• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Identifikasi Cendawan Penyebab Penyakit

Salak pondoh termasuk komoditi hortikultura yang mudah rusak atau perisibel, umur simpan pada suhu kamar (29oC) relatif singkat yaitu berkisar antara 6 –10 hari. Kerusakan buah selama penyimpanan ditandai dengan penampakan secara fisik, seperti warna kecoklatan dan sedikit berair. Awal terjadinya kerusakan buah ditandai dengan adanya memar, buah tersobek atau luka sehingga dapat mempercepat kerusakan yang lainnya seperti kerusakan biologi dan mikrobiologi.

Kerugian pascapanen buah salak pondoh yang disebabkan oleh cendawan cukup tinggi. Dengan adanya luka mekanis memungkinkan buah mudah terserang cendawan. Kerusakan ini dapat mengakibatkan buah salak pondoh menjadi busuk pada bagian pangkalnya dan hanya dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Cacat pada buah, bentuk dan tekstur buah, cita rasa dapat menentukan kualitas buah. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas. Kualitas buah salak juga dapat dilihat dari adanya pertumbuhan cendawan pada kulit buah terutama pada bagian pangkal buah, kulit buah berubah menjadi coklat, lunak, berair, terjadi susut bobot dan bahkan busuk. Buah salak pondoh yang terserang T. paradoxa dapat dilihat pada Gambar 5.

Hasil isolasi cendawan pada buah salak pondoh yang diperoleh dari 7 pasar tradisional dan swalayan di Kotamadya Bogor diperoleh 12 isolat, 9 (75%) isolat sebagai Thielaviopsis paradoxa (Gambar 6), sedangkan 3 isolat lainnya masing-masing adalah Mucor sp. (Gambar 8), Geotrichum sp. (Gambar 9), dan

Fusarium graminearum (Gambar 7). Kode isolat, spesies cendawan dan lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 3. Dari 12 isolat tersebut selanjutnya dilakukan uji patogenisitas untuk mengetahui cendawan yang paling berpotensi dalam menyebabkan penyakit pada buah salak Pondoh.

Gambar 5 Salak Pondoh yang terserang Thielaviopsis paradoxa.

Thielaviopsis paradoxa

(A) (B)

Gambar 6 A) Koloni Thielaviopsis paradoxa pada media PDA setelah 3 hari inkubasi pada suhu 28oC, B) foto mikrograf Thielaviopsis paradoxa

(200×); (a)klamidospora (b) endokonidium.

Ciri makroskopik yaitu mula-mula koloni berwarna putih. Setelah tiga hari inkubasi pada suhu ±28oC warna menjadi keabuan dan menghitam, tekstur hifa halus padat seperti permadani (ambal), pertumbuhan cepat. Ciri mikroskopik

b

a

terdapat dua jenis konidium aseksual yaitu endokonidium berwarna coklat muda dan klamidospora berwarna coklat tua.

Fusarium graminearum

(A) (B)

Gambar 7 A) Koloni Fusarium graminearum pada media PDA setelah 3 hari inkubasi pada suhu 28oC, B) foto mikrograf Fusarium graminearum

(200×); (a)makrokonidium.

Ciri makroskopik yaitu koloni berwarna merah muda, tekstur hifa halus padat, pertumbuhan sedang. Ciri mikroskopik yaitu terdapat makrokonidium yang berbentuk bulan sabit.

Mucor sp.

(A) (B)

Gambar 8. A) Koloni Mucor sp.pada media PDA setelah 3 hari inkubasi pada suhu 28oC, B). foto mikrograf Mucor sp. (200×); (a) Sporangium (b) Sporangiofor.

a

a

Ciri makroskopik yaitu koloni berwarna putih seperti kapas , tekstur hifa halus, pertumbuhan cepat. Ciri mikroskopik yaitu terdapat sporangium dan sporangiofor.

