• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preparasi dan Ekstraksi Phyllanthus niruri L. (meniran)

Tanaman meniran yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Tawangmangu, Jawa Tengah-Indonesia. Tanaman dipanen pada tanggal 6 Mei 2009 dan dikeringkan dalam oven gravitasi bersuhu 40 C selama 36 jam. Tanaman meniran dideterminasi dan dibuat spesimen contohnya (voucher specimen) oleh Herbarium Bogoriense. Berdasarkan determinasi yang dilakukan, tanaman tersebut benar Phyllanthus niruri L. dan spesimen contohnya disimpan di Herbarium Bogoriense sebagai koleksi dengan nomor BO 1880583.

Menggunakan metode gravimetri evolusi tidak langsung diketahui sampel meniran yang siap diekstraksi memiliki kadar air sebesar 6,5696 % (Lampiran 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam 100 gram sampel meniran terkandung 6,5696 gram air yang terikat secara fisik dan dapat hilang oleh pemanasan pada suhu sekitar 105 C. Kadar air kurang dari 10 % diharapkan mengurangi resiko kerusakan sampel meniran akibat serangan jamur dan bakteri.

Uji fitokimia yang dilakukan memberikan informasi bahwa tanaman meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu mengandung metabolit sekunder dari golongan flavonoid, fenol hidroquinon, steroid, tanin, saponin, dan lignan (Lampiran 3), sementara metabolit sekunder golongan alkaloid dan terpenoid tidak dapat dideteksi. Hasil uji alkaloid dan terpenoid tidak sepakat dengan penelitian terdahulu yang melaporkan bagian aerial meniran mengandung alkaloid (Petchnaree et al. 1986) dan ekstrak n-heksana herba meniran mengandung terpenoid (Gunawan et al. 2008). Hal ini dapat terjadi karena kadar alkaloid dan terpenoid pada meniran asal B2P2TO-OT Tawangmangu terlampau kecil sehingga uji kualitatif fitokimia tidak mampu mendeteksi keberadaannya. Kadar dan jenis senyawa metabolit sekunder dalam tanaman sejenis tidak selalu sama, kandungan senyawa metabolit sekunder tersebut dipengaruhi oleh kandungan hara dan kondisi tanah tempat tumbuhnya (Briskin 2002). Di samping itu, kadar dan kandungan senyawa metabolit sekunder dipengaruhi oleh waktu panen dan penanganan pasca panen (Famei et al. 2006).

Tanaman meniran kering yang meliputi bagian daun, batang, akar, dan buah dihaluskan hingga berukuran 80 mesh sebelum ekstraksi dilakukan (Gambar 7). Hal ini bertujuan meningkatkan luas permukaan sampel sehingga daerah kontak sampel dengan pelarut ekstraksi lebih besar dan proses ekstraksi berlangsung lebih optimal (Coats & Wingard 1950; Gião et al. 2009; Sembiring et al. 2006). Ekstraksi dilakukan dengan teknik maserasi pada suhu ruang untuk menghindari kerusakan komponen kimia meniran akibat panas.

(a) (b)

Gambar 7 Simplisia meniran sebelum dihaluskan (a) dan setelah dihaluskan (b).

Kombinasi pelarut ekstraksi yang digunakan untuk mengekstrak meniran disusun sesuai rancangan campuran (mixture design) yang mengambil bentuk simplex-centroid dengan axial design (Gambar 4). Rancangan ini digunakan untuk mempelajari pengaruh pelarut tunggal, campuran dua pelarut pada titik tengah setiap sisi simplex, serta campuran tiga pelarut pada pusat simplex dan pada titik axial terhadap efisiensi ekstraksi meniran. Pelarut ekstraksi yang digunakan harus dapat bercampur dengan baik pada setiap titik rancangan campuran simplex-centroid dengan axial design. Hal ini dimaksudkan agar kaidah kimia dan statistika dapat ditaati oleh setiap kombinasi pelarut ekstraksi yang digunakan.

Pelarut ekstraksi yang dipilih ialah metanol, etil asetat, dan diklorometana. Pemilihan pelarut ekstraksi didasarkan pada sifat fisik dan kimianya. Pertimbangan lain yang mendasari ialah ketiga pelarut ini telah digunakan untuk mengekstraks senyawa kimia pada meniran. Metanol telah digunakan untuk mengekstrak senyawa golongan lignan dan tanin pada meniran (Tripathi et al. 2006; Murugaiyah & Chan 2007b), etil asetat telah digunakan untuk mengekstrak lignan pada meniran (Tripathi et al. 2006), sementara diklorometana telah digunakan untuk mengekstrak senyawa yang cenderung tidak polar pada meniran (Markom et al. 2007).

