• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Mikrokapsulasi yang dilakukan menghasilkan mikrokapsul dengan konsentrasi propolis 2% (M2%) dan mikrokapsul 4% (M4%). Dimana hasil dari mikrokapsulasi yang dihasilkan berupa serbuk dan berwarna putih kecoklatan. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Suseno dan Saputra (2009), dimana dihasilkan mikrokapsul propolis 2% dan 4% berbentuk serbuk serta berwarna putih kecoklatan. Hasil uji pendahuluan ketahanan mikrokapsul propolis 2% dan 4% secara in vitro memperlihatkan bahwa pelepasan senyawa aktif terjadi pada jam ke 9 hingga maksimum pada jam ke 24 dan adanya zona bening pada uji Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM). Hal ini membuktikan bahwa senyawa aktif propolis telah termikrokapsulasi dengan baik.

Komposisi mikrokapsul pada penelitian ini terdiri atas ekstrak propolis asal Bukittinggi sebagai zat aktif (konsentrasi 2% dan 4%). Bahan penyalut maltodekstrin dan magnesium stearat. Mikrokapsulasi merupakan metode yang digunakan untuk mengubah pasta ekstrak propolis menjadi bentuk padat. Salah satu tujuan mikrokapsulasi ini adalah melindungi senyawa aktif propolis.

Mikrokapsul propolis asal Bukit Tinggi dibuat dengan melarutkan dua campuran A dan B. Campuran A (akuades dan maltodekstrin) sedangkan B (ekstrak propolis dan Propilen glikol). Penggunaan akuades dalam campuran A adalah untuk melarutkan maltodekstrin. Campuran B dibuat dengan melarutkan propilen glikol dan ekstrak pekat propolis dengan perbandingan 1:1. Propilen glikol digunakan untuk melarukan ekstrak pekat propolis Bukit Tinggi sehingga dalam pencampuran dengan campuran A lebih mudah. Propilen glikol merupakan salah satu pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan propolis di dalam dunia farmasi dan kosmetik (Tosiet al. 1996).

Bahan penyalut propolis yang digunakan adalah maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan salah satu jenis pati yang biasa digunakan dalam teknik penyalutan obat. Harganya yang murah dan mudah diperoleh menjadikan pati sering digunakan sebagai alternatif bahan penyalut (Rahmawati 2000). Pemilihan

maltodekstrin dikarenakan strukturnya relatif lebih pendek sehingga pada saat mikrokapsulasi menghasilkan mikrokapsul yang lebih kering, berukuran seragam, dan tidak lengket.

Maltodekstrin (MDE) merupakan gula tidak manis dan berbentuk bubuk berwarna putih dengan sifat larut dalam air. Gula ini dapat dibuat dari hidrolisis pati jagung secara tidak sempurna dengan bantuan asam atau enzim. Gula ini merupakan polimer disakarida terdiri atas D-glukosa yang berikatan terutama dengan ikatan -1,4 glikosidik (Schenk & Hebeda dalam Yudha 2008). Dalam mikrokapsulasi, struktur MDE yang berongga akan diisi oleh propolis sehingga senyawa aktif propolis dapat terlindungi oleh MDE.

Setelah kedua campuran A dan B bercampur, tahap berikutnya adalah tahap pengeringan. Teknik pengeringan yang digunakan adalah vacuum drying (pengeringan vakum). Alat yang dipakai dalam proses vacuum drying adalah vaccum pan evaporator yang terdapat di Pusat Antar Universitas (PAU) Institut Pertanian Bogor (IPB). Spesifikasi komponen alat yang dipakai, yaitu pemanas listrik 14.000 watt, pompa vakum 750 watt, kecepatan pengaduk 125 rpm, panjang rotor 1 cm, diameter baling-baling 20 cm, suhu 40-50°C, dan tekanan vakum 72 cmHg. Alasan pemilihan teknikvacuum drying adalah teknik ini cocok untuk melindungi senyawa aktif propolis seperti flavonoid, yang berperan sebagai antimikrob. Hal ini dikarenakan suhu yang digunakan pada proses vakum tidak akan merusak komponen aktif propolis.

