• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum

Penelitian dilaksanakan di lokasi dengan ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Suhu di dalam rumah kaca berkisar antara 12-37 0C dengan kelembaban 39.5-96%. Perbedaan suhu maupun kelembaban pada siang hari dengan malam hari cukup signifikan. Namun, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi pertumbuhan dari tanaman mawar mini karena mawar mini dapat tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi dengan perbedaan suhu yang memang signifikan.

Tanaman mawar merupakan tanaman yang mudah diperbanyak dengan setek. Daya tumbuh mawar yang disetek pada minggu kedua dan kelima percobaan mencapai 70% dan 60%. Tanaman mawar mulai mengeluarkan akar pada minggu pertama setelah setek, mengeluarkan tunas pada minggu kedua dan menghasilkan bunga pada minggu ketujuh.

(a) (b)

Gambar 1. Setek Mawar Mini di Lokasi Penelitian Umur 2 MST (a); Setek Mawar Mini Umur 17 MST (b).

Penelitian dilakukan di dalam rumah kaca. Meskipun demikian, tanaman tidak terhindar dari serangan hama maupun penyakit. Hal tersebut karena di dalam rumah kaca juga terdapat induk dari setek dan tanaman mawar mini lain yang berbeda kultivar. Hama maupun penyakit yang terdapat pada tanaman induk dapat dengan mudah menyerang. Hama yang menyerang adalah kutu daun, tungau, thrips, ulat grayak, kumbang dan laba-laba.

Pada saat pertengahan penelitian curah hujan cukup tinggi dan suasana di dalam rumah kaca pun cukup lembab. Hal tersebut mengakibatkan tanaman mawar terserang penyakit embun tepung yang disebabkan oleh cendawan Oidium sp. Penyebaran penyakit tersebut relatif sangat cepat yang menyebabkan rontoknya tunas-tunas muda, bahkan menimbulkan kematian setek. Pada beberapa perlakuan yang seluruh seteknya mati dilakukan penyulaman, begitu juga pada perlakuan-perlakuan yang jumlah seteknya tidak cukup untuk memenuhi pengamatan selanjutnya. Penyulaman dilakukan pada minggu ketiga setelah tanam.

Pupuk yang diberikan selama kegiatan pemeliharaan adalah pupuk NPK mutiara (25:7:7), dilanjutkan dengan NPK mutiara (16:16:16) dan pupuk gandasil-B pada saat tanaman sudah berbunga. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung setiap fase pertumbuhan dari tanaman.

Pada saat tanaman berumur 4 minggu setelah tanam (MST), tanaman dipindahkan ke pot. Media yang digunakan adalah arang sekam, kotoran kuda dan pasir malang (2:1:1). Setelah tanaman dipindahkan ke pot pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Pengamatan berakhir setelah 21 minggu setelah tanam (MST).

Peubah yang diamati selama penelitian berlangsung yaitu waktu munculnya akar, jumlah akar, panjang akar, persentase setek hidup, panjang tunas, jumlah bunga, bobot kering akar dan bobot basah akar. Seluruh data yang diperoleh diuji dengan F-Hitung.

Tabel 2. Rekapitulasi Sidik Ragam Setek Mawar Mini (Rosa hybrida L.) pada Berbagai Peubah Pengamatan

Peubah Umur

(MST) IBA NAA IBA*NAA KK (%) Respon

Waktu munculnya akar 1-2 ** tn tn 31.80 K**

Jumlah akar 2 * tn tn 47.87 L** 3 tn tn tn 43.63 tn 4 tn tn tn 38.79 tn Panjang akar 2 ** tn tn 49.28 L** 3 tn tn tn 45.13 tn 4 tn tn tn 45.12 tn Persentase hidup 2 tn tn tn 34.01 tn 5 tn * tn 42.68 L** Panjang tunas 5 tn tn * 26.22 tn Jumlah bunga 7-20 tn tn tn 31.24 tn

Bobot basah akar 21 tn tn tn 58.51 tn

Bobot kering akar 21 tn tn tn 44.84 tn

Keterangan : * = Berbeda nyata pada taraf 5%

** = Sangat berbeda nyata pada taraf 1% tn = Tidak berbeda nyata

L = Linier K = Kuadratik

Seluruh data yang berbeda nyata kemudian diuji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.

