• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Desa Lumban Dolok merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 672.000 Ha dan Ditempati sebanyak 348 kepala keluarga. Desa Lumban Dolok memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Huraba

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Sibuhuan Kab. Padang Lawas 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tangga Bosi

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Aek Mual.

Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan salah satu unsur yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat kelayakan finansial dalam sistem

agroforestry. Karakteristik responden yang dianalisis berdasarkan kriteria Badan Pusat Stastistik. Karakteristik responden dalam penelitian ini antara lain : umur, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan. Hasil rekapitulasi kuesioner responden menurut karakteristik umur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi karakteristik responden menurut karakteristik umur

1. 20 – 30 3 8,82

2. 31 – 40 19 55,88

3. 41 – 50 7 20,59

4. > 50 5 14,71

Jumlah 34 100

Umur merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang suatu kegiatan produksi. Semakin tua umur, maka akan mempengaruhi dalam proses berjalannya kegiatan seperti semakin lambat dalam bekerja. Namun disisi lain, semakin tua umur maka pengalaman yang dihasilkan juga semakin banyak. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, responden dalam penelitian ini berjumlah 34 orang. Terdapat pada usia produktif yaitu 20 – 50 tahun yaitu berjumlah 29 orang dengan jumlah proporsi adalah sebesar 85,29 %. Sementara itu, ada responden yang berusia diatas 50 tahun sebanyak 5 orang dengan proporsi sebesar 14,71 %. Menurut Mantra (2004), bahwa tenaga kerja yang merupakan penduduk yang dalam usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Berdasarkan data usia responden umumnya berada pada usia produktif, sehingga mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam berpikir dan bertindak untuk merencanakan suatu kegiatan. Umur menunjukkan kemampuan fisik, pada umur tertentu seseorang pejerja mencapai titik optimal, kemudian dengan penurunan umur maka kemampuan fisik seseorang akan menurun.

Pekerjaaan utama responden pada umumnya adalah bertani (38,24%). Selain itu, responden juga sebagai PNS (20,59%), Berkebun (20,59%),

Wiraswasta (17,65%), Pensiunan PNS (2,94%). Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan

1. Petani 13 38,24

2. Berkebun 7 20,59

3. Wiraswasta 6 17,65

4. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 7 20,59

5. Pensiunan PNS 1 2,94

Jumlah 34 100

Sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga rata - rata 1-3 orang. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jumlah anggota keluarga No. Jumlah Anggota Keluarga ( Orang ) Frekuensi

(orang) Proporsi (%)

1. 1 – 3 25 73,53

2. 4 – 6 9 26,47

3. 6 > - -

Jumlah 34 100

Tingkat pendidikan dari masing-masing responden juga berbeda. Tingkat pendidikan responden didominasi pada tingkat SMA dengan jumlah proporsi adalah sebesar 41,18 %, diikuti dengan tingkat SMP sebesar 2,53 %, tingkat SD sebesar 17,65 % dan tingkat Sarjana sebesar 17,65 %. Tingkat pendidikan juga berpengaruh pada faktor produksi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik dalam memecahkan masalah ataupun pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usaha yang dikelola. Dalam penelitian ini, Responden berada pada tingkat pendidikan yang cukup baik dan masih dalam usia yang produktif. Menurut Djamali (2000), tingkat pendidikan sejalan dengan tingkat produktivitas dan efisiensi kerja. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan Tingkat Pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi (orang) Proporsi (%) 1. SD 6 17,65 2. SMP 8 23,53 3. SMA 14 41,18 4. Sarjana 6 17,65 Jumlah 34 100

Luas lahan yang diusahakan oleh responden untuk menanam karet dalam sistem agroforestry merupakan lahan milik sendiri yang didapatkan dari warisan keluarga maupun jual beli tanah. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan Luas lahan dan statuts kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan luas lahan dan status kepemilikan lahan

