• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

Contoh Rendemen (%) Air (%) Kadar

Kadar Zat Terbang (%) Kadar Abu (%) Kadar Karbon Terikat (%) Daya Adsorb thd Iodium (mg/g) Daya Adsorb thd MB (mg/g) AB - 6,16 16,56 6,53 76,91 256 3,89 B1 79,04 1,59 10,90 6,86 82,24 446 18,70 B2 74,64 2,14 8,95 5,67 85,38 734 21,99 ATK - 7,27 23,69 7,34 68,97 466 23,26 T1 85,22 2,12 14,26 2,04 83,70 648 24,94 T2 81,33 1,62 13,78 3,22 83,00 760 49,63 SNI 06-3730-1995 tdk

dipersyaratkan max. 5 max. 25

max. 10 min. 65 min. 750 min. 120 Keterangan: AB = Arang bambu

B1 = Arang aktif bambu aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit B2 = Arang aktif bambu aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit ATK = Arang tempurung kelapa

T1 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit T2 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

Berdasarkan data pada Tabel 7, diketahui bahwa rendemen arang menjadi arang aktif, baik pada bambu maupun tempurung kelapa, menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi. Rendahnya rendemen pada pembuatan arang aktif disebabkan oleh senyawa karbon yang terbentuk dari hasil penguraian selulosa dan lignin mengalami reaksi pemurnian dengan uap air yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa yang melekat pada permukaan arang. Sejalan dengan meningkatnya suhu aktivasi, maka karbon yang bereaksi menjadi CO2 dan H2O juga semakin banyak dan sebaliknya C yang dihasilkan semakin sedikit, sehingga rendemen arang aktif yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

Kadar air mengalami penurunan setelah proses aktivasi. Akan tetapi pada arang aktif bambu, hasil aktivasi dengan suhu yang lebih tinggi memiliki kadar air yang lebih tinggi, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada arang aktif tempurung kelapa. Menurut Hendaway (2003), kadar air arang aktif dipengaruhi oleh sifat higroskopis arang aktif, jumlah uap air di udara, lama proses pendinginan,

penggilingan dan pengayakan karena preparasi sampel arang aktif dilakukan di ruang terbuka.

Kadar zat terbang arang mengalami penurunan setelah proses aktivasi dan menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi. Hal ini terjadi karena pada suhu tinggi, penguraian senyawa non karbon seperti CO2, CO, CH4 dan H2 dapat berlangsung sempurna (Kuriyama 1961 dalam Sudrajat et al., 2005).

Kadar abu pada arang bambu dan arang bambu yang telah diaktivasi tidak berbeda secara signifikan, sedangkan pada arang tempurung kelapa, kadar abu menurun setelah proses aktivasi. Kadar abu dalam arang aktif dapat mempengaruhi daya adsorb karena pori arang aktif akan terisi oleh kation-kation seperti K, Na, Ca dan Mg.

Kadar karbon terikat pada arang aktif lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Kadar karbon terikat sangat dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu. Semakin tinggi nilai kadar zat terbang dan abu, maka kadar karbon terikat semakin rendah. Nilai kadar karbon terikat berbanding lurus dengan daya adsorb arang aktif tersebut, sehingga semakin besar kadar karbon terikat, maka kemampuan arang aktif untuk mengadsorb gas atau larutan akan menjadi lebih besar pula (Sudrajat et al., 2005). Hal ini terlihat dari daya adsorb arang aktif terhadap iodium dan metilena biru.

Arang aktif memiliki daya adsorb terhadap iodium yang lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Daya adsorb arang bambu terhadap iodium yaitu 256 mg/g, sedangkan daya adsorb arang aktif bambu yaitu 446 mg/g pada suhu aktivasi 600oC dan 734 mg/g dengan suhu aktivasi 700oC. Daya adsorb arang tempurung kelapa terhadap iodium yaitu 466 mg/g, sedangkan daya adsorb arang aktif tempurung kelapa yaitu 648 mg/g pada suhu aktivasi 600oC dan 760 mg/g pada suhu aktivasi 700oC. Peningkatan daya adsorb ini memperlihatkan bahwa atom karbon yang membentuk kristalit heksagonal semakin banyak sehingga celah atau pori yang terbentuk di antara lapisan kristalit juga semakin besar. Daya adsorb arang aktif terhadap metilena biru lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Tingginya daya adsorb arang aktif terhadap metilena biru menunjukkan bahwa senyawa hidrokarbon yang terdapat pada permukaan arang yang diaktivasi telah banyak menjadi aktif dan ikatan antara hidrogen dan karbon terlepas dengan