Waktu Munculnya Akar

Pengamatan waktu munculnya akar dilakukan setiap hari setelah 7 hari setelah tanam (HST), selama 8 hari dan pada saat tersebut setek dari semua perlakuan telah berakar. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa IBA berpengaruh sangat nyata terhadap waktu munculnya akar yang ditunjukkan dengan respon kuadratik yaitu dengan persamaan Y = (3 × 10-5)x2 – 0.016x + 12.526 dan nilai R² = 0.8778. Waktu munculnya akar dengan nilai rataan terkecil menunjukkan perlakuan yang paling cepat mengeluarkan akar, sebaliknya waktu munculnya akar dengan nilai rataan terbesar menunjukkan perlakuan yang paling lama mengeluarkan akar.

Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi IBA terhadap Waktu Munculnya Akar

Perlakuan IBA 200 ppm menunjukkan waktu munculnya akar yang paling cepat yaitu selama 10.2 hari dan perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) menunjukkan waktu munculnya akar yang paling lama yaitu selama 12.4 hari. IBA berpengaruh terhadap waktu inisiasi akar dikarenakan sifat dari IBA yang tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah, berlangsung lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya (Weaver, 1972). y = (3 ×10-5)x2- 0,016x + 12,526 R² = 0,8778 0 2 4 6 8 10 12 14 0 100 200 300 400 W a ktu m un cul nya a ka r ( ha ri) Konsentrasi IBA (ppm) IBA

Tabel 3. Waktu Munculnya Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA

Auksin Perlakuan

I0 I1 I2 I3 I4

--- hari ---

IBA 12.4a 11.6ab 10.2c** 10.8bc 11.4ab

Keterangan: ** : Sangat berbeda nyata pada taraf 1% I0 : IBA 0 ppm

I1 : IBA 100 ppm I2 : IBA 200 ppm I3 : IBA 300 ppm I4 : IBA 400 ppm

Berdasarkan data terlihat bahwa setek yang diberikan perlakuan auksin waktu munculnya akar lebih cepat dibandingkan dengan setek yang tanpa diberi perlakuan auksin. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Zong et al. (2008) bahwa peran utama auksin pada perbanyakan tanaman adalah menstimulasi akar pada setek batang dan daun dan meningkatkan cabang akar.

Gambar 3. Waktu Munculnya Akar pada berbagai Perlakuan Perendaman NAA Keterangan: N0 : NAA 0 ppm N1 : NAA 100 ppm N2 : NAA 200 ppm N3 : NAA 300 ppm N4 : NAA 400 ppm

Berdasarkan hasil analisis data juga diketahui bahwa NAA tidak berpengaruh nyata dan tidak terdapat interaksi antara IBA dan NAA terhadap waktu munculnya akar. Terlihat pada gambar diatas bahwa waktu yang diperlukan setek untuk munculnya akar pertama kali tidaklah berbeda nyata antara perlakuan

11,2 10,8 11,53 11,33 11,53 10,4 10,6 10,8 11 11,2 11,4 11,6 N0 N1 N2 N3 N4 Wa k tu M un culny a Ak a r (ha ri) Perlakuan

yang satu dengan yang lain. Perlakuan NAA 100 ppm memiliki nilai rataan terendah yaitu 10.8 hari dan perlakuan NAA 200 ppm dan NAA 400 ppm memiliki nilai rataan tertinggi yaitu 11.53 hari.

(a) (b)

Gambar 4. Dasar Setek Mawar Saat Masih dalam Bentuk Kalus (1 MST) (a); Akar Mawar Mini yang Sudah Terbentuk (2 MST) (b).

Pada saat minggu pertama setelah tanam yang terbentuk pada daerah pengaplikasian auksin adalah kalus (Gambar. 4a). Kalus yang terbentuk kemudian akan berdiferensiasi menjadi akar. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pembentukan akar adventif dapat timbul dari dua sumber: 1) jaringan kalus (wounded root). 2) bakal akar (morfologi atau akar primordial). Akar primer dari kalus muncul di daerah kambium vaskular (Febrijanti, 1999).