No. Luas lahan Frekuensi (orang) Proporsi (%) Status Lahan

1. 1 – 2 Ha 10 29,41 Milik sendiri

2. 3 Ha 19 53,88 Milik sendiri

3. 3 Ha > 5 14,71 Milik sendiri

Jumlah 34 100 -

Pola Agroforestry yang diterapkan responden di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu adalah Agrisilvikultur. Menurut Sarjodno et al. (2003),

Agrisilvikultur yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu atau woody plants) dengan komponen pertanian

(tanaman non kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang

(tree crops) dan tananaman non kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Jenis tanaman yang ada di lahan agroforestry dapat dibedakan menjadi dua

bagian, yaitu tanaman musiman (annual crops) dan tanaman tahunan (parenial crops).

a. Pola Kombinasi Tanaman Karet

Pola kombinasi karet dalam agroforestry di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu hanya terdapat 2 pola yakni :

1. Pola pertama, kombinasi antara karet dan tanaman tahunan 2. Pola kedua, kombinasi antara karet dan tanaman musiman.

Gambar 1. Kombinasi antara karet dan tanaman padi

Gambar 2. Kombinasi antara karet dan coklat

Pola Kombinasi pertama yakni tanaman karet dengan tanaman padi ditanam dalam satu lahan agar tanah dilahan tersebut tidak terkuras unsur hara

maka perlu dibuat pergiliran tanaman musiman yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. menurut Suryanto et al (2005) tanaman kehutanan dan

pertanian sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan jenis tanaman pertanian dan pola tanamnya.

Pola pertama responden menanam karet dengan tanaman musiman. Dalam letak tata ruang disebut juga kombinasi tidak merata (Sardjono et al. 2003) yaitu karet ditanam secara jalur di pinggir atau mengelilingi lahan pertanian, hal ini karena waktu persiapan lahan untuk menanam karet dan tanaman musiman berbeda, selain itu interaksi antara karet dan tanaman musiman dalam memperoleh cahaya, air, hara, dan tata ruang hidup tidak mengakibatkan kurangnya panen salah satu komoditi. Kombinasi menurut dimensi waktu,

kombinasi ini merupakan kombinasi intermittent. Nair (1993) dalam Sardjono et al. (2003) mengatakan bahwa kombinasi intermittent merupakan

kombinasi berkala selama jangka waktu budidaya jenis /komponen agroforestry. Responden melakukan penanaman tanaman semusim yang berbeda sesuai

kebutuhan ekonomi petani. Dalam pola ini responden dapat menanam karet 40 – 50 % dari luas lahan yang tersedia.

Pola kombinasi pertama ini diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Selain itu, pola kombinasi pertama ini dapat mengoptimalkan interaksi positif antara kedua tanaman tersebut yang meliputi :

1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi

dibandingkan pada monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.

2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis (monokultur).

Gambar 3. Pola Kombinasi Pertama Keterangan gambar :

= Tanaman Karet = Tanaman musiman (padi)

Pola kedua responden menanam tanaman karet dengan tanaman tahunan. Menurut Sardjono et al. (2003) bahwa pengkombinasian berbagai komponen dalam sistem agroforestry dapat menghasilkan berbagai reaksi, yaitu persaingan, melengkapi, dan ketergantungan. Reaksi saling melengkapi yang diperoleh dari pola kedua ini adalah reaksi secara kuantitatif yakni memperoleh berbagai produk dari satu lahan secara bergantian dalam jangka waktu tahunan.

Gambar 4. Pola kombinasi kedua Keterangan gambar :

= tanaman Karet

= Tanaman Tahunan (coklat)

Secara tata waktu kombinasi ini dapat dikatakan kombinasi coincident. Nair (1993) dalam Sardjono et al. (2003) mengatakan coincident merupakan kombinasi selama jangka waktu budidaya jenis / komponen agroforestry.