sempurna, sehingga semakin luas permukaan yang aktif (Pari et al. 2006). Akan tetapi daya adsorb yang dihasilkan masih di bawah SNI, kecuali daya adsorb T2 terhadap iodium. Rendahnya daya adsorb terhadap iodium dan metilena biru menunjukkan bahwa perlakuan aktivasi terhadap bahan belum cukup untuk membuka pori-pori bahan. Daya adsorb arang aktif dapat ditingkatkan dengan meningkatkan suhu atau waktu aktivasi.

4. 2 Hasil Analisis Pupuk Lambat Tersedia

Kondisi optimum arang aktif dalam mengadsorb unsur hara belum diketahui, oleh karena itu dilakukan percobaan dengan mengkombinasikan konsentrasi larutan pupuk dan perbandingan arang dengan larutan pupuk. Pupuk bubuk kering yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan SEM untuk mengetahui topografi permukaan arang, arang aktif dan arang aktif yang telah diberi perlakuan perendaman. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2. Topografi Permukaan Arang Bambu (a), Arang Aktif Bambu (b), Arang Aktif Bambu+Cu (c), Arang Aktif Bambu+Fe (d), dan Arang Aktif Bambu+Zn (e) dengan pembesaran 1000x

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3. Topografi Permukaan Arang Tempurung Kelapa (a), Arang Aktif Tempurung Kelapa (b), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (c), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Fe (d) dan Arang Aktif Tempurung Kelapa+Zn (e) dengan pembesaran 1000x

Pemanasan bahan baku hingga suhu 500oC menyebabkan terdegradasinya komponen holoselulosa dan lignin yang menghasilkan produk gas (antara lain CO2, H2, CO, CH4 dan benzena), produk cair (tar, hidrokarbon dengan bobot molekul tinggi dan air) dan produk padatan berupa arang (Vigouroux, 2001 dalam Lempang, 2009). Proses karbonisasi menghasilkan lebih banyak karbon, akan tetapi pada arang masih terdapat senyawa hidrokarbon yang menutupi pori dan permukaan arang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(a) dan Gambar 3(a). Proses aktivasi menyebabkan penyusutan pada arang karena semakin banyak bahan volatil yang terlepas. Hal ini terlihat juga pada kadar zat terbang arang aktif yang lebih rendah dibandingkan arang (Tabel 7). Aktivasi menyebabkan terbentuknya mikropori baru dan kerusakan dinding pori mikro, sehingga diameternya menjadi bertambah besar. Gambar 2(b), 2(c), 2(d) dan 2(e) memperlihatkan bahwa pori-pori yang semula kosong pada arang aktif menjadi terisi setelah diberi perlakuan perendaman. Hasil yang sama ditemukan pada Gambar 3(b), 3(c), 3(d), dan 3(e), hanya saja ukuran pori pada arang aktif

tempurung kelapa terlihat relatif lebih kecil dibandingkan dengan arang aktif bambu.

Walaupun telah diketahui bahwa pori arang aktif telah terisi setelah diberi perlakuan perendaman, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui unsur yang mengisi arang akrif tersebut. Pengujian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan EDX. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Bambu (a), Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan CuSO4 (b) Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan FeSO4 (c), dan Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan ZnSO4 (d)

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa Cu, Fe dan Zn ditemukan pada arang aktif bambu yang telah direndam dengan larutan CuSO4, FeSO4, dan ZnSO4 yang kemudian dicuci dan dikeringkan. Analisis kualitatif juga dilakukan pada arang aktif tempurung kelapa dan arang aktif tempurung kelapa yang diberi

perlakuan perendaman. Gambar 5 menunjukkan bahwa Cu, Fe dan Zn ditemukan pada arang aktif tempurung kelapa yang telah direndam dengan larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa (a), Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan CuSO4 (b) Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan FeSO4 (c), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan ZnSO4 (d)

Setelah diketahui bahwa unsur Cu, Fe dan Zn ditemukan pada arang aktif yang telah diberi perlakuan perendaman, selanjutnya dilakukan pengamatan untuk mengetahui distribusi unsur-unsur tersebut di dalam arang aktif. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6 - 10.

