• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses penepungan ikan lele dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu steaming dengan autoklaf, pengepresan, pengeringan dengan drum drier, dan penggilingan dengan willey mill (Ketaren 2008). Proses steaming dan pengepresan ikan lele menghasilkan limbah berupa cairan yang terdiri dari minyak, air, dan padatan lainnya. Menurut Kaban dan Daniel (2005) minyak ikan lele dapat dijadikan sebagai sumber asam lemak omega 6, oleh karena itu minyak yang menjadi bagian dari limbah penepungan ikan lele dipisahkan dan diproses untuk kemudian dimurnikan agar layak dikonsumsi. Namun, untuk mendapatkan minyak ikan lele dari limbah cair hasil penepungan tersebut diperlukan upaya pemisahan yang kemudian dikarakterisasi. Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan cara sederhana dengan menggunakan corong pemisah. Berikut dijelaskan mengenai proses pemisahan dan karakterisasi minyak kasar ikan lele.

Separasi dan karakterisasi minyak ikan lele sebelum pemurnian

Separasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah separasi menggunakan corong pemisah. Rendemen minyak yang diperoleh dari hasil separasi tersebut sebesar 2.9% dari keseluruhan berat ikan lele dumbo, minyak ini sudah tidak mengandung padatan. Jadi dari 200 kg ikan lele yang ditepungkan didapatkan rendemen minyak sebanyak 5.88 kg. Penyebab kecilnya nilai rendemen tersebut salah satunya adalah terbuangnya bagian minyak pada saat proses separasi. Karakteristik sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan

Sifat Fisik Jumlah

Titik cair (0C) 30.23

Viskositas (cP) 63.5

Kejernihan (NTU) 211

Warna Kuning

Aroma Sangat amis

Tabel 1 menunjukkan karakteristik sifat fisik minyak ikan lele yang belum dimurnikan. Titik cair minyak ikan lele yang belum dimurnikan adalah 30.23 0C, artinya pada suhu tersebut minyak kasar ikan lele berada dalam kondisi cair sempurna, karena pada suhu ruang di Bogor (270C) sebagian minyak ikan lele masih membeku dan tampak membentuk kabut. Titik cair yang tinggi

mengindikasikan banyaknya asam lemak dengan rantai panjang yang berada dalam minyak. Hal ini berkaitan dengan tingginya nilai viskositas (kekentalan) minyak yang memiliki nilai 63,5 cP. Semakin tinggi nilai viskositas suatu minyak, artinya semakin tinggi jumlah asam lemak dengan rantai panjang dalam minyak tersebut, terutama ikatan rangkap (Buckle et al. 2007).

Berdasarkan hasil analisis kromamometer, minyak kasar ikan lele memiliki warna kuning. Hasil organoleptik dengan 30 panelis menyatakan bahwa minyak ikan lele beraroma sangat amis. Karakteristik sifat kimia minyak ikan lele sebelum dimurnikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik sifat kimia minyak ikan lele sebelum dimurnikan

Sifat Kimia   Jumlah 

Asam lemak bebas (%)  0.05 Bilangan asam (mgKOH/100 gram)  0.06 Bilangan peroksida (mgO2/100 

gram)  0.21 Bilangan TBA (mg/kg)  0.68 Palmitat (C16:0) (%)  16.4 Stearat (C18:0) (%)  4.3 Oleat (C18:1) (%)  22.65 Linoleat (C18:2) (%)  17.79 Linolenat (C18:3) (%)  1.21 EPA (%)  0.57 DHA (%)  3.51 Vitamin E (IU)  9.15

Minyak ikan lele hasil separasi yang telah dianalisis menunjukkan bahwa jumlah asam lemak bebasnya adalah 0.05%, bilangan asam 0.06 mgKOH per 100 gram sampel, bilangan peroksida 0.21 mgO2 per 100 gram sampel, dan bilangan TBA sebesar 0.68 mg/kg. Artinya, minyak ini masih memiliki kualitas yang baik karena derajat oksidasinya masih rendah. Parameter-parameter tersebut menunjukkan tingkat kerusakan suatu minyak, semakin besar nilainya maka tingkat kerusakannya pun akan semakin besar (Ketaren 2008).