Kombinasi ini merupakan komponen merata dimana karet ditanam secara teratur dengan tanaman tahunan karena penanaman yang disengaja. Penyebaran karet dalam pola ini adalah penyebaran secara vertikal dimana karet dan tanaman tahunan tersebar pada sebidang lahan dengan sistematis, kombinasi seperti ini dapat membentuk agroforestry yang modern dan berskala komersil. Pola kedua ini, karet memperoleh komposisi dalam lahan 50 – 60 % dari jumlah lahan yang tersedia.

Sistem agroforestry terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara

komponen-komponen yang berbeda. Agroforestry ditujukan untuk

memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya

meminimalkan run off serta

manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan keseluruhan yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan menjaganya.Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003) ada empat keuntungan terhadap

1. Memperbaiki kesuburan tanah 2. Menekan terjadinya erosi

3. Mencegah perkembangan hama dan penyakit 4. Menekan populasi gulma.

Pemilihan tanaman karet oleh pemilik hutan rakyat dalam sistem

agroforestry adalah tanaman karet memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan diharapkan dapat memberikan penghasilan yang cukup untuk pemenuhan

kehidupan sehari-hari oleh hasil getah karet yang akan diproduksi setelah tanaman karet berumur 5 tahun. Selain produksi getah karet, setelah tanaman karet tidak produktif lagi diharapkan hasil dari kayu karet yang tetap dapat dijual oleh pemilik.

Pengelolaan hutan rakyat karet dengan sistem agroforestry dengan tanaman kombinasi kegiatan budidayanya terdiri dari persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit dan pemanenan. Persiapan lahan untuk budidaya karet dibagi dua yaitu penanaman (newplanting) baru dan (replanting) peremajaan (Damanik dkk, 2010). Kegiatan persiapan lahan dimulai dengan penebangan tanaman karet yang sudah tidak lagi produktif. Persiapan lahan hutan rakyat karet dengan dengan sistem agroforestry

dilakukan dengan replanting yaitu penanaman ulang di areal hutan rakyat dengan tanaman karet karena tanaman lama sudah tidak produktif lagi.

Persiapan bibit karet yang berasal dari biji, disemaikan terlebih dahulu, yakni dengan merendam selama 3-4 hari. Tempat persemaian dapat langsung berada di dalam hutan di bawah naungan pohon ataupun diladang-ladang yang baru dibuka. Tanah pada tempat persemaian digemburkan terlebih dahulu dan diberi pelindung dari daun-daun kering. Biji-biji tersebut akan terlihat mulali berkecambah pada 10-14 hari. Penyiraman harus dilakukan tiap hari agar bibit tidak kekeringan. Setelah kir-kira 3-4 bulan bibit karet tersebut baru siap ditanam di lapangan. Selain dari biji, para petani tradisional di Desa Lumban Dolok juga membuat bibit-bibit karet dari cabutan alam/liar. Cabutan liar karet tersebut berasal dari anakan karet umur kurang dari satu tahun dan dipilih yang mempunyai penampakan fisik yang bagus. Cabutan direndam dalam air mengalir

atau lumpur selama 2-3 hari sampai terlihat pucuk mata tunas yang akan tumbuh. Selama perendaman tersebut, cabutan harus selalu terlindung dari panas matahari. Sebagian petani langsung dapat langsung menanam cabutan liar tersebut di lapangan tanpa merendamnya terlebih dahulu jika cuaca memungkinkan, yaitu pada saat mendung atau pada sore hari.

Kegiatan penanaman tanaman karet dalam hutan rakyat dengan sistem

agroforestry dimulai dengan penentuan jarak tanam yaitu 3,5 m x 2,5 m. Menurut Damanik dkk 2010, untuk tanaman karet jarak tanam optimal tersebut adalah 3 x 7 m jika ditanam secara monokultur. Namun sebagian ada juga yang telah memperlihatkan jarak tanam pada penanaman kebun karet mereka. Jarak tanam ini bervariasi tergantung kebiasaan dan kesenangan mereka. Menurut Dijkman (1951) dalam Setyamidjaja (1991) menyatakan bahwa beberapa akibat dari jarak tanam yang sempit, diantaranya adalah kerusakan tajuk oleh angin akan lebih besar, kematian pohon karena serangan penyakit akan lebih tinggi, dan tercapainya lilit batang matang sadap akan lebih lambat.

