselingi gambaran hypoechoic, dinding kornua uterus tampak tebal dan hyperechoic sehingga bagian-bagiannya masih tidak bisa dibedakan dengan jelas. Pada minggu pengamatan ke-3 kornua uterus masih memberikan gambaran yang sama tetapi dinding kornua uterus tampak menipis, pada minggu pengamatan ke-4 kornua uterus memberikan gambara hypoechoic yang lebih dominan tetapi dinding kornua uterus masih terlihat agak tebal, minggu pengamatan ke-5 kornua uterus memberikan gambaran hypoechoic diselingi oleh gambaran anechoic pada dinding kornua uterus yang menandakan vaskularisasi darah pada kornua uterus kembali normal. Pada kelompok RP+B dan RP-B kornua uterus memberikan gambaran yang sama seperti minggu ke-4 pada kelompok N+B mulai dari minggu ke-6, pada kedua kelompok ini gambaran normal kornua uterus sapi betina siklus juga dihasilkan pada minggu pengamatan ke-8.

Menurut Goddar 1995 dan Widmer 1997 gambaran ultrasonografi cervix uterus dalam keadaan normal dan tidak bunting akan memberikan suatu gambaran hypoechoic (abu-abu) dengan suatu garis putih di tengah diantara celah anechoic (hitam) yang berarti adanya lumen diantara bagian dinding cervix uterus, sedangkan kornua uterus akan terlihat dengan gambaran lapisan luarnya yang hypoechoic, dikelilingi oleh cincin yang hitam, berisikan pelindung vascular, dan lapisan longitudinal, sirkular dan obligat dari miometrium, dan secara longitudinal pada kornua terlihat gambaran lumen yang anechoic yang sejajar dengan gambaran endometrium dan lapisan-lapisan muskulusnya.

20

Gambar 6. Potongan melintang gambaran ultrasonografi kornua uterus pada setiap kelompok pengamatan. Kelompok RP+B dan RP-B membutuhkan waktu 8 minggu untuk memberikan gambaran ultrasonografi normal kornua uterus sapi betina siklus, sedangkan kelompok N+B membutuhkan waktu 5 minggu.

Pemeriksaan Total Leukosit Darah

Pemeriksaan leukosit darah dilakukan untuk melihat responnya terhadap kejadian retensi plasenta. Partus merupakan suatu proses traumatik pasca jaringan uterus, sehingga ingin diketahui gambaran total leukosit sebagai penanda peradangan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa, penurunan jumlah total leukosit darah berbanding lurus dengan penurunan diameter cervix uterus dan kornua uterus. Berdasarkan analisis statistika terhadap pengaruh pemberian bolus antibiotika pada penelitian ini menunjukan, penurunan jumlah total leukosit pada ketiga kelompok perlakuan sampai dengan minggu kelima tidak berbeda nyata (p>0,05) akan tetapi

RP+B RP-B N+B

21

pengaruh waktu involusi uterus berpengaruh signifikan (p<0,05), hal ini mengindikasikan bahwa penurunan leukosit darah menunjukan adanya proses penyembuhan pada uterus pasca kelahiran dan waktu sangat berpengaruh.

Gambar 7. Rataan pengukuran jumlah total leukosit pada masing-masing kelompok. Kelompok N+B, pada pengamatan ke-36 jumlah leukositnya sudah dalam kisaran normal jumlah total leukosit sapi betina estrus sedangkan kelompok RP+B dan RP-B baru dicapai pada minggu ke-8.

Jika dilihat dari hasil penelitian pada gambar 7, jumlah total leukosit menunjukkan penurunan yang berarti mulai dari minggu pengamatan ke-15. Pada hari pengamatan ke-36 sapi pada kelompok N+B dengan jumlah total leukosit 6248.67±220.15 sel, sudah menunjukkan gejala estrus sedangkan pada kelompok RP+B dan kelompok RP-B dengan jumlah total leukositnya adalah 6838.67±151.61 sel dan 7366.67±757.19 sel secara berturutan belum estrus kembali, hal itu menunjukkan bahwa peradangan akibat luka post partus pada sapi kelompok RP+B dan RP-B belum sembuh, sehingga infiltrasi leukosit masih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Levkut (2002), sapi dengan masa involusi uterus melebihi normal seperti pada kejadian retensi plasenta memiliki jumlah leukosit yang lebih tinggi dari sapi

22

yang melahirkan normal pada 30-40 hari post partus, hal ini menandakan masih adanya infeksi.

Sheldon (2005) menambahkan bahwa uterus yang terinfeksi bakteri Escherichia coli, Fusobacterium necrophorum, Corynebacterium pyogenese, Archanobacterium pyogenes, Staphylococcus aureus juga memiliki jumlah hormon progesteron yang lebih tinggi hal itu dikarenakan uterus yang terinfeksi tersebut menghambat proses regresi dari corpus luteum karena penghambatan sintesis prostaglandin dan cytokins yang juga merupakan faktor penting dalam proses involusi uterus (Kaczmarowski et al. 2005).

Pada kelompok RP+B, estrus terjadi pada saat jumlah total leukositnya sebanyak 6216.67±76.38 sel dan 6966.67±663.95 sel pada kelompok RP-B pada hari pengamatan ke-54, sesuai dengan penelitian Spigel (2001) dimana jumlah total leukosit sapi pada saat estrus berkisar antara 6000-7500 sel. Jadi, hasil penelitian ini menunjukan bahwa sapi pada semua kelompok memiliki jumlah total leukosit dalam kisaran normal pada saat estrusnya.

23

SIMPULAN

Pemberian bolus sulfadiazine dan trimethoprim pada sapi perah betina yang mengalami retensi plasenta tidak berpengaruh signifikan terhadap pengembalian ukuran diameter uterus dan penurunan jumlah total leukosit (p<0,05) sampai 5 minggu pengamatan, akan tetapi ukuran uterusnya lebih kecil dan jumlah total leukositnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sapi yang mengalami retensi plasenta tanpa pemberian bolus pada saat estrus kembali.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pilihan obat yang paling berpengaruh terhadap penyembuhan retensi plasenta di Indonesia.

24

Dokumen terkait