Ketiga pelarut tersebut memiliki polaritas berlainan. Metanol dengan nilai polaritas 5,1 dikategorikan sebagai pelarut polar. Etil asetat memiliki kepolaran di pertengahan dengan nilai polaritas 4,4. Sementara diklorometana memiliki polaritas sebesar 3,1 dan dikategorikan sebagai pelarut yang tidak polar. Ketiga pelarut tersebut dikategorikan ke dalam kelas yang berbeda oleh Marcus (2004). Metanol termasuk pelarut protogenik (kelas 2) karena memiliki hidrogen yang terikat unsur elektronegatif dan memiliki unsur elektronegatif yang mampu membentuk ikatan hidrogen. Etil asetat termasuk kelas aprotik dipolar (kelas 3) karena mengandung unsur elektronegatif namun tidak memiliki hidrogen yang terikat unsur elektronegatif. Diklorometana termasuk dalam kelas 4 karena tidak memiliki unsur elektronegatif yang dapat membentuk ikatan hidrogen. Walaupun pelarut tersebut memiliki polaritas yang berlainan dan dikategorikan ke dalam kelas yang berbeda, ketiganya dapat bercampur dengan baik pada setiap titik rancangan campuran simplex-centroid dengan axial design.

Pemilihan pelarut ekstraksi juga didasarkan pada pertimbangan nilai tegangan antar muka pelarut. Pelarut ekstraksi yang baik memiliki tegangan antar muka yang nilainya di pertengahan. Tegangan antar muka yang terlalu tinggi menyebabkan kontak antara pelarut dengan sampel sulit terjadi. Sementara jika tegangan antar mukanya terlalu kecil akan terbentuk emulsi yang stabil antara pelarut dengan sampel, sehingga akan sulit memisahkannya. Dalam hal ini ketiga pelarut yang dipilih memiliki tegangan permukaan yang nilainya di pertengahan.

Sepuluh kombinasi pelarut ekstraksi memberikan efektivitas ekstraksi yang beragam (Gambar 8). Rendemen ekstraksi yang diperoleh berkisar antara 1,3668 hingga 7,4254 % berdasarkan bobot kering sampel. Rendemen ekstraksi tertinggi diperoleh saat menggunakan metanol sebagai pelarut ekstraksi, yaitu sebesar 7,4254 %. Rendemen ekstraksi terendah dihasilkan oleh pelarut diklorometana, yaitu sebesar 1,3668 %. Tingginya nilai rendemen ekstraksi dengan pelarut metanol menggambarkan komponen kimia dalam tanaman meniran mayoritas larut dalam pelarut polar. Calixto et al. (1998) melaporkan bahwa komponen mayor pada Phyllanthus niruri L. ialah senyawa dari golongan lignan, tanin, polifenol, dan flavonoid. Interaksi yang terjadi saat proses ekstraksi antara

senyawa kimia pada meniran dengan metanol dapat berupa ikatan hidrogen maupun interaksi dwikutub-dwikutub.

Gambar 8 Rendemen ekstraksi meniran.

Pengoptimuman Kondisi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Pemisahan Ekstrak Meniran

Panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan ditentukan berdasarkan panjang gelombang maksimum yang muncul saat pemayaran ekstrak meniran dengan spektrofotometer ultraviolet berkas ganda pada panjang gelombang 200 hingga 400 nm. Pemayaran dengan spektrofotometer ultraviolet berkas ganda terhadap ekstrak meniran memberikan puncak serapan maksimum pada kisaran 217 nm hingga 235 nm (Lampiran 4). Di samping itu, pemilihan panjang gelombang deteksi dilakukan mengacu pada penelitian terdahulu terhadap genus Phyllanthus. Sharma et al. (1993) mengukur kadar phyllanthin dan hypophyllanthin dari Phyllanthus niruri L. pada panjang gelombang 230 nm, sementara penentuan senyawa phyllanthin dan hypophyllanthin dari Phyllanthus amarus dideteksi pada panjang gelombang 220 nm (Tripathi et al. 2006).