Keseragaman pencampuran dalam pembuatan mikrokapsul merupakan faktor yang penting. Campuran yang belum larut secara sempurna akan menyebabkan ukuran mikrokapsul yang terbentuk tidak seragam dan menyebabkan bahan inti atau komponen aktif tidak tersalut dengan sempurna oleh bahan penyalut. Dalam prosesnya pelarut yang digunakan yaitu air dan propilen glikol akan menguap dengan panas sehingga dihasilkan serbuk mikrokapsulasi. Ukuran mikrokapsul yang dihasilkan dengan metode ini berkisar antara 5-5000 m (Lachman 1994).

Gambar 4. Hasil A. Mikrokapsul Propolis Bukittinggi 2% B. Mikrokapsul Propolis Bukittinggi 4%

Penanganan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus jantan strainSprague Dawley (SD), dibagi dalam 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus. Tikus Sprague Dawley yang digunakan berumur sekitar satu bulan dengan bobot badan antara 70 – 110 gram. Pemilihan tikus SD berumur satu bulan adalah karena pada masa satu bulan tersebut merupakan masa lepas sapih dan tikus telah dapat menerima nutrisi dari luar. Beberapa parameter yang digunakan dalam penelitian ini berupa pengukuran bobot badan, konsumsi pakan dan minum serta pengamatan jumlahE. coli pada usus dan feses tikus.

Tikus SD dalam penelitian ini, dibagi dalam 5 kelompok dengan masing-masing 4 kali ulangan. Tiap kelompok melalui tahap adaptasi selama 21 hari dengan pemberian pakan dan air minumsecara ad libitum. Tahap adaptasi ini dilakukan agar masing-masing tikus diharapkan dalam kondisi yang sama sebelum diberi perlakuan untuk penelitian. Kemudian dilanjutkan tahap perlakuan selama 30 hari, dimana pemberian pakan dan minum tetap secara ad libitum, sedangkan masing-masing perlakuan diberikan dengan cara dicekok tiga hari sekali.

Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan kondisi fisik tikus pada saat adaptasi dan setelah pemberian perlakuan. Kondisi fisik yang terlihat sama pada saat adaptasi dan setelah perlakuan yaitu mata yang berwarna merah, dengan tingkah laku yang normal, dan warna urin kuning jernih.

Sementara perbedaan terlihat pada feses yang dihasilkan, pada kelompok tikus yang diberi perlakuan berwarna coklat lebih tua, tekstur lebih lunak dan lebih berbau. Hasil pengamatan fisik tikus dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kondisi Fisik Hewan Coba

Keterangan Parameter Normal Perlakuan Warna mata Warna feses Tekstur feses Tingkah laku Warna urin Merah Cokelat Padat Normal Kuning jernih Merah Cokelat tua Lunak Normal Kuning jernih

Pertumbuhan Bobot Badan Hewan Coba

Pertumbuhan bobot badan hewan coba selama masa adaptasi

Selama masa adaptasi semua tikus mengalami kenaikan bobot badan (Gambar 5) secara keseluruhan sebesar 47,59 %. Rata-rata bobot badan tikus pada awal masa adaptasi sebesar 91,3 gram. Sedangkan pada akhir masa adaptasi bobot badan rata-rata sebesar 134,75 gram.

Pada semua kelompok perlakuan terjadi kenaikan bobot badan secara bertahap setiap minggu, yang mempunyai kecenderungan yang sama. Berdasarkan uji ANOVA dengan uji lanjut duncan, kenaikan bobot badan antara masing-masing kelompok tidak berbeda nyata (P<0,05). Artinya, kenaikan bobot badan masing-masing kelompok tidak dipengaruhi oleh faktor dari luar karena kelompok-kelompok tersebut belum diberi perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tikus dalam keadaan sehat dan berhasil dalam masa adaptasi sehingga tikus dapat terus dipergunakan selama percobaan.