Hasil analisis asam lemak minyak ikan lele menunjukkan bahwa jumlah asam lemak jenuh yang dominan adalah asam palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0), yaitu sebesar 16.4% dan 4.3%, sedangkan asam lemak tak jenuhnya ditunjukkan oleh oleat (C18:1) dan linoleat (C18:2) sebesar 22.65% dan 17.79%. Minyak ini juga mengandung komponen asam lemak omega-3 linolenat (C18:3), EPA (C20:5), dan DHA (22:6) meskipun dalam jumlah sangat kecil yaitu 1.21%, 0.57%, dan 3.51%.

Hasil analisis vitamin E, menunjukkan nilai sebesar 9.15 IU per 100 gram minyak. Vitamin E lebih banyak terdapat pada minyak dari biji tumbuhan, seperti minyak biji bunga matahari, minyak jagung, dan lain lain. Nilai vitamin E pada minyak ikan lele hasil separasi menunjukkan angka yang sangat kecil, bahkan pada minyak ikan sarden, dan minyak hati ikan kod berdasarkan data USDA (2010) tidak mengandung vitamin E.

Pemurnian Minyak Ikan Lele

Proses pemurnian minyak ikan sama dengan proses pemurnian yang dilakukan pada minyak kelapa sawit atau minyak ikan lainnya. Proses tersebut terdiri dari tiga tahapan, yaitu netralisasi yang bertujuan untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak, pemucatan yang bertujuan untuk memudarkan warna minyak, dan deodorisasi yang bertujuan untuk menghilangkan aroma yang tidak diinginkan pada minyak (Ketaren 2008). Pada penelitian ini tidak dilakukan proses netralisasi, karena berdasarkan hasil analisis, kadar asam lemak bebas yang terdapat pada minyak kasar hasil separasi sangat kecil, yaitu sebesar 0.05%. Menurut Ketaren (2008), kadar asam lemak bebas hasil netralisasi adalah 0.1-0.2%. Jadi, tidak perlu dilakukan netralisasi jika nilai asam lemak bebas minyak berada di bawah 0.1%.

Pemucatan pada penelitian ini menggunakan bentonit teknis dengan konsentrasi 2%, kemudian dipanaskan hingga suhunya mencapai 1000C dan disaring menggunakan kertas saring Whatman 42. Tujuan pemucatan adalah untuk menghilangkan warna minyak yang tidak diinginkan agar warnanya menjadi lebih baik. Bentonit atau fuller earth berfungsi sebagai adsorben yang melalui proses fisika dan kimia dapat memudarkan atau memucatkan warna suatu substrat. Proses fisika melibatkan proses oksidasi, reduksi atau adsorbsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama pemucatan (bleaching). Proses kimia yang terjadi yaitu kemampuan mengubah bagian berwarna molekul minyak untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Yogaswara 2005). Proses pemucatan dapat mengubah warna minyak kuning pekat menjadi kuning jernih yang lebih disukai oleh panelis.

Deodorisasi dilakukan dengan memanaskan minyak dalam kondisi vakum pada tekanan 45 mmHg hingga suhu 1200C selama satu jam. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan aroma amis minyak ikan lele. Deodorisasi dapat menurunkan derajat aroma minyak yang awalnya sangat beraroma amis menjadi

agak aroma amis. Proses deodorisasi yang telah dilakukan belum berhasil menghilangkan aroma amis minyak hingga 100% sehingga masih memerlukan upaya untuk menghilangkan aroma minyak tersebut. Perbedaan sifat fisik minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbedaan sifat fisik minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian

Sifat Fisik Sebelum pemurnian Setelah pemurnian Titik cair (0C) 30.23 30.43 Viskositas (cP) 63.5 64.25 Kejernihan (NTU) 211 2.32