= C = O = Si = Zn = C = O = Si = Fe = C = O = Cu

Gambar 6. Hasil Pengamatan Distribusi Cu pada Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam Larutan CuSO4

Gambar 7. Hasil Pengamatan Distribusi Fe pada Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam Larutan FeSO4

Gambar 8. Hasil Pengamatan Distribusi Zn pada Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam Larutan ZnSO4

= C = O = Fe = C = O = Zn = C = O = Cu

Gambar 9. Hasil Pengamatan Distribusi Cu pada Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam Larutan CuSO4

Gambar 10. Hasil Pengamatan Distribusi Fe pada Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam Larutan FeSO4

Gambar 11. Hasil Pengamatan Distribusi Zn pada Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam Larutan ZnSO4

Hasil pengamatan distribusi unsur Cu, Fe dan Zn menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut tersebar secara tidak merata pada permukaan arang aktif. Unsur-unsur tersebut tersembunyi di dalam pori arang aktif, sehingga ketika diamati, yang tampak di permukaan hanya sedikit dan terdapat di titik-titik tertentu saja.

Posisi unsur-unsur di dalam arang aktif dapat diketahui dengan menghitung lebar, tinggi dan jumlah lapisan aromatik melalui analisis dengan XRD. Analisis XRD dilakukan pada bahan baku, arang, arang aktif, dan arang aktif yang diberi perlakuan perendaman.

Difraktogram XRD pada bambu, arang dan arang aktif bambu disajikan pada Gambar 12, sedangkan difraktogram XRD tempurung kelapa, arang dan arang aktif tempurung kelapa disajikan pada Gambar 13.

Gambar 12. Difraktogram XRD pada Bambu (merah), Arang Bambu (biru), Arang Aktif Bambu (ungu)

Gambar 13. Difraktogram XRD pada Tempurung Kelapa (merah), Arang Tempurung Kelapa (biru), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa (ungu)

Berdasarkan Gambar 12 dan Gambar 13, dapat dilihat bahwa proses pengarangan telah mengubah struktur bahan. Komponen utama bambu dan tempurung kelapa terdiri dari lignin, selulosa dan hemiselulosa. Pada umumnya lignin dan hemiselulosa memiliki struktur amorf, sedangkan selulosa sendiri hanya memiliki sebagian struktur yang kristalin. Pada bahan baku, struktur kristalin berada pada struktur selulosa, sedangkan pada arang struktur kristalin terbentuk dari senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal.

Pengamatan dengan XRD juga dilakukan terhadap arang aktif yang telah diberi perlakuan perendaman. Difraktogram yang dihasilkan disajikan pada Gambar 14 dan Gambar 15. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mengetahui derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan (d), lebar (La), tinggi (Lc), dan jumlah (N) lapisan aromatik pada bahan baku, arang, arang aktif dan arang aktif yang telah diberi perlakuan. Hasil perhitungan dicantumkan pada Tabel 11.

Gambar 14. Difraktogram XRD pada Arang Aktif Bambu (merah), Arang Aktif Bambu+Cu (biru), Arang Aktif Bambu+Fe (ungu), dan Arang Aktif Bambu+Zn (hijau)

Gambar 15. Difraktogram XRD pada Arang Aktif Tempurung Kelapa (merah), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (biru), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Fe (ungu), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa+Zn (hijau)

Difraktogram XRD pada arang aktif dan arang aktif yang telah diberi perlakuan (Gambar 14 dan 15) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman arang

aktif di dalam larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4 tidak mengubah struktur karbon pada arang aktif. Akan tetapi, perubahan lain dapat diamati dari hasil perhitungan pada Tabel 8.