Pertumbuhan bobot badan hewan coba selama masa perlakuan

Pada masa perlakuan kenaikan bobot badan pada masing-masing kelompok terjadi pada minggu pertama dan kedua, hal ini menunjukkan bahwa tikus tidak mengalami stress setelah perlakuan. Namun, pada minggu ketiga setelah perlakuan terjadi penurunan bobot badan (Gambar 6). Penurunan bobot badan terjadi pada kelompok standar dan mikrokapsulasi 4% (M4%), dimana kelompok M4% mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Penurunan dan peningkatan bobot badan ini diduga karena adanya perubahan jumlah populasi mikroflora bakteri yang ada pada sistem pencernaan, yang akan dibahas selanjutnya.

Pada grafik (Gambar 6) dapat dilihat bobot badan kelompokraw, kontrol positif dan mikrokapsul 2% (M2%) cenderung lebih stabil. Hal ini diduga karena miklofora di usus tetap dalam kondisi seimbang. Dimana pada kelompok raw, kontrol positif dan M2% memiliki jumlahE. coli di usus yang relatif lebih kecil. Mikroflora yang stabil dan seimbang merupakan pertanda keadaan saluran cerna yang sehat. Beberapa mekanisme penyerapan lemak,karbohidrat dan protein dapat dipengaruhi oleh kehadiran mikroflora usus.

Berdasarkan uji statistik, bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perubahan bobot badan. Dimana kelompok perlakuan M4% memiliki persentase kenaikan bobot badan terkecil dan menunjukkan hasil analisis yang berbeda nyata terhadap kelompok lainnya.

Bobot badan tikus yang mengalami peningkatan, didukung pula dengan adanya peningkatan konsumsi pakan (Gambar 7). Pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari mahkluk hidup ditandai dengan terjadinya kenaikan bobot badan yang mengikuti bentuk kurva pertumbuhan yang sigmoid. Pertumbuhan dan perkembangan berat badan sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi makanan, kandungan energi, aktivitas metabolisme, dan aktivitas fisik hewan yang bersangkutan. Pada fase pertumbuhan proses biosintesis berlangsung dengan cepat sehingga dibutuhkan energi untuk berlangsungnya proses metabolisme tubuh.

Jumlah pakan yang dikonsumsi selama masa adaptasi rata-rata sebesar 10.80 gram/hari, sementara pada masa perlakuan konsumsi pakan rata-rata sebesar 11,36 gram/hari. Peningkatan yang terjadi menunjukkan bahwa tikus masih berada dalam kondisi nafsu makan yang normal. Dari grafik (Gambar 7) dapat dilihat bahwa konsumsi pakan untuk kelompok standar, raw dan M2% lebih stabil, artinya tidak terjadi perubahan yang besar. Sebaliknya, kontrol positif dan M4% terdapat perubahan yang relatif lebih besar. Sehingga hal ini mempengaruhi bobot badan tikus.

Berdasarkan uji statistik pada masa perlakuan, konsumsi pakan mikrokapsulasi 4% berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelompok lainnya. Rata–rata konsumsi pakan standar, kontrol positif,raw, M2% dan M4%

masing-masing 11,79 gram/hari, 11, 53 gram/hari, 12,01 gram/hari dan 11, 30 gram/hari dan M4% dengan rata-rata terkecil yaitu 10.16 gram/hari. Dari data tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pakan M4% yang relatif lebih kecil dibandingkan kelompok yang lain, menyebabkan pertumbuhan bobot badan M4% yang lebih kecil pula. Karena dengan konsumsi pakan yang lebih sedikit pada masa pertumbuhan akan mengakibatkan energi yang dibutuhkan tubuh menjadi terbatas untuk berlangsungnya proses metabolisme tubuh. Maka hal ini akan mengganggu fase pertumbuhan dari tikus tersebut.