Geotrichum sp

(A) (B)

Gambar 9 A) Koloni Geotrichum sp. pada media PDA setelah 3 hari inkubasi

pada suhu 28oC, B) foto mikrograf Geotrichum sp. (200×) (a) Artrokonidium

Ciri makroskopik yaitu pertumbuhan koloni sedang, datar, seperti bubuk dengan tekstur lilin, putih sampai krem pada permukaan, media terbentuk Artrokonidium. Hifa hialin, septat, bercabang dan pecah menjadi rantai hialin, halus, bersel satu, tidak terdapat konidiofor.

Uji Patogenisitas

Pada masa pascapanen buah-buahan mudah terserang oleh patogen. Daya serang patogen disebabkan oleh kondisi yang sesuai bagi cendawan untuk tumbuh. Penyakit pada buah-buahan yang disebabkan oleh cendawan akan

terjadi apabila dalam satu waktu di suatu tempat terdapat tiga syarat yaitu 1) tumbuhan atau buah rentan terhadap penyakit, 2) penyebab penyakit yang

mampu menginfeksi (virulen), dan 3) lingkungan yang mendukung atau sesuai untuk terjadinya penyakit (Agrios 2004).

Penyakit tidak akan terjadi apabila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, walaupun dua syarat lain terpenuhi. Konsep ini kemudian dikenal sebagai konsep segitiga penyakit. Kondisi yang mendukung untuk pertumbuhan cendawan antara lain karbohidrat terlarut, kadar air yang meningkat dan kondisi lingkungan yang mendukung.

Menurut Agrios (2004) tahapan yang terjadi dalam patogenesis penyakit tumbuhan setelah inokulasi adalah penetrasi, infeksi dan kolonisasi. Setelah terjadi kontak dengan permukaan sel inang patogen menembus dinding sel. Penetrasi patogen secara pasip dapat melalui luka dan lubang alami. Penetrasi secara aktif melalui tekanan mekanik dan atau reaksi enzimatik. Patogen menyerang tanaman karena selama pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan makanan yang diproduksi oleh inang. Seiring proses pematangan buah, pertumbuhan cendawan akan semakin cepat, karena kolonisasi pada inang tertunda akibat infeksi laten. Infeksi laten adalah infeksi di mana patogen dalam keadaan dorman atau tidak aktif di dalam jaringan inang dan akan berubah menjadi aktif jika kondisi telah sesuai atau memungkinkan cendawan untuk tumbuh. Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi laten adalah : 1) adanya senyawa yang bersifat racun bagi cendawan dengan konsentrasi tinggi pada buah muda dan konsentrasi senyawa tersebut akan menurun dengan meningkatnya tingkat kematangan, 2) keadaan nutrisi buah muda tidak sesuai bagi cendawan untuk tumbuh dan berproduksi. Buah muda biasanya terdiri dari pektin, karbohidrat dan selulosa yang sukar diserap oleh cendawan, 3) potensi enzim yang diproduksi cendawan belum mencukupi atau tidak memadai untuk melakukan infeksi dan kolonisasi pada buah muda.

Luas gejala penyakit pada penyakit segar yang disebabkan oleh setiap isolat cendawan setelah inkubasi 7x24 jam disajikan pada Tabel 3. Buah salak Pondoh dari 7 pasar tradisonal dan swalayan di Kotamadya Bogor yang diisolasi 75% merupakan T.paradoxa. Thielaviopsis paradoxa isolat PSYSI1 menyebabkan gejala yang paling luas (2 010 mm2) dibandingkan dengan isolat cendawan lainnya. Dari uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95% terhadap luas gejala penyakit dari isolat lainnya. Dengan

demikian T. paradoxa isolat PSYAI1 merupakan isolat cendawan yang tingkat patogenisitasnya paling tinggi dibandingkan dengan isolat cendawan lainnya.