Penanaman padi dengan karet pada pola kombinasi pertama, umumnya dilakukan pada masa awal tanam karet. Jarak tanam dalam budidaya tanaman apa pun harus mendapatkan perhatian memadai agar produktivitasnya optimal. Penanaman tanaman padi dilakukan terlebih dahulu, serempak di sela-sela tanaman karet yang umumnya ditanam dengan jarak tanam 3x3 m, 4x4 m ataupun 5x3 m. Saat umur 4-6 bulan padi dapat dipanen. Begitu seterusnya sampai karet umur karet sampai bisa disadap sehingga umumnya petani dapat menanam padi ladang dalam satu atau dua kali lipat masa tanam. Untuk penanaman coklat pada

pola kombinasi kedua dilakukan setelah umur karet dua tahun, yang mana tajuk karet akan cenderung melebar dan menaungi tanaman di bawahnya.

Penanaman karet di lapangan dilakukan pada musim penghujan, sekitar bulan Oktober sampai dengan Maret atau setelah tanah hasil tebas dan bakar tersebut sudah mulai dingin. Hal ini ditandai dengan mulai tumbuhnya rerumputan dan atau tanaman lain pada bidang bekas pembakaran. Pembuatan lubang penanaman dilakukan dengan sederhana dengan alat tugal atau tembilang. Tugal adalah sepotong kayu yang pada bagian ujungnya diruncingkan agar memudahkan pembuatan lubang tanam. Setelah bibit ditanam, tanah di sekitarnya dipadatkan agar bibit karet tidak mudah roboh, kemudian diberi ajir.

Pemeliharaan hutan rakyat karet dengan sistem agroforestry mulai dari penanaman hingga masa produksi meliputi penyiangan dan pemupukan. Penyiangan hutan rakyat agroforestry dengan tanaman karet bertujuan untuk membebaskan tanaman dari gangguan gulma yang tumbuh di lahan agar tidak terjadi persaingan dalam menyerap unsur hara di dalam tanah. Pemupukan pada areal hutan rakyat dengan sistem agroforestry adalah untuk memacu pertumbuhan tanaman muda, mempercepat matang sadap, menjaga ketersediaan getah karet sehingga panen getah karet dapat dilakukan secepatnya dan diharapkan dengan produksi getah karet yang tinggi. Kegiatan pemupukan dilakukan secara manual yaitu lubang dengan jarak disesuaikan dengan umur tanaman dan dilakukan umunya dengan jarak 15-50 cm dan kedalaman 15 cm, kemudian pupuk ditaburkan ke dalamnya dan ditutup dengan tanah..

Penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah tidak keluarnya getah karet pada musim panen. Pengendalian hama dilakukan penyemprotan

pestisida. Menurut Damanik dkk (2010), gejala tersebut dinamakan penyakit brown blast, penyakit brown blast bukan disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, melainkan karena penyadapan yang terlalu sering. Penyakit ini juga sering menyerang tanaman yang terlalu subur, berasal dari biji, dan tanaman yang sedang membentuk daun baru. Hama sering yang menyerang tanaman padi di Desa Lumban dolok adalah hama wereng dan hama tikus. Dampak akibat serangan hama pada padi dapat menurunkan tingkat produktivitas padi ataupun gagal panen. Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman ini adalah penggerek batang dan busuk buah.

Kegiatan terakhir adalah pemanenan, meliputi penyadapan getah dilakukan setelah usia tanaman karet berumur 5 tahun dengan frekuensi penyadapan 8 kali dalam sebulan. Sistem pemanenan kayu karet setelah tanaman karet tidak lagi produktif adalah dilakukan dengan sistem borong.