Gambar 7. Konsumsi pakan dari masa adaptasi hingga masa perlakuan Pada M2% terjadi hal yang berbeda, konsumsi pakan mengalami penurunan akan tetapi pertumbuhan mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan adanya efisiensi konsumsi pakan. Hal yang sama telah dilakukan peneliti Itali (Buhatel et al 1983) memberikan sejumlah kecil propolis dalam pakan babi, dan ternyata pertumbuhan berat badannya lebih cepat serta kebutuhan pakannya lebih sedikit (29% lebih rendah). Di Italia (Fearnley 2005) pemberian propolis sebanyak 30 ppm dalam ransum dapat meningkatkan produksi telur 6,07%, berat telur 1,27%, penggunaan pakan lebih efisien 5,46, dan pertambahan berat badan ayam betina muda 6,40%.

Penelitian serupa di Jepang melaporkan bahwa propolis dapat merangsang respon imun pada tikus (Dantas et all 2006). Peneliti dari Jepang menemukan bahwa ekstrak propolis dapat menyebabkan aktivasi makrofag yang berhubungan dengan fungsi kekebalan tubuh pada manusia (Moriyasu et all 1994). Pada dunia peternakan propolis telah banyak digunakan baik untuk pengobatan maupun untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam tubuh hewan ternak. Beberapa peneliti dari Moscow (Mirolyubov dan Barskov 1980, diacu dalam Fearnley 2005) dan Polandia (Meresta dan Meresta 1985, serta Merestaet all 1989, diacu dalam Fearnley 2005) dengan menggunakan propolis untuk penyembuhan mastitis pada sapi. Propolis juga dapat meningkatkan imunitas, aktivasi produksi antibody dan fagositosis sapi ketika ditambahkan bersama tembaga dan kobalt (Dunyavin 1971, diacu dalam Fearnley 2005). Budicza dan Molhar (1987) diacu dalam Fearnley (2005) melaporkan bahwa pemberian ekstrak propolis 20% dengan jumlah 2-5 ml tiap pagi dan siang bersama pemberian susu pada anak sapi dapat mengurangi kejadian diare dan mempercepat pertumbuhan berat badan.

Gambar 8. Konsumsi minum dari masa adaptasi hingga masa perlakuan

Konsumsi air minum tikus selama masa adaptasi hingga perlakuan juga mengalami perubahan. Dari grafik (Gambar 8) menunjukkan bahwa terjadinya

peningkatan dan penurunan, konsumsi minum cenderung mengikuti konsumsi pola makan. Dimana dengan konsumsi pakan yang relatif lebih banyak maka konsumsi minum akan cenderung lebih banyak pula. Hal ini disebabkan karena konsumsi minum tersebut dibutuhkan oleh tubuh utamanya dalam pemecahan molekul-molekul nutrisi dalam pakan yang selanjutnya akan digunakan dalam proses metabolisme tubuh.

Perbandingan Potensi Propolis terhadap Standar Perlakuan

Potensi raw dan M2% terhadap bobot badan berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan standar dan M4%. Dimana kelompok standar dan M4% memiliki persentase kenaikan bobot badan yang kecil dibanding kelompok perlakuan lain. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh kandungan propolis. Gambar 9 menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot badan tikus kelompok raw (15.3%) dan M2% (9.34%) lebih baik jika dibandingkan dengan standar (4,93%) dan M4% (2.12%).

Gambar 9. Potensi sediaan Propolis terhadap standar perlakuan

Perbandingan Potensi Propolis terhadap Ampisilin

Pengaruh raw propolis (15.3%) dan M2% (9.34%) terhadap bobot badan positif (ampisilin, persentase pertumbuhan 26%) tidak berbeda nyata (P<0,05).

Sebaliknya untuk M4% (2.12%) berbeda nyata terhadap raw propolis, M2% maupun ampisilin. Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa M2% dan raw propolis memiliki pertumbuhan bobot badan yang stabil dibandingkan dengan M4%. Hal tersebut di atas dapat memberikan gambaran bahwa M2% dan raw propolis memiliki potensi untuk menggantikan antibiotik sebagai salah satu alternatif pemacu pertumbuhan yang bersifat alami.