Warna kuning Kuning

Aroma Sangat

amis Agak amis

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum sifat fisik minyak ikan lele sebelum dimurnikan dan setelah dimurnikan tidak berbeda jauh. Perbedaan kedua minyak tersebut hanya terletak pada parameter kejernihan yang awalnya bernilai 211 NTU sebelum dimurnikan menjadi 2.32 NTU setelah dimurnikan. Hal ini disebabkan oleh proses pemurnian, terutama pada proses pemucatan (bleaching) partikel-partikel yang menjadi pengotor minyak dihilangkan melalui proses penyaringan dengan penggunaan bentonit sebagai pemucat (Potter & Hotchkiss 1995). Bentonit mempunyai sifat mudah menyerap air sehingga air yang dapat menyebabkan kekeruhan pada minyak ikan lele dapat terserap, dan minyak menjadi jernih (Haryati, Rahmawati, Sari 2006). Selain itu, bentonit juga dapat menyerap logam yang terdapat dalam minyak (Chergrouche & Bensmaili 2002). Dengan berkurangnya logam dalam minyak, maka minyak menjadi lebih jernih, seperti yang yang dijelaskan oleh Rossi et al. (2003) terhadap sampel minyak cengkeh.

Perbedaan lainnya terletak pada aroma. Minyak yang belum dimurnikan memiliki aroma yang sangat amis, namun setelah dimurnikan minyak ikan lele menjadi beraroma agak amis. Panelis memberikan nilai 3 (skala 1-9) untuk minyak yang belum dimurnikan dan memberikan nilai 4 (skala 1-9) untuk minyak yang telah dimurnikan. Proses deodorisasi dapat mengurangi aroma pada minyak ikan lele, karena deodorisasi merupakan proses pemanasan dengan kondisi vakum yang dapat menghilangkan zat volatil pada minyak, salah satunya adalah aroma (Ketaren 2008).

Proses pemurnian juga dapat mengubah sifat kimia minyak ikan lele hasil separasi limbah penepungan. Perubahan tersebut diantaranya ditunjukkan

oleh penurunan angka asam lemak bebas, bilangan asam, dan bilangan TBA, sedangkan bilangan peroksida menunjukkan peningkatan. Perbedaan sifat kimia minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian disajikan pada Tabel 4:

Tabel 4 Perbedaan sifat kimia minyak ikan lele sebelum dan setelah pemurnian

Sifat Kimia Sebelum

pemurnian

Setelah pemurnian

Asam lemak bebas (%) 0.05 0.03

Bilangan asam (mgKOH/100 gram) 0.06 0.04

Bilangan peroksida (mgO2/100

gram) 0.21 1.29 Bilangan TBA (mg/kg) 0.68 0.30 Palmitat (C16:0) (%) 16.40 15.97 Stearat (C18:0) (%) 4.3 4.3 Oleat (C18:1) (%) 22.65 22.46 Linoleat (C18:2) (%) 17.79 17.72 Linolenat (C18:3) (%) 1.21 1.09 EPA (%) 0.57 0.43 DHA (%) 3.51 2.56 Vitamin E (IU) 9.15 8.15

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa asam lemak bebas sebelum pemurnian sebesar 0.05%, turun menjadi 0.03% setelah pemurnian; bilangan asam sebelum pemurnian sebesar 0.06 mgKOH/100 gram, turun menjadi 0.04 mgKOH/100 gram setelah pemurnian; bilangan TBA sebelum pemurnian 0.68 mg/kg, turun menjadi 0.30 mg/kg setelah pemurnian. Proses pemucatan maupun deodorisasi dapat menurunkan ketiga nilai indikator oksidasi tersebut, akan tetapi kedua proses ini dapat meningkatkan bilangan peroksida yang awalnya 0.21 mgO2/100 gram menjadi 1.29 mgO2/100 gram. Hal ini karena bilangan peroksida akan meningkat karena perlakuan panas pada saat pemurnian baik pada proses pemucatan maupun proses deodorisasi (Potter & Hotchkiss 1995).