Pada penelitian ini panjang gelombang deteksi KCKT yang digunakan ialah 210, 225, dan 254 nm. Panjang gelombang 210 nm dipilih mengacu pada penelitian pengoptimuman sidik jari KCKT ekstrak Camellia sinensis dengan rancangan mixture-mixture design yang dimonitor pada 210 nm (Borges et al. 2007a). Pajang gelombang 254 nm digunakan karena senyawa kimia yang telah berhasil diisolasi dari Phyllanthus niruri L., antara lain phyllanthin,

hipophyllanthin, phyltetralin, dan niranthin (Murugaiyah & Chan 2007a; Murugaiyah & Chan 2007b), asam galat, asam elagat, dan korilagin (Markom et al. 2007) memiliki struktur benzena dan turunannya yang mengalami transisi elektronik л→л* pada panjang gelombang 254 nm (Lindon et al. 2000).

Fase gerak KCKT yang digunakan pada penelitian ini ialah metanol, asetonitril, dan asetonitril:air (55:45 v/v). Pemilihan fase gerak KCKT didasarkan pada pertimbangan sifat fisika dan kimianya. Ketiga fase gerak yang digunakan bersifat polar, menurut Sadek (2002) ketiganya telah umum digunakan sebagai fase gerak pada KCKT fase terbalik. Menurut Snyder & Kirkland (1979) metanol, asetonitril, dan air memiliki selektivitas berlainan, sehingga akan memberikan kecepatan elusi yang bervariasi. Ketiga pelarut tersebut memiliki viskositas dan titik didih yang nilainya di pertengahan, dapat bercampur dengan baik, sesuai untuk detektor ultraviolet, dan mudah diperoleh.

Pemilihan fase gerak juga mengacu pada penelitian yang telah dilakukan terhadap meniran. Fase gerak yang telah dilaporkan untuk pemisahan ekstrak meniran antara lain asetonitril:air (55:45 v/v) (Murugaiyah & Chan 2007a; Murugaiyah & Chan 2007b), asetonitril:air secara gradien dengan penambahan asam fosfat 0,1 % sebagai aditif (Markom et al. 2007), air:metanol secara gradien (Colombo et al. 2009), metanol:air (70:30) (Tripathi et al. 2006), dan fase gerak metanol:air (66:34) (Sharma et al. 1993).

Sepuluh jenis ekstrak meniran dipisahkan dengan KCKT fase terbalik menggunakan tujuh kombinasi fase gerak sesuai mixture design yang mengambil bentuk simplex-centroid (Gambar 5). Rancangan ini digunakan untuk mempelajari pengaruh fase gerak tunggal, campuran dua fase gerak dengan proporsi yang sama pada titik tengah setiap sisi simplex, dan campuran tiga pelarut di pusat simplex terhadap sidik jari kromatografi yang dihasilkan. Pemisahan dilakukan tanpa pengulangan sehingga jumlah pemisahan yang dilakukan ialah sebanyak 70 buah. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengulangan untuk menghindari jumlah eksperimen yang sangat banyak.

Pendekatan split-plot digunakan saat menjalankan eksperimen. Pelarut ekstraksi berlaku sebagai whole-plot dan fase gerak KCKT sebagai sub-plot. Galat sistematik dihindari dengan melakukan pengacakan baik pada whole maupun

sub-plot. Pengacakan dilakukan terhadap whole-plot terlebih dulu diikuti pengacakan terhadap sub-plot (Lampiran 5). Pengacakan lengkap tidak dipilih karena dapat menimbulkan kendala teknis, di samping itu jumlah titik eksperimen yang dilakukan akan sangat banyak. Pengacakan lengkap mengharuskan larutan ekstrak disiapkan terpisah untuk setiap unit eksperimen KCKT sehingga pengaruh yang tidak diinginkan dari lingkungan dapat menyumbangkan galat yang besar.

Ekstrak meniran dipisahkan pada kolom C18 dengan waktu elusi bervariasi. Ekstrak metanol terelusi ke luar kolom paling cepat, sedangkan ekstrak diklorometana memerlukan waktu yang lebih lama untuk terelusi (Gambar 9). Pada kromatografi fase terbalik mekanisme retensi mengikuti kesetimbangan partisi komponen sampel antara fase gerak dengan fase diam. Ekstrak metanol mengalami retensi yang kecil oleh fase diam, interaksi antara ekstrak metanol yang bersifat polar dengan fase diam C18 yang bersifat nonpolar sangat lemah. Sebaliknya, interaksi antara ekstrak metanol dengan fase gerak sangat kuat. Ekstrak diklorometana yang bersifat nonpolar mengalami retensi sangat kuat oleh fase diam yang juga bersifat nonpolar, sementara interaksi yang terjadi antara ekstrak diklorometana dengan fase gerak bersifat lemah. Secara umum interaksi antara komponen sampel dengan fase gerak dapat berupa interaksi dwikutub-dwikutub, ikatan hidrogen, gaya dispersi, dan interaksi dielektrik (Snyder & Kirkland 1979).