Meskipun dibutuhkan dan berguna untuk menginduksi akar primordial, auksin pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan akar primordial dan pemanjangan akar pada setek batang dan micro setek (Zong, et al., 2008). Informasi mengenai konsentrasi yang tepat yang dapat mendukung pertumbuhan dari setek tanaman mawar sangatlah dibutuhkan.

Jumlah Akar

Akar yang diamati adalah akar primer, dengan panjang minimal 2 mm. Pengamatan dilakukan dari minggu kedua hingga minggu keempat setelah tanam (2-4 MST). Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa pada minggu kedua setelah tanam IBA berpengaruh nyata terhadap jumlah akar dengan respon linier dengan persamaan Y = 0.012x + 6.26 dan nilai R² = 0.828.

Penambahan konsentrasi IBA sampai pada konsentrasi 400 ppm masih dapat meningkatkan jumlah akar dan akan terus meningkat pada pemberian konsentrasi yang lebih tinggi.

Gambar 5. Pengaruh Konsentrasi IBA terhadap Jumlah Akar

Perlakuan IBA 400 ppm memiliki nilai rataan tertinggi yaitu 11.13 yang menandakan perlakuan tersebut memberikan jumlah akar terbanyak pada minggu kedua dan perlakuan dengan nilai rataan terendah terdapat pada IBA 100 ppm yaitu 6.40 yang menunjukkan perlakuan tersebut memiliki jumlah akar paling sedikit.

Tabel 4. Jumlah Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA

Auksin Minggu Setelah Tanam (MST)

2 3 4

IBA

I0 6.71bc 10.67a 12.53a

I1 6.40c 11.67a 14.13a

I2 9.93ab 14.27a 15.20a

I3 9.40abc 14.07a 13.53a

I4 11.13a* 13.13a 13.93a

Keterangan: * : Berbeda nyata pada taraf 5% I0 : IBA 0 ppm

I1 : IBA 100 ppm I2 : IBA 200 ppm I3 : IBA 300 ppm I4 : IBA 400 ppm

Hal diatas sesuai dengan pernyataan Macdonald (2002) yang menyatakan bahwakegunaan dari hormon pengakaran yaitu secara keseluruhan meningkatkan

y = 0,012x + 6,26 R² = 0,828 0 2 4 6 8 10 12 0 100 200 300 400 Ju ml a h a ka r Konsentrasi IBA (ppm) IBA

persentase pengakaran, mempercepat inisiasi pengakaran, meningkatkan jumlah dan kualitas dari akar, dan mendorong pengakaran yang seragam.

Pada minggu ketiga dan keempat setelah tanam perlakuan IBA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar. Pada minggu ketiga dan keempat nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 200 ppm yaitu sebesar 14.27 dan 15.20. Sedangkan, nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) sebesar 10.67 dan 12.53.

Gambar 6. Jumlah Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman NAA Keterangan: N0 : NAA 0 ppm

N1 : NAA 100 ppm N2 : NAA 200 ppm N3 : NAA 300 ppm N4 : NAA 400 ppm

Berdasarkan hasil analisis data diketahui juga bahwa NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata dan tidak terdapat interaksi antara IBA dan NAA terhadap peubah jumlah akar baik pada minggu ketiga maupun minggu keempat. Pada minggu ketiga pengamatan nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 200 ppm sebesar 16 dan nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan NAA 400 ppm yaitu 11. Pada minggu keempat, pengamatan nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 400 ppm sebesar 15.2 dan terendah pada perlakuan NAA 0 ppm yaitu 12.2.

Zong et al. (2008) menyatakan bahwa peran auksin yang utama adalah menstimulasi akar dan meningkatkan jumlah akar. Fungsi dari akar adalah

7,1 12,1 12,2 9,1 12,3 14,1 10,9 16 13,8 7,9 12,3 14 8,7 11 15,2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 2 3 4 J um la h Ak a r

Minggu Setelah Tanam (MST)

N0 N1 N2 N3 N4

menyerap unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman (Sitompul & Guritno, 1995). Jumlah akar menunjukkan kemampuan dalam melakukan penyerapan unsur hara (Schuurman dan Goedewaagen, 1971). Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur hara dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman pula. Hartmann et al., (1997) menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh geotrofik, selain berfungsi sebagai penegak batang, juga berperan sebagai organ penghisap hara dalam mendukung laju pertumbuhan. Perakaran yang baik akan mampu menopang pertumbuhan dari tanaman.