Propolis sebagai bahan pemacu pertumbuhan merupakan alternatif yang aman apabila dibandingkan dengan penggunaan antibiotik sintetik. Selain itu salah satu peran penting yang dimiliki propolis adalah dapat merangsang imunitas sedangkan pada beberapa obat-obatan medis sintetik justru akan menekan imunitas. Keuntungan lainnya adalah propolis bersifat sebagai antibitotik alami yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen tanpa mematikan bakteri yang menguntungkan bagi tubuh. Sebaliknya antibotik sintetik bersifat bakterisidal yang dapat mematikan seluruh bakteri bahkan bakteri non patogen. Disamping itu, antibiotik yang digunakan secara terus menerus akan dapat menyebabkan beberapa bakteri menjadi resisten, karena bakteri dapat secara mudah beradaptasi dengan keadaan tersebut.

Gambar 10. Potensi propolis terhadap Ampisilin sebagai pemacu pertumbuhan

Ampisilin termasuk dalam golongan penisilin yang merupakan antibiotik -laktam. Secara umum, mekanisme antibiotik ampisilin adalah mencegah penggabungan asam N-asetilmurat ke dalam struktur peptidoglikan yang merupakan salah satu bagian penting dalam dinding sel bakteri. Penghambatan ini mengakibatkan lemahnya struktur dinding sel bakteri sehingga tidak dapat menahan kuatnya tekanan dari cairan sitoplasma. Mekanisme yang dimiliki oleh ampisilin ini menyebabkan ampisilin memiliki daya anti bakteri yang besar dan dapat bersifat bakterisidal (Fajarina 2009).

Perbandingan Potensi Mikrokapsul Propolis terhadapRaw Propolis Pengaruh M2% terhadap bobot badan tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan kelompok raw propolis. Namun sebaliknya untuk M4% berbeda nyata (P<0,05), dimana M4% memiliki persentase kenaikan bobot badan yang lebih rendah (2.12%) jika dibandingkan dengan M2% (9.34%) dan raw propolis (15.3%).

Gambar 11. Potensi mikrokapsul propolis terhadapRaw propolis

Pada Gambar 11, grafik menunjukkan pola peningkatan bobot badan tikus kelompok M2% menyerupai kelompok raw propolis. Raw propolis memiliki potensi yang sama dengan M2%. Hal ini terlihat pula dari persentasi kenaikan bobot badan tikus. Dimana raw propolis mengalami peningkatan sebesar 15,3% sedangkan pada M2% sebesar 9,34%.

Populasi Bakteri Pada Feses (Escherichia coli)

Hasil uji statistik, menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) jumlah E. coli, pada feses tikus. Beda nyata tersebut antara kontrol positif terhadap perlakuan yang lain. Pada grafik (Gambar 12) menunjukkan bahwa pada minggu pertama setelah pencekokkan, jumlahE. coli khususnya pada kelompok M4% dan kontrol positif relatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kelompok yang lain. Pada minggu kedua kelompok perlakuan M4% mengalami penurunan jumlah E. coli yang sangat tajam mendekati standar, raw propolis dan M2%. Sebaliknya hal ini tidak dialami oleh kelompok kontrol positif. Kelompok kontrol positif mengalami penurunan jumlah E. coli pada minggu kedua, akan tetapi jumlahE. coli masih jauh lebih besar dibandingkan kelompok lain.

Mikroflora dalam usus dapat ditentukan dengan pendekatan terhadap pengujian mikroflora dalam feses. Nakazawa dan Hasono (1992) menyatakan bahwa untuk dapat mengetahui mikroflora normal dalam usus biasanya digunakan feses yang dipupukkan dalam berbagai media digunakan untuk menentukan mikroflora tersebut. E. coli merupakan bakteri golongan oportunistik. Bakteri golongan ini apabila ada dalam saluran pencernaan dalam jumlah yang melebihi batas maksimal akan menyebabkan timbulnya gangguan pada kesehatan saluran pencernaan. Bakteri yang masuk dalam golongan ini adalah E. coli dan Streptococcus (Mitsuoka dalam Pertiwi 2008).