(a) (b)

Gambar 9 Kromatogram ekstrak metanol (a) dan ekstrak diklorometana (b).

Radiasi pada panjang gelombang ultraviolet menyebabkan terjadinya transisi elektronik dari keadaan dasar menuju keadaan tereksitasi. Transisi elektronik yang

dapat terjadi berkorelasi dengan jumlah energi radiasi yang diberikan. Pada daerah ultraviolet transisi yang dapat terjadi meliputi n→σ*, n→л*, dan л→л*. Transisi elektronik σ→σ* hanya dapat terjadi pada daerah ultraviolet vakum (panjang gelombang kurang dari 200 nm) karena energi yang diperlukan untuk transisi ini sangat tinggi.

Pada panjang gelombang deteksi 210 dan 225 nm akan diserap sejumlah energi yang menyebabkan terjadinya transisi elektronik n→σ*, n→л*, dan л→л*, sementara pada panjang gelombang deteksi 254 nm energi yang diserap menyebabkan terjadinya transisi elektronik n→л* dan л→л* (Gauglitz & Vo-Dinh 2003). Jenis transisi elektronik yang terjadi pada panjang gelombang deteksi 210 dan 225 nm lebih banyak dibandingkan pada 254 nm. Hal ini turut menentukan jumlah puncak dan intensitas serapan yang dapat dideteksi pada ketiga panjang gelombang tersebut.

Jumlah puncak yang muncul pada kromatogram KCKT ekstrak meniran dihitung berdasarkan kriteria nilai resolusi dan rasio sinyal terhadap derau (S/N). Puncak diakui dan dihitung jika memiliki nilai resolusi ≥ 1 dan nilai S/N ≥ 3. Nilai resolusi ≥ 1 digunakan sebagai batasan karena suatu puncak dikatakan terpisah apabila memiliki nilai resolusi ≥ 1 (Dong 2006). Nilai S/N ≥ 3 dipilih karena nilai ini umum digunakan untuk menentukan nilai limit deteksi (Bliesner 2006). Informasi nilai resolusi dan S/N diperoleh melalui pengolahan kromatogram masing-masing ekstrak menggunakan perangkat lunak LC solution yang terintegrasi dengan KCKT Shimadzu varian LC-20 AD yang digunakan pada penelitian ini. Jumlah puncak yang dideteksi pada masing-masing panjang gelombang disajikan pada Lampiran 6. Jumlah puncak maksimum pada masing-masing panjang gelombang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah puncak maksimum pada panjang gelombang 210, 225, 254 nm

λ

(nm) terbanyak (buah) ∑ puncak (MeOH:EtOAc:CHPelarut ekstraksi 2Cl2) (MeOH:ACN:ACN-HFase gerak KCKT 2O 55-45)

210 30 1/6:1/6:2/3 1/2:1/2:0 225 21 0:0:1 0:1/2:1/2 2/3:1/6:1/6 1/2:1/2:0 254 20 0:1:0 0:0:1

Jumlah puncak pada panjang gelombang deteksi 210 dan 225 nm lebih banyak dibanding pada 254 nm. Namun demikian, perlu diwaspadai jumlah puncak yang dapat dideteksi pada panjang gelombang deteksi 210 dan 225 nm tidak seluruhnya berasal dari ekstrak meniran. Menurut Sadek (2002) pelarut metanol masih memberikan puncak serapan yang berarti pada panjang gelombang 205 hingga 235 nm. Profil hubungan pelarut ekstraksi, fase gerak KCKT, dan jumlah puncak disajikan pada Lampiran 7.