Panjang Akar

Pengamatan panjang akar sama seperti halnya pengamatan jumlah akar yaitu pada akar primer yang telah memiliki panjang akar 2 mm. Pada pengamatan minggu kedua diketahui bahwa IBA berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dengan dengan persamaan Y = 0.001x + 1.108 dan nilai R² = 0.429. Penambahan konsentrasi IBA sampai dengan konsentrasi 400 ppm masih dapat meningkatkan panjang akar dan akan terus meningkat pada pemberian konsentrasi yang lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan IBA memiliki aktivitas auksin yang lemah, zat kimia bersifat stabil dan tetap berada pada daerah pemberian perlakuan, translokasinya lemah berlangsung lebih lambat sehingga bahan aktifnya akan tertahan di dekat tempat aplikasinya (Weaver, 1972).

Gambar 7. Pengaruh Konsentrasi IBA terhadap Panjang Akar

y = 0,001x + 1,108 R² = 0,429 0 0,5 1 1,5 2 0 100 200 300 400 Pa n ja n g a ka r ( cm) Konsenrasi IBA (ppm) IBA

Pada minggu kedua perlakuan IBA 200 ppm memiliki nilai rataan tertinggi pada peubah panjang akar sebesar 1.87 cm. Panjang akar terendah pada minggu kedua dimiliki oleh perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) yaitu 1.02 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Arteca (2006) bahwa auksin dapat menstimulasi inisiasi akar dan panjang akar. Hartmann dan Kester (1983) menambahkan bahwa IBA tidak menyebabkan racun pada tanaman karena mempunyai kisaran konsentrasi yang lebar dan efektif dalam menstimulir akar pada sejumlah besar spesies tanaman.

Pada minggu ketiga dan keempat pengamatan perlakuan perendaman IBA tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Pada minggu ketiga sama seperti halnya minggu kedua, nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 200 ppm sebesar 3.5 cm. Pada minggu keempat, nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 0 ppm (tanpa auksin) yaitu 4.77 cm. Nilai rataan terendah baik pada minggu ketiga maupun keempat terdapat pada perlakuan IBA 400 ppm, sebesar 2.75 cm dan 3.69 cm.

Tabel 5. Panjang Akar pada berbagai Perlakuan Perendaman IBA

Auksin Minggu Setelah Tanam (MST)

2 3 4

IBA

I0 1.02c 3.27a 4.77a

I1 1.18bc 3.12a 4.5a

I2 1.87a** 3.5a 3.96a

I3 1.29bc 3.41a 4.67a

I4 1.71ab 2.75a 3.69a

Keterangan: * : Sangat berbeda nyata pada taraf 1% I0 : IBA 0 ppm

I1 : IBA 100 ppm I2 : IBA 200 ppm I3 : IBA 300 ppm I4 : IBA 400 ppm

Berdasarkan hasil uji lanjut diketahui juga bahwa NAA tidak berpengaruh nyata dan tidak terdapat interaksi antara IBA dan NAA terhadap panjang akar. Terlihat seperti pada gambar dibawah, bahwa nilai rataan pada masing-masing perlakuan baik pada minggu kedua, ketiga maupun minggu keempat tidak berbeda nyata. Pada minggu kedua dan keempat nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 200 ppm yaitu 1.6 cm dan 5.2 cm. Pada minggu ketiga, nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 100 ppm yaitu 3.7 cm.

Gambar 8. Panjang Akar pada Berbagai Perlakuan Perendaman NAA Keterangan: N0 : NAA 0 ppm N1 : NAA 100 ppm N2 : NAA 200 ppm N3 : NAA 300 ppm N4 : NAA 400 ppm

Berdasarkan gambar diatas juga terlihat bahwa baik pada minggu kedua, ketiga maupun minggu keempat nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan NAA 400 ppm yaitu 1.2 cm, 2.8 cm, dan 3.1 cm. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Zong et al. (2008) bahwa meskipun dibutuhkan dan berguna untuk menginduksi akar primordial, auksin pada konsentrasi yang tinggi seringkali menghambat pertumbuhan akar primordial dan pemanjangan akar pada setek batang dan mikrosetek. Kemungkinan konsentrasi yang diberikan terlalu tinggi, sehingga menghambat pemanjangan akar.