Tabel 3 Luas gejala penyakit hasil uji patogenisitas 12 isolat cendawan terhadap buah salak Pondoh

No Kode isolat Lokasi pengambilan

buah salak Jenis cendawan

Luas gejala penyakit

(mm2)

1 PAI4 Pasar Anyar Mucor sp. 0 a

2 PSEI1 P.S.Ekalokasari Geotrichum sp. 0 a 3 Kontrol - Thielaviopsis paradoxa 39 a 4 PSEI2 P.S.Ekalokasari Fusarium graminearum 44 a 5 Kontrl + PDA - T. paradoxa 45 a

6 PAI2 Pasar Anyar T. paradoxa 100 a

7 PSJDI1 P.S.Plaza Jambu Dua T. paradoxa 101 a

8 PSSI1 P.S.Sangrila T. paradoxa 185 a

9 PAI3 Pasar Anyar T. paradoxa 235 a

10 PSYSI2 P.S.Yogya T. paradoxa 349 ab

11 PSGBSI1 P.S.Giant Botani Square T. paradoxa 624 ab 12 PSGBSI2 P.S.Giant Botani Square T. paradoxa 641 ab

13 PBI1 Pasar Bogor T. paradoxa 667 ab

14 PSYSI1 P.S.Yogya T. paradoxa 2010 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan

uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Murtiningsih et al. (1996) melaporkan bahwa Thielaviopsis sp. merupakan penyebab penyakit pada buah salak. Soytong dan Jitkasemsuk(2001) melaporkan bahwa di Thailand, busuk buah pada salak disebabkan oleh T. paradoxa. Dengan demikian T. paradoxa PSYSI1 digunakan pada penelitian tahap berikutnya.

Thielaviopsis paradoxa merupakan cendawan yang dapat menginfeksi setiap bagian dari tanaman palm dan dapat menyebabkan berbagai penyakit. Cendawan ini ditemukan di seluruh dunia. Kisaran tanaman inangnya terbatas pada tanaman monokotil yang tumbuh di iklim hangat (tropis). Selain palm cendawan ini juga merupakan penyebab penyakit pada pisang, nanas dan tebu (Elliott 2009).

Uji patogenisitas dan pertumbuhan T. paradoxa isolat PSYSI1 dapat dilihat pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10 Uji patogenisitas 12 isolat cendawan terhadap salak Pondoh pada suhu ruang (± 28oC).

Gambar 11 Salak Pondoh yang diinokulasi dengan Thielaviopsis paradoxa isolat PSYSI1 setelah 7 hari inkubasi pada suhu ruang (±28oC).

Uji Efikasi Ekstrak Rimpang Jahe dan Rimpang Kunyit

Pengaruh ekstrak jahe terhadap pertumbuhan Thielaviopsis paradoxa

Berdasarkan analisis sidik ragam ekstrak jahe pada konsentrasi 20, 30 dan 40% memeberikan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan T. paradoxa

pada tingkat kepercayaan 95 %, yaitu masing-masing 92, 100 dan 100 %. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak jahe, pertumbuhan T. paradoxa semakin dihambat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak jahe mempunyai aktivitas anti cendawan terhadap T. paradoxa. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak jahe maka kandungan senyawa anticendawan juga semakin tinggi. Ficker et al. (2003) melaporkan bahwa jahe memiliki efek anticendawan. Gingerol, ginggerdiol dan zingerone yang terkandung dalam jahe memiliki efek anticendawan. Yuliani

(1990) melaporkan bahwa kadar minyak jahe merah adalah sebanyak 3.90%. Hasil identifikasi komponen kimiawi yang dilakukan oleh Nurliana et al. (2008) menunjukkan bahwa minyak atsiri jahe merah mengandung trans-geraniol, geranil asetat, zingiberene, citral, curcumene, dan betasesquiphellandrene. Khasiat ekstrak jahe juga dibuktikan oleh Atai et al. (2009) yang melaporkan bahwa ekstrak jahe efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.

Anticendawan pada umumnya bekerja dengan menghambat biosintesa ergosterol yang merupakan komponen penting dari pembentukan membran sel cendawan. Penurunan ergosterol membran sel cendawan menyebabkan rusaknya permeabilitas membran, akibatnya sel cendawan kehilangan komponen intraselulernya. Pengaruh suatu zat terhadap sel organisme antara lain berhubungan dengan proses metabolisme sel yang terganggu dan fungsi permeabilitas dinding sel, yaitu adanya gangguan fungsi atau kofaktor enzim atau gangguan netralissasi zat toksik di dalam sel (Markus 1999). Padma et al. (2007) melaporkan bahwa dampak ekstrak jahe merah terhadap sel dapat menunjukkan terjadinya efek apoptosis. Sel mengalami penghambatan proliferasi, terjadi pengerutan sel dan kondensasi kromosom. Pengaruh ekstrak jahe merah pada berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan T. paradoxa dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak jahe merah dan kontrol terhadap pertumbuhan T. paradoxa. pada media PDA.