Tabel 8. Derajat Kristalinitas (X), Sudut Difraksi (θ), Jarak Antar Lapisan (d), Lebar (La), Tinggi (Lc), dan Jumlah (N) Lapisan Aromatik pada Bahan Baku, Arang, Arang Aktif dan Arang Aktif yang Telah Diberi Perlakuan Perendaman Contoh X (%) θ(002) (o) d (nm) θ (100) (o) D (nm) La (nm) Lc (nm) N B 26,33 22,50 0,3948 - - - - - AB 27,26 23,88 0,3723 44,75 0,2023 7,804 1,259 3,38 AAB 27,99 23,75 0,3743 43,75 0,2067 6,666 1,396 3,73 AAB+Cu 29,22 22,63 0,3925 44,00 0,2056 7,374 1,377 3,51 AAB+Fe 30,17 23,88 0,3723 44,00 0,2056 6,841 1,427 3,83 AAB+Zn 33,85 24,00 0,3704 44,00 0,2056 8,481 1,460 3,94 TK 26,04 22,50 0,3948 - - - - - ATK 27,98 24,00 0,3704 43,00 0,2101 9,308 1,338 3,61 AATK 35,46 24,13 0,3685 43,75 0,2067 6,999 1,412 3,83 AATK+Cu 38,56 22,63 0,3925 44,13 0,2050 8,019 1,472 3,75 AATK+Fe 37,82 22,50 0,3948 44,00 0,2056 6,523 1,525 3,25 AATK+Zn 38,99 23,88 0,3723 44,00 0,2056 7,784 1,446 3,89 Keterangan: B = Bambu AB = Arang Bambu AAB = Arang Aktif Bambu TK = Tempurung Kelapa ATK = Arang Tempurung Kelapa AATK = Arang Aktif Tempurung Kelapa

Derajat kristalinitas arang bambu maupun arang tempurung kelapa lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakunya. Pada arang bambu, perubahan terjadi karena adanya pergeseran intensitas sudut difraksi dari θ 22,50 menjadi θ 23,88 dan terbentuknya sudut baru di θ 44,75. Pada arang tempurung kelapa, perubahan terjadi karena adanya pergeseran intensitas sudut difraksi dari θ 22,50 menjadi

θ 24,00 dan terbentuknya sudut baru di θ 43,00. Pergeseran dan terbentuknya sudut difraksi baru tersebut menunjukkan bahwa struktur kristalin bahan baku berbeda dari arangnya.

Kristalinitas suatu bahan terinduksi dengan sejumlah cara, antara lain pendinginan leburan polimer, evaporasi larutan polimer atau pemanasan suatu polimer dalam kondisi hampa udara atau suatu atmosfer yang lembam (untuk

mencegah oksidasi) pada suhu tertentu (Stevens, 2007). Tabel 8 menunjukkan bahwa derajat kistalinitas arang aktif lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Proses aktivasi menyebabkan derajat kristalinitas meningkat dengan adanya penyusunan struktur kristalit dari arang ke arang aktif ke arah yang semakin teratur. Keteraturan tersebut terjadi karena adanya pergeseran pada stuktur kristalit yang ditunjukkan dengan penyempitan lebar lapisan aromatik dan peningkatan tinggi lapisan aromatik setelah arang diaktivasi.

Arang aktif yang telah diberi perlakuan memiliki derajat kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan arang aktif. Adapun perlakuan perendaman arang aktif bambu di dalam larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4 menambah lebar lapisan aromatik. Perlakuan perendaman arang aktif bambu di dalam FeSO4 dan ZnSO4 menambah tinggi lapisan aromatik tetapi tidak demikian dengan perendaman arang aktif bambu di dalam larutan CuSO4. Unsur Fe dan Zn yang ditambahkan pada arang aktif bambu berada pada bidang yang memotong sumbu a dan searah dengan sumbu b dan sumbu c, selain itu juga menempati bidang yang memotong sumbu c dan searah dengan sumbu a dan sumbu b, sedangkan Cu yang ditambahkan pada arang aktif bambu hanya menempati bidang yang memotong sumbu a dan searah dengan sumbu b dan sumbu c. Perlakuan perendaman arang aktif tempurung kelapa di dalam larutan CuSO4, FeSO4, dan ZnSO4 menambah tinggi lapisan aromatik, tetapi hanya perendaman arang aktif tempurung kelapa di dalam larutan CuSO4 dan ZnSO4 saja yang meningkatkan lebar lapisan aromatik. Unsur Cu dan Zn yang ditambahkan pada arang aktif tempurung kelapa berada pada bidang yang memotong sumbu a dan searah dengan sumbu b dan sumbu c, selain itu juga menempati bidang yang memotong sumbu c dan searah dengan sumbu a dan sumbu b, sedangkan Fe yang ditambahkan pada arang aktif tempurung kelapa hanya menempati bidang yang memotong sumbu c dan searah dengan sumbu a dan sumbu b. Hal ini menunjukkan bahwa Cu, Fe dan Zn yang dimasukkan berada di dalam lapisan aromatik, sehingga mempengaruhi lebar dan tinggi lapisan aromatik.