Pertumbuhan dari setek juga tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi auksin yang diberikan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan setek adalah kondisi fisiologis tanaman induk (stock plant), umur tanaman induk, jenis bahan setek, waktu pengambilan setek, zat pengatur tumbuh (ZPT), adanya tunas dan daun, umur bahan setek, dan kondisi lingkungan (Dawson dan King, 1994). Tanaman dengan kondisi optimum pertumbuhan akarnya akan berlangsung dengan baik.

Panjang akar menunjukkan batas kemampuan tanaman untuk menjangkau wilayah tertentu dalam penyerapan unsur hara, sehingga semakin panjang akar memungkinkan setek untuk menyerap unsur hara, mineral dan air lebih banyak

1,5 2,9 4,8 1,3 3,7 4,3 1,6 3,6 5,2 1,3 3,1 4,2 1,2 2,8 3,1 0 1 2 3 4 5 6 2 3 4 P a nja ng Ak a r (cm )

Minggu Setelah Tanam (MST)

N0 N1 N2 N3 N4

daripada akar yang pendek (Schuurman dan Goedewagen, 1971). Menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) panjang akar telah diterima sebagai ukuran menilai daya penyerapan sistem akar. Tanaman yang memiliki akar yang panjang akan memiliki kemampuan menyerap hara dan air lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman yang akarnya pendek dan juga mampu mencari air pada lokasi yang sulit untuk mencapai air. Semakin bertambah panjang akar maka tanaman akan lebih kokoh dan air serta garam-garam mineral di dalam media tumbuh akan mudah diserap untuk disalurkan ke batang dan daun (Darliah, et al., 1994).

Persentase Setek Hidup

Persentase setek hidup menyatakan jumlah setek yang masih hidup saat pengamatan terhadap jumlah setek awal penelitian yang dinyatakan dalam persen. Pengamatan dilakukan pada minggu kedua dan minggu kelima. Pengamatan pada minggu kedua dilakukan untuk mewakili persentase hidup setek saat masih berada di bedengan dan pada minggu kelima untuk mewakili persentase hidup setek pada saat setek sudah di pot. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa NAA berpengaruh nyata terhadap persentase setek hidup pada minggu kelima dengan respon linier dengan persamaan Y = 0.0027x + 60.667. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsentrasi NAA sampai dengan 400 ppm masih dapat meningkatkan persentase setek hidup tanaman dan akan terus meningkat pada pemberian konsentrasi yang lebih tinggi.

Tabel 6. Persentase Hidup setek pada berbagai Perlakuan Perendaman NAA Auksin Minggu Setelah Tanam (MST)

2 5 IBA I0 70a 57.33ab I1 70a 60a* I2 68a 58.67a I3 60.67a 40c I4 61.33a 41.33bc

Keterangan: * : Berbeda nyata pada taraf 5% N0 : NAA 0 ppm

N1 : NAA 100 ppm N2 : NAA 200 ppm N3 : NAA 300 ppm N4 : NAA 400 ppm

Pada minggu kelima nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 100 ppm sebesar 60% dan nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan NAA 300 ppm yaitu 40%. Terlihat pada tabel di atas bahwa perlakuan NAA pada minggu kedua tidak berpengaruh nyata terhadap persentase setek hidup. Perlakuan NAA 0 ppm dan NAA 100 ppm memiliki persen setek hidup tertinggi yaitu sebesar 70% dan perlakuan NAA 300 ppm memiliki nilai rataan terendah yaitu 60.67%.