Pada Gambar 12 nampak bahwa ektrak jahe merah mampu menghambat pertumbuhan cendawan T. paradoxa. Pada penelitian ini cendawan masih tumbuh pada media PDA yang mengandung ekstrak jahe 20% setelah 3x24 jam inkubasi, sedangkan pada konsentrasi 30 dan 40% cendawan tidak tumbuh. Sehingga pada

uji selanjutnya penelitian ini konsentrasi ekstrak jahe yang digunakan 30%, dengan pertimbangan konsentrasi 30% adalah konsentrasi terendah dan efektif menghambat pertumbuhan T. paradoxa.

Pengaruh ekstrak kunyit terhadap pertumbuhan Thielaviopsis paradoxa

Berdasarkan analisis sidik ragam ekstrak kunyit pada konsentrasi 20, 30 dan 40% memberi kan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan T.paradoxa

pada tingkat kepercayaan 95%, yaitu masing-masing adalah 25, 34 dan 36%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kunyit, pertumbuhan T.paradoxa semakin dihambat. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak rimpang kunyit maka volume ekstak kunyit yang berdisfusi ke dalam sel cendawan semakin meningkat, sehingga sel cendawan menjadi hipertonik dan terjadi berbagai mekanisme gangguan di dalam sel cendawan yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan cendawan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kunyit maka pertumbuhan cendawan semakin dihambat. Hal ini diduga karena makin tinggi konsentrasi ekstrak kunyit maka kandungan senyawa anticendawan juga semakin tinggi. Secara umum dapat dikatakan bahwa ekstrak kunyit pada konsentrasi tertinggi (40%) adalah konsentrasi yang paling menghambat pertumbuhan T. paradoxa. Pertumbuhan cendawan pada PDA yang mengandung ekstrak kunyit 20, 30 dan 40% setelah 3×24 jam inkubasi pada suhu ruang (±28oC) dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Pengaruh berbagai konsentrasi dan kontrol ekstrak kunyit terhadap pertumbuhan T. paradoxa pada media PDA.

Hasil penelitian Singh et al. (2002) aktivitas minyak atsiri kunyit yang mengandung seskuiterpen pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat

pertumbuhan miselium Colletotricum falcatum, sedangkan pertumbuhan

Aspergilus niger dan Fusarium oxysporum Schlecht dapat dihambat pada konsentrasi 200 ppm. Apisariyakul et al. (1995) melaporkan, bahwa minyak kunyit dan kurkumin yang diisolasi dari Curcuma longa dapat menghambat 15 isolat dermatofit. Menurut Singh et al. (2010) pada minyak esensial dari rimpang kunyit segar terdapat unsur utama yang terdiri dari aromatik-turmeron 24.4%,

alpha-turmeron 20.5% dan beta-turmeron 11.1%. Di dalam oleoresins dari rimpang kunyit segar, komponen utamanya adalah alpha-turmeron (53.4%), beta- turmeron (18.1%) dan aromatik-turmeron (6.2%).

Pada penelitian ini pertumbuhan T.paradoxa dapat dihambat oleh ekstrak kunyit pada konsentrasi 20, 30 dan 40%. Griffin (1994) melaporkan bahwa metabolisme energi dalam mitokondria dalam tahap transfer elektron dan fosforilasi dapat diganggu oleh beberapa senyawa anticendawan. Metabolisme energi dalam mitokondria dihambat dengan diganggunya transfer elektron. Terhambatnya transfer elektron ini akan mengakibatkan oksigen berkurang dan menyebabkan fungsi dari siklus asam trikarboksilat terganggu. Tahapan fosforilasi tidak terjadi sehingga pembentukan ATP dan ADP terhambat.