Proses pemurnian juga dapat menurunkan nilai asam lemak dan vitamin E meskipun perbedaan tersebut tidak berarti. Asam lemak palmitat (C16:0) sebelum pemurnian sebesar 16,4%, turun menjadi 15.97%; Asam stearat (C18:0) sebelum dan setelah pemurnian nilainya tidak berubah yakni 4.3%; Asam lemak oleat (C18:1) sebelum pemurnian sebesar 22.65%, turun menjadi 22.46%; asam lemak linoleat (C18:2) sebelum pemurnian sebesar 17.79%, turun menjadi 17.72%; asam lemak linolenat (C18:3) sebelum pemurnian 3.51%, turun menjadi 2.56%. Penurunan tersebut disebabkan oleh perlakuan panas baik pada saat pemucatan maupun deodorisasi. Asam lemak akan rusak oleh oksidasi yang terjadi pada minyak (Ketaren 2008). Begitupun dengan nilai vitamin E, sebelum

pemurnian vitamin E pada sampel minyak ikan lele sebesar 9.15 IU per 100 gram, turun menjadi 8.15 IU per 100 gram sampel.

Pengaruh Penambahan Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang dapat menghambat atau memperlambat laju oksidasi dari bahan yang mudah teroksidasi. Penggunaan antioksidan dalam bahan pangan harus dibatasi, sesuai dengan aturan yang ditetapkan (Ketaren 2008). Pembatasan penggunaan ini terutama ditujukan pada antioksidan sintetis seperti BHT (Butylated Hidroxytoluene).

Penambahan antioksidan pada proses pemurnian bertujuan untuk melindungi minyak dari proses oksidasi. Tujuan lainnya adalah untuk menekan jumlah kerusakan zat gizi yang diakibatkan oleh proses pemurnian, baik proses pemucatan maupun deodorisasi. Hasil pengamatan terhadap sifat fisik, sifat kimia, dan sifat organoleptik minyak ikan lele hasil pemurnian diuraikan sebagai berikut:

Sifat Fisik Titik cair

Titik cair merupakan saat dimana minyak mulai mencair, tetapi karena minyak merupakan campuran trigliserida, titik cairnya tidak tepat. Titik cair kristal- kristal suatu lemak dapat berbeda-beda berdasarkan dua mekanisme utama, yaitu karena heterogenitas kristal-kristal dan bentuk polimorfik yang berbeda- beda. Titik cair minyak dan lemak ditentukan oleh beberapa faktor. Makin pendek rantai asam lemak, makin rendah titik cair trigliserida itu. Cara-cara penyebaran asam-asam lemak juga mempengaruhi titik cairnya (Buckle et al. 2007). Histogram titik cair minyak ikan lele disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Histogram data titik cair minyak ikan lele

Histogram pada Gambar 3 menunjukkan bahwa minyak ikan hasil pemurnian tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol) memiliki titik cair sebesar 30.430C. Minyak yang dimurnikan dengan penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan (perlakuan 1) memiliki titik cair yang lebih tinggi yaitu sebesar 30.930C, sedangkan minyak yang dimurnikan dengan penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan memiliki titik cair paling rendah (29.980C).

Berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap titik cair minyak (Lampiran 8). Hal ini diduga karena proses pemurnian minyak ikan lele tidak memutus asam lemak berantai panjang secara berarti. Selain itu, minyak ikan lele juga mengandung vitamin E yang dapat berfungsi sebagai antioksidan dan menjaga ikatan rangkap asam lemak.

Viskositas

Viskositas minyak dan lemak cair biasanya bertambah dengan bertambah panjangnya rantai karbon dan berkurang dengan naiknya suhu. Minyak kastor jauh lebih kental daripada sebagian minyak lainnya karena adanya gugus hidroksil pada salah satu dari komponen asam lemak, asam ricinoleic (Buckle et al. 2007).

