• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses curing termodifikasi dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Pada modifikasi curing Setyaningsih (2006), dilakukan penyayatan (stratching) pada buah vanili segar dan perendaman dalam larutan aktivator enzim sebelum tahap pelayuan. Penyayatan bertujuan untuk mempermudah masuknya aktivator ke dalam jaringan buah. Tahap pelayuan dilakukan pada suhu 40oC selama 30 menit, berbeda dengan pelayuan pada proses

curing standar yang dilakukan pada suhu 65oC selama 3 menit. Proses curing

termodifikasi tersebut terbukti dapat meningkatkan aktivitas enzim dan kadar vanillinnya (Setyaningsih 2006).

Perendaman buah vanili dalam larutan butanol 0,3 M + DTT 1 mM + sistein 1 mM selama 2 jam menghasilkan kenaikan aktivitas enzim tertinggi, sedangkan kadar vanillin tertinggi dihasilkan dari perendaman dalam butanol 0,3 M dan sistein 1mM selama 2 jam (Setyaningsih 2006; Hasmilda 2004). Penelitian lanjutan dilakukan oleh Rahayu (2006) dimana dipelajari pengaruh gabungan aktivator butanol dan sistein dalam berbagai konsentrasi terhadap kadar vanillin buah vanili. Penelitian tersebut melaporkan bahwa kadar vanillin tertinggi dihasilkan dari perendaman buah vanili dalam larutan butanol 0,1 M dan sistein 3 mM. Konsentrasi butanol yang diperoleh pada penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya. Hasil ini dapat dikatakan sebagai hal yang menguntungkan, karena pada penggunaan konsentrasi butanol 0,3 M ternyata bau butanol masih terdeteksi pada ekstrak vanili. Pada konsentrasi butanol yang lebih rendah, adanya zat asing dalam ekstrak vanili dapat diminimalkan dan bau butanol diharapkan tidak lagi terdeteksi pada ekstrak vanili. Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini perendaman buah vanili dilakukan dalam aktivator butanol 0,1 M dan sistein 3 mM.

Menurut Ferdinand (1978) senyawa aktivator adalah senyawa yang dapat meningkatkan aktivitas enzim awal. Secara umum terdapat tiga cara kerja aktivator sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim, yang pertama adalah dengan cara mengubah struktur kovalen enzim, yang kedua dengan cara mempengaruhi lingkungan enzimatis dan ketiga aktivator tersebut berikatan

secara non kovalen dengan enzim pada situs aktif atau situs allosteriknya. Pada cara yang pertama, aktivator akan menyebabkan putusnya ikatan peptida dari struktur primer enzim. Putusnya ikatan peptida dalam batasan tertentu akan menyebabkan aktivasi enzim, contohnya adalah putusnya ikatan disulfida (SS) menjadi grup sulfhidril (SH). Dalam kasus enzim papain dan streptococcal

proteinase, pemutusan ikatan ini dapat menyebabkan aktivasi enzim dimana

gugus SH diperlukan pada sisi aktifnya. Pada cara yang kedua, agen yang mempengaruhi lingkungan enzimatis diantaranya adalah agen-agen chaotropik

dan pelarut-pelarut organik. Aktivator tersebut tidak berpengaruh terhadap struktur kovalen enzim, akan tetapi menyebabkan perubahan dalam struktur tiga dimensinya sehingga dihasilkan konformasi yang stabil.

Dalam kasus pemberian aktivator butanol pada buah vanili, tampaknya cara kerja aktivator tersebut masuk dalam cara yang kedua dan ketiga. Dengan adanya butanol yang tergolong pelarut organik, kelarutan substrat-organik dan enzim lebih tinggi dibandingkan air serta dapat meningkatkan kestabilan enzim dalam pelarut (Kwon et al. 1995).

Kemampuan butanol dan sistein sebagai aktivator enzim kemungkinan disebabkan pula oleh sifat hidrofobisitasnya. Menurut Efendi (2001), nilai hidrofobisitas berpengaruh terhadap lingkungan sekeliling enzim, dimana lingkungan yang hidrofobik (non polar) di sekitar enzim akan mempengaruhi pelindung enzim yang bersifat non polar yaitu suatu polipeptida yang merupakan tempat bersembunyinya sisi aktif enzim. Jika pelindung ini berinteraksi dengan lingkungan hidrofobik, maka sisi aktif enzim akan terbuka dan menyebabkan substrat mudah berinteraksi dengan sisi aktif enzim sehingga proses katalitik dapat terjadi.