Analisis Data Pemisahan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Persamaan regresi yang menggambarkan pengaruh pelarut ekstraksi dan fase gerak KCKT terhadap jumlah puncak KCKT dibangun dari 49 data menggunakan perangkat lunak MINITAB. Empat puluh sembilan data tersebut diambil dari setiap sisi simplex dan titik centroid (Gambar 4). Data tersebut dipilih karena dinilai paling tepat untuk membangun model regresi pada rancangan mixture-mixture. Struktur data yang diperoleh dari rancangan split-plot mixture-mixture design memiliki ragam yang bersumber dari whole-plot dan sub-plot. Data yang diperoleh memiliki nisbah ragam whole-plot terhadap ragam sub-plot kurang dari 0,4 / < 0,4), hal ini dimungkinkan karena sampel meniran untuk setiap perlakuan whole-plot berasal satu daerah. Pada saat / < 0,4 ragam whole-plot dianggap tidak signifikan (Naes et al. 2006) dan koefisien persamaan regresi diduga menggunakan metode kuadrat terkecil (OLS). Metode OLS menerapkan prinsip meminimalkan jumlah kuadrat simpangan antara data aktual dengan data dugaan.

Pengolahan data dimulai dengan menentukan nilai koefisien setiap interaksi pelarut ekstraksi dan fase gerak KCKT menggunakan persamaan (2a) sampai (7a). Selanjutnya nilai koefisien dibagi dengan nilai konstanta pada persamaan ragam yang sesuai untuk masing-masing interaksi pada rancangan mixture-mixture yang digunakan sehingga didapatkan nilai t-hitung. Nilai konstanta pada persamaan ragam yang digunakan ialah 1 untuk interaksi linear (persamaan 2b), 24 untuk interaksi kuadratik (persamaan 3b), 1188 untuk interaksi kubik (persamaan 4b), 576 untuk interaksi biner-biner (persamaan 5b), 28512 untuk gabungan interaksi ternary-biner (persamaan 6b), serta 1411344 untuk interaksi ternary-ternary

(persamaan 7b). Interaksi yang memiliki nilai mutlak hitung lebih besar dari t-tabel pada selang kepercayaan 99 % digunakan untuk membangun model regresi. Plot kuantil-kuantil untuk setiap interaksi pada masing-masing panjang gelombang disajikan pada Lampiran 8.

Persamaan regresi pada panjang gelombang 210 nm dibangun dari 33 interaksi, pada panjang gelombang 225 nm dibangun dari 29 interaksi, dan 18 interaksi digunakan untuk membangun persamaan regresi pada panjang gelombang 254 nm. Persamaan regresi pada masing-masing panjang gelombang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Persamaan regresi pada panjang gelombang 210, 225, dan 254 nm

λ (nm) Persamaan regresi 210 ŷ=9x1z1+6x2z1+7x3z1+34x1x2z1-18x2x3z1-96x1x2x3z1+11x1z2+16x2z2 +27x3z2+50x1x2z2-42x2x3z2+23x1z3+18x2z3+12x3z3+34x1x2z3-50x1x3z3 -24x2x3z3-114x1x2x3z3+16x2z1z2-20x3z1z2-80x1x3z1z2+20x2z1z3+72x1x2z1z3 +68x2x3z1z3-828x1x2x3z1z3-38x3z2z3-168x1x2z2z3+100x2x3z2z3+468x1x2x3z2z3 -183x1z1z2z3-108x2z1z2z3+858x1x2z1z2z3-7965x1x2x3z1z2z3 225 ŷ=3x1z1+3x3z1+20x1x3z1+9x1z2+9x2z2+12x3z2+24x1x2z2+18x1x3z2+14 x2x3z2 -114 x1x2x3z2+10x1z3+10x2z3+10x3z3+44x1x2z3-16x1x3z3-20x2x3z3-186x1x2x3z3 -92x1x3z1z2+18x1z1z3-14x3z1z3+76x1x2z1z3-72x1x3z1z3+38x1z2z3+22x2z2z3 -72 x1x2z2z3 -132x1x3z2z3-84x2x3z2z3-108x1z1z2z3-8919x1x2x3z1z2z3 254 ŷ=7x1z1+6x2z1+4x3z1+7x1z2+6x2z2+20x3z2+30x1x2z2-22x1x3z2-135x1x2x3z2 +14x1z3+5x2z3+6x3z3+26x1x2z3-24x1x3z3-36x3z1z2+22x2z2z3-36x3z2z3 -80x1x2z2z3

Sembilan interaksi linear menjadi bagian model regresi pada panjang gelombang 210 nm. Interaksi linear yang terjadi seluruhnya menunjukkan interaksi sinergis antara pelarut ekstraksi dengan fase gerak KCKT, dengan kata lain interaksi yang terjadi memiliki potensi meningkatkan jumlah puncak yang dapat dideteksi. Koefisien interaksi linear menunjukkan jumlah puncak dugaan setiap interaksi linear yang terjadi. Sebagai contoh, notasi 7x3z1 menunjukkan bahwa jumlah puncak dugaan saat ekstrak metanol dipisahkan dengan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v) ialah 7 buah. Pada interaksi linear, jumlah puncak tertinggi dihasilkan saat ekstrak etil asetat dipisahkan dengan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v).