Selanjutnya dilakukan analisis kuantitatif arang aktif yang telah diberi perlakuan. Analisis dilakukan dengan metode pengabuan basah menggunakan

aqua regia. Hasil pengabuan kemudian diukur kadar Cu, Fe, dan Zn total dengan menggunakan AAS. Hasil analisis dicantumkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam Larutan CuSO4 Perlakuan (arang : larutan

(b/v)) Kadar air (%) Kadar abu (%) Cu total (ppm) B1 Tanpa perendaman 1,59 6,86 96 CuSO4 1N (1 : 3) 0,38 6,41 11.443 CuSO4 1N (1 : 5) 0,85 6,45 8.749 CuSO4 1N (1 : 7) 0,76 6,47 7.850 CuSO4 2N (1 : 3) 1,75 6,43 9.002 CuSO4 2N (1 : 5) 1,68 6,28 6.866 CuSO4 2N (1 : 7) 1,12 6,38 6.109 B2 Tanpa perendaman 2,14 5,67 104 CuSO4 1N (1 : 3) 0,80 6,59 9.501 CuSO4 1N (1 : 5) 0,93 6,80 8.530 CuSO4 1N (1 : 7) 0,82 6,79 6.845 CuSO4 2N (1 : 3) 1,61 6,91 8.541 CuSO4 2N (1 : 5) 1,06 6,57 6.293 CuSO4 2N (1 : 7) 1,65 6,32 5.951 T1 Tanpa perendaman 0,51 2,04 36 CuSO4 1N (1 : 3) 2,33 2,61 4.260 CuSO4 1N (1 : 5) 5,21 2,41 3.206 CuSO4 1N (1 : 7) 6,90 2,83 4.064 CuSO4 2N (1 : 3) 0,33 3,01 4.880 CuSO4 2N (1 : 5) 0,60 2,84 4.062 CuSO4 2N (1 : 7) 1,26 2,45 3.509 T2 Tanpa perendaman 4,49 3,22 91 CuSO4 1N (1 : 3) 4,10 2,95 7.435 CuSO4 1N (1 : 5) 0,85 3,01 7.741 CuSO4 1N (1 : 7) 1,11 3,29 10.775 CuSO4 2N (1 : 3) 0,36 3,32 3.558 CuSO4 2N (1 : 5) 0,45 3,02 5.513 CuSO4 2N (1 : 7) 0,41 3,17 5.968 Keterangan:

B1 = Arang aktif bambu aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit B2 = Arang aktif bambu aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

T1 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit T2 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

Pada B1 dan B2, kadar Cu total pada B1 dan B2 yang direndam di dalam larutan CuSO4 1N relatif lebih tinggi dibandingkan dengan B1 yang direndam di dalam larutan CuSO4 2N. Hal ini dikarenakan ukuran dan bentuk pori pada arang aktif bambu yang didominasi oleh makropori, sehingga walaupun jumlah Cu yang

ditambahkan lebih banyak, tetapi dapat terbawa keluar pori pada proses pencucian. Adsorbsi Cu oleh B1 dan B2 pada perbandingan 1 : 3 lebih tinggi dibandingkan dengan perbandingan 1 : 5, dan 1 : 7, hal ini dikarenakan walaupun jumlah Cu ditambahkan lebih banyak, namun konsentrasi arang aktif berbanding larutan menjadi semakin rendah, dengan kemampuan adsorb arang aktif yang terbatas, jumlah Cu yang diadsorb menjadi lebih sedikit karena di dalam larutan, Cu juga berikatan dengan molekul air.

Pada T1, kadar Cu total yang diadsorb relatif tidak berbeda, yaitu pada kisaran 3.206 – 4.880 ppm. Jumlah Cu yang diadsorb menunjukkan kapasitas arang aktif dalam mengadsorb Cu. Walaupun jumlah Cu yang ditambahkan lebih banyak, tetapi banyaknya Cu yang diadsorb tidak akan melebihi daya adsorbnya. Selain itu, diketahui juga bahwa pada T1, proses pencucian arang aktif setelah direndam tidak menyebabkan Cu di dalam arang aktif kembali keluar.