Esen (1993) menyatakan bahwa enzim β-glukosidase mempunyai dua permukaan hidrofobik pada pusat katalitiknya. Salah satu permukaan akan terikat dengan butanol, sedangkan pada permukaan lainnya akan terikat dengan substrat yaitu senyawa aryl β-D-glukosida. Butanol terikat dengan enzim β-glukosidase melalui gugus hidroksil dengan adanya ikatan hidrogen. Gugus hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air. Adanya air berperan dalam

pembentukan struktur enzim yang kaku menjadi lebih fleksibel sehingga akan mempermudah interaksi antara substrat dengan enzim.

Adapun sistein (C3H7NO2S) yang tergolong asam amino nonesensial

adalah senyawa thiol yang mempunyai gugus SH. Dinyatakan oleh Riou et al. (1998) bahwa adanya senyawa thiol dapat mempengaruhi sisi aktif enzim dengan menjaga struktur tiga dimensinya. Molekul sistein bersifat hidrofobik sehingga kondisi hidrofobik di sekitar sistein dapat mencegah kerusakan enzim yang diakibatkan oleh oksidasi.

Pengaruh Penyayatan dan Penusukan pada Aktivitas Enzim dan Kadar Vanillin Buah Vanili

Percobaan awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membandingkan aktivitas enzim dan kadar vanillin dari buah vanili yang disayat, ditusuk, dan buah vanili utuh yang telah direndam dalam larutan butanol 0,1 M dan sistein 3 mM. Penyayatan buah vanili sebagaimana telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dilakukan dengan membuat 3 sayatan longitudinal sedalam 1-2 mm menggunakan peniti yang sebelumnya telah dibersihkan menggunakan alkohol. Penusukan buah juga dilakukan menggunakan peniti. Perendaman dilakukan dengan mengaplikasikan teknik vacuum infiltration dengan tekanan 5 kPa dan tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal (sebagai pembanding), masing-masing selama 10 menit.

Aktivitas Enzim

Selama berlangsungnya proses curing, enzim memegang peranan penting dalam pembentukan flavor vanili. Meskipun beberapa enzim terlibat, tetapi enzim

β-glukosidase adalah enzim yang berperan paling penting dalam proses tersebut (Dignum 2002). Oleh karena itu analisis aktivitas enzim β-glukosidase menjadi penting dilakukan. Menurut Whitaker (1991), analisis enzim seringkali menjadi metode yang dipilih dalam analisis kimiawi karena spesifitas dan sensitivitasnya yang tinggi. Karena spesifitasnya yang tinggi, sampel yang dipergunakan untuk analisis dapat sangat sedikit jumlahnya dan tidak diperlukan pemurnian enzim terlebih dahulu sebelum analisis.

Pada penelitian ini ekstraksi enzim β-glukosidase dari buah vanili dilakukan menggunakan bufer fosfat 0,2 M pH 7,5. Pada bufer ditambahkan EDTA 0,2 mM untuk menghilangkan ion divalen kofaktor proteinase, sedangkan PVPP (polyvinil polypirrolidone) padat ditambahkan pada saat ekstraksi untuk mengikat senyawa fenolik dan kuinon (Michaud dan Asselin 1995, diacu dalam

Setyaningsih 2006). Adapun pada saat analisis aktivitas enzim, ekstrak enzim tersebut dilarutkan dalam bufer fosfat 0,1 M pH 6,3.

Analisis aktivitas enzim dan kadar vanillin dilakukan pada buah vanili segar, setelah perendaman, pelayuan, pemeraman, dan pengeringan pertama hari pertama. Menurut Whitaker (1991), kunci sebagian besar analisis analitik yang menggunakan enzim adalah berdasarkan kemampuan enzim tersebut membentuk kompleks stereospesifik dengan suatu komponen dan kemudian mengubah komponen (substrat) tersebut menjadi suatu produk. Oleh karena enzim pada umumnya sangatlah spesifik, maka enzim tersebut hanya akan mengenali satu atau beberapa komponen saja yang hampir sama diantara ribuan komponen dalam material biologi dan mengubahnya menjadi produk.