Kondisi yang fluktuatif pada kontrol positif dan mikrokapsul propolis 4% menunjukkan bahwa terjadi ketidakseimbangan mikroflora, khususnya jumlah E. coli setelah pemberian ampisilin dan mikrokapsul propolis (4%) pada minggu pertama dan ada upaya menurunkan jumlahnya mendekati standar pada minggu ketiga. Jumlah E. coli pada minggu pertama pencekokan raw propolis berada dibawah kontrol positif dan M4%, dan mengalami penurunan setelah pencekokan minggu kedua mendekati standar dan M2%. Sementara jumlah E. coli untuk standar dan M2% tidak jauh berbeda. Namun kelompok standar sendiri mengalami sedikit penurunan jumlahE. Coli, sebaliknya mikrokapsul propolis 2% mengalami sedikit peningkatan populasi E. coli saat memasuki minggu kedua pencekokan.

Pada minggu ketiga (Gambar 12) kelompok raw propolis mengalami peningkatan jumlah E. coli, namun jumlah E. coli tersebut tidak lebih tinggi dari minggu pertama. Jumlah E. coli feses kelompok M2% dan standar terlihat lebih stabil dari minggu pertama hingga minggu ketiga. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tikus yang diberi M2% dapat mempertahankan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan. Pemberian M2% tidak mengubah keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan tikus dengan cara mengendalikan populasi E. coli dalam taraf yang tidak membahayakan bagi kesehatan saluran pencernaan. Dengan tujuan bahwa apabila keseimbangan mikroflora dalam usus baik maka fungsi saluran pencernaan yang optimum akan tercapai, sebaliknya jika keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan terganggu maka fungsi saluran pencernaan pun akan terganggu (Bourliouxet al. 2003).

Tikus pada awal penelitian ini merupakan tikus lepas sapih yang sebelumnya hanya mengkonsumsi air susu dari induknya. Pemberian pakan yang terdiri atas komponen yang beragam akan berpengaruh pada kondisi mikroflora saluran pencernaan tikus tersebut. Perkembangan suatu makhluk hidup akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jumlah populasi mikroflora dalam usus makhluk hidup tersebut (Nakazawa dan Hosono 1992). Makanan dapat memodifikasi ekologi enteromikroba saluran pencernaan, maka dapat diperkirakan jika karnivorisme akan merangsang pertumbuhan mikroflora tertentu (Peterson 1975). Perubahan ini terjadi seiring dengan makin beragamnya asupan makanan yang dikonsumsi oleh makhluk hidup tersebut.

Jumlah E. coli yang terhitung pada feses diperkirakan sangat berkaitan dengan bobot badan. Pada kelompok M4% jumlah E. coli yang fluktuatif diduga mengakibatkan penurunan bobot badan yang signifikan, sementara pada M2% dengan jumlah E. coli stabil memperlihatkan pertumbuhan bobot badan yang lebih baik. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa tikus yang diberi M2% dapat mempertahankan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan khususnya E. coli

Gambar 12. Jumlah selEscherichia coli (CFU/gram) pada feses Bakteri pada Usus Besar (Escherichia coli)

Berdasarkan analisis data dan grafik (Gambar 13) diperoleh, jumlahE. coli di usus besar (kolon) tertinggi adalah pada M4% (1,66 x 106), diikuti standar (3,03 x 105), M2% (2,79 x 105), raw propolis (1,76 x 105) dan kontrol positif (1,54 x 105). Dari data tersebut diperkirakan bahwa jumlahE. coli dapat mempengaruhi pertumbuhan bobot badan tikus. Dimana kelompok tikus M4% memiliki pertumbuhan berat badan yang lebih kecil dibanding kelompok lainnya karena memiliki jumlah E. coli di usus yang lebih besar. Sementara pada kelompok standar, raw, kontrol positif dan M2% ditemukan jumlah E. coli yang tidak jauh berbeda

Hewan atau manusia bersifat bebas dari mikroorganisme ketika berada di rahim, namun setelah lahir berbagai tipe bakteri dapat menyerbu tubuh melalui jalur kelahiran. Mikroorganisme tersebut tinggal di saluran pencernaan sampai hewan tersebut mati. Bagian dari saluran pencernaan yang paling banyak dihuni oleh bakteri adalah saluran usus (Nakazawa dan Hosono 1992).