Sebelas interaksi kuadratik terdapat dalam model regresi pada panjang gelombang 210 nm, sebagian di antaranya memiliki interaksi sinergis terhadap respons dan lainnya memiliki interaksi nonsinergis. Interaksi nonsinergis dimaknai sebagai interaksi yang tidak memiliki potensi untuk meningkatkan respons deteksi. Efek sinergis tertinggi pada interaksi kuadratik terjadi saat ekstrak etil asetat dipisahkan dengan metanol:asetonitril dengan proporsi yang sama. Interaksi kubik ada sebanyak empat buah, seluruhnya menunjukkan interaksi nonsinergis. Terdapat lima interaksi biner-biner, sebagian memiliki interaksi sinergis dan lainnya nonsinergis. Tiga buah interaksi ternary-biner yang ada memiliki interaksi yang sinergis dan nonsinergis. Sementara itu satu buah interaksi ternary-ternary memberikan interaksi nonsinergis.

Terdapat delapan interaksi linear pada model regresi panjang gelombang 225 nm. Seluruh interaksi linear tersebut bersifat sinergis. Sinergisme terkuat pada interaksi linear terjadi saat ekstrak etil asetat dipisahkan dengan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v). Interaksi kuadratik yang muncul ialah sebelas buah. Sinergisme tertinggi dihasilkan dari interaksi pelarut diklorometana dengan fase gerak metanol:asetonitril dengan proporsi yang sama. Ada tiga buah interaksi kubik yang muncul dan efek interaksinya ialah nonsinergis. Enam buah interaksi biner-biner dengan efek sinergis dan nonsinergis dan satu interaksi ternary-ternary yang memberikan efek nonsinergis.

Seluruh interaksi linear menjadi bagian dari model regresi pada panjang gelombang 254 nm dan seluruhnya merupakan interaksi sinergis. Sinergisme tertinggi pada interaksi linear terjadi saat ekstrak etil asetat dipisahkan dengan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v). Tujuh interaksi kuadratik memiliki efek sinergis maupun nonsinergis, sinergisme tertinggi untuk interaksi kuadratik diperoleh saat digunakan pelarut ekstraksi etil asetat dan fase gerak metanol:asetonitril dengan proporsi yang sama. Ada satu buah interaksi kubik dan satu buah interaksi biner-biner masing-masing memiliki efek nonsinergis.

Pendugaan jumlah puncak pada titik axial dilakukan menggunakan model regresi. Model regresi juga digunakan untuk menentukan jumlah puncak dugaan dari data yang digunakan membangun model. Nilai root mean square error of calibration (RMSEC) dan root mean square error of prediction (RMSEP) untuk

panjang gelombang 210, 225, dan 254 nm disajikan pada Tabel 3. RMSEC dan RMSEP secara berurutan menunjukkan kesesuaian jumlah puncak dugaan dengan jumlah puncak yang dideteksi pada data yang digunakan membangun model dan pada data validasi. Semakin kecil nilai RMSEC dan RMSEP, semakin baik model regresi yang dibangun (Naes et al. 2002). Berdasarkan nilai RMSEC dan RMSEP, model regresi terbaik dibangun dari data pada panjang gelombang deteksi 254 nm.

Tabel 3 Nilai RMSEC dan RMSEP pada 210, 225, dan 254 nm

Parameter 210 nm 225 nm 254 nm

RMSEC 1,86341 2,22201 1,54367 RMSEP 4,00759 5,28394 2,26063

Gambar 10 menunjukkan grafik hubungan jumlah puncak yang dideteksi dengan jumlah puncak hasil dugaan model regresi pada panjang gelombang 254 nm. Pada gambar dapat diamati bahwa titik-titik yang menunjukkan koordinat jumlah puncak yang dideteksi dan jumlah puncak dugaan berada di sekitar garis lurus bersudut 45˚. Hal ini mengindikasikan kedekatan antara jumlah puncak dugaan dengan jumlah puncak yang dapat dideteksi, dan sepakat dengan nilai RMSEC dan RMSEP yang disajikan pada Tabel 3. Grafik hubungan jumlah puncak yang dideteksi dengan jumlah puncak dugaan pada panjang gelombang 210 dan 225 nm disajikan pada Lampiran 9.