Pada penelitian ini, analisis terhadap aktivitas enzim β-glukosidase dilakukan dengan menggunakan substrat sintetik paranitrofenil-β-D- glukopiranosida (pNPG). pNPG akan dihidrolisis oleh enzim β-glukosidase menghasilkan senyawa paranitrofenol. Untuk mengetahui berlangsungnya reaksi dilakukan pengukuran jumlah fenol bebas yang terbentuk setelah beberapa waktu tertentu (Stauffer 1991). Dalam kasus enzim β-glukosidase vanili, aktivitas enzim dinyatakan sebagai mol paranitrofenol (pnp) yang terbentuk setiap menit per gram protein. Pengukuran aktivitas enzim dilakukan pada panjang gelombang 400 nm. Semakin kuning larutan terbentuk mengindikasikan semakin banyak substrat pNPG yang dipecah, paranitrofenol yang terbentuk semakin banyak, sehingga enzim mempunyai aktivitas yang semakin tinggi.

Aktivitas enzim buah vanili segar yang diperoleh pada penelitian ini adalah 175,22 IU/g. Berdasarkan hasil perhitungan nilai aktivitas enzim rata-rata dari buah segar, tahap perendaman hingga pengeringan, diperoleh hasil bahwa aktivitas enzim dari buah vanili utuh mempunyai nilai yang lebih tinggi

rata-rata aktivitas enzim vanili utuh tahap perendaman hingga pengeringan pertama lebih tinggi 1,15 kali dari aktivitas enzim buah segar, sedangkan vanili sayat dan tusuk masing-masing sebesar 0,87 dan 0,81 kali. Adapun untuk aplikasi tekanan tinggi, aktivitas enzim rata-rata dari vanili utuh juga lebih tinggi, yaitu 1,11 kali buah segar, vanili sayat 0,69 kali dan vanili tusuk 1,08 kali. Perhitungan aktivitas enzim ini sangat dipengaruhi oleh kadar protein terlarutnya. Meskipun aktivitas enzim relatif (IU) nilainya tinggi, akan tetapi jika kadar protein tinggi maka aktivitas enzim spesifiknya (IU/g) dapat menjadi lebih rendah, demikian pula sebaliknya.

Tabel 4 Aktivitas enzim buah vanili utuh, sayat, dan tusuk

Aktivitas Enzim (IU/g) Tiap Tahap Pengolahan Jenis

Tekanan

Jenis

Vanili Segar Rendam Layu Peram Kering I-1

Vakum 5 kPa Utuh Sayat Tusuk 175,22±43,24 175,22±43,24 175,22±43,24 306,98±15,09 109,43±10,0 165,10±5,89 170,17±5,10 122,21±10,06 117,47±5,35 187,05±7,28 259,94±19,89 149,48±5,93 145,17±7,71 120,00±5,69 132,81±7,67 Tinggi 100 kPa di atas normal Utuh Sayat Tusuk 175,22±43,24 175,22±43,24 175,22±43,24 180,36±9,43 103,29±6,73 146,03±6,47 146,97±11,39 81,39±12,97 134,89±10,25 300,31±20,53 160,71±17,42 279,42±3,49 147,33±9,94 137,64±14,69 178,49±9,21

Hasil analisis sidik ragam aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim untuk penerapan tekanan vakum. Nilai tertinggi dihasilkan buah vanili utuh yaitu sebesar 202,34 IU/g. Sementara itu pemberian tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim. Meskipun demikian aktivitas enzim rata-rata tertinggi juga dihasilkan dari buah utuh, yaitu sebesar 175,24 IU/g. Lebih tingginya aktivitas enzim buah utuh diduga terkait dengan struktur sel buah. Aguilera dan Stanley (1999) menyatakan bahwa pada sel tumbuhan, aktivitas fisiologis terjadi dalam suatu medium yang disebut sitoplasma. Sitoplasma ini terlindungi oleh membran vakuola (tonoplas) dan membran plasma (plasmalemma). Membran pembatas ini bersifat semipermiabel dan mengontrol perpindahan air dan zat terlarut di antara dan di dalam sel itu sendiri. Adapun dinding sel berkontribusi terhadap mikrostruktur sel (mempertahankan rigiditas

sel). Pada umumnya, dinding sel bersifat permeabel terhadap air dan beberapa zat terlarut lainnya.