Viskositas dalam cairan ditimbulkan oleh gesekan antara lapisan-lapisan dalam cairan, sehingga semakin besar gesekan yang terjadi maka viskositasnya semakin besar, begitu juga jika gesekan yang terjadi lebih kecil, maka viskositasnya juga kecil (Sutiah, Firdausi, Wahyu 2008). Pengukuran viskositas pada penelitian ini dilakukan pada suhu ruang menggunakan viskometer

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

30.43 30.93 29.98 Titik   Cair   ( 0 C)  

Brookfield RVT dengan ukuran spindel 1. Histogram data viskositas minyak ikan lele disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Histogram data viskositas minyak ikan lele

Gambar 4 menunjukkan bahwa viskositas minyak ikan lele setelah dimurnikan tanpa penambahan BHT (kontrol) sebesar 65.5 cP, minyak dengan penambahan BHT setelah proses pemucatan (perlakuan 2) yang paling rendah, yaitu sebesar 64.5 cP. Nilai viskositas minyak ikan lele dumbo pada perlakuan 1 dengan penambahan BHT sebelum pemucatan memiliki nilai yang paling tinggi, yaitu sebesar 67 cP. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai viskositas (Lampiran 9). Hal ini diduga karena minyak ikan lele mengandung vitamin E yang dapat berperan sebagai antioksidan, sehingga vitamin E dapat menghambat terputusnya ikatan rangkap asam lemak dalam minyak tersebut. Selain itu, baik proses pemucatan maupun proses deodorisasi dilakukan dalam kondisi vakum sehingga dapat mengurangi kontak antara minyak ikan lele dengan oksigen di udara yang dapat menyebabkan terjadinya oksidasi.

Nilai viskositas minyak ikan lele dumbo hasil penelitian Novitasari (2007) adalah sebesar 4.11 cP, dan viskositas minyak ikan gurame hasil penelitian Kholidah (2008) adalah sebesar 21.89 cP. Artinya, minyak kasar hasil separasi limbah penepungan ikan lele dumbo pada penelitian ini memiliki nilai yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah perbedaan teknik ekstraksi, perbedaan geografis tempat budidaya ikan lele, dan lain-lain.

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

65.5 67 64.5 Viskositas   (cP)  

Kejernihan

Kejernihan dianalisis menggunakan turbidimeter. Kejernihan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas minyak, semakin jernih suatu minyak maka akan semakin baik kualitasnya. Histogram hasil analisis kejernihan minyak ikan lele disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram data hasil analisis kejernihan minyak ikan lele

Rata-rata hasil analisis kejernihan minyak menunjukkan bahwa minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT) menunjukkan angka kejernihan sebesar 2.3 NTU; minyak pada perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan) sebesar 3.4 NTU; dan minyak pada perlakuan 2 (penambahan BHT setelah proses pemucatan) sebesar 2.6 NTU. Berdasarkan sidik ragam, ternyata perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p=0.05) terhadap perubahan kejernihan minyak ikan lele (Lampiran 10). Hal ini diduga kerena ketiga minyak tersebut dipucatkan menggunakan bentonit sebagai bahan pemucat dengan konsentrasi 2%.

Warna

Warna memegang peranan penting bagi kebanyakan makanan. Bersama-sama dengan aroma dan rasa, warna sangat berpengaruh terhadap penerimaan makanan dan minuman oleh konsumen. Selain itu, warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia makanan, seperti pencokelatan dan karamelisasi.

Warna suatu bahan dapat diukur intensitasnya dengan menggunakan spektrofotometer, lovibond tintometer, atau dengan kromamometer. Pada penelitian ini digunakan kromamometer sebagai alat pengukur warna minyak.