Gambar 10 Grafik hubungan jumlah puncak deteksi dengan jumlah puncak dugaan pada panjang gelombang deteksi 254 nm.

Kondisi optimum pada panjang gelombang 254 nm dicapai saat ekstrak etil asetat dipisahkan dengan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v). Pada Gambar 11 dapat diamati bahwa pemisahan ekstrak etil asetat dengan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v) yang terletak di ujung segitiga kanan bawah menghasilkan jumlah puncak lebih banyak dengan resolusi yang lebih baik dibanding kromatogram yang dihasilkan fase gerak KCKT lainnya. Kondisi optimum ini tidak hanya memberikan respons tertinggi pada panjang gelombang 254 nm, namun secara konsisten memberikan respons tertinggi untuk interaksi linear pada dua panjang gelombang deteksi lainnya.

Kombinasi fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v) menghasilkan fase gerak yang mampu membentuk ikatan hidrogen dengan komponen ekstrak etil asetat yang memiliki gugus hidroksil seperti golongan lignan maupun flavonoid. Interaksi dwikutub-dwikutub juga dapat terjadi antara asetonitril dengan komponen kimia ekstrak etil asetat yang memiliki momen dipol. Interaksi tersebut diduga menjadikan kemampuan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v) lebih baik dibanding fase gerak lainnya dalam mengelusi ekstrak etil asetat.

Gambar 11 Sidik jari KCKT ekstrak etil asetat meniran pada panjang gelombang deteksi 254 nm.

Sidik jari ekstrak etil asetat yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan beberapa puncak serapan yang muncul secara konsisten. Puncak tersebut diduga milik phyllanthin dan hipophyllanthin, marker yang biasa digunakan dalam kontrol kualitas meniran, karena menurut Tripathi et al. (2006) ekstrak etil asetat mengandung kedua senyawa marker tersebut. Pelarut ekstraksi etil asetat dan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v) pada penelitian selanjutnya dapat diaplikasikan untuk membuat sidik jari kromatografi cair kinerja tinggi tanaman obat meniran dari daerah yang berbeda, musim panen dan tanam berbeda, bagian tanaman meniran yang berbeda, maupun beberapa spesies tanaman obat dari genus Phyllanthus untuk memperoleh pola pengelompokkan dan model kontrol kualitas.

Gambar 12 menyajikan kontur plot yang dihasilkan saat ekstrak etil asetat dipisahkan dengan berbagai jenis fase gerak KCKT. Dapat diamati bahwa jumlah puncak optimum ditunjukkan oleh warna hijau tua, yaitu saat digunakan asetonitril:air (55:45 v/v) sebagai fase gerak. Fase gerak lain yang berpotensi meningkatkan jumlah puncak ialah kombinasi metanol asetonitril pada komposisi yang sama dan kombinasi asetonitril:air, namun potensinya lebih kecil dibandingkan fase gerak asetonitril:air (55:45 v/v).

Gambar 12 Kontur plot ekstrak etil asetat pada panjang gelombang 254 nm.

Validasi Kondisi Optimum

Mengacu pada kategori analisis yang ditetapkan United States Pharmacopea, parameter validasi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi parameter presisi dan penentuan kestabilan larutan ekstrak. Parameter kestabilan

larutan ekstrak diperiksa untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap kandungan senyawa kimia yang dimiliki ekstrak meniran.

Parameter presisi ditentukan melalui keterulangan injeksi dan dinyatakan dengan nilai persen simpangan baku relatif (%SBR) waktu retensi. Data waktu retensi setiap komponen disajikan pada Lampiran 10. Dua puncak pertama yang muncul memiliki %SBR yang lebih tinggi dibandingkan puncak lainnya. Kedua puncak ini memiliki waktu retensi kurang dari 2 menit dan diduga merupakan puncak milik dead volume atau volume yang tidak mengalami retensi pada kolom. Menurut Kromidas (2005), puncak yang muncul pada waktu retensi kurang dari

Dokumen terkait