Penyayatan maupun penusukan menyebabkan terjadinya kerusakan dinding dan membran sel. Dengan kata lain integritas sel menjadi berkurang dengan adanya perlakuan ini. Kerusakan membran sel menyebabkan pengeluaran air dari dalam sel terjadi dengan lebih cepat. Padahal keberadaan air sangat diperlukan untuk proses katalitik dan mempertahankan fleksibilitas enzim. Pada buah yang disayat dan ditusuk, meskipun larutan aktivator tetap berpenetrasi ke dalam jaringan, akan tetapi diduga laju pengeluaran air yang terjadi lebih besar, sehingga tidak dapat mempertahankan aktivitas enzim awal (pada buah segar). Berkurangnya jumlah air dalam sel yang mengalami penyayatan dan penusukan juga mengakibatkan berkurangnya tekanan turgor sel yang berkontribusi terhadap turgiditas dan rigiditas jaringan.

Pada tahap pelayuan terjadi kerusakan membran sel atau vakuola akibat panas yang diberikan. Pada tahap ini enzim β-glukosidase dirangsang mulai aktif bekerja untuk pembentukan vanillin dan aroma. Suhu pelayuan 50-60oC adalah suhu optimum menurut Dignum (2002) untuk mempertahankan sebanyak mungkin aktivitas enzim β-glukosidase. Pada penelitian ini suhu pelayuan yang diberikan adalah 40oC, yang merupakan suhu optimum enzim β-glukosidase menurut Hasmilda (2004) dan Setyaningsih (2006). Secara keseluruhan, tahap pelayuan menyebabkan lebih rendahnya aktivitas enzim dari tahap perendaman untuk semua perlakuan. Hasil tersebut diperoleh baik dengan aplikasi vacuum

infiltration 5 kPa maupun tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal.

Aguilera dan Stanley (1990) menyatakan bahwa pemanasan mengakibatkan terganggunya mekanisme transport air yang menyebabkan hilangnya tekanan turgor pada buah. Fenomena inilah yang terjadi pada tahap pelayuan dan menjadi alasan lain dari lebih rendahnya aktivitas enzim pada tahap pelayuan terlebih untuk buah yang disayat dan ditusuk yang sebelumnya memang telah mengalami pengurangan tekanan turgor.

Penggunaan buah utuh tanpa mengalami penyayatan maupun penusukan membawa dampak yang menguntungkan bagi proses curing. Tanpa mengalami

dilakukan dengan lebih efisien (menghemat waktu pengolahan serta tenaga kerja). Dari hasil ini, dapat dikatakan bahwa efektivitas buah vanili utuh yang direndam menggunakan tekanan vakum sama dengan buah yang mengalami penyayatan yang direndam pada tekanan normal.

Kadar Vanillin

Prekursor vanillin dalam buah vanili adalah koniferosida. Melalui reaksi oksidasi, koniferosida akan terpecah menjadi vanilosida (glukovanilin) yang selanjutnya menghasilkan vanillin dan glukosa jika dihidrolisis oleh enzim. Terdapat setidaknya 4 glukosida dari buah vanili segar yang dapat menghasilkan vanillin dan komponen flavor lainnya, dimana glukovanilin ditemukan dalam jumlah terbanyak (Purseglove et al. 1981).

Kadar vanillin didefinisikan sebagai banyaknya vanillin yang terdapat dalam bahan, yang sesuai dengan banyaknya energi radiasi yang diserap (SNI 2002). Hasil analisis kadar vanillin untuk pemberian tekanan vakum dan tekanan tinggi dapat dilihat pada Tabel 5. Buah vanili segar mempunyai kadar vanillin 0,46% berat kering buah. Nilai rata-rata kadar vanillin dari tahap perendaman hingga pengeringan menunjukkan bahwa kadar vanillin rata-rata buah vanili utuh untuk penerapan vacuum infiltration adalah 0,70%, sedangkan buah sayat 0,62% dan buah yang ditusuk 0,69%. Sedangkan untuk tekanan tinggi, kadar vanillin rata-rata tertinggi diperoleh dari buah yang disayat yaitu 0,88% bk, untuk buah yang ditusuk 0,70% dan buah utuh 0,80%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar vanillin rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan baik dengan pemberian tekanan vakum maupun tekanan tinggi.

Berdasarkan hasil analisis aktivitas enzim dan kadar vanillin secara keseluruhan, rata-rata aktivitas enzim dan kadar vanillin tertinggi dicapai oleh buah vanili utuh. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya digunakan buah vanili utuh tanpa disayat maupun ditusuk untuk proses curing.