Antara ekstrak jahe dan kunyit pada konsentrasi 30 % sama-sama berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Namun jika dilihat lebih lanjut dari rata-rata daya hambatnya, ektrak jahe lebih efektif dibandingkan dengan ekstrak kunyit. Hal ini dapat dilihat dari persentase hambatan pertumbuhan pada ekstrak jahe dan ekstrak kunyit konsentrasi 30 % masing-masing sebesar 100 % dan 30%. Yulia (2006) menyatakan bahwa aktivitas minyak esensial ekstrak rimpang kunyit (3 %) terhadap cendawan patogen Pestalotiposis versicolor juga memberikan efek penghambatan yang medium (41.8 %). Pada penelitian ini cendawan masih tumbuh pada media PDA yang mengandung ekstrak jahe 20 % setelah 3×24 jam inkubasi, sedangkan pada konsentrasi 30 dan 40 % cendawan tidak tumbuh. Sehingga pada uji selanjutnya penelitian ini konsentrasi ekstrak jahe yang digunakan 30 %, dengan pertimbangan konsentrasi 30 % adalah konsentrasi terendah dan efektif menghambat pertumbuhan T. paradoxa.

Uji Formula Bahan Pelapis Lilin Dikombinasikan dengan Ekstrak Jahe pada Penyimpanan Buah Salak Pondoh

Hasil analisis uji lanjut Duncan dari berbagai parameter pengamatan pada uji formula pelapis lilin, ekstrak jahe, kombinasi ekstrak jahe, pelapisan lilin pada hari ke-9 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji Duncan mutu kadar air, susut bobot, kekerasan, TPT dan uji organoleptik buah salak pada penyimpanan hari ke-9

Perlakuan Kadar air (%) Susut bobot (%) Kekerasan (kgf) TPT (obrix) Organoleptik

Kontrol 82.15±0.10 a 28.19±0.75 b 0.53±0.15 a 19.9±0.85 b 3.25±0.05 a Pelapisan ilin 10% 84.63±0.96 b 25.09±1.66 a 2.16±0.19 b 18.8±0.92 ab 4.20±0.02 b Ekastrak jahe 30% 85.08 ±1.64 b 25.71±1.14 a 2.16±0.44 b 19.2 ±1.25 b 4.39±0.04 c Ekstrak jahe 30% & lilin 10% 85.68 ±0.18 b 23.96±0.96 a 2.23 ±0.22 b 17.2 ±0.68 ab 4.68±0.06 d

Keterangan: Angka –angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Kadar Air

Kombinasi ekstrak jahe 30 % dan pelilinan 10 % mampu mempertahankan kadar air dan menghambat proses pembusukan oleh cendawan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan ekstrak jahe yang dikombinasikan dengan pelilinan berpengaruh nyata pada penyimpanan hari ke-6, 9, 12 dan 15 (Lampiran 9). Berdasarkan uji lanjut Duncan, pada hari ke-9 kontrol berbeda nyata dari yang lain, sedangkan antara pelilinan 10 %, ekstrak jahe merah 30 %, dan perlakuan ekstrak jahe merah 30 % dikombinasikan dengan pelilinan 10 % tidak berbeda nyata.

Pelapisan ekstrak jahe 30 % dapat menghambat terjadinya kerusakan pada buah salak pondoh. Hal ini dikarenakan pelapis ekstrak jahe 30% efektif menekan aktivitas metabolisme seperti transpirasi dan respirasi. Pencelupan di dalam ekstrak jahe dapat menjaga kelembaban kulit buah salak pondoh dan dapat mencegah kehilangan air akibat transpirasi. Selain itu juga dapat menghambat pertumbuhan cendawan yang dapat memacu terjadinya kerusakan pada buah salak. Menurut Brecht (1995) adanya kerusakan sel dalam buah akan meningkatkan laju respirasi.

Pelapisan lilin menyebabkan transpirasi berjalan lambat, sehingga kadar air bebas yang terdapat di dalam buah maupun hasil respirasi dapat dipertahankan. Transpirasi menyebabkan buah kehilangan air sehingga berpengaruh terhadap kesegaran dan kerenyahan buah. Semakin kecil transpirasi maka buah akan terlihat semakin segar dan sebaliknya. Suhardi et al. (1997) menyatakan bahwa hilangnya air dalam buah salak karena proses transpirasi, sehingga mempengaruhi kualitas salak pondoh. Hasil pengujian kadar air buah salak Pondoh disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 14.