Pada T2, kadar Cu total pada T2 yang direndam larutan CuSO4 1N (7.435 – 10.775 ppm) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan T2 yang direndam dalam CuSO4 2N (3.558 – 5.968 ppm). Peningkatan jumlah Cu yang ditambahkan pada T2 ternyata menurunkan banyaknya Cu yang diadsorb arang aktif. Data ini memperlihatkan bahwa penambahan jumlah adsorbat tidak selalu meningkatkan jumlah adsorbat yang dapat diadsorb adsorben. Akan tetapi, berbeda dengan arang aktif bambu, pada arang aktif tempurung kelapa, penurunan perbandingan arang aktif dengan larutan mengakibatkan Cu yang diadsorb semakin banyak. Proses adsorbsi yang terjadi pada arang aktif terjadi dengan tahapan sebagai berikut:

1. Perpindahan massa adsorbat dari cairan ke permukaan butir arang aktif. 2. Difusi adsorbat dari permukaan butir ke dalam arang aktif melalui pori. 3. Adsorbsi zat terlarut pada dinding pori arang aktif.

Selain proses yang telah dijelaskan, diketahui juga bahwa arang aktif memiliki muatan net negatif di permukaannya, sehingga arang aktif dapat berikatan dengan kation yang berada di sekitarnya.

Berdasarkan data pada Tabel 9 diketahui bahwa secara umum, kadar Cu total dalam B1 (6.109 – 11.443 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar Cu dalam B2 (5.951 – 9.501 ppm), sedangkan kadar Cu dalam T2 (3.508 – 10.775

ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar Cu dalam T1 (3.206 – 4.880 ppm). Menurut data pada Tabel 7, daya adsorb B2 terhadap iodium (734 mg/g) lebih tinggi dibandingkan dengan B1 (446 mg/g), artinya B2 memiliki pori yang lebih banyak. Akan tetapi, karena arang aktif bambu didominasi oleh makropori, maka Cu2+ yang awalnya telah berhasil masuk ke dalam pori dapat hilang karena tercuci pada saat arang dibersihkan.

Pada arang aktif tempurung kelapa, daya adsorb T2 (760 mg/g) lebih tinggi daripada T1 (648 mg/g), sehingga Cu yang teradsorb lebih banyak. Kombinasi perlakuan yang optimal untuk masing-masing bahan baku yaitu perendaman B1 dalam CuSO4 1N (1 : 3) dengan kadar Cu total yaitu 11.443 ppm yang selanjutnya disebut sebagai pupuk C1 dan perendaman T2 dalam CuSO4 1N (1 : 7) dengan kadar Cu total 10.775 ppm yang selanjutnya disebut sebagai pupuk

C2.

Berdasarkan data yang diperoleh lebih dulu, dapat dikatakan bahwa konsentrasi larutan dan perbandingan arang aktif dengan larutan tidak bisa disamakan begitu saja karena kedua bahan baku memiliki karakter yang berbeda dalam mengadsorb kation yang ditambahkan. Beberapa sifat yang mempengaruhi adsorbsi arang aktif yaitu sifat fisik kimia adsorben seperti ukuran pori, kehalusan dan komposisi kimia permukaan arang aktif, sifat fisik kimia adsorbat seperti ukuran dan polaritas molekul, sifat fase cair seperti pH dan suhu serta lamanya proses adsorbsi berlangsung.

Pada percobaan ini dilakukan juga perendaman di dalam FeSO4 dan ZnSO4 yang memiliki ukuran molekul yang berbeda dengan CuSO4. Adapun radius atom Cu yaitu 1,32 Å, radius atom Fe yaitu 1,52 Å, dan radius atom Zn yaitu 1,22 Å. Percobaan perendaman arang aktif di dalam FeSO4 dan ZnSO4 dilakukan pada B1 dan T2 karena berdasarkan data pada Tabel 9, daya adsorb terhadap Cu pada kedua bahan lebih tinggi dibandingkan pada B2 dan T1. Hasil analisis arang aktif yang direndam dalam FeSO4 dan ZnSO4 disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam Larutan FeSO4 Perlakuan (arang : larutan