Tabel 5 Kadar vanillin buah vanili utuh, sayat, dan tusuk

Kadar Vanillin (% bk) Tiap Tahap Pengolahan Jenis

Tekanan

Jenis

Vanili Segar Rendam Layu Peram Kering I-1

Vakum 5 kPa Utuh Sayat Tusuk 0,46±0,028 0,46±0,028 0,46±0,028 0,76±0.010 0,87±0.098 0,77±0.010 0,70±0,010 0,50±0,020 0,73±0,010 0,56±0,029 0,51±0,025 0,51±0,010 0,79±0,047 0,59±0,289 0,77±0,077 Tinggi 100 kPa di atas normal Utuh Sayat Tusuk 0,46±0,028 0,46±0,028 0,46±0,028 0,89±0.030 0,86±0.295 0,78±0.010 0,47±0,052 0,77±0,010 0,49±0,282 0,94±0,028 1,07±0,029 0,96±0,031 0,89±0,061 0,83±0,010 0,59±0,010

Aplikasi Tekanan Pada Proses Curing Termodifikasi

Penerapan teknik vacuum infiltration dan tekanan tinggi bertujuan untuk mempersingkat waktu perendaman dalam aktivator. Pada penelitan sebelumnya, perendaman dilakukan pada tekanan normal selama 2 jam. Pada tahap ini diaplikasikan tekanan vakum (5 dan 50 kPa) dan tekanan tinggi 100 kPa dan 150 kPa di atas tekanan normal.

Aktivitas Enzim

Hasil analisis aktivitas enzim dari penerapan vacuum infiltration dan tekanan tinggi dapat dilihat pada Tabel 6. Suatu proses dikatakan bekerja di bawah kondisi vakum jika tekanan di dalam sistem tersebut lebih rendah daripada tekanan barometrik (Ryans dan Roper 1986).

Odoux et al. (2003) menyatakan bahwa substrat glukovanilin dan enzim

β-glukosidase terkonsentrasi pada bagian yang sama, yaitu daerah di sekitar biji buah. Hal yang sama dinyatakan oleh Setyaningsih (2006) bahwa sebagian besar aktivitas enzim β-glukosidase berada pada jaringan plasenta di sekitar biji. Menurut Odoux et al (2003), enzim terdapat pada bagian sitoplasma atau periplasma sel mesokarp dan endokarp buah vanili dan glukovanillin pada vakuola.

Dignum (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aktivitas tertinggi enzim β-glukosidase diperoleh dari buah vanili segar. Setelah pelayuan, enzim kehilangan 30% dari aktivitas awalnya, dan setelah pemeraman aktivitas enzim menjadi hilang sama sekali. Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian Ranadive

menyatakan bahwa enzim β-glukosidase masih aktif setidaknya hingga akhir proses pemeraman. Enzim β-glukosidase aktif pada tahap pelayuan dan pemeraman. Pada tahap selanjutnya aktivitas β-glukosidase menurun.

Tabel 6 Aktivitas enzim dengan pemberian tekanan

Rata-rata Aktivitas Enzim (IU/g) Tiap Tahap Pengolahan Jenis

Tekanan

Waktu

Perendaman Segar Rendam Layu Peram Kering I-1

5 kPa 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 170,85±7,07 172,28±42,45 112,53±8,18 48,66±2,40 167,51±42,62 104,27±7,64 96,18±5,04 60,24±5,10 43,10±5,85 331,84±21,19 370,22±13,12 530,21±26,69 57,46±4,55 215,03±17,66 215,03±5,53 47,29±1,17 76,86±7,50 38,80±3,85 262,81±13,82 53,21±1,29 50 kPa 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 101,87±5,17 88,04±2,69 308,13±8,26 138,45±3,28 133,22±5,24 59,34±3,00 282,81±6,61 161,44±2,15 48,42±5,06 46,46±2,13 68,82±5,44 135,03±9,45 104,82±5,09 77,58±6,68 97,67±5,35 74,44±2,39 185,02±8,84 87,56±5,31 47,62±2,12 72,60±6,52 100 kPa 5 menit 10 menit 20 menit 30 menit 40 menit 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 64,18±6,03 30,17±5,05 38,81±3,83 73,29±2,21 36,02±3,58 31,32±2,27 53,11±5,92 31,16±2,32 37,35±2,19 69,92±2,19 46,37±5,79 34,29±5,45 33,08±5,66 44,37±2,19 46,87±5,19 78,88±5,56 36,26±3,60 63,15±1,08 149,26±2,54 50,63±1,23 100 kPa di atas normal 3 menit 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 52,43±3,17 45,96±3,19 180,04±11,91 120,46±7,01 188,92±14,31 196,97±16,36 136,20±16,19 91,55±7,43 265,83±33,60 134,22±10,76 154,10±22,64 343,68±29,65 276,96±33,15 174,60±15,53 146,91±2,19 50,55±2,12 76,18±3,29 58,35±4,23 62,63±3,53 63,25±3,49 150 kPa di atas normal 3 menit 5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 158,90±32,94 252,33±7,75 371,47±6,82 166,08±11,70 298,92±11,15 101,42±12,68 100,00±4,65 64,14±5,80 75,93±5,64 54,67±5,18 63,05±4,76 208,02±4,07 97,97±6,89 178,75±3,86 106,31±3,54 194,38±3,70 52,39±0 78,15±3,63 82,52±39,69 60,97±21,80 96,35±39,22