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

2.3 3.4 2.6 Ke jernina g n   (N T U )  

Alat ini berdasarkan sistem Hunter yang menggunakan tiga dimensi L, a, b (Ameny & Wilason 1997). Dalam sistem ini ada tiga parameter yang terukur, yaitu hue, value, dan chroma. Hue0 menyatakan panjang gelombang dominan dari suatu warna, value mengGambarkan gelap terang warna tanpa memperhatikan panjang gelombangnya, sedangkan chroma mengGambarkan ukuran intensitas sinar dominan yang dipantulkan (Indriani 2003). Histogram data hasil pengukuran warna minyak ikan lele disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Histogram data hasil pengukuran warna minyak ikan lele

Data hasil pengukuran dengan kromamometer diperoleh rata-rata nilai L sebesar 63.8 untuk minyak tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol) yaitu; 62.8 untuk minyak hasil pemurnian dengan penambahan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1); dan 64.0 untuk minyak hasil pemucatan dengan penambahan BHT setelah pemucatan (perlakuan 2). Semakin tinggi nilai L (lightness) suatu bahan, menandakan bahwa bahan tersebut semakin cerah (nilai maksimum L=100). Rata-rata nilai chromatocity adalah 16.8 untuk minyak tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol); 18.2 untuk minyak hasil pemurnian dengan penambahan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1); dan 16.2 untuk minyak hasil pemucatan dengan penambahan BHT setelah pemucatan. Rata- rata derajat hue0 adalah 110.2 untuk minyak tanpa penambahan antioksidan BHT (kontrol); 107.6 untuk minyak hasil pemurnian dengan penambahan BHT sebelum pemucatan (perlakuan 1); dan 108.9 untuk minyak hasil pemucatan dengan penambahan BHT setelah pemucatan (perlakuan 2).

Berdasarkan ketiga parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga minyak ikan memiliki warna yang sama, yaitu kuning. Hasil sidik ragam juga

Lightness Chromatocity hue

63.8 16.8 110.2 62.8 18.2 107.6 64.0 16.2 108.9

menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap warna minyak ikan (Lampiran 11).

Sifat kimia

Asam Lemak Bebas (%FFA)

Jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak merupakan salah satu indikator kualitas minyak. Nilai FFA yang tinggi menunjukkan bahwa aktivitas oksidasi pada minyak semakin tinggi, sehingga kerusakan minyak semakin tinggi (Ketaren 2008). Histogram data persentase asam lemak bebas minyak ikan lele disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram data persentase asam lemak bebas minyak ikan lele Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas pada kontrol (tanpa penambahan BHT) sebesar 0.03%; kadar asam lemak bebas pada minyak dengan perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan) adalah sebesar 0.05%; kadar asam lemak bebas pada minyak dengan perlakuan 2 (penambahan BHT setelah pemucatan) adalah sebesar 0.01%. Berdasarkan sidik ragam perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) tehadap kadar asam lemak bebas minyak ikan lele (Lampiran 11). Hal ini diduga karena persentase FFA pada minyak kasarnya yang rendah, yaitu hanya sebesar 0.05% sehingga pada proses pemurnian tidak terjadi perubahan jumlah FFA yang nyata.

Bilangan asam

Bilangan asam merupakan salah satu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kualitas minyak atau lemak, analisis bilangan asam juga dapat dilakukan untuk pengujian minyak atau lemak yang berasal dari hasil produk

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

0.03

0.04

0.01

FFA

ekstraksi (Potter&Hotchkiss 1995). Histogram data bilangan asam minyak ikan lele disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Histogram data bilangan asam minyak ikan lele

Histogram pada Gambar 8 menunjukkan bahwa bilangan asam pada minyak kontrol (tanpa penambahan BHT) adalah sebesar 0.04 mgKOH per 100 gram sampel; bilangan asam pada minyak perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan) sebesar 0.06 mgKOH per 100 gram sampel; bilangan asam pada perlakuan 2 (penambahan antioksidan BHT setelah pemucatan) sebesar 0.03 mgKOH per 100 gram sampel. Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan penambahan antioksidan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap bilangan asam minyak ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada penelitian ini (Lampiran 13). Hal ini karena bilangan asam pada minyak kasar sudah termasuk kecil sehingga penurunan bilangan asam setelah pemurnian sangat kecil.

Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida (Ketaren 2008). Bilangan peroksida hasil analisis pada minyak kasar menunjukkan angka yang kecil, yakni sebesar 0,4 mgO2 per 100 gram sampel. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas minyak berdasarkan bilangan peroksida dapat dikatakan masih baik karena belum terjadi oksidasi yang menyebabkan bilangan peroksida tinggi (Abdillah 2008). Kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan beraroma tengik (Winarno 2007).

Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

0.04 0.06 0.03 Bil.   Asam   (mgKOH/100g  

Histogram data jumlah bilangan peroksida minyak ikan lele disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram data jumlah bilangan peroksida minyak ikan lele Gambar 9 menunjukkan bahwa bilangan peroksida minyak ikan lele kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT) memiliki nilai sebesar 1.29 mgO2 per 100 gram. Minyak ikan lele pada perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum proses pemucatan) menunjukkan angka yang lebih rendah dari kontrol, yaitu sebesar 1.17 mgO2 per 100 gram. Minyak ikan lele pada perlakuan 2 (penambahan BHT setelah proses pemucatan) menunjukkan angka yang paling rendah, yaitu sebesar 0.31 mgO2 per 100 gram.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap bilangan peroksida minyak ikan lele (Lampiran 14). Hal ini diduga karena kualitas minyak ikan lele sebelum dimurnikan masih baik sehingga proses pemurnian dan penambahan antioksidan tidak berpengaruh secara signifikan.

Bilangan TBA

Analisis TBA merupakan analisis yang spesifik untuk hasil oksidasi asam lemak tidak jenuh. Asam 2-tiobarbiturat dapat bereaksi dengan malonaldehida, yang merupakan produk oksidasi lanjut minyak, sehingga menghasilkan warna merah (Tokur et al. 2006). Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehida dan absorbansi dapat ditentukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm. Makin besar angka TBA maka minyak semakin tengik (Sudarmadji et al. 1989). Bilangan TBA biasa digunakan untuk mengetahui perubahan akibat oksidasi dalam lemak dan

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

1.28 1.17 0.31 Bil. Peroksid a (m g O2 /100

minyak yang megandung asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak linoleat (C18:2) (Pokorny & Dieffenbacher 1989). Batas maksimum kadar TBA untuk hasil peternakan dan perikanan yaitu 1-2 mg malonaldehida per kilogram (Chen et al. 1996). Histogram data bilangan TBA minyak ikan lele disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Histogram data bilangan TBA minyak ikan lele

Bilangan TBA pada minyak kontrol (tanpa penambahan antioksidan BHT) menunjukkan angka yang paling rendah, yaitu sebesar 0.30 mg/kg. Sampel pada perlakuan 1 (penambahan antioksidan BHT sebelum pemucatan) menunjukkan angka yang paling tinggi yaitu 1.07 mg/kg, sedangkan angka TBA untuk sampel pada perlakuan 2 (penambahan antioksidan BHT setelah proses pemucatan) sebesar 1.00 mg/kg. Namun, berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan penambahan antioksidan tidak berpengaruh secara signifikan (p>0.05) terhadap bilangan TBA (Lampiran 15). Hal ini diduga terkait dengan peran antioksidan alami (vitamin E) yang terdapat dalam minyak ikan lele tersebut, sehingga ikatan rangkap rantai asam lemak pada minyak tersebut dapat dipertahankan.

Asam lemak

Asam lemak bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Posisi ikatan ganda pada asam lemak juga menentukan daya reaksinya. Semakin dekat dengan ujung, ikatan ganda semakin mudah bereaksi. Karena itu, asam lemak Omega-3 dan Omega-6 (asam lemak esensial) lebih bernilai gizi dibandingkan dengan asam lemak

kontrol perlakuan 1 perlakuan 2

0.30 1.07 1.00 Bil.   TBA   (m g /k g )  

lainnya. Berikut hasil analisis asam lemak dominan yang terkandung dalam

Dokumen terkait