Gambar 14 Perubahan kadar air daging buah salak Pondoh pada suhu ruang (±28oC) selama 15 hari.

Pada hari ke-9 buah salak dengan semua perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kadar air. Peningkatan kadar air disebabkan oleh kegiatan respirasi yang menghasilkan CO2 dan H2O lebih dominan jika dibandingkan dengan

kegiatan transpirasi.

Buah salak yang mengalami pencelupan di dalam ekstrak jahe lebih segar jika dibandingkan dengan kontrol. Menurut Martoredjo (2009), suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penguapan yang cepat sehingga hasil tanaman menjadi cepat layu, berkerut-kerut dan mengering atau kesegaran buah berkurang.

75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 0 3 6 9 12 15 K ada r a ir (% )

Penyimpanan hari ke- Kontrol lilin 10% Ekstrak jahe 30%

Susut Bobot

Susut bobot merupakan parameter mutu buah salak Pondoh. Semakin tinggi susut bobot maka tingkat kesegaran buah tersebut semakin berkurang. Susut bobot buah salak Pondoh cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Perubahan susut bobot berdasarkan pengaruh masing masing perlakuan cenderung meningkat seperti di tunjukkan pada Gambar 15. Peningkatan susut bobot terjadi karena buah selama penyimpanan mengalami proses respirasi dan transpirasi. Transpirasi merupakan faktor dominan penyebab susut bobot, yaitu terjadi perubahan fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air ke lingkungan. Kehilangan air akibat transpirasi yaitu hilangnya uap air melalui proses respirasi. Pada proses respirasi senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel diubah menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O).

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak jahe dan pelilinan berbeda nyata pada penyimpanan hari ke- 3, 6, 9, 12 dan 15. Berdasarkan hasil uji lajut Duncan pada hari ke-9, ekstrak jahe 30 % dan pelilinan 10 % memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol. Kehilangan air dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan pelayuan, pengkriputan dan menyebabkan buah salak Pondoh mengalami perubahan bobot. Selain itu pemecahan senyawa senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana dengan berat molekul rendah yang menyebabkan bobot buah salak berkurang. Menurut Kader (1992) terjadinya susut bobot disebabkan hilangnya air dalam buah dan oleh respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Kehilangan

air berpengaruh langsung terhadap kehilangan kualitatif dan menyebabkan kerusakan tekstur, kandungan gizi dan kerusakan lainnya seperti pengerutan.

Komponen yang menyebabkan turunnya bobot salak adalah kadar air. Kombinasi ekstrak jahe 30 % dan pelilinan 10 % mampu menekan susut bobot. Hal ini disebabkan lapisan ekstrak jahe dan lilin berfungsi menutup stomata buah sehingga dapat menghambat laju respirasi dan transpirasi. Ekstrak jahe 30 % berperan dalam menghambat pertumbuhan T. paradoxa, sehingga kerusakan dapat diminimalkan dan susut bobot pun lebih rendah.

Gambar 15. Perubahan susut bobot salak Pondoh dengan berbagai perlakuan pelapisan pada suhu ruang (±28oC) selama 15 hari.

Menurut Pantastico (1986) pada umumnya peningkatan susut bobot disebabkan oleh transpirasi yang tinggi, karena pembukaan dan penutupan kulit menentukan jumlah kehilangan air yang mengakibatkan susut bobot. Pernyataan ini diperkuat oleh (Muchtadi 1992) yang menyatakan bahwa kehilangan bobot juga disebabkan oleh kehilangan air yang disebabkan oleh penguapan dan kehilangan karbon selama respirasi sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunnya mutu produk tersebut. Pada proses transpirasi dan respirasi air di bebaskan dalam bentuk uap air melalui stomata, lenti sel dan bagian jaringan tumbuhan lainnya yang berhubungan dengan sel epidermis. Kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya menurunkan susut bobot, tetapi juga menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan.

Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mutu salak Pondoh segar. Kekerasan sangat penting dalam menentukan kesegaran produk.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 3 6 9 12 15 S usut bobot (% )

Penyimpanan hari ke- Kontrol Lilin 10% Ekstrak jahe 30%

Gambar 16 menunjukkan pola perubahan kekerasan selama penyimpanan pada suhu ruang selama 15 hari.

Hasil analisi sidik ragam (Lampiran 14) menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak jahe 30 % dan pelilinan 10 % berpengaruh terhadap kekerasan pada penyimpanan hari ke-3, 6, 9, 12 dan 15. Dari uji lanjut Duncan pada hari ke-9 (Tabel 4) menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak jahe 30% dan lilin 10 % berbeda nyata terhadap kontrol dan memiliki nilai kekerasan tertinggi (2.23 kgf) bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini berarti kombinasi ekstrak jahe 30 % dan lilin 10 % mampu mempertahankan kekerasan buah salak pondoh.

Pelapisan ektreak jahe 30 % pada buah salak mampu menghambat pertumbuhan T. paradoxa dan memperkecil terjadinya kerusakan. Aktivitas cendawan ini dapat menyebabkan percepatan pelunakan buah karena terjadi proses pembusukan buah. Ekstrak jahe dapat mempertahan kadar air dan susut bobot pada buah salak pondoh sehingga kekerasan pun dapat dipertahankan. Menurut Seymour et al. (1993) kekerasan pada buah-buahan segar disebabkan oleh hilangnya tekanan turgor, perubahan pati dan degradasi dinding sel. Aplikasi pelapisan lilin 10 % akan memperlambat terlepasnya ikatan matriks pektin dengan selulosa pada dinding sel karena terbatasnya O2 internal yang akan

berpengaruh terhadap aktivitas enzim hidrolase. Oleh karena itu proses pelunakan pada pencelupan salak Pondoh dalam pelapis lilin 10 % cenderung lebih lambat dibandingkan kontrol.

Degradasi dinding sel terutama disebabkan oleh perubahan protopektin yang bersifat tidak larut menjadi pektin yang larut dalam air dan menipisnya dinding sel, difusi gula ke ruang intraseluler, hilangnya tekanan turgor dan perpindahan ion dari dinding sel. Pada zat-zat pektin terjadi dua proses selama pematangan buah yaitu depolimerisasi atau pemendekan rantai dan desterifikasi atau penghilangan gugus metil dari polimernya. Perubahan senyawa pektin dikatalis oleh enzim pektinmetilesterase (PME) dan poligalaturonase (PG) juga enzim pektin transeliminase. Enzim proteolitik yang mendegradasi dinding sel juga dihasilkan oleh mikroba patogen yang tumbuh selama penyimpanan (Pantastico, 1993).

Gambar 16. Perubahan rata-rata kekerasan salak Pondoh dengan berbagai jenis pelapis pada penyimpanan suhu ruang (±28oC) selama 15 hari

Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut dinyatakan dengan derajat brix sukrosa. Sukrosa memberikan rasa manis sehingga semakin tinggi nilai total padatan terlarut buah salak akan semakin manis. Total padatan terlarut cenderung berfluktuasi selama penyimpanan.

Hasil sidik ragam (Lampiran 17) menunjukkan perlakuan berpengaruh atau mampu menghambat peningkatan total padatan terlarut pada penyimpanan hari ke-9, 12 dan 15. Dari uji lanjut Duncan pada penyimpanan hari ke-9 (Tabel 4) menunjukkan kombinasi ekstrak jahe 30 % dan pelilinan 10 % berbeda dengan kontrol dan ektrak jahe 30 %, tetapi tidak berbeda dengan pelilinan 10%. Dengan demikian kombinasi ekstrak jahe 30 % dan pelilinan 10% mampu menghambat peningkatan total padatan terlarut. Perubahan total padatan terlarut karena hidrolisis pati yang terus berlangsung selama buah salak pondoh disimpan. Menurut Juanasri (2004) penghambatan peningkatan total padatan terlarut mengindikasikan bahwa proses perombakan pati didalam buah

Dokumen terkait