Perendaman buah vanili segar dalam aktivator enzim β-glukosidase pada penelitian Setyaningsih (2006) secara umum menyebabkan aktivitas enzim tahap tersebut menjadi lebih tinggi dibanding buah segar. Kenaikan aktivitas enzim tertinggi diperoleh setelah perendaman dalam butanol 0,3 M + DTT 1 mM + sistein 1 mM selama 2 jam, yaitu sebesar 30,7%, sementara perendaman dalam butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama 2 jam memberikan nilai yang cukup stabil dari aktivitas awal. Setelah pelayuan secara umum aktivitas enzim lebih rendah dan setelah pemeraman aktivitas menjadi lebih tinggi kembali. Adapun setelah pengeringan pertama hari pertama hingga kelima aktivitas enzim masih terdeteksi

meskipun terdapat kecenderungan terus menurunnya aktivitas enzim dengan semakin lamanya proses pengeringan.

Hasil analisis dalam penelitian ini tampaknya sesuai dengan penelitian Hanum (1997) dan Setyaningsih (2006). Sebagaimana terlihat dalam Tabel 6 untuk seluruh perlakuan, aktivitas enzim masih terdeteksi hingga pengeringan pertama hari pertama. Perendaman buah vanili dengan pemberian tekanan 5 kPa menghasilkan rata-rata aktivitas enzim yang lebih tinggi dari tahap perendaman hingga pengeringan untuk waktu perendaman 10 menit dibanding perendaman selama 5 menit. Setelah 10 menit perendaman, aktivitas enzim yang diperoleh cenderung lebih rendah. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan (Lampiran 10a), diperoleh hasil bahwa waktu perendaman pada tekanan 5 kPa berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim. Uji lanjut Duncan menunjukkan waktu perendaman 10 menit menghasilkan rata-rata aktivitas enzim tertinggi, yaitu sebesar 218,88 IU/g. Nilai aktivitas enzim tersebut lebih tinggi 1,39 kali aktivitas enzim buah segar.

Dari hasil ini terlihat bahwa waktu perendaman dengan adanya tekanan vakum memang dapat mempercepat penetrasi larutan ke dalam bahan dibanding waktu perendaman pada tekanan normal yang dilakukan pada penelitian sebelumnya (2 jam). Aktivitas enzim setelah perendaman selama 10 menit pada penelitian ini mengalami kenaikan sebesar 8,42%, sementara pada penelitian sebelumnya aktivitas enzim relatif stabil dari aktivitas awal setelah perendaman dalam aktivator butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama dua jam pada suhu ruang. Dengan demikian, aplikasi vacuum infiltration selama 10 menit pada tahap perendaman disamping mempercepat penetrasi larutan juga menghasilkan kenaikan aktivitas enzim dibanding perendaman tanpa tekanan selama 2 jam.

Seperti terlihat pada Tabel 6 di atas, tidak terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas enzim dengan semakin lamanya waktu perendaman. Menurut Jongen (2002), jumlah larutan yang masuk akan sebanding dengan jumlah ruang kosong yang ada dalam struktur bahan. Dengan demikian sebenarnya terdapat potensi lebih banyaknya larutan yang berpenetrasi ke dalam bahan seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman. Akan tetapi waktu

Pada waktu perendaman yang lebih lama aktivitas enzim justru menurun. Hal ini diduga selama 10 menit tekanan vakum diberikan, telah tercapai tingkat optimum pengeluaran gas (degassing) dari dalam bahan, sehingga pada pemberian tekanan vakum lebih lama, degassing tidak lagi terjadi. Dengan kata lain jumlah larutan yang masuk ke dalam bahan optimum selama 10 menit. Dinyatakan oleh Saurel (2002) bahwa pada sebagian besar kasus penerapan vacuum infiltration, produk harus dipertahankan selama beberapa menit pada kondisi vakum untuk memastikan gas-gas yang berada di dalam produk telah dikeluarkan dengan sempurna.