Gambar 9. Persentase Setek Hidup pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA Keterangan: I0 : IBA 0 ppm

I1 : IBA 100 ppm I2 : IBA 200 ppm I3 : IBA 300 ppm I4 : IBA 400 ppm

Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui juga bahwa IBA tidak berpengaruh nyata dan tidak terdapat interaksi antara IBA dan NAA baik pada minggu kedua maupun pada minggu kelima. Pada minggu kedua dan minggu kelima setelah tanam terlihat bahwa perlakuan IBA 0 ppm memiliki nilai rataan tertinggi yaitu sebesar 74.67% dan 60% yang menandakan jumlah setek yang hidup pada perlakuan tersebut adalah yang terbanyak. Sedangkan, Nilai rataan persentase setek hidup terendah terdapat pada perlakuan IBA 400 ppm untuk minggu kedua dan IBA 100 ppm dan IBA 400 ppm pada minggu kelima, yaitu 59.33% dan 45.33%.

Penurunan persentase setek hidup sebagian besar disebabkan oleh serangan dari penyakit embun tepung yang diakibatkan oleh cendawan Oidium sp. Tanaman yang terserang akan mengalami kerontokan daun, baik daun-daun muda maupun daun tua. Ketika daun-daun telah rontok, kemudian setek mulai

74,67 60 62,67 45,33 71,33 52 62 54,67 59,33 45,33 0 20 40 60 80 2 5 P er sent a se H idu p (%)

Minggu Setelah Tanam (MST)

I0 I1 I2 I3 I4

mengering dan akhirnya mati. Sanitasi dan pengendalian lingkungan merupakan hal yang mutlak dalam produksi tanaman mawar pot. Penyakit seringkali ikut terbawa ke keturunan berikutnya, Pengendalian pada semua tahap pertumbuhan sangatlah dibutuhkan (Dole and Wilkins, 2005). Pencegahan merupakan hal yang sangatlah diperlukan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menyemprot tanaman dengan fungisida ketika suasana lingkungan mulai lembab atau saat curah hujan mulai tinggi.

(a) (b)

Gambar 10. Alat Sensor pada Irigasi Penyemprotan (a); Setek Umur 1 MST yang disemprot dengan Irigasi Penyemprotan (b).

Pada umumnya irigasi penyemprotan dikontrol menggunakan pengatur waktu, tetapi interval waktu yang ditetapkan pada waktu cerah. Penyemprotan pada tengah hari dapat menyebakan kelembaban yang berlebihan, dapat menghambat pengakaran dan memacu pertumbuhan pathogen (Dole dan Wilkins, 2005). Pada saat penelitian berlangsung, irigasi penyemprotan disambungkan dengan sensor otomatis yang akan menyemprotkan air ketika alat sensor kering dan tidak menyemprot pada saat keadaan lembab. Sehingga setek terhindar dari penyemprotan yang berlebihan yang dapat menghambat pengakaran dan memacu pertumbuhan pathogen.

Suhu yang baik untuk pengakaran mawar yaitu 23-240C (Dole dan Wilkins, 2005). Kelembaban dapat terjaga dengan irigasi yang teratur. Penelitian ini menggunakan irigasi semprot untuk menjaga kelembaban pada saat pengakaran dan untuk mencukupi kebutuhan air tanaman. Irigasi semprot dan pengkabutan menyemprotkan air langsung ke setek untuk mengurangi transpirasi dan menjaga turgiditas setek sehingga memungkinkan perkembangan akar (Dole

dan Wilkins, 2005). Irigasi penyemprotan atau pengkabutan harus membasahi bedengan untuk memastikan bahwa semua setek basah seragam dan bebas dari stress kering.

Panjang Tunas

Peubah ini mulai diamati pada minggu kelima, pengamatan dilakukan setiap minggu hingga minggu ketiga belas. Namun, dikarenakan pertumbuhan untuk setiap minggunya tidak nyata, maka data yang ditampilkan adalah data pada minggu kelima dimana berdasarkan hasil analisis sidik ragam terdapat interaksi antara IBA dan NAA terhadap panjang tunas. Terlihat pada tabel dibawah bahwa nilai rataan tertinggi terdapat pada kombinasi konsentrasi IBA 400 ppm + NAA 100 ppm dengan nilai 0.72 cm. Nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan IBA 300 ppm + NAA 400 ppm dan IBA 400 ppm dan NAA 300 ppm yaitu 0.3 cm.