Pola kombinasi tanaman karet dengan tanaman padi dan dengan tanaman coklat bertujuan meningkatkan kemandirian petani dalam bercocok tanam dengan mengoptimalkan lahan yang dimiliki. Dalam praktek kedua pola kombinasi tersebut di Desa Lumban Dolok, sistem agroforestry dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap lingkungan lainnya, dan di sisi lain dapat memberikan keluaran hasil yang diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim

b. Kontribusi Pendapatan agroforestry Karet Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Desa Lumban Dolok

Pada masa penanaman dengan pola kombinasi pertama dan kedua, petani memperoleh hasil dari tanaman selain tanaman pokok seperti padi ladang dan

coklat. Sedangkan untuk pola monokultur, petani harus menunggu hasil panen sehingga belum dapat menerima pendapatan dan masih mengeluarkan biaya untuk pemeliharaannya. Besar kecilnya pendapatan dari agroforestry karet ini antara lain tergantung dari: luas kebun, jumlah karet yang disadap, frekuensi penyadapan, pemasaran, serta harga karet yang berlaku. Hasil perhitungan rata- rata pendapatan petani dari kebun agroforestry karet dengan pola kombinasi

pertama sebesar Rp. 24.245.200 Ha/tahun, pola kombinasi kedua sebesar Rp. 39.053.320 Ha/tahun, dan pola monokultur sebesar Rp. 24.775.640 Ha/tahun.

Pendapatan dari usaha karet sistem agroforestry sebagai model hutan rakyat sangat besar dibanding usaha karet monokultur. Jika karet ditanam dengan tanaman semusim kurang memberi kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga. Hal ini dikarenakan tanaman semusim yang ditanam dikonsumsi sendiri dan harga jualnya rendah sehingga pendapatan yang masuk berkurang. Pendapatan rumah tangga yang mengusahakan karet dengan sistem agroforestry sebagai model hutan rakyat apabila komponen tanaman tahunan ditanam dengan karet akan memberikan kontribusi yang sangat besar.

Tabel 6. Rata-rata pendapatan dari karet dalam sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok Pola Kombinasi Rata-rata pendapatan Agroforestry karet (Rp/tahun) Rata-rata pendapatan Non Agroforestry (Rp/tahun) Kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga ( Rp/tahun ) Pola Pertama 24.245.200 22.650.000 46.895.200 Pola Kedua 39.053.320 25.133.333 64.186.653 Pola Monokultur 24.775.640 22.071.429 46.847.069

Panen hasil karet bukan hanya getah saja tetapi kayunya juga. Pada umur karet yang berumur 25 tahun, produksi getah sangat rendah dan harus dilakukan

peremajaan dengan menebang karet yang ada dan melakukan penanaman kembali pada lahan tersebut. Kayu karet memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Biasanya masyarakat menjual kayunya kepada pemilik panglong dengan sistem borongan dengan harga rata-rata Rp. 12.500.000/ha dan itu tergantung keadaan kemiringan lahan serta lokasinya. ini merupakan pendapatan yang cukup baik dikala karet tidak menghasilkan getah sehingga pendapatan ini dapat membantu mengurangi pembiayaan dalam penanaman karet kembali.

Analisis Finansial Karet dalam Sistem Agroforestry

Tujuan didirikannya suatu usaha yaitu untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung dari produksi yang dihasilkan. Sehingga dalam suatu perencanaan melakukan usaha harus selalu memperhitungkan apakah usaha tersebut mendatangkan keuntungan atau tidak. Untuk mengetahui kelayakan suatu usaha tersebut maka dilakukan analisis finansial. Analisis finansial karet sistem agroforestry dalam 2 pola kombinasi mampu memberikan prospek finansial yang cukup baik yang dinilai dari kriteria finansial yakni NPV, BCR, dan IRR pada tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 12.1 (Suku bunga yang berlaku per tanggal 31 Juli 2013).