Berdasarkan pengamatan saat berlangsungnya proses, dimana semakin lama tekanan vakum diaplikasikan, buah vanili tampak semakin layu, dan hal ini nampak sangat jelas pada buah yang direndam dan diberi tekanan vakum selama 40 menit. Hal ini karena dengan semakin lamanya perendaman, maka semakin banyak jumlah pelarut yang masuk ke dalam jaringan buah melalui membran sel yang bersifat semipermiabel. Terdapat kapasitas optimal dari sel buah untuk dapat menampung cairan di dalamnya, sehingga ketika perendaman dilakukan lebih lama dari optimalnya, maka jaringan buah terlihat lebih lembek (keteguhan sel berkurang) karena cairan yang masuk melebihi kapasitas optimalnya.

Pemberian tekanan 50 kPa pada tahap perendaman juga menghasilkan aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan yang lebih tinggi untuk waktu perendaman selama 10 menit. Setelah 10 menit peredaman, aktivitas enzim cenderung lebih rendah. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10c) untuk pemberian tekanan vakum 50 kPa menunjukkan bahwa waktu perendaman berbeda nyata terhadap aktivitas enzim. Melalui uji lanjut Duncan diperoleh hasil bahwa nilai tertinggi diperoleh dari perlakuan perendaman selama 10 menit, yaitu sebesar 172,73 IU/g protein. Nilai ini lebih tinggi 1,09 kali aktivitas enzim buah segar.

Adapun untuk perendaman dalam tekanan normal diperoleh hasil aktivitas enzim yang lebih rendah daripada hasil penerapan vakum infiltrasi pada tekanan 5 kPa dan 50 kPa. Hasil analisis sidik ragam tahap perendaman hingga pengeringan (Lampiran 10e) menunjukkan bahwa waktu perendaman berpengaruh nyata

terhadap aktivitas enzim. Uji lanjut Duncan menunjukkan perendaman selama 30 menit pada tekanan normal menghasilkan rata-rata aktivitas enzim tertinggi.

Untuk pemberian tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal, berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10g) diperoleh hasil bahwa waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, rata-rata aktivitas enzim tertinggi diperoleh dari waktu perendaman 15 menit, akan tetapi waktu perendaman 10 dan 5 menit ternyata tidak berbeda nyata dengan waktu perendaman 15 menit sehingga waktu perendaman yang dipilih untuk pemberian tekanan 100 kPa di atas tekanan normal ini adalah 5 menit, dimana dihasilkan nilai aktivitas enzim sebesar 0,95 kali buah vanili segar.

Fellows (2001) menyatakan bahwa tekanan tinggi 300 hingga 600 MPa menyebabkan inaktivasi sel-sel vegetatif mikroorganisme. Tekanan tinggi menyebabkan kerusakan vakuola intraseluler dan merusak dinding sel serta membran sitoplasma. Enzim yang berhubungan dengan kualitas produk mempunyai sensitivitas yang berbeda-beda. Beberapa enzim dapat diinaktivasi pada suhu ruang menggunakan tekanan beberapa MPa sedangkan beberapa enzim lainnya dapat bertahan pada tekanan hingga 1000 MPa. Garcia-Palazon (2004) dalam penelitiannya tentang pengaruh pemberian tekanan tinggi terhadap aktivitas enzim β-glukosidase raspberi (Rubus idaeus) dan strawberi (Fragaria x ananassa) melaporkan bahwa terjadi penurunan aktivitas enzim (sekitar 10%) setelah pemberian tekanan tinggi 600 dan 800 MPa selama 15 menit pada raspberi, sedangkan pemberian tekanan 400 MPa hanya menyebabkan kerusakan enzim sebesar 2% untuk pemberian tekanan 5 menit dan 5% untuk pemberian tekanan selama 10 dan 15 menit. Sedangkan untuk strawberi, pemberian tekanan 600 dan 800 MPa menurunkan aktivitas enzim berturut-turut 49% dan 61% untuk waktu

Dokumen terkait