(b/v)) Kadar air (%) Kadar abu (%) Fe Total (ppm) B1 Tanpa perendaman 1,59 6,86 303 FeSO4 1N (1 : 3) 0,94 6,13 2.034 FeSO4 1N (1 : 5) 1,37 6,30 2.499 FeSO4 1N (1 : 7) 1,06 6,16 3.797 FeSO4 2N (1 : 3) 1,55 6,28 4.241 FeSO4 2N (1 : 5) 2,31 5,93 5.476 FeSO4 2N (1 : 7) 2,47 6,15 4.748 T2 Tanpa perendaman 4,49 3,22 294 FeSO4 1N (1 : 3) 1,68 2,54 1.266 FeSO4 1N (1 : 5) 1,69 2,34 5.448 FeSO4 1N (1 : 7) 1,85 2,40 4.775 FeSO4 2N (1 : 3) 1,98 2,65 6.581 FeSO4 2N (1 : 5) 1,80 3,20 7.611 FeSO4 2N (1 : 7) 2,03 3,22 7.051 Keterangan:

B1 = Arang aktif bambu aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit

T2 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pada kedua bahan baku, kadar Fe yang diadsorb arang aktif pada perendaman arang aktif di dalam larutan FeSO4 1N lebih tinggi dibandingkan perendaman arang aktif di dalam larutan FeSO4 2N. Selain itu, diketahui juga tidak terdapat pola yang tetap untuk menjelaskan hubungan perbandingan arang aktif dan larutan dengan kadar Fe yang diadsorb arang aktif.

Berdasarkan data pada Tabel 10, kombinasi perlakuan yang optimal untuk masing-masing bahan baku yaitu perendaman B1 dalam FeSO4 2N (1 : 5) dengan kadar Fe total yaitu 5.476 ppm yang selanjutnya disebut sebagai pupuk F1 dan perendaman T2 dalam FeSO4 2N (1 : 5) dengan kadar Fe total yaitu 7.611 ppm yang selanjutnya disebut sebagai pupuk F2. Jumlah Fe yang teradsorb arang aktif relatif lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan Cu, hal ini dikarenakan radius atom Fe berukuran lebih besar daripada atom Cu.

Tabel 11. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam larutan ZnSO4 Perlakuan (arang : larutan

(b/v)) Kadar air (%) Kadar abu (%) Zn total (ppm)

B1 Tanpa perendaman 1,59 6,86 23 ZnSO4 1N (1 : 3) 1,97 6,00 6.603 ZnSO4 1N (1 : 5) 1,74 5,94 4.648 ZnSO4 1N (1 : 7) 1,85 6,18 3.879 ZnSO4 2N (1 : 3) 2,36 6,09 4.290 ZnSO4 2N (1 : 5) 1,87 6,24 2.873 ZnSO4 2N (1 : 7) 2,14 6,15 2.856 T2 Tanpa perendaman 4,49 3,22 8 ZnSO4 1N (1 : 3) 1,96 2,60 6.343 ZnSO4 1N (1 : 5) 1,79 2,81 4.443 ZnSO4 1N (1 : 7) 1,60 2,96 2.638 ZnSO4 2N (1 : 3) 1,78 3,07 4.441 ZnSO4 2N (1 : 5) 1,93 2,60 2.205 ZnSO4 2N (1 : 7) 1,75 2,77 1.900 Keterangan:

B1 = Arang aktif bambu aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit

T2 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

Berdasarkan data pada Tabel 11, diketahui bahwa kadar Zn teradsorb arang aktif pada kedua bahan lebih tinggi pada perendaman arang aktif di dalam larutan ZnSO4 1N, dan kadar Zn yang diadsorb pada konsentrasi arang aktif yang lebih pekat (perbandingan 1 : 3) merupakan kadar Zn tertinggi dibandingkan dengan dua kombinasi perbandingan yang lain. Kombinasi perlakuan yang optimal untuk masing-masing bahan baku yaitu perendaman B1 dalam ZnSO4 1N (1 : 3) dengan kadar Zn total sebesar 6.603 ppm yang selanjutnya disebut sebagai pupuk Z1 dan perendaman T2 dalam ZnSO4 1N (1 : 3) dengan kadar Zn total sebesar 6.343 ppm yang selanjutnya disebut sebagai pupuk Z2. Jumlah Zn yang teradsorb arang aktif relatif lebih rendah dibandingkan dengan Cu, hal ini dikarenakan radius atom Zn berukuran lebih kecil daripada atom Cu sehingga walaupun atom Zn dapat diadsorb oleh arang aktif, tetapi juga dapat hilang pada saat proses pencucian.

Setelah diketahui berbagai karakteristik dari pupuk lambat tersedia yang

Dokumen terkait