Usus besar merupakan suatu mikroekosistem yang sangat kompleks, yang sarat dengan kolonisasi lebih 400 spesies dari sekurang-kurangnya 50 genera bakteri. Bakteri-bakteri ini dapat bersifat potensial penyebab efek patogenik atau efek promotif bagi kesehatan atau keduanya. Bakteri-bakteri ini berkompetisi dan

berinteraksi dalam proses fermentasi substrat yang sampai ke kolon, dan menghasilkan bahan-bahan toksik atau promotif bagi kesehatan (Lisal 2005).

Usus besar (kolon) mempunyai fungsi biologik yang penting, yaitu untuk absorpsi dan sekresi beberapa elektrolit tertentu dan air, serta pengumpulan dan ekskresi bahanbahan sisa pencernaan. Namun dalam dasawarsa terakhir, perhatian banyak ditujukan pada fungsi-fungsi usus besar (kolon) yang mempengaruhi kesehatan dan nutrisi, utamanya dalam hubungan dengan mikrobiota yang hidup di dalamnya (Gibsonet all 1995). Kolon merupakan suatu ekosistem yang sangat sarat dengan kolonisasi mikrobiota (sampai 1012 bakteri/gram isi kolon), sehingga aktivitas terpadu dari mikrobiota yang hidup didalamnya, menjadikan usus besar bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000).

E. coli merupakan bakteri patogen alami yang terdapat di dalam saluran pencernaan. Bakteri ini berkembangbiak dalam saluran pencernaan bagian kolon (usus besar). PopulasiE. coli dalam saluran pencernaan dapat berubah tergantung pada pola makan, susunan makanan yang dikonsumsi serta stress yang dialami oleh makhluk hidup.

Gambar 13. Jumlah selEscherichia coli (CFU/gram) pada usus

Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa M4% memiliki jumlah sel E. Coli yang lebih tinggi dibandingkan M2%. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan konsentrasi propolis yang lebih tinggi tidak secara signifikan mengurangi jumlah E. coli yang ada. hal yang serupa telah dilakukan peneliti Indonesia (Sabir 2005) menguji propolis asal Bulukumba terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans secara in vitro, dimana diperoleh flavonoid propolis dengan konsentrasi 0,1% lebih menghambat pertumbuhan bakteriS. mutans dibandingkan dengan flavonoid propolis dengan konsentrasi 0,5%.

Mekanisme propolis dalam menghambat pertumbuhan bakteri belum sepenuhnya diketahui, namun demikian (Simuth et al. 1986) dilaporkan adanya beberapa komponen yang terdapat pada propolis yang mampu mengabsorbsi sinar ultraviolet sehingga menghambat kerja enzim polimerase RNA bakteri untuk melekat pada DNA sehingga replikasi DNA bakteri tidak terjadi. Selain itu, komponen tersebut juga menghambat kerja dari enzim endonuklease restriksi sehingga transkripsi tidak terjadi pada RNA dan hal ini mengakibatkan pembelahan sel bakteri tidak terjadi karena terganggunya sintesis protein. Mekanisme lain dikemukakan oleh Takaisi-Kikuni dan Schilcher (1994) yang pada penelitiannya mendapatkan bahwa ekstrak etanol propolis bersifat antibakteri terhadap bakteri Streptococcus agalactiae melalui beberapa mekanisme, yakni dengan mencegah pembelahan sel bakteri dengan cara menghambat replikasi DNA sehingga menyebabkan terbentuknya Streptococcus pseudo-multicellular. Selain itu ekstrak etanol propolis juga menyebabkan terjadinya disorganisasi dari sitoplasma, membran sitoplasmik, serta dinding sel

Dokumen terkait