Tabel 7. Nilai NPV, BCR, dan IRR Karet dalam sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok

Pola Kombinasi NPV (Rp/Ha) BCR IRR ( % )

Pola Pertama 109.806.532,95 2 21,1

Pola Kedua 192.325.332,78 3,07 29,9

Pola Monokultur 105.288.559,77 2,48 23,3

Berdasarkan tabel rekapitulasi dapat dinyatakan bahwa pengusahaan karet sebagai satu jenis komoditi yang dibudidayakan dengan menerapkan pola

agroforestry ternyata mampu memberikan prospek finansial yang layak dengan acuan parameter NPV, BCR, dan IRR. Nilai NPV yang paling tinggi adalah pola kombinasi kedua yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha kemudian nilai NPV sebesar Rp. 109.806.532,95/Ha diperoleh dengan menanam karet secara pola pertama. Dan dibandingkan dengan menanam karet pola monokultur hanya menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 105.288.559,77 /Ha. Nilai ini merupakan nilai selisih antara nilai PV manfaat kotor dengan PV biaya kotor. Dengan demikian agroforestry

karet dengan pola yang kedua yakni antara tanaman karet dengan tanaman coklat (tahunan) merupakan pilihan yang paling optimal untuk mengembangkan karet dalam sistem agroforestry.

Nilai BCR sebesar 3,07 untuk pola yang kedua artinya manfaat ekonomi investasinya adalah 3,07 kali lebih besar daripada biaya total pada tingkat suku

bunga 12,1 %. Tiap 1 rupiah yang diinvestasikan akan memberi hasil sebesar Rp. 3,07 , demikian juga untuk pola pertama dan pola monokultur. Pola

kombinasi yang pertama, kedua, dan pola monokultur menghasilkan BCR > 1, namun pola kedua menghasilkan BCR yang paling besar maka pengusahaan karet rakyat dalam sistem agroforestry pada pola ini yang paling optimal diusahakan bila dibandingkan dengan BCR pola pertama 2 dan pola monokultur 2,48.

Nilai IRR menunjukkan tingkat suku bunga ( discount rate ) maksimum yang dapat dibayarkan oleh suatu usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Untuk mendapatkan nilai IRR diperoleh dengan metode coba-coba sampai diperoleh

discount rate yang memberikan nilai mendekati nol. Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa nilai IRR untuk pola kedua yang paling tinggi yakni 29,9 %, kemudian

pola pertama 22,1 % dan karet yang ditanam secara monokultur 24,3 %. Pengusahaan karet dengan sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok layak karena nilai IRR dari pola pertama dan pola kedua yang diperoleh lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 12,1 %. Sedangkan pola monokultur kurang layak karena nilai IRR yang diperoleh lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku.

Pola kombinasi yang kedua yakni antara tanaman karet dengan tanaman coklat (tahunan) di Desa Lumban Dolok menghasilkan nilai NPV, BCR, dan IRR yang lebih tinggi dibandingkan pola lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pola yang kedua ini jumlah tanaman yang ditanam lebih banyak dan memanfaatkan lahan yang ada. Pangihutan (2003) menyatakan bahwa pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani pemilik lahannya. Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Sedangkan pola tanam campuran, terutama campuran dengan sistem agroforestry/wanatani manfaatnya ganda, disamping meningkatkan pendapatan petani lewat panen harian, mingguan, bulanan dan tahunan juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya, sehingga diharapkan tercapai kelestarian; lestari lingkungan, lestari hasil dan lestari pendapatan.

Perawatan yang intensif dan kombinasi tanaman yang optimal mampu menghasilkan interaksi positif antara tanaman karet dengan kombinasinya. Menurut Andayani (2005) adanya variasi tingkat keuntungan yang diperoleh petani pada beberapa pola kombinasi agroforestry disebabkan beberapa faktor

teknis dan non teknis. Faktor teknis yang menyebabkan variasi tingkat keuntungan petani adalah jenis komoditi yang dikombinasikan dan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan faktor non teknis yang dapat menyebabkan variasi tingkat keuntungan yang diperoleh petani adalah tingkat perencanaan dari petani, tingkat pendidikan petani, peranan dari instansi terkait, tingkat pengetahuan dan

Dokumen terkait