Tabel 7. Interaksi Kombinasi Konsentrasi IBA dan NAA terhadap Panjang Tunas

IBA NAA

N0 N1 N2 N3 N4

--- cm ---

I0 0.53abcd 0.40bcd 0.55abcd 0.40bcd 0.53abcd

I1 0.60abcd 0.50abcd 0.53abcd 0.55abcd 0.7ab

I2 0.53abcd 0.52abcd 0.38cd 0.47abcd 0.38cd

I3 0.67abc 0.55abcd 0.52abcd 0.65abc 0.3d

I4 0.5abcd 0.72a* 0.6abcd 0.3d 0.47abcd

Keterangan: * : Berbeda nyata pada taraf 5% I0 : IBA 0 ppm I1 : IBA 100 ppm I2 : IBA 200 ppm I3 : IBA 300 ppm I4 : IBA 400 ppm N0 : NAA 0 ppm N1 : NAA 100 ppm N2 : NAA 200 ppm N3 : NAA 300 ppm N4 : NAA 400 ppm Pada minggu kelima berdasarkan hasil analisis sidik ragam terlihat juga bahwa IBA tunggal tidak mempengaruhi panjang tunas. Nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan IBA 100 ppm yaitu sebesar 0.56 cm. Sedangkan, nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan IBA 200 ppm yaitu 0.46 cm.

Gambar 11. Panjang Tunas pada Berbagai Perlakuan Perendaman IBA pada 5 MST (Minggu Setelah Tanam)

Perkembangan akar dan tunas setek dipengaruhi oleh kandungan bahan setek. Terutama persediaan karbohidrat dan nitrogen. Hartmann dan Kester (1978) menyatakan bahwa setek yang mengandung karbohidrat tinggi dan nitrogen yang cukup akan membentuk akar dan tunas. Pada kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai, setek batang lebih mudah membentuk bagian-bagian vegetatif yang lain dan tumbuh menjadi individu yang sempurna (Hartmann dan Kester, 1978).

Gambar 12. Panjang Tunas pada Berbagai Perlakuan Perendaman NAA pada 5 MST (Minggu Setelah Tanam)

Berdasarkan hasil analisis data juga diketahui bahwa NAA tunggal tidak mempengaruhi panjang tunas. Terlihat pada tabel di atas nilai rataan tertinggi terdapat pada perlakuan NAA 0 ppm yaitu sebesar 0.55 cm dan nilai rataan terendah terdapat pada perlakuan NAA 400 ppm yaitu sebesar 0.43 cm.

0,48 0,56 0,46 0,52 0,52 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 I0 I1 I2 I3 I4 P a nja ng T un a s (cm ) Perlakuan 0,55 0,54 0,52 0,45 0,43 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 N0 N1 N2 N3 N4 P a nja ng T un a s ( cm ) Perlakuan

(a) (b)

Gambar 13. Pertumbuhan Tunas pada 8 MST (a); Pertumbuhan Tunas pada 9 MST (b).

Dapat dikatakan bahwa pada awal percobaan auksin berpengaruh terhadap peubah panjang tunas. Perlakuan dengan auksin yang memiliki waktu inisiasi akar yang lebih cepat dibandingkan perlakuan tanpa auksin dapat tumbuh dengan lebih baik. Akar yang dihasilkan pun lebih banyak sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman melalui serapan air, hara dan garam-garam mineral. Darliah et al. (1994) menambahkan bahwa pertambahan panjang tunas merupakan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan sel yang tergantung dari suplai unsur hara yang diberikan oleh akar untuk metabolisme dan sintesis protein.

Jumlah Bunga

Pengamatan ini dilakukan sejak 7 MST hingga 20 MST, yang dilakukan sekali dalam seminggu. Data yang diperoleh adalah data penambahan jumlah bunga setiap minggunya. Sehingga diperoleh akumulasi jumlah bunga hingga tanaman berumur 20 MST. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa baik IBA, NAA maupun interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah bunga.

Arteca (2006) menyatakan bahwa auksin terlibat dalam banyak proses fisiologi tanaman seperti menginduksi pemanjangan sel, fototropisme, gravitropisme, dominansi apikal, inisiasi akar, produksi etilen, perkembangan buah, ekspresi seks dan pengendalian gulma. Hal tersebut menandakan bahwa

